Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Sahabat yang baik,
Sudah lama kita tak jumpa, pertukar-pikiran dalam diam, seperti dulu ketika kita masih tinggal serumah di bilangan Billy Moon H1/7 itu. Dengan menanyakan kabarmu, saya mengingatkan suatu masa ketika kita asyik berdiskusi tentang ruang dan rumah. Mula-mula kau menyinggung ruang jalan; ruang dinamis, yang begitu cepat mempengaruhi relasi antarmanusia. Dinamika menjadi hal nyata. Di jalanan orang hidup seperti sopir yang awanama dan tak pernah bertanya apa kabar. Mungkin saja para sopir membentuk jaringan, kelompok atau organisasi persaudaraan, tapi dengan orang lain yang juga hidup di jalan, seperti pedagang kaki lima, becak, pejalan kaki, sering sendiri-sendiri: tak ada relasi antarmereka.
Kau mungkin belum lupa ketika kita sampai larut malam bercakap-cakap tentang mimpi Descartes yang melihat kamus dan puisi tergolek di atas meja, yang kelak dianggap sebagai nujuman kelahiran geometri ruang imajiner. Descartes menolak analogi sahidiah Aristotelan sekaligus menampik cinta Platonik. Tapi Francis Bacon, kita tahu, ternyata sangat mengagumi gagasan Descartes. Di penghujung tahun 1950, seorang filsuf muda Prancis, Gaston Bachelard, juga menulis buku tentang puisi ruang.
Gagasan Bachelard yang amat terkenal pada dekade itu, tertuang dalam sebuah semboyan yang tegas: apa pun pengetahuan dapat diekspresikan ke dalam geometri. Descartes dan Bachelard tak menampik gagasan Khawarizmi, ahli matematika dan asronomi Arab itu, ketika menyandangkan geometri dengan astronomi dan geometri dengan puisi.
pandangan Khawarizmi tentang algoritme dan geometri, kita tahu, betapa dahsyat hasilnya di tangan Omar Khayyam yang meletakkan batu sendi pertemuan ghazal Persia dengan geometri Arab. Di awal 1970, Ali Syariati bahkan menawarkan kembali ke geometri ruang dalam pemikiran Islam. Sementara kau, juga tak malu-malu untuk kembali ke struktur ruang dan bentuk-bentuk geometri. Meski sering dicemooh sekadar berkutat pada liang lahat yang sempit dan meniscayakan keterbatasan, kau terus mendaki puisi-puisimu dengan permainan geometris.
Saya memang merasa kesulitan ketika harus memahami kata-katamu yang aneh ini: ”aku adalah akar-akar persamaan x1 dan x2, engkaulah persamaan dengan akar-akar 2×1 dan 2×2. Aku ini binatang jalang dari himpunan yang kosong”.
Bagiku, kalimat semacam itu menarik dibandingkan dengan kalimat John Forbes Nash tatkala mengalahkan argumen Neumann: variietas aljabar berdimensi 6 sama dengan ruang berdimensi tujuh adalah singular, dengan sebuah titik singularitas di pusat koordinat: 0 0 0 0 0 0 0. Seberapa singularkah varietas berdimensi 6? Bagaimana derajat komparasi singularitasnya, di banding singularitas lain yang sejenis agar mendapatkan pembandingan yang baku?
Saya tak akan menemukan jawaban tanpa saya mencari jawaban di tempat lain. Matematika tingkat tinggi mungkin bisa memberikan isyarat atau bocoran terhadap singularitas dan enigmatis model puisi ruang imajiner. Saya terpaksa menghidupkan kembali Khawarizmi dan Omar Khayyam di sini, terutama tentang gagasan matematika dan astronomi dalam bentuk kaedah kos, sin, tan dalam trigonometri dengan menekankan sisi persamaan dalam puisi.
Sahabat yang baik,
Kalau di awal surat ini saya mencoba mengingatkan kembali rumah asri di Billy Moon itu, tentu ada alasan tersendiri. Rumah itu adalah pusat kembali. Pusat dari kehidupan bekas penghuninya; pusat eksistensi. Ruang dan tempat kita pulang dari persiran atau tualang. Pulang ke mahia dan cenayang untuk kemudian kembali sebagai yang dialami, sebagai milik kita sendiri. “Milik ialah tempat-diam: tempat di mana kita berakar”, kata seorang filsuf yang aku lua namanya.
Di rumah kita merasakan kenyamanan. Sebab di rumah kita merasakan adanya perlindungan dan keamanan. Tetapi, seperti nanti akan kau lihat, saya telah mengubah cara memandang puisi-puisimu; saya tidak lagi menekankan paham filsafat, entah bernama fenomenologi atau eksistensialisme, melainkan wawasan geometri ruang imajiner dengan kembali ke bentuk dan geometri. Goenawan Mohamad mungkin akan meyebutnya sebagi bahasa ruang yang meniscayakan keterbatasan dan sebuah ilusi geometris.
Apa boleh buat, daripada memburu dunia jauh nun di eropa dan barat sana tapi dengan hasil yang tak jauh beda dengan masuk ke ranah kepulauan Nusantara, lebih baik kembali menakik kedalaman di pedalaman sendiri. Dengan ini kita bisa mengekspresikan permainan geometri dan kebuncahan puisi, dengan tidak melupakan realitas sosial yang sedang menggejala.
Saya mengagumi setiap senti langkahmu di rumah yang penuh ukiran kayu dan pahatan orang-orang itu. Pernah suatu hari kamu mengajakku mendiskusikan film dokumenter garapanmu. Kalau tak salah judulnya “Tomato”. Saya lebih suka menyebutnya sebagai video puisi, bukan video dokumenter. Karena gambar-gambar dalam video itu selalu mengingatkan saya pada puisimu. Tak ada yang membuat saya seperti hidup dalam ketakutan yang sangat kecuali suatu hari ketika kamu memujiku sebagai kritikus film. Sejak itu kamu sering mengajakku menonton film-film baru.
Setiap kali kamu mengajak berdiskusi malam hari, aku rasakan sekujur tubuhku menggigil; tubuh yang dicekam ketakutan yang tak terkalahkan. Tanganku bergetar kuat seperti getaran tangan petinju yang siap melayangkan pukulan. Apalagi waktu itu saya mengidap penyakit gondok beracun. Badan semakin semoyongan, kian hari kian terlihat ringkih. Kaki seperti tak mampu menyangga tubuh. Saya menyadari bahwa matamu selalu awas terhadap perubahan di tubuhku.
Masihkah kau ingat saat kita mendiskusikan film yang dibintangi Russel Crowe, yang memerankan John Forbes Nash? Kau sengaja mengajakku untuk menonton film biografi tokoh eksenstrik yang mengidap skizoprenik yang ganasa itu. Lalu berpindah menonton film biografi Picasso yang dikerumuni perempuan. Aku menangkap igauan dan cerocosan yang menginginkan agar aku mengenal pribadimu sebagaimana aku mengenal John Nash—matematikawan yang hidup dalam api delusi yang mengambil alih setiap gagasan yang keluar dari akal budi tubuhnya itu.
Waktu itu aku tahu kau menyukai permainan geometris. Puisi-puisimu berhasrat ingin memasukkan sejumlah angka dan bilangan. Kamu bermimpi menghadirkan puisi ruang sebagai “1 sentimeter dari halaman rumah”. Dalam setiap kesempatan pertukar-pikiran, kamu sering melontarkan masalah ruang. Puisi ruang. Teater ruang.
Sebuah ruang, kataku suatu kali: seperti sebuah rumah di Billy Moon itu, yang menghadirkan suasana keakraban, penuh kerahasiaan dan kesunyian yang mencari tapi belum menjadi. Sudut-sudutnya, kamar-kamarnya, lotengngya, halamannya, begitu nyeni, begitu puitis.
Maafkan saya, teman. Saya tak ingin membiarkan komunikasi dalam diam berlangsung terus-menerus hingga semuanya jadi senyap. Saya harus memeras biografimu yang sangat pribadi demi surat upaya-kerinduan ini. Saya harus membeberkan cerita-cerita kita tapi tidak semuanya di sini, tidak juga tentang karya senimu yang dibalut oleh hutan rimbun imaji, permajasan yang berasal dari flora dan fauna.
Saya ingin memeras biografimu yang orang lain mungkin sudah tak menganggap penting lagi. Tapi saya ingin. Saya melakukannya karena dengan memeras biografi keenyairanmu, kamu tidak bisa lagi terus-terusan menjajah isi hati dan kepalaku. Sudah cukup aku terkurung dalam labirin orang lain. Saya sudah muak dengan keterasingan di tengah keramaiaan. Kini izinkan aku menumpahkan gebalau yang nonsens, keresahan yang terpendam bertahun-tahun dalam laci kenangan bersamamu.
Kalau boleh saya menyinggung ambisi di balik kulit luar puisi-puisimu, saya menangkap gelagat seorang seniman eksperimental, yang melukis dengan kata-kata di atas kertas, yang terang-terangan ingin meng-angka-kan kata-kata melalui perjumpaan puisi dan pemikiran. Kamu banyak bicara tentang ruang angka-angka dan waktu sebagai dimensi dasar eksistensi manusia. Sebuah ide yang agak konyol, bukan karena ambisi menjadi nihilistik, karena masih ada Tuhan yang disanjung dalam gelora cinta Platonik, melainkan hasrat terpendam untuk meng-geometrikan puisi tanpa mendalami matematika; gelora yang menggebu ingin menjadikan teater ke dalam bentuk geometri ruang tanpa mempelajari berbagai aliran geometri dan fisika—sekalipun tentang fisika kuantum.
Kata-kata pada sajak-sajakmu yang mengalir secara naratif dan terkadang melompat-lompat tanpa saling kait-merakit dengan kata sebelum maupun sesudahnya itu, muncul ke permukaan sebagai permainan ruang dan waktu geometris. Seperti Khawarizmi, Omar Khayyam, John Nash, atau seperti Gaston Bachelard, saya melihat hasratmu untuk menemukan bahasa pengucapan yang khas Malna—sebuah ruang dari dalam sebuah rumah dan “waktu adalah air”. Puisi dan naskah teatermu banyak menampilkan kata metrik atau gejala metrum.
Sahabat yang baik,
Saya baru menemukan dua penyair di negeri ini yang ambisinya nyaris mengalahkan dirinya sendiri: kau dan Tardji. Kalian berdua seperti berusaha kembali ke bahasa ruang yang meniscayakan keterbatasan. Tapi justru dengan masuk ke dalam bahasa ruang itu, kalian berdua saya anggap sebagai penyair yang penuh dengan kerendahanhati sekaligus penuh kewaspadaan.
Begitulah aku membayangkan. Aku kira Goenawan Mohamad salah sangka karena terlampau percaya pada puisi dan pencitraan ruang model Aristoteles. Dengan keras Goenawan mencemooh angka satu sebagai yang menipu, tapi yang banyak dan yang berbeda tak kalah menipu dirinya sendiri dengan diam-diam masih mempercayai argumentasi.
Sajak-sajakmu bukan hanya mengawang-awang dalam janji yang tak pernah ditepati. Saya menemukan sebuah permainan bahasa yang paling berlogika guna mengekspresikan hal ihwal serta berani mempertanggungjawabkan yang terbaik bahwa puisimu pada akhirnya bukan hanya mengandung filsafat dan teologi yang mesti bergelut dengan cari, dengan diskusi, argumentasi, dan sofistri (seperti Aristoteles).
Sementara puisi Tardji, kerapkali menampilkan jenis puisi yang paling gigih memperjuangkan kebenaran sastra dalam arti resistensi dengan cara berbeda denganmu. Kalian berdua memunculkan puisi sebagai pemberontakan terhadap tirani kitab suci. Puisi Tardji kini memang tak lagi mengungkai keliaran diksi dengan harkat yang meledakkan senyawa keluar ( eksplosion); melainkan masuk dalam kontemplasi yang hening dan bening, dan secara kuat menampilkan puisi sebagai alusi kitab suci. Tardji menjadi ikon puisi nenek moyang Melayu dan sudah dimitoskan oleh sesama penyair dan seniman. Penyair tanpa pengikut ini melakukan perlawanan terhadap para pendahulunya langsung ke dalam puisi. Dan puisi-puisinya bukan sekadar memperkaya kritik sastra, tapi juga memperkaya lema, logat, diksi dan parafrase.
Mereka yang masih menganggap pada mulanya adalah kata, dikritiknya dalam puisi ”Gempa Kata”. Mereka yang memandang sebelah mata pada pantun, ia mengayunkan kapak dengan mempermainkan sampiran dalam larik pantun, lalu mengubahnya, menjadikannya sesuatu yang lain sama sekali untuk dimiliki sendiri. Mereka yang masih percaya pada kekuatan semantik, kode leksikal, dihajarnya melalui—mengutip frasa yang sering kau gunakan— ”perang kode” sekaligus ”memerangi kode” untuk melintasi ”lorong gelap dalam bahasa”.
Sebagai penyair yang kritis, kalian berdua masuk ke dalam sabda Tuhan yang tertulis dalam kitab suci melalui tafsir puisi dalam permainan, yang mempersoalkan kebenaran kitab suci yang selama ini dianggap mapan atau sengaja dimapankan untuk kepentingan kekuasaan. Dalam melakukan perlawanan terhadap klaim kebenaran kitab suci, Tardji dalam esai ”Puisi dan Pertanggungjawaban Penyair” membalikkan secara total kesan negatif penyair dalam Qur’an dengan menghadirkan sejarah positif. Gaya over-reading ini menampilkan perlawanan yang paling berani dan sering ditabukan oleh mayoritas umat yang mempercayai kesucian sabda Tuhan dalam Qur’an. Dari kebenaran sabda menemukan dirinya dalam kebenaran tafsir untuk menampik takwil yang dijaga oleh register kitab suci.
Bila puisi diibaratkan sebuah wisma yang pintunya terbuka leluasa ke dalam maupun ke luar, maka puisimu menjelma sebagai suatu pangkalan, suatu titik-tolak, dari mana pengembaraan dapat dilakukan dan kembali hanya untuk mencari kunci pembuka terhadap Tuhan yang satu. Bahwa kamu punya memori, yang mirip sebuah kelambu yang tutung, tak bisa dipungkiri. Tapi kelebihanmu justru akan terlihat ketika kamu datang untuk menyelamatkan orang di dalamnya.
Apa yang kamu lakukan dalam puisi, kalau boleh aku menebaknya di sini: menemu kunci untuk menafsirkan kembali apa yang telah dikukuhkan sebagai satu adalah satu. Jika ada kerinduan terhadap hal-ihwal yang mengandung puspa pertanyaan yang mencemaskan, yang mencoba ”melakukan perlawanan sendirian terhadap makhluk kebiasaan yang bergerombol” itu, maka puisimu telah menjelmakan apa yang dulu kamu sebut sebagai ”waktu adalah air”. Dan juga: ”waktu adalah ladangku”, bukan ”ladangku adalah waktu” (Goethe).
Kau meneriakkan frasa: “panjanglah usia kematian” untuk menangkis “aku ingin hidup seribu tahun lagi” (Chairil). Dalam puisimu, selain pandai memparafrasekan perlawanan dalam diam, juga saya menemukan aneka warna diksi yang cantik seperti ini: ”hiduplah orang-orang lain bersama kita”, ”beri aku kekuasaan”, ”abad yang berlari”, ”hantu sensual”, ”takhta di usat bahasa”, ”lubang dari separuh langit”, ”lorong gelap dalam bahasa”, ”tubuh yang menolak dikekang oleh lemari pakaian orang lain”, dan puluhan diksi lain yang menohok kekuasaan—baik kekuasaan dalam arti ekonomi-sosial-politik maupun kekuasaan budaya dan sastra.
Saya tahu kamu hidup dalam kesendirian dan kesunyian di tengah-tengah histeria kaum miskin kota. Tapi karena itu kamu meluangkan waktu untuk berjalan-jalan ke berbagai pelosok dan pedalaman. Kamu telah mengukuhkan diri sendiri sebagai manusia avonturir yang selalu berada dalam tegangan dua badan. Kalau boleh saya mengandaikan kamu sebagai sosok Li’L Zê dalam cerita kota tuhannya GM—maka maaf kan sebelumnya jika pertanyaan ini tak berkenan: ”bagaimana kamu akan keluar dari labirin orang miskin kota yang telah berjalan dengan narkotik, kekerasan, tanpa memberinya kekuasaan dan kebebasan?”
Justru karena kamu tak ingin menjawab itu, saya ingin mengatakan: di perkampungan kumuh di kota Rio Jeneiro bukan hanya ada seorang bos lorong hitam bernama Li’L Zê, tapi juga seorang Chico Mendez. Di sekitar permukiman kumuh rakyat miskin kota Jakarta tak hanya ada orang-orang Tomy Winata, Tomy Maut, tapi juga seorang Wardah Hafidz.
Sahabat yang baik,
Pertemuan dengan sejumlah karyamu telah mengantarkan aku masuk ke dalam dunia yang keras dan nyaris menghabiskan individuku. Tanpa perjumpaan denganmu, saya mungkin tak pernah bisa mencecap pengalaman hidupmu. Saya bisa mengenal secara dekat karya senimu yang melintasi ruang dan waktu yang selama ini membelenggumu. Dengan menghadirkan kedalaman puisi ruang, teater ruang, seni instalasi yang tak menahan diri, dan video puisi yang menampilkan pikiran gambar, justru mengantarkan kamu mendekati ke jarak 1 sentimeter di bawah pohon lotus pada batas terjauh.
Mungkin ini kedengaran berlebihan. Lebai. Atau memuja ria, atau memitoskan kamu seperti para kritisi memitoskan Tardji. Tapi bukan semua itu maksudku. Aku justru ingin memeras karyamu tapi nyaris hanya menemukan cangkang yang isinya telah diperas habis oleh dirimu sendiri.
Aku bukannya tak membaca dan menonton karyamu. Di bagian lain aku menuliskan hasil pertemuan dengan puisi dan pemikiranmu. Apa yang telah aku peroleh dari perjumpaan yang melalahkan itu? Kedalaman kemaknaan? Hidup yang lebih menggairahkan?
Tidak, kawan. Aku tak memperoleh apa-apa kecuali menambah kebingungan dan makin menegaskan betapa cerobohnya untuk menyimpulkan karya senimu sebagai ini dan itu. Terima kasih wahai si pemuja “menara epistemologi tanpa telinga”, kamu yang menyukai kata sambung ”dan” serta perbandingan seperti, telah memberikan buku-bukumu kepadaku dan menyuruhku untuk terus membaca. Walau sesungguhnya aku tahu bahwa kamu masih kekurangan buku—di lemari kamarmu kulihat tak sampai lima puluh buku tergeletak berdebu, sementara koleksi buku yang aku miliki hampir mendekati seribu buku.
Karyamu telah mempesonaku karena karya-karya itu menghadirkan pikiran dalam sosok gambar-gambar yang bergerak. Beberapa kali aku memergoki gagasanmu dalam puisi-prosa-dan naskah teater yang sangat dekat dengan motif mitos yang pernah diangkat Levi Straus, perang kode dan memerangi kode, foto-fotografi-visualisasi, yang sangat dicintai Barthes di penghujung hayatnya itu. Begitu juga soal fusi dan difusi serta simulasi, sangat dekat dengan gagasan Baudrilard. Aku tahu kamu tak pernah membaca karya-karya mereka dan kalau pun sempat membaca kamu hanya membaca tanggung dan itu layak disyukuri karena kamu telah mensejajarkan diri dengan para empu itu.
Apakah karyamu sebuah pastiche? Dipengaruhi? Mungkin ya. Tapi para kritisi justru tak melihat wawasan geometrik dan gagasan yang muncul secara visual sebagai bakat paling menonjol dalam dirimu. Apalagi menangkap puisi sebagai sebuah gambar dalam pikiran atau pikiran gambar. Puisimu muncul dari ilham dan mengilhami setiap langkahmu. Ilham yang datang dalam bentuk benang-benang intuitif yang kusut dan mesti ditenun menjadi satu. Impianmu yang “ingin menemui jejak waktu di dalam teater” dan “waktu adalah air, seperti sungai mengalir”, justru tak membuatmu terbelenggu oleh ruang dan waktu.
Saya mengagumi sebuah ceritamu tentang Asia: “Asia membaca, Asia yang mulai mewarnai dinding kapal dengan cerita masa kanak-kanak, pulang ke kampung halaman, memasuki pemakaman dengan semangat untuk hidup dengan siapapun, lalu berteriak di tengah pemakaman: ‘Hai, bangkitlah mayat-mayat. Keluarlah dari perut bumi’. Lalu tiba-tiba matahari menjadi dua. Satu di Barat satu lagi di Timur. Asia mau menangis menceritakannya. Kepala dan bibirnya mulai goyang. Orang harus keluar dari mekanisme rutin untuk menemui dunia pagi ketika fajar baru merekah dan dunia senja ketika matahari akan tenggelam, yang berlangsung pada saat bersamaan …”
Dengan membabarkan kembali esai “Teater Dan Keluarlah Dari Lemari Pakaian Orang Lain” itu, saya mesti menutup surat upaya ini sampai di sini.
Tanjungkarang, 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar