M.D. Atmaja
http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/
Keresahan itu selayaknya kawan mesra yang kedatangannya tanpa harus kita rindukan, juga seringkali datang tanpa terlebih dahulu membuat janji. Resah yang memang terlahir dari keinginan diri – yang dalam bahasa kerennya: mimpi – yang belum sempat tergapai. Berangkat dari keinginan ini, manusia dapat dikatakan memiliki sifat hidup. Akantetapi, tidak lantas kita langsung menterjemahkan kalau “keinginan” itu memiliki arti mengenai “hidup”, sebab hal tersebut tidak ada di dalam kamus, dan masyarakat Jawa lebih senang dalam “sepi ing pamrih” serta untuk “mati selagi hidup dan hidup selagi mati”.
Melepaskan paradigma hidup manusia Jawa yang super rumit, bahwa keinginan sebagai pendorong bagi manusia untuk bergerak di atas dunia. Bergerak untuk mengisi perjalanan waktu dengan sesuatu (kegiatan) yang dapat membawa pada pencapaian mimpi, yang akhirnya akan membawa kita pada mimpi(-mimpi) yang lain. Kita sama-sama menyadari jikalau salah satu watak manusia yang teramat menonjol adalah ketidak-puasan.
Pembentuk dari watak manusia ini oleh keinginannya sendiri yang terkadang teramat sederhana: Hanya menjadi Bupati, meskipun itu adalah Bupati Kethoprak. Manusia yang jauh dari kepuasan, tidak menunjukkan suatu sifat buruk. Jikalau saja manusia melepaskan segala keinginannya, maka manusia tidak akan hidup lagi. Pohon, bebatuan juga memiliki keinginan (dan hanya sebangsa mereka saja yang tahu keseluruhannya).
Hari ini terasa lebih melelahkan setelah beberapa saat berkutat dalam perselingkuhan dengan teknologi. Sampai seorang kawan dari Lamongan menginjakkan kakinya di Yogyakarta, singgah ke kantor cerpenis teguh Winarso AS. Sebenarnya sudah dari tadi malam (Rabu 16 Maret 2011) kawan saya dari Lamongan itu datang. Tapi sayang, saya tidak bisa beranjak dari meja kerja untuk menyambut sebab di malam yang sama saya sudah memiliki janji dengan saudara: Kangmas Gathak dan Dhimas Gathuk,untuk membahas mengenai keberadaan mereka dalam dunia modern.
Gathak dan Gathuk suatu wacana mengenai ilmu pengetahuan yang tidak ter-teks-kan, akantetapi memberikan ruang lingkup yang cukup banyak. Dua unsur kehidupan yang diproduksi oleh masyarakat Jawa ini sarat akan nilai, yang kalau dalam pandangan Husserl disebut sebagai “dunia kehidupan” masyarakat Jawa. Gathak dan Gathuk adalah dua unsur berbeda yang menjadi satu dan sekaligus utuh serta menyeluruh (holistik). Tidak boleh dipisahkan satu sama lain, karena dengan meng-gathak menjadi gathuk (sesuai). Hal yanng terkesan remeh dan tidak memiliki suatu sistem ilmiah. Tapi masak iya seperti itu? sekarang kita lihat, bahwa di dalam berbagai ilmu sosial (filsafat) faktor utama apa yang menjadi pijakan? Kalau menurut saya, faktor tersebut adalah pengalaman manusia.
Aspek pengalaman sebagai bahan dasar dari ilmu pengetahuan. Paradigma Fenomenologi mengkhususkan diri untuk menjadikan pengalaman sebagai bahan kajian utama, begitu juga dengan paradigma ilmu pengetahuan lain yang berangkat dari pengalaman.
Bagi saya, Gathak dan Gathuk adalah bagian dari ilmu sosial kita (masyarakat Jawa secara khusus), yang memiliki nilai keilmiahan tersendiri. Hanya saja teks yang menguatkan keilmiahan Gathak dan Gathuk, saya belum ditakdirkan untuk menemukan teks tersebut. Marilah kita berusaha menilik dari landasan berikut: Ketika ilmu pengetahuan, khususnya Fenomenologi, mendasarkan kajian analisis pada pengalaman manusia, hal ini juga dapat kita temukan dalam paradigma Gathak-Gathuk. Pengalaman yang digunakan paradigma gathak dan Gathuk untuk menjelaskan suatu kejadian (bahasa ilmiahnya: fenomena) adalah dengan memanfaatkan kajian “(ilmu)titen”. Istilah ini dari bahasa Jawa yang merujuk pada tindakan untuk mengingat atau memberikan tanda (sebagai pengalaman) atas suatu pengalaman manusia. Gathak dan Gathuk membuat kesimpulan dengan berdasarkan pengalaman terdahulu.
Paradigma Gathak dan Gathuk sebagai ilmu Fenomenologi Jawa. Ilmu asli manusia Jawa yang juga berkembang pesat di Barat dengan istilah lain. Antara Fenomenologi dan Gathak-Gathuk, sejauh pengamatan saya sampai hari ini hanya memiliki perbedaan istilah, namun keduanya memiliki esensi yang sama: Pengalaman dunia kehidupan. Bukankah Fenomenologi sebagai pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) atau berdasarkan pendapat Husserl bahwa fenomenologi sebagai studi mengenai kesadaran dari perpektif pokok dari seseorang. Sekarang kita mencoba membandingkan dengan paradigma Gathak-Gathuk, bahwa “(ilmu)titen” atau mengingat adalah sebagai buah dari pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) dan kerja Gathak-Gathuk sebagai studi kesadaran di dalam menterjemahkan (atau memaknai) suatu fenomena.
Dapat saya pastikan, bahwa dari publik yang membaca ini akan mengatakan: Gathak-Gathuk itu tidak empiris. Memang akan terlihat tidak empiris bagi masyarakat yang tidak mengerti dengan proses kerjanya, akantetapi Fenomenologi pun menentang apa yang dinamakan sebagai empirisme. Fenomenologi hanya mendeskripsikan dunia setiap orang, juga mengenai sumber yang “tidak-disadari” yang mengorganisasikan kesadaran. Untuk lebih jauh lagi pembasahan mengenai paradigma Gathak-Gathuk akan saya uraikan dalam “JURNAL PEMBACA” Indonesia, yang semoga saja dapat terbit di awal April 2011 ini.
Kegelisahan itu yang menjadikan saya tega (ditambahi dengan beberapa alasan lain) untuk membiarkan kawan saya (Nurel Javissyarqi) untuk naik ojek. Baru tadi siang saya bisa mengusahakan untuk pergi, meski sepeda motor yang saya pakai sempat mogok berkali-kali. Pertemuan saya dengan Cak Nurel, sembari makan soto yang ternyata mahal, kami berbincang ngalor kemudian pergi ngidul (untuk ngalor dan ngidul lagi). Pembicaraan biasa, masalah lelaki, namun yang karena suatu tekatnya (niat baiknya) membawa pembicaraan itu ke masalah Kritik Sastra. Dari perbincangan beberapa menit, saya menemukan hal baru, mengenai keberadaan sastrawan dan kritikus sastra dan jarak diantara keduanya. Sketsa pembatas yang tidak dimengerti, kenapa harus ada diantara keduanya yang membuat dua hal ini berjarak dan terkesan “tidak-cocok”? Tapi jarak itu masih samar mengingat pandangan yang masih juga terhalangi.
Kritikus sastra terkesan elitis dengan berbagai titel dan jabatan yang mereka genggam, yang mungkin juga karena berbagai pengetahuan yang sudah direguk habis dalam studi panjang yang tidak murah. Sikap elitis itu, karena mereka sudah mendapatkan sebutan “kritikus sastra”, dapat saya pahami. Berdasarkan pengalaman semasa kuliah ketika menemukan fenomena “unik”. Yaitu ketika seorang kawan yang sedang menulis tugas akhir, kawan saya ini lupa menuliskan gelar S3 dosen pembimbingnya, yang karena memang baru saja lulus. Langsung saja si dosen yang sangat ilmiah ini tidak mau mengoreksi lantaran gelar yang besar itu tidak mengiringi nama panjangnya dan bilang: Saya kuliah untuk gelar ini perlu perjuangan yang tidak gratis. Fenomena yang memberikan saya bahan untuk melucu sembari menghabiskan Klembak-Menyan di warung kopi: ternyata seperti itu, gumam saya.
Kritikus yang elitis dengan menyandang gelar profesor, mungkin saja sudah merasa memiliki penguasaan ilmu yang tinggi. Menjadikan mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperhatikan gelisahan-gelisahan sastrawan dan juga kritikus sastra yang masih berumur 26 tahun dan bergelar S.S. (yang kata orang disebut sebagai: Sarjana Sudjana).
Ke-elitis-an seorang kritikus, mungkin disebabkan beberapa faktor lain. Misalnya saja, ketika ada sastrawan yang tiba-tiba mengajak berkomunikasi langsung mendapat dakwaan bahwa ada udang di balik batu (meski kadang di balik batu juga ada cacing). Maksud saya sebagai keinginan lain, untuk diangkat namanya melalui kegiatan Kritik Sastra sehingga si sastrawan menjadi populer (toh akhirnya “pop” juga) dan tercatat ke dalam buku besar sejarah sastra. Eh, tapi tenang saja, kelau semisal M.D. Atmaja berusaha membangun komunikasi itu hanya disebabkan faktor untuk mereguk tetesan embun sebagai saripati malam. Tidak lebih dari itu, sebab tidak mempermasalahkan akan tercatat ke dalam sejarah sastra yang super buram itu. Hal yang paling penting bagi seorang M.D. Atmaja adalah tercatat di dalam hati manusia. Jailah, saya langsung teringat dengan puisi Jalaluddin Rumi: “Kalau kita mati jangan mencari nisan di bumi, dapatkan itu dalam hati manusia.”
Akantetapi mungkin juga jarak diantara kritikus dengan sastrawan disebabkan dari sisi sastrawan itu sendiri. Maklum saja, sebagai seorang pemanifestasi saripati dunia, sastrawan terkadang bersifat “unik” (terjemahkan saja menurut interpretasi setiap kita). Atau memang barangkali musti ada jarak diantara mereka? Biarlah ini menjadi bahasan lain di lain kesempatan.
Dalam pembicaraan dengan Cak Nurel saya juga mendapatkan teguran, bahwa menurut beliau saya banyak menggunakan pengulangan yang tidak berarti apa-apa. Lha, langsung saja saya bantah dengan berstatmen kalau pengulangan-pengulangan itu sebagai teknik penyampaian pesan. Terkadang dengan pengulangan itu saja, kita masih jarang untuk mengerti akan pesan yang tertuang dalam sebuah karya, pesan atas sebuah pertanda. Kalau membicarakan pesan di dalam tanda, ujung-ujungnya saya akan membicarakan masalah Gathak dan Gathuk lagi, karena itu lebih baik kalau hal ini dikesampingkan lebih dahulu.
Kita langsung saja merujuk pada contoh: Televisi yang seringkali kita tunggui, berapa kali melakukan pengulangan iklan sampai menghabiskan biaya ber-M-M bahkan lebih (ber-M-M membuat saya teringat dengan cerita para pengikut Nabi yang merayakan ultah nama kumpulan dan menghabiskan ber-M-M itu, padahal Nabi berpesan: Hidup dengan sederhana).
Pengulangan adalah teknik penulisan dalam rangka menyampaikan pesan. Lha, pesan yang disiarkan lima kali dalam sehari masih nampak menjadi pesan (seruan) yang tidak sampai, apalagi kalau disampaikan sekali juga dengan bahasa yang rumit?
Semua ini, hanya tentang diri saya sendiri.
Sampai tiba waktunya saya beranjak pulang, Cak Nurel membingkisi dengan dua hal. Salah satunya 2 eksemplar buku yang baru selesai dicetak sebagai bingkisan manis dari Penerbit Pustaka Pujangga. Buku kumpulan cerpen yang juga mendapatkan dukungan (kata-kata) dari beberapa orang terkenal (masak seperti Pilpres, perlu dukungan?) Dalam kumpulan cerpen itu, baru saya ketahui kalau di dalamnya karya-karya lama yang sudah lama dan tercecer di mana-mana. Oh,.
Tulisan mengenai kumpulan cerpen itu akan saya teruskan besok. Malam sudah larut. A.R. Fadlurrahman juga sudah lelap setelah menangis karena lapar. Maklum, anak kecil suka menangis kalau lapar sebab belum bisa mengatakan: Pak, inyong kencot. Menangis seperti manusia dewasa di saat-saat tertentu. Ketakutan pada lapar yang akhirnya menggadaikan diri (identitas dan esensi) demi bisa makan dengan lezat dan mewah. Hanya makan saja lho, belum yang lainnya lagi. Bahkan mereka, ada yang sampai korupsi, bahkan mereka yang sudah “haji” dan mengatas-namakan pengikut Nabi.
Saya akhiri tulisan ini karena sudah waktunya untuk mengisi malam dengan perjalanan yang lain. Semoga bermanfaat. Amin.
Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Kamis Wage – malam Jumat Kliwon, 13 Maret 2011.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar