Kirana Kejora
http://sastra-indonesia.com/
Ku berhenti di depan toko Orion. Suasana Kembang Jepun masih seperti dulu. Malam makin marak dengan aroma masakan China dan Suroboyoan. Kidung Kya-Kya, begitu ramai dengan polah arek-arek Suroboyo di kampung pecinan itu. Larutnya malam, tak membuat mereka beranjak dari tempatnya. Tetap santai menyenangkan perut, melegakan tenggorokan, dan menyamankan hati dengan berbagai hiburan di jalan itu. Kya-kya Kembang Jepun memang tiada duanya ketika kawasan itu semarak dengan malam budaya. The spirit of place, sajian arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Kaya dengan apresiasi budaya. Dari musik keroncong, tarian dan musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Belum lagi pagelaran acara bertema special, macam Shanghai Night, Dancing on the Street, dan Festival Bulan Purnama. Ah, aku jadi begitu rindu dengan kemeriahan kota lamaku. Tempat yang sarat dengan cerita suka sekaligus bersayat luka.
”Kamu china? Tinggal di Kembang Jepun?!”
”Iya Bunda. Ada masalah?” sahut Elang, sambil memegang tangan kanan bundanya senja itu di teras rumah mereka. Saat itu aku benar-benar bingung, sedih, kecewa, dan mati saja rasanya hati ini. Sudah kuduga, pasti bundanya tak bisa menerimaku. Perbedaan kami begitu banyak, etnis, agama, dan materi.
Bunda Elang hanya melirikku, lalu melengos meninggalkan kami berdua. Segera kubangkit dari kursi, dan aku secepatnya melangkah keluar teras. Meninggalkan rumah besar itu. Ku terjang derasnya hujan. Tak kugubris teriakan Elang.
Batinku menjerit, ”Kamu tak pernah punya daya arung sebagai lelaki Elang, namun kupaham. Karena trah, penerus dan pewaris tunggal Raden Priyo Kusumo membelenggumu akan sebuah pilihan. I know hon, ic. Never mind…”
Aku terus berjalan menyusuri jalan, memunguti puing-puing kehancuran hati dan cintaku senja itu. Aku harus kembali kuat seperti saat sebelum bertemu Elang. Seperti saat aku hidup sendiri, sebatang kara, karena mama meninggal tertabrak mobil angkut, ketika mau menggelar barang dagangannya di trotoar depan toko koko Hendra. Sedang papaku, sampai sekarang tak tahu rimbanya. Kata mama, sejak aku berusia 3 tahun, papa pergi sementara waktu sampai tak ada yang mencurigainya sebagai orang PKI. Dendamku pada sebuah Orde yang begitu bengis dan begitu mudah memvonis. Tak pernah berpikir begitu banyak memakan korban anak-anak yang psikologisnya menjadi tragis.
Terus kutelusuri riak-riak kecil air yang terkadang membanjiri jalan, dari jl. Sumatra hingga tak terasa aku telah sampai jl. Rajawali. Aku lelah sekali, tubuh semampaiku mulai kedinginan, menggigil. Dan tak terasa aku telah sampai di kamar kostku, di kawasan Kembang Jepun.
Semenjak itu, aku menghilang dari kehidupan Elang. Padahal di dalam rahimku telah ada benih cinta kami. Hanya untuk membuktikan bahwa aku tak sehina tuduhan bundanya, bahwa anak Kembang Jepun identik dengan keturunan geshia. Sebuah hal yang mustahil, ketika anak gadisnya masih perawan. Dan kami lakukan persetubuhan itu atas nama cinta. Kubuktikan kegadisanku pada Elang, sekaligus dia berharap dengan kehamilanku, bundanya mau merestui hubungan kami. Namun sebelum semuanya ini kami sampaikan kepada bundanya, aku memilih pergi setelah peristiwa senja itu, daripada sakitku makin tak bisa membuatku menikmati pernikahanku dengan Elang.
”Kamu perempuan bodoh me! Ndak cengli.”
Tak kuhiraukan kalimat seru cece Lani. Aku terus mengemasi semua pakaianku dari lemari kamar kostku.
”Kamu baru saja berkarir di dunia model karena Elang. Lalu kamu membiarkan dirimu hamil dan pergi darinya.”
Kulirik sejenak cece Lani, sahabat, teman satu kamarku, seorang waitress café di Kembang Jepun. Lalu kuhela nafas panjang, kuusap perutku yang mulai membuncit.
”Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil. Minta pertanggungjawaban Elang, kawin lari, atau kamu gugurkan kandunganmu. Biar karirmu tak terganggu. Jangan bodohlah me.”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Setelah selesai berkemas, kucium pipi cece Lani. ”Ndak tahulah ce. Kamsiya. Aku harus pergi.”
Cece Lani menghalangi langkahku, ditatapnya aku, mata sipit kami beradu, kubuang pandangku ke lantai ubin kamar. Lalu jemari tangan kanannya memegang daguku, dan diarahkan padanya.
”Me, terus ndik mana kamu ntik tinggal? Mau pergi kemana? Ntik yok apa dengan…”
Segera kupegang tangan kanannya, kupeluk tubuh mungilnya. Dia menangisi kepergianku. Tujuh tahun kami selalu bersama dalam keceriaan dan kesedihan, sebuah persahabatan yang terjalin karena sakit yang kami rasakan sama. Di jalan kami bertemu dan di jalan kami hidup bersama.
”Sudahlah ce, biarkan meme pilih jalan hidup yang sebenarnya.”
Semenjak itu kami hanya berhubungan lewat surat. Dan satu tahun kemudian dia menikah dengan koko Johan, sales marketing salah satu produk minuman di café tempatnya bekerja.
Keterpurukan masa laluku tak menjadikan aku mati jiwa. Dengan tabungan yang ku miliki, kuberanikan diri pijaki bumi Jakarta. Beruntung kontrakku dengan beberapa iklan masih menghasilkan royalti. Hingga aku bisa merawat kandunganku dengan baik, selain bisa mengontrak rumah mungil di pinggiran Jakarta, dan sanggup menggaji ning Ginah, pembantu yang kubawa dari Surabaya. Dia yang selama ini membantuku berjualan baju di kaki lima Kembang Jepun, sebelum Elang, seorang fotografer ternama di Surabaya menemukanku, mengajakku menjadi modelnya, lalu memacariku dan mengajakku menikah.
”Sungguh, kusisakan cinta itu buatmu, bukan berarti kau tersia dan terbuang hon. Namun ku memang tak bisa mengikisnya habis. Aku terluka karenamu, bukan karena kau telah menyakitiku, namun karena kau pernah datang dengan keseluruhan cintamu…buat Kemilau….buah cinta kita, aku panggil dia Key…kunci cinta kita hon…”
Kukirim email kepada Elang, terus mengalir saja tak henti satu tahun ini, namun tak pernah ada jawaban darinya. Akupun tak mau mencari dimana dia. Bagiku kehadiran Key sudah sangat berarti. Aku hanya ingin, dia tahu aku punya bukti cinta itu tetap untuknya.
Meski karirku sebagai model cemerlang, namun ku tetap tak bisa memberi keluarga yang sempurna bagi seorang Key. Hingga ku terima pinangan Erick, seorang manajer hotel tempatku menginap, ketika aku ada show di Paris. Dia lelaki romantis yang bisa membuatku melupakan Elang meski hanya sejenak.
Aku memang wanita pemuja suasana, yang begitu merindukan sebuah kelembutan hati dan belaian kasih yang bisa menjadikanku wanita seutuhnya.
”I wanna married with you.”
Aku begitu larut dengan Erick yang meminangku di kala sunrise di bawah ”Gadis Besi” menara karya Alexandre Gustave Eiffel itu.
Tiga bulan kemudian, kami mengikat janji suci, menikah di Champ de Mars, di bawah la tour Eiffel, semua mengalir begitu saja, bak aliran sungai Seine yang terus setia menyejukkan besi menara itu, ketika panas menyengatnya. Sebuah surga dunia yang tak pernah ada dalam impianku. Bulan madu yang indah dengan mengunjungi istana Versailles, aku merasa menjadi permaisuri Louis XVIII. Mungkin ini sebuah kemenanganku atas pertapaan batinku selama ini. Meskipun sejujurnya aku belum sepenuhnya punya cinta buat Erick, namun aku ingat pesan ning Ginah, menikahkah dengan orang yang mencintaimu, kelak kamu akan bahagia. Dan Erick bisa menerimaku apa adanya. Bagiku saat itu, aku ingin membina sebuah mahligai indah berumah tangga.
Setelah menikah dan tinggal di Paris, Tuhan belum juga menitipkan buah hati kami di dalam rahimku. Mungkin karena di sudut hatiku, masih begitu lekat bayang seorang Elang. Hingga tak ada keikhlasan rahim ini buat mengandung benih Erick, entahlah. Padahal, Erick begitu tulus mencintaiku dan Key.
Ternyata Tuhan hanya sembilan bulan menjodohkan kami, Erick meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hatiku hancur karena aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku kembali hidup hanya bertiga dengan Key dan ning Ginah. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku memilih Surabaya karena bagiku, kota ini adalah ibuku. Aku selalu home sick dimanapun aku tinggal. Aku mulai membuka sebuah usaha, yang tak jauh dari keahlianku. Membuka butik di Pasar Atum.
Butikku makin maju. Hingga aku bertemu dengan Prima Laksana, seorang designer kondang Surabaya. Meskipun pekerjaannya akrab dengan dunia perempuan, namun Prima adalah lelaki macho dan begitu sempurna di mataku. Kami sering mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah, setelah tujuh bulan berpacaran. Meski usianya lima tahun di bawahku. Aku sudah merasa mantap menyandarkan kelelahan hatiku padanya. Bagiku ini pernikahanku yang terakhir. Dia begitu bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi Key.
”Benar kan kataku. Kamu bisa temukan lelaki yang lebih baik dari semua lelaki yang pernah ada dalam hatimu…”
Aku hanya manggut-manggut mendengar kalimat cece Lani, sambil memegang cincin berlian yang telah melingkari jari manis kananku lima bulan ini. Lalu kami masuk ke dalam Rembulan café di Tunjungan Plaza III. Kami rehat sebentar, capek banget setelah shoping seharian sekalian nostalgia, karena kami lama ndak jalan bareng.
”Belum ada tanda-tanda junior Prima di perutmu me?”
Aku mengelus perutku yang masih ramping, sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan mengikuti cece Lani duduk di sudut kanan belakang cafe. Namun setelah duduk, pandanganku serasa tak nyaman dengan yang kulihat di samping kiri meja kami.
Aku kenal sekali dengan performance lelaki, dengan hem lengan panjang biru laut, yang hanya terlihat punggungnya itu. Aku terdiam, tak menggubris kalimat-kalimat cece Lani. Lalu cece Lani ikut terdiam, melihat ke meja samping kami.
Kedua tangan itu saling erat menggenggam, meremas, dan pasangan lelaki berhem biru itu menangis sesenggukan. Lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat yang meluncur dari lelaki berhem biru itu, ketika nada musik cafe berhenti.
”Yakinlah, aku masih sayang kamu. Aku menikah karena buat status saja. Berapa kali harus kubilang? Toh kita masih bisa ketemu tiap hari…sudahlah…ragaku miliknya, tapi hatiku tetap milikmu…”
Rasanya saat itu aku ingin segera membubarkan pemandangan menjijikkan itu. Namun ragaku tak kuat, karena gemuruh detak sang jantung yang benar-benar tak bersahabat lagi dengan tubuhku. Prima Laksana ternyata seorang gay! Aku pingsan!
”Saudari Lilian dan saudara Prima Laksana …silakan masuk ke ruang sidang tiga…”
Tiba-tiba aku dikejutkan suara petugas Pengadilan Agama yang memanggilku ke ruang sidang. Aku memasuki ruang sidang ditemani cece Lani. Nampak di ruang sidang hanya ada pengacara suamiku.
”Sabar me..semoga gugatanmu menang…”
Kalimat cece Lani datar, dia turut merasa sangat bersalah, karena selama ini dialah yang mendorongku untuk menerima lamaran Prima. Maka dia terus setia menemaniku hingga putusan sidang berakhir.
Ketukan palu hakim, memenangkan gugatanku. Namun terasa hampa hatiku dan kosong pikiranku. Kalut tak bermakna rasanya hidup ini, sebuah kelelahan yang tak berkesudahan. Cece Lani lalu membimbingku keluar dari ruang sidang.
”Ijinkan aku datang dengan keseluruhan cintaku…”
Sebuah suara yang datar dan berat, yang pernah kukenal. Aku dan cece Lani menghentikan langkah di pelataran mobil. Kami mencari arah suara itu, di belakang kami. Kami menoleh. Lelaki dengan tampilan macho, celana dan jaket blue jeans, rambut terkuncir rapi ke belakang. Aku merasa, tiba-tiba menjadi arca tua yang siap roboh.
”Elang…!” Sempat kudengar kalimat cece Lani sebelum mataku berkunang-kunang dan dibopong Elang, dibawa masuk ke dalam mobil…batinku menjerit…honey!
”Cik, tolong mobile minggir…”
Suara tukang parkir dan ketukan tangannya di kaca mobilku, membuyarkan lamunanku malam itu. Segera aku menjalankan mobilku. Kulajukan pelan-pelan menyusuri sepanjang jalan Kembang Jepun, sambil kuhapus air mataku yang tiba-tiba begitu saja mengaliri tirus pipiku.
Batinku malam itu. ”Dimana kamu Elang? Rumahmupun telah sunyi tak berpenghuni..maafkan aku hon…”
Rumah Hijau, 230907, energi kepak elang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar