Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
KATA “miskin” dalam dunia seni teater (di Indonesia), bukanlah sesuatu yang baru, sebagaimana juga kata “miskin” untuk Indonesia sebagai sebuah bangsa. Ia seolah bersebati, tak hendak pergi.
Seolah telah menjadi sebuah identitas. Meski telah sejak lama pula ihwal kemiskinan dalam teater ini dirisaukan, dibincangkan, dicari cara pengentasannya, tetap saja, hingga kini pada kenyataannya teater masih miskin: miskin aktor, miskin sutradara, miskin kritikus, miskin penulis naskah, miskin penata artistik, miskin sarana-prasarana, miskin wacana, miskin gagasan-gagasan baru, dan sekaligus para pekerja teaternya pun miskin secara ekonomis.
Memang, kita tak serta merta dapat menutup mata bahwa ada pasang-surut dalam proses perjalanan sejarah teater (modern) Indonesia. Ada ketika demikian bergairah individu-individu pekerja teaternya, baik dalam penciptaan naskah lakon maupun dalam menggali potensi keaktoran (juga penyutradaraan) dengan memainkan naskah-naskah realisme (Barat). Kemunculan naskah berbahasa Melayu, “Lelakon Raden Beij Soerio Retno” yang ditulis F. Wiggers di awal abad IX misalnya —yang juga dapat menandai sejarah awal “realisme” masuk ke Indonesia— dapat memulai pencatatan tersebut. Nama-nama seperti Sanusi Pane, juga setelahnya Usmar Ismail dan Asrul Sani yang mendirikan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), tak dapat dilepas dari bagaimana proses generasi-generasi berikutnya lahir di antaranya Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Di Bandung, ada Suyatna Anirun dan Jim Adhilimas dengan kelompok STB-nya.
Pada priode berikutnya (tahun 1970-an) mungkin bolehlah kita bersepakat dengan Jakob Sumardjo yang menyebutnya sebagai “Zaman Emas Kedua Teater Indonesia.” Ada beberapa alasan yang mendasari Jakob. Di antaranya suasana berkreasi lebih bebas dari tekanan dan ketakutan politik, lalu iklim kondusif Taman Ismail Marzuki yang difokuskan sebagai Center of Excellence kesenian, selain peran pemerintah (khususnya DKI Jakarta yang waktu itu Gubernurnya Ali Sadikin) yang menyantuni kesenian dengan prinsip patronse. Hemat saya, alasannya mungkin bisa ditambah, karena di masa itu juga penulisan naskah drama demikian bergairah.
Proses pasang-naik semacam itu, bisa jadi juga terkait dengan euforia pekerja teaternya sendiri dalam merespon perkembangan awal teater modern di Indonesia. Meski kemudian, pada priode-priode setelahnya teater Indonesia memang mencatat sejumlah nama dan kelompok teater yang menonjol, dan cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan teater berikutnya. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Nano Riantiarno, Rahman Sabur, Dindon, adalah beberapa nama yang ikut menancapkan tonggak-tonggak itu. Saya kira, juga tidak terlalu benar, jika kita hanya melihat sejarah dari satu sisi saja, dari satu titik arah pergerakan saja. Saya cukup percaya, selain Jakarta, kota-kota lain turut memberi sumbangan bagi berjalannya dinamika konstelasi perteateran di Indonesia. Hanya saja, ruang ekspose mereka terbatas, sehingga kadang, kesan yang kerap timbul hanya Jakarta-lah sebagai pusat sejarah. Terlepas dari pertanyaan, “peristiwa (teater) yang seperti apakah yang layak masuk dalam buku sejarah?”
Ya, itu realitas sejarah singkat. Bukan berarti kemudian, masa-masa “kejayaan” semacam itu membuat infra-struktur teater kita menjadi kokoh, dan kemiskinan hilang di muka bumi. Justru, hemat saya, karena lemahnya infra-struktur itulah yang membuat teater Indonesia berjalan dalam kegamangan-kegamangan. Banyak persoalan yang terbengkalai begitu saja, baik dalam tataran wacana maupun realitas praksis. Selain tentu, cukup banyak faktor eksternal yang tak kunjung kondusif untuk membantu memberi ruang bagi tumbuh-kembangnya teater sebagai salah satu “kekuatan” yang menopang “rumah-rumah” kebudayaan kita.
Di Riau, saya tak terlalu berani untuk menakar seperti apa pergerakan teater modernnya di masa lalu. Meski secara lamat-lamat, masih sempat sampai ke generasi kini gaung nama Idrus Tintin misalnya, atau saya sempat menyaksikan pertunjukan garapan alm. Dasry Al Mubary di Yogyakarta dan Pekanbaru, serta beberapa sedikit nama dari yang lain. Saya kira, infra-strukur teater kita di Riau memang belum terbangun. Kalau pun pernah ada tonggak-tonggak itu, agaknya masih rumpang. Ketiadaan kritikus teater (atau lebih sederhana: juru bicara) sebagai salah satu pilar infra-struktur itu, adalah satu soal yang menyebabkan akses informasi ihwal pertumbuhan dan perkembangan teater (di) Riau tak dapat dengan mudah terdeteksi di masa kini. Maka kemiskinan itu menjadi niscaya. Belum lagi, pilar-pilar lain seperti pekerja teaternya sendiri, yang masih belum tangguh berhadapan dengan berbagai godaan (juga cibiran). Atau para apresian (penonton teater) yang masih harus terus dikelola untuk bisa menghadirkan rasa rindu dan dengan setia menyaksikan pertunjukan teater. Atau, pilar lain, gedung yang semegah Anjung Seni Idrus Tintin itu, kini kita hanya bisa melihatnya dengan rasa miris, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Gagah dalam Kemiskinan dan Grotowski
Tapi, baiklah. Itu bentangan problemnya. Tak kemudian optimisme menjadi letoi. Tak membuat pilihan berkesenian di panggung teater menjadi surut. Ada banyak kreativitas muncul justru ketika problem (kemiskinan) itu tak kunjung sirna. Saya jadi teringat petuah WS Rendra, yang sejak lama mencambuk para pekerja teater dengan lecutan, “kita harus gagah dalam kemiskinan.” Atau teringat pula saya bagaimana Putu Wijaya menggariskan konsep proses kreatif berteaternya dengan “berangkat dari apa yang ada.” Artinya, penyikapan terhadap kondisi teater yang miskin itu, adalah dengan melakukan berbagai penggalian konsep dan metode untuk dapat membangun kekuatan-kekuatan kreatif yang baru. Saya kira, di sini letaknya tantangan itu. Dan di sinilah pula saatnya si seniman menunjukkan ketangguhan dalam berkomitmen.
Lecutan Rendra dan konsep Putu Wijaya di atas, sesungguhnya sejalan dengan konsep “Teater Miskin” (Poor Theatre) yang diusung oleh seorang tokoh teater terkemuka dunia, Jerzy Grotowski. Jika Rendra “gagah dalam kemiskinan” dalam konteks proses kerja berteater secara mendasar yang terkait dalam berbagai infra-struktur, dan Putu lebih mengarah kepada proses kerja-kreatif seorang sutradara dan aktor, sementara Grotowski lebih mengembalikan “segalanya” pada kekuatan seorang aktor. Bersama kelompok Theatre Laboratory, Grotowski melakukan kerja-kerja eksperimental di bidang metode pelatihan aktor atau teknik akting.
Kerisauan Grotowski muncul terlebih ketika di saat itu kehadiran teknologi lewat media film dan televisi yang kemudian juga merambah ke dalam dunia teater, terutama melalui penataan cahaya, penataan musik, juga tata setting, justru menciptakan “kemegahan-kemegahan” artistik yang “berlebihan.” Sehingga, penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater—yang diyakininya sebagai “jantung teater”—tidak terjadi secara alami. Nah, Grotowski secara lantang menyebut, “inilah awal keruntuhan dunia teater.”
Maka melalui kerja-kerja riset artistik yang mendalam ia hendak merevitalisasi kaidah-kaidah dasar teater melalui kekuatan seorang aktor. Bahwa baginya, apa yang paling penting dalam sebuah peristiwa teater, dan yang membuat ia berbeda dengan menonton televisi, adalah “pertemuan” langsung antara aktor dan penonton. Ketika pertemuan ini terjadi, seorang aktor melalui media otot-otot wajah dan tubuhnya harus mampu menunjukkan ekspresi kemanusiaannya yang paling dalam. Artinya, bagi Grotowski, mestinya tak ada batas antara aktor sebagai individu dengan penonton yang kolektif. Maka di sanalah proses “pembentukan diri” keduanya terjadi. Penonton dapat menyerap “pesan” aktor dengan baik, dan aktor adalah cermin untuk dapat melihat dirinya sendiri.
Saya kira, kata “miskin” dalam konsep Gorotwski jika dimaknai secara lebih luas dan kontekstual, adalah counter terhadap berbagai “kemanjaan” pekerja teater kita. Jika soal dana yang kerap dikeluhkan (karena teater seolah membutuhkan berbagai perangkat yang mahal) maka konsep “Teater Miskin” dapat menjawabnya dengan sangat bijak. Tentu, sebelumnya, harus tertanam sebuah pemahaman, sebagaimana yang diungkapkan oleh Grotowski, “Teater Miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam. Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan utama hidup ini.”***
*) Sastrawan, tinggal di Pekanbaru.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar