BS Mardiatmadja
Kompas, 19 Maret 2011
SANGAT menarik bahwa pada akhir Februari 1933 Ki Hadjar Dewantara sudah menulis tentang teroris dalam majalah Pusara. Waktu itu ia mengajak negara agar sesegera dan setegas mungkin mencegah perbuatan teror.
Tindakan teror ia temukan dalam orang yang merusak milik orang lain dan merasa lebih dicintai pemimpin negara karena terornya kepada orang lain tak dihukum sewajarnya.
Ketika Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa (19 Desember 1956), Prof Sardjito memuji keberaniannya melawan Pemerintah Belanda dengan tulisannya, ”Als ik een Nederlander was”: menghadapi perbedaan paham-paham dengan argumentasi, bukan dengan kekerasan.
Tak takut akan teror
Selanjutnya, Sardjito menunjukkan tekad Ki Hadjar untuk tak hanya menulis dan bicara, tetapi juga segera bekerja keras membangun Tamansiswa. Dalam pidato sambutannya, Ki Hadjar menunjukkan tak takut akan teror dan melontarkan kritik keras lagi terhadap pendidikan Belanda. Namun, dia mengatakan juga agar kita tak ikut memperbesar teror atau ketakutan di kalangan rakyat.
Selanjutnya, ia menolak membalas teror dengan teror dengan justru mengatakan, ”Jangan sampai anak-anak Belanda di antara kita tidak mendapat pengajaran dan pendidikan. Kita harus bersama-sama mencari kebenaran.”
Kedua cendekiawan nasionalis ini menolak memencilkan lawan politik dan musuh militer. Mereka malah membuka peluang agar terus-menerus berbagi kemerdekaan dan bersama mencari kebenaran hidup. Betapa mereka itu berbeda dengan sejumlah pembesar negara saat ini: mau membungkam lawan politik atau orang yang berbeda keyakinan atau agama dengan membekukan aliran atau meminggirkan pihak lawan.
Rupanya bagi Sardjito dan Ki Hadjar, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat membuka kesempatan hidup bersama bagi orang yang bermusuhan, beda pendapat, dan lain keyakinan. Mere- ka tidak melawan teror dengan teror, tak mau pula membiarkan teror menghantui rakyat. Mereka melawan teror tidak dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi, dan memfasilitasi rakyat membuka komunikasi. Itu terjadi puluhan tahun silam saat republik ini hampir lahir dan sesudahnya ketika Indonesia masih muda.
Dalam suatu pertemuan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini, Prof Musdah Mulia mengkritik orang-orang yang katanya atas dasar agama melakukan kekerasan, tak hanya dengan menghancurkan milik orang lain, juga dengan menciptakan aturan dan perda yang memerkosa hak asasi rakyat kecil dan minoritas. Pada kesempatan lain, Komnas HAM prihatin dengan kurangnya usaha pejabat tertentu memfasilitasi komunikasi antar-rakyat, malah memberi contoh bahwa mereka tak mampu berkomunikasi serta takut kritik. Di Wahid Institute, belum lama ini terdengar seruan, cukup banyak pemikir dan pemerhati masyarakat menyesalkan pejabat yang memberi kesan takut kepada perusuh dan malah merangkul orang-orang yang membuat teror bagi orang lain.
Lalu, terciptalah teror-teror baru berupa perda-perda yang membuat orang ngeri karena perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan sudah dikriminalkan. Dalam banyak diskusi dirasakan seakan-akan mubazirlah inisiatif Habibie membuka iklim terbuka di dunia politik kita dan terlupakanlah upaya Gus Dur menciptakan persaudaraan ketika memimpin negara ini.
Ada kesan kuat pemimpin negara dan aparatnya tak jelas-jelas melindungi korban keganasan fisik, malah mengalah terhadap teror mental sekelompok kecil orang dalam suatu republik yang oleh Obama dikatakan sebagai teladan toleransi ketika berkunjung di UI, Depok.
Kehilangan orientasi
Agaknya banyak bagian bangsa ini kehilangan orientasi dalam bernegara dan menyelesaikan perbedaan paham. Banyak hal mau ditutupi dengan koalisi sementara yang sangat beraroma kepentingan politis jangka pendek dan bukannya diarahkan oleh prinsip bernegara yang teguh dan berjangka panjang. Dilupakan bahwa kita punya Pancasila yang deretan sila-silanya bermuara pada keadilan sosial.
Keadilan sosial justru mau menguatkan keadilan legal (yang kerap lumpuh seperti di Indonesia saat ini), keadilan distributif (yang dirusak oleh monopoli dagang dan perekonomian yang orientasinya ke modal besar), dan keadilan komutatif (yang terbukti hanya memenangkan mereka yang kuat secara fisik, ekonomis, ataupun politis). Sebab, dalam keadilan sosial diupayakan agar kelompok atau komunitas kecil(-kecil) tetap terlindungi di tengah keganasan rebutan kuasa dan kejayaan.
Bila diskusi sekitar Agustus 1945 dicermati benar-benar, dialognya tidaklah mengenai agama, tetapi mengenai persaudaraan di antara siapa pun yang mau menjadi bagian republik muda ini.
Sekian banyak perundingan ditujukan untuk merangkul siapa pun yang mau bergabung dengan para inisiator proklamasi kemerdekaan. Tak satu pun kelompok—sekecil apa pun—yang tak difasilitasi untuk bergabung. Di balik rumusan Bhinneka Tunggal Ika tersembunyi bukan sekadar strategi politik dan militer, melainkan juga sikap kemanusiaan mendalam. Itulah sebab dari kehadiran sila ”peri kemanusiaan” dalam rangkaian dengan ”persatuan bangsa Indonesia dan musyawarah”.
Ketika kemudian menjadi menteri yang mengurusi persekolahan demi pencerdasan anak-anak bangsa, Ki Hadjar ikut memastikan sekolah kecil tak hancur karena perubahan politik dan ekonomi. Juga sesudah tak lagi jadi menteri, ia memperjuangkan subsidi bagi sekolah kecil.
Dengan demikian, terdidiklah rakyat dan para pejabat agar berpendirian bahwa dalam negara ini siapa pun disambut dengan tangan terbuka untuk jadi warga negara dan diperlakukan setara dengan orang lain justru kalau kecil dan lemah.
Implikasinya harus tampak dalam UU, peraturan pemerintah, perda, dan penegakan keadilan. Aparat pemerintah tak pernah boleh gentar menghadapi kekerasan kelompok apa pun: membela si kecil yang diancam harta, apalagi nyawanya. Ada sesuatu yang amat diperlukan warga lemah: ketika makanan mahal, rumah rusak, lampu tak tersedia, keamanan rapuh, di situlah warga kecil mengorientasikan hidupnya kepada Tuhan.
Keyakinan atau agama yang tak dapat direduksikan pada upacara dan ajaran (yang memang terasa perlu saat tenang) adalah orientasi dasar manusia paling mendasar. Mukadimah UUD 1945 jelas memahami hal itu, tetapi tidak oleh sejumlah pejabat masa kini. Padahal, justru dalam hal itulah para pendiri negara kita berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh dunia, yang dalam PBB memaklumkan hak-hak asasi manusia.
Seyogianya negara kita tak dibuat terpencil dari pergaulan internasional karena perilaku dan cara kerja segelintir pejabat yang hanya akan punya waktu terbatas dalam mengabdi bangsa.
Ki Hadjar sudah mengajarkan orientasi bangsa yang jelas.
BS Mardiatmadja, Rohaniwan
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/03/belajar-dari-ki-hadjar.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar