Senin, 21 Maret 2011

Mendialogkan Keberadaan Gathak dan Gathuk

M.D. Atmaja
http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/

Keresahan itu selayaknya kawan mesra yang kedatangannya tanpa harus kita rindukan, juga seringkali datang tanpa terlebih dahulu membuat janji. Resah yang memang terlahir dari keinginan diri – yang dalam bahasa kerennya: mimpi – yang belum sempat tergapai. Berangkat dari keinginan ini, manusia dapat dikatakan memiliki sifat hidup. Akantetapi, tidak lantas kita langsung menterjemahkan kalau “keinginan” itu memiliki arti mengenai “hidup”, sebab hal tersebut tidak ada di dalam kamus, dan masyarakat Jawa lebih senang dalam “sepi ing pamrih” serta untuk “mati selagi hidup dan hidup selagi mati”.
Melepaskan paradigma hidup manusia Jawa yang super rumit, bahwa keinginan sebagai pendorong bagi manusia untuk bergerak di atas dunia. Bergerak untuk mengisi perjalanan waktu dengan sesuatu (kegiatan) yang dapat membawa pada pencapaian mimpi, yang akhirnya akan membawa kita pada mimpi(-mimpi) yang lain. Kita sama-sama menyadari jikalau salah satu watak manusia yang teramat menonjol adalah ketidak-puasan.

Pembentuk dari watak manusia ini oleh keinginannya sendiri yang terkadang teramat sederhana: Hanya menjadi Bupati, meskipun itu adalah Bupati Kethoprak. Manusia yang jauh dari kepuasan, tidak menunjukkan suatu sifat buruk. Jikalau saja manusia melepaskan segala keinginannya, maka manusia tidak akan hidup lagi. Pohon, bebatuan juga memiliki keinginan (dan hanya sebangsa mereka saja yang tahu keseluruhannya).

Hari ini terasa lebih melelahkan setelah beberapa saat berkutat dalam perselingkuhan dengan teknologi. Sampai seorang kawan dari Lamongan menginjakkan kakinya di Yogyakarta, singgah ke kantor cerpenis teguh Winarso AS. Sebenarnya sudah dari tadi malam (Rabu 16 Maret 2011) kawan saya dari Lamongan itu datang. Tapi sayang, saya tidak bisa beranjak dari meja kerja untuk menyambut sebab di malam yang sama saya sudah memiliki janji dengan saudara: Kangmas Gathak dan Dhimas Gathuk,untuk membahas mengenai keberadaan mereka dalam dunia modern.

Gathak dan Gathuk suatu wacana mengenai ilmu pengetahuan yang tidak ter-teks-kan, akantetapi memberikan ruang lingkup yang cukup banyak. Dua unsur kehidupan yang diproduksi oleh masyarakat Jawa ini sarat akan nilai, yang kalau dalam pandangan Husserl disebut sebagai “dunia kehidupan” masyarakat Jawa. Gathak dan Gathuk adalah dua unsur berbeda yang menjadi satu dan sekaligus utuh serta menyeluruh (holistik). Tidak boleh dipisahkan satu sama lain, karena dengan meng-gathak menjadi gathuk (sesuai). Hal yanng terkesan remeh dan tidak memiliki suatu sistem ilmiah. Tapi masak iya seperti itu? sekarang kita lihat, bahwa di dalam berbagai ilmu sosial (filsafat) faktor utama apa yang menjadi pijakan? Kalau menurut saya, faktor tersebut adalah pengalaman manusia.

Aspek pengalaman sebagai bahan dasar dari ilmu pengetahuan. Paradigma Fenomenologi mengkhususkan diri untuk menjadikan pengalaman sebagai bahan kajian utama, begitu juga dengan paradigma ilmu pengetahuan lain yang berangkat dari pengalaman.

Bagi saya, Gathak dan Gathuk adalah bagian dari ilmu sosial kita (masyarakat Jawa secara khusus), yang memiliki nilai keilmiahan tersendiri. Hanya saja teks yang menguatkan keilmiahan Gathak dan Gathuk, saya belum ditakdirkan untuk menemukan teks tersebut. Marilah kita berusaha menilik dari landasan berikut: Ketika ilmu pengetahuan, khususnya Fenomenologi, mendasarkan kajian analisis pada pengalaman manusia, hal ini juga dapat kita temukan dalam paradigma Gathak-Gathuk. Pengalaman yang digunakan paradigma gathak dan Gathuk untuk menjelaskan suatu kejadian (bahasa ilmiahnya: fenomena) adalah dengan memanfaatkan kajian “(ilmu)titen”. Istilah ini dari bahasa Jawa yang merujuk pada tindakan untuk mengingat atau memberikan tanda (sebagai pengalaman) atas suatu pengalaman manusia. Gathak dan Gathuk membuat kesimpulan dengan berdasarkan pengalaman terdahulu.

Paradigma Gathak dan Gathuk sebagai ilmu Fenomenologi Jawa. Ilmu asli manusia Jawa yang juga berkembang pesat di Barat dengan istilah lain. Antara Fenomenologi dan Gathak-Gathuk, sejauh pengamatan saya sampai hari ini hanya memiliki perbedaan istilah, namun keduanya memiliki esensi yang sama: Pengalaman dunia kehidupan. Bukankah Fenomenologi sebagai pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) atau berdasarkan pendapat Husserl bahwa fenomenologi sebagai studi mengenai kesadaran dari perpektif pokok dari seseorang. Sekarang kita mencoba membandingkan dengan paradigma Gathak-Gathuk, bahwa “(ilmu)titen” atau mengingat adalah sebagai buah dari pengalaman subjektif (pengalaman fenomenologikal) dan kerja Gathak-Gathuk sebagai studi kesadaran di dalam menterjemahkan (atau memaknai) suatu fenomena.

Dapat saya pastikan, bahwa dari publik yang membaca ini akan mengatakan: Gathak-Gathuk itu tidak empiris. Memang akan terlihat tidak empiris bagi masyarakat yang tidak mengerti dengan proses kerjanya, akantetapi Fenomenologi pun menentang apa yang dinamakan sebagai empirisme. Fenomenologi hanya mendeskripsikan dunia setiap orang, juga mengenai sumber yang “tidak-disadari” yang mengorganisasikan kesadaran. Untuk lebih jauh lagi pembasahan mengenai paradigma Gathak-Gathuk akan saya uraikan dalam “JURNAL PEMBACA” Indonesia, yang semoga saja dapat terbit di awal April 2011 ini.

Kegelisahan itu yang menjadikan saya tega (ditambahi dengan beberapa alasan lain) untuk membiarkan kawan saya (Nurel Javissyarqi) untuk naik ojek. Baru tadi siang saya bisa mengusahakan untuk pergi, meski sepeda motor yang saya pakai sempat mogok berkali-kali. Pertemuan saya dengan Cak Nurel, sembari makan soto yang ternyata mahal, kami berbincang ngalor kemudian pergi ngidul (untuk ngalor dan ngidul lagi). Pembicaraan biasa, masalah lelaki, namun yang karena suatu tekatnya (niat baiknya) membawa pembicaraan itu ke masalah Kritik Sastra. Dari perbincangan beberapa menit, saya menemukan hal baru, mengenai keberadaan sastrawan dan kritikus sastra dan jarak diantara keduanya. Sketsa pembatas yang tidak dimengerti, kenapa harus ada diantara keduanya yang membuat dua hal ini berjarak dan terkesan “tidak-cocok”? Tapi jarak itu masih samar mengingat pandangan yang masih juga terhalangi.

Kritikus sastra terkesan elitis dengan berbagai titel dan jabatan yang mereka genggam, yang mungkin juga karena berbagai pengetahuan yang sudah direguk habis dalam studi panjang yang tidak murah. Sikap elitis itu, karena mereka sudah mendapatkan sebutan “kritikus sastra”, dapat saya pahami. Berdasarkan pengalaman semasa kuliah ketika menemukan fenomena “unik”. Yaitu ketika seorang kawan yang sedang menulis tugas akhir, kawan saya ini lupa menuliskan gelar S3 dosen pembimbingnya, yang karena memang baru saja lulus. Langsung saja si dosen yang sangat ilmiah ini tidak mau mengoreksi lantaran gelar yang besar itu tidak mengiringi nama panjangnya dan bilang: Saya kuliah untuk gelar ini perlu perjuangan yang tidak gratis. Fenomena yang memberikan saya bahan untuk melucu sembari menghabiskan Klembak-Menyan di warung kopi: ternyata seperti itu, gumam saya.

Kritikus yang elitis dengan menyandang gelar profesor, mungkin saja sudah merasa memiliki penguasaan ilmu yang tinggi. Menjadikan mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperhatikan gelisahan-gelisahan sastrawan dan juga kritikus sastra yang masih berumur 26 tahun dan bergelar S.S. (yang kata orang disebut sebagai: Sarjana Sudjana).

Ke-elitis-an seorang kritikus, mungkin disebabkan beberapa faktor lain. Misalnya saja, ketika ada sastrawan yang tiba-tiba mengajak berkomunikasi langsung mendapat dakwaan bahwa ada udang di balik batu (meski kadang di balik batu juga ada cacing). Maksud saya sebagai keinginan lain, untuk diangkat namanya melalui kegiatan Kritik Sastra sehingga si sastrawan menjadi populer (toh akhirnya “pop” juga) dan tercatat ke dalam buku besar sejarah sastra. Eh, tapi tenang saja, kelau semisal M.D. Atmaja berusaha membangun komunikasi itu hanya disebabkan faktor untuk mereguk tetesan embun sebagai saripati malam. Tidak lebih dari itu, sebab tidak mempermasalahkan akan tercatat ke dalam sejarah sastra yang super buram itu. Hal yang paling penting bagi seorang M.D. Atmaja adalah tercatat di dalam hati manusia. Jailah, saya langsung teringat dengan puisi Jalaluddin Rumi: “Kalau kita mati jangan mencari nisan di bumi, dapatkan itu dalam hati manusia.”

Akantetapi mungkin juga jarak diantara kritikus dengan sastrawan disebabkan dari sisi sastrawan itu sendiri. Maklum saja, sebagai seorang pemanifestasi saripati dunia, sastrawan terkadang bersifat “unik” (terjemahkan saja menurut interpretasi setiap kita). Atau memang barangkali musti ada jarak diantara mereka? Biarlah ini menjadi bahasan lain di lain kesempatan.

Dalam pembicaraan dengan Cak Nurel saya juga mendapatkan teguran, bahwa menurut beliau saya banyak menggunakan pengulangan yang tidak berarti apa-apa. Lha, langsung saja saya bantah dengan berstatmen kalau pengulangan-pengulangan itu sebagai teknik penyampaian pesan. Terkadang dengan pengulangan itu saja, kita masih jarang untuk mengerti akan pesan yang tertuang dalam sebuah karya, pesan atas sebuah pertanda. Kalau membicarakan pesan di dalam tanda, ujung-ujungnya saya akan membicarakan masalah Gathak dan Gathuk lagi, karena itu lebih baik kalau hal ini dikesampingkan lebih dahulu.

Kita langsung saja merujuk pada contoh: Televisi yang seringkali kita tunggui, berapa kali melakukan pengulangan iklan sampai menghabiskan biaya ber-M-M bahkan lebih (ber-M-M membuat saya teringat dengan cerita para pengikut Nabi yang merayakan ultah nama kumpulan dan menghabiskan ber-M-M itu, padahal Nabi berpesan: Hidup dengan sederhana).

Pengulangan adalah teknik penulisan dalam rangka menyampaikan pesan. Lha, pesan yang disiarkan lima kali dalam sehari masih nampak menjadi pesan (seruan) yang tidak sampai, apalagi kalau disampaikan sekali juga dengan bahasa yang rumit?

Semua ini, hanya tentang diri saya sendiri.

Sampai tiba waktunya saya beranjak pulang, Cak Nurel membingkisi dengan dua hal. Salah satunya 2 eksemplar buku yang baru selesai dicetak sebagai bingkisan manis dari Penerbit Pustaka Pujangga. Buku kumpulan cerpen yang juga mendapatkan dukungan (kata-kata) dari beberapa orang terkenal (masak seperti Pilpres, perlu dukungan?) Dalam kumpulan cerpen itu, baru saya ketahui kalau di dalamnya karya-karya lama yang sudah lama dan tercecer di mana-mana. Oh,.

Tulisan mengenai kumpulan cerpen itu akan saya teruskan besok. Malam sudah larut. A.R. Fadlurrahman juga sudah lelap setelah menangis karena lapar. Maklum, anak kecil suka menangis kalau lapar sebab belum bisa mengatakan: Pak, inyong kencot. Menangis seperti manusia dewasa di saat-saat tertentu. Ketakutan pada lapar yang akhirnya menggadaikan diri (identitas dan esensi) demi bisa makan dengan lezat dan mewah. Hanya makan saja lho, belum yang lainnya lagi. Bahkan mereka, ada yang sampai korupsi, bahkan mereka yang sudah “haji” dan mengatas-namakan pengikut Nabi.

Saya akhiri tulisan ini karena sudah waktunya untuk mengisi malam dengan perjalanan yang lain. Semoga bermanfaat. Amin.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Kamis Wage – malam Jumat Kliwon, 13 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati