Jumat, 11 Maret 2011

Pemerintah dan Seni

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Setelah masa reformasi, keadaan Indonesia porak-poranda. Ada perdebatan di antara para ahli, bagaimana membangun Indonesia kembali. Satu pihak mengatakan bahwa untuk membangun Indonesia yang baru dan satu, diperlukan stabilitas politik. Pihak lain membantah, mereka mengemukakan bukan stabilitas politik, tetapi stabilitas ekonomi yang mesti didahulukan.

Tak ada kesimpulan atas perdebatan itu. Pembangunan Indonesia pun berjalan seret, bingung dan tetap masih dalam keadaan tersaruk-saruk sampai sekarang. Yang jelas adalah bahwa “budaya” sama sekali tidak diperhitungkan.

Padahal sudah begitu santer tuduhan bahwa salah satu musuh terbesar pembangunan Indonesia adalah korupsi yang sudah seperti “membudaya”. Sementara kemerosotan moral dan sindiran “bangsa tak beradab” muncul dari tetangga. Bagaimana tidak. Maling ayam bisa dibakar, mall diganguskan berikut pengunjungnya, manusia makan manusia seperti dalam film horror.

Kongres Kebudayaan yang bergegas dilakukan pada 2003 dengan maksud untuk memberikan masukan pada pemerintah dalam rangka ikut membangun Indonesia dari aspek moralnya, hanya menjadi peristiwa seremonial. Tujuh belas butir keputusan yang hendak memberikan arahan pada politik dan strategi kebudayaan, hanya berakhir sebagai sebuah dokumen – sebagaimana juga hasil-hasil Kongres Kebudayaan sebelumnya – sampai kemudian saat untuk menyelenggarakan Kongres Kebudayaan berikutnya (disepakati dalam Kongres 2003, 5 tahun sekali) sudah di depan mata lagi.

Seni sebagai bagian dari kebudayaan yang sebenarnya berharap akan mendapat kasih-sayang yang lebih baik berkat butir-butir keputusan Kongres Kebudayaan 2003, terpaksa menikmati nasibnya yang lama, menjadi anak tiri dalam pembangunan. Posisinya tetap sebagai penumpang gelap yang sekali tempo beruntung bisa bernafas kalau ada bola liar pada tutup tahun sisa anggaran. Selebihnya hanya menjadi pengemis yang berjuang sendiri untuk hidup. Beda sekali dengan kegiatan olahraga yang kendati prestasinya tak seberapa (bahkan sepakbola kalah melulu) tetap saja mendapat anggaran yang manis.

Padahal sudah jelas dibuktikan bahwa hidup tak hanya membutuhkan sandang-pangan dan papan. Dalam musibah tsunami di Nanggru, Aceh Darussalam, misalnya, kita lihat, sumbangan berlimpah dari seluruh dunia, tak segera melipur lara. Manusia tidak hanya memerlukan ganti harta-bendanya yang hilang. Yang lebih menyakitkan dan sulit disembuhkan adalah hati hampa oleh luka kehilangan sanak-saudara.. Itu sebabnya kemudian, sesudah membanjiri daerah bencana dengan berbagai sumbangan, maka kesenian pun mulai dikirim. Senilah yang dapat menyeimbangkan kembali rasa yang sudah terbelah oleh kehilangan yang tidak mungkin tergantikan itu.

Di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, banyak contoh bagaimana sial posisi seni. Bila ekonomi berkembang, maka jalanan menjadi macat. Motor berseliweran seperti kecoak. Mobil berbaris panjangnya melebihi panjang jalan. Pembangunan gedung bertingkat di mana-mana kesurupan. Gedung yang sebenarnya masih layak dipakai, dirobohkan. Peninggalan sejarah pun tak urung diratakan dengan tanah, agar bisa memuaskan nafsu manusia untuk membangun proyek.

Sementara tempat-tempat publik, diabaikan. Gedung kesenian sama sekali tidak diupayakan. Indonesia yang lebarnya sama dengan daratan Amerika dan penduduknya masik kelompok besar dunia, sumber daya alamnya pun konon hebat, ternyata hanya punya satu gedung kesenian yang layak. GKJ di wilayah Pasar Baru, Jakarta. Itu pun warisan Belanda yang dulu sempat diacak-acak dijadikan gedung bioskop dan hanya karena keajaiban tidak punah oleh kegarangan membangun.

Begitu banyak hasil-hasil kesenian dan kerajinan Indonesia yang pantas dipajang sebagai pelajaran di museum, tetapi begitu sedikit museum yang ada. Hampir semua museum sepi bagai rumah hantu. Pengunjungnya paling banter peneliti-peneliti asing, turis mancanegara dan murid-murid sekolah yang dipaksa melakukan study tour oleh sekolahnya. Penghargaan terhadap seni, begitu kurang, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

Mengeluh tentang kurangnya penghargaan pemerintah dan masyarakat pada seni, sebenarnya sudah tidak penting lagi, sebab nasib kesenian di negeri ini memang begitu. Memang ada Departemen Kebudayaan tetapi digandeng oleh Departemen Pendidikan dan sekarang oleh Departemen Pariwisata. Akibatnya hanya jadi bayang-bayang kelabu. Tak heran kalau di masa pemerintrahan Gus Dur departemen kebudayaan (seperti juga departemen penerangan dan sosial) dibunuh.

Namun pembasmian itu ada baiknya. Daripada ada tetapi tiada, lebih baik sama sekali tak ada, tetapi ada. Artinya: justru dengan tak adanya departemen kebudayaan, kebudayaan dengan sendirinya masuk ke seluruh departemen dengan bebas dan galak. Seluruh departemen dengan tak ragu-ragu akan “membudaya” tanpa perlu merasa mencampuri dapur departemen lain (kebudayaan). Hal itu terjadi karena kehidupan bernegara mustahil lepas dari seni-budaya.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa kendati perhatian pada kebudayaan/kesenian secara formal begitu “brengseknya”, toh pemerintah sejak dulu terus mengirim missi-missi kebudayaan sebagai bagian dari diplomasi publik. Sementara dunia pariwisata yang makin lama semakin menjadi putra mahkota perebut divisa dari kelom pok non migas, dengan lantang sudah mengobarkan semboyan: “pariwisata budaya”. Kepariwisataan yang terang-terang hendak “menjual” budaya – maksudnya “seni tradisi”.

Walhasil, kendati pemerintah dan masyarakat nampak tak peduli pada kesenian, tetapi pada prakteknya seni dimanfaatkan untuk mengenalkan Indonesia ke forum internasional. Khususnya seni tradisi. Dan berhasil. Jadi kendati didudukkan sebagai “obyek”, dana sudah mengucur dan seni tradisi pun hidup sehat dan segar, walau tak membuat perorangan menjadi kaya-raya (seperti dalam seni modern). Maka semua kesenian akan lebih terlindungi secara proyek bila dikatagorikan seni tradisi atau seni wilayah, karena dia akan mudah mendapat santunan dana.

Seni modern pun mulai diam-diam membonceng. Tak jarang dengan “memperalat” pengembangan atau pelestarian seni tradisi ( kolaborasi, inter aksi, kreasi baru) seni modern mencuri santunan. Dan itu dimaklumi. Artinya, secara diam-diam pengembangan seni modern juga didukung oleh pemerintah, asal memakai tameng seni tradisi. Betul, itu akal-akalan, tapi hasilnya konkrit.

Maka kita pun sampai pada kata-kata “puncak-puncak kesenian daerah adalah kesenian nasional”. Dalam pengertian itu, sebenarnya banyak hal yang bisa disimpulkan. Apa sebenarnya yang dinamakan puncak? Ukuran puncaknya apa? Sangat tak jelas. Apa itu berarti yang terbaik, atau termasuk terbaik, atau cukup karena mampu bertahan dengan baik sepanjang masa?

Puncak pohon kelapa (yang sudah berbuah) paling tidak tingginya beberapa meter. Tapi untuk rumput, yang namanya puncak cukup beberapa centimeter saja. Puncak tidak hanya satu, bisa banyak. Apa salahnya untuk menganggap kesenian yang asal mampu bertahan hidup sepanjang zaman, sebagai puncak?

Apakah puncak kesenian Sumatra Barat itu hanya saluang, randai, serampang dua belas saja – untuk menyebutkan beberapa sebagai misal. Atau semua tarian Minang yang bertahan adalah puncak dan karenanya juga adalah tarian nasional alias tarian Indonesia. Dengan kata lain, semua kesenian daerah (baca: tradisi) dalah kesenian nasional alias kesenian Indonesia . Dengan kata tradisi – seperti kita bentangkan di atas – seni adalah aset untuk menjaring devisa dan karenanya akan mendapat jaminan santunan. Inilah kesempatan emas bagi kesenian Indonesia modern kemudian untuk melakukan pencurian yang diam-diam direstui, walau pun pemerintah tak peduli (pura-pura) pada kesenian.

Pada tahun 1991 saya dikejutkan oleh komentar Toshi Tsuchitori (pimpinan musik pementasan Mahabharata Peter Brook). “Kami di Jepang harus belajar dari kalian di Indonesiam bagaimana memeliharan tradisi, ‘”katanya. “Di Jepang tradisi dipelihara dengan begitu kakunya, sehingga anak-anak muda gerah lalu menolak, lalu mengganti kiblat dengan Amerika. Tapi pada kalian di Indonsia, seni tradisi dan seni modern/kontemporetr begitu mesra berjalan bersama.”

Pada 1995 dalam pertemuan Teater di Solo. Katsura-Khan, penari butho anggota Byakhosa, juga memberikan komentar yang senada. Melihat pertunjukan teater berbahasa Jawa yang digelar secara terbuka di Taman Budaya dengan pengunjung membludak, dia berdecak kagum di depan saya. “Ini yang membuat aku iri. Yang begini tidak ada di jepang,”katanya.

Kedua komentar itu benar-benar sudah menjungkir balik cara saya melihat kenyataan “rawan” di Indonesia. Kurang mesranya cinta “pemerintah-penguasa-masyarakat” pada seni (baca budaya) justru telah membuat kesenian di Indonesia menjadi garang dan berdarah. Itulah yang sudah mematangkan Indonesia menghasilkan orang-orang seperti Rendra, Sardono, Sutardji, Arifin, Chairil, Pramudya, Amir Hamzah, Slamet Syukur, Goenawan, Afandi, Huriah Adam, Gusmiati Suid, Ki Narto Sabdo, Oesman Effendi dll.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati