Rabu, 25 Mei 2011

KIDUNG CINTA AMOY

Kirana Kejora
http://sastra-indonesia.com/

Ku berhenti di depan toko Orion. Suasana Kembang Jepun masih seperti dulu. Malam makin marak dengan aroma masakan China dan Suroboyoan. Kidung Kya-Kya, begitu ramai dengan polah arek-arek Suroboyo di kampung pecinan itu. Larutnya malam, tak membuat mereka beranjak dari tempatnya. Tetap santai menyenangkan perut, melegakan tenggorokan, dan menyamankan hati dengan berbagai hiburan di jalan itu. Kya-kya Kembang Jepun memang tiada duanya ketika kawasan itu semarak dengan malam budaya. The spirit of place, sajian arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Kaya dengan apresiasi budaya. Dari musik keroncong, tarian dan musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Belum lagi pagelaran acara bertema special, macam Shanghai Night, Dancing on the Street, dan Festival Bulan Purnama. Ah, aku jadi begitu rindu dengan kemeriahan kota lamaku. Tempat yang sarat dengan cerita suka sekaligus bersayat luka.

”Kamu china? Tinggal di Kembang Jepun?!”

”Iya Bunda. Ada masalah?” sahut Elang, sambil memegang tangan kanan bundanya senja itu di teras rumah mereka. Saat itu aku benar-benar bingung, sedih, kecewa, dan mati saja rasanya hati ini. Sudah kuduga, pasti bundanya tak bisa menerimaku. Perbedaan kami begitu banyak, etnis, agama, dan materi.

Bunda Elang hanya melirikku, lalu melengos meninggalkan kami berdua. Segera kubangkit dari kursi, dan aku secepatnya melangkah keluar teras. Meninggalkan rumah besar itu. Ku terjang derasnya hujan. Tak kugubris teriakan Elang.

Batinku menjerit, ”Kamu tak pernah punya daya arung sebagai lelaki Elang, namun kupaham. Karena trah, penerus dan pewaris tunggal Raden Priyo Kusumo membelenggumu akan sebuah pilihan. I know hon, ic. Never mind…”

Aku terus berjalan menyusuri jalan, memunguti puing-puing kehancuran hati dan cintaku senja itu. Aku harus kembali kuat seperti saat sebelum bertemu Elang. Seperti saat aku hidup sendiri, sebatang kara, karena mama meninggal tertabrak mobil angkut, ketika mau menggelar barang dagangannya di trotoar depan toko koko Hendra. Sedang papaku, sampai sekarang tak tahu rimbanya. Kata mama, sejak aku berusia 3 tahun, papa pergi sementara waktu sampai tak ada yang mencurigainya sebagai orang PKI. Dendamku pada sebuah Orde yang begitu bengis dan begitu mudah memvonis. Tak pernah berpikir begitu banyak memakan korban anak-anak yang psikologisnya menjadi tragis.

Terus kutelusuri riak-riak kecil air yang terkadang membanjiri jalan, dari jl. Sumatra hingga tak terasa aku telah sampai jl. Rajawali. Aku lelah sekali, tubuh semampaiku mulai kedinginan, menggigil. Dan tak terasa aku telah sampai di kamar kostku, di kawasan Kembang Jepun.

Semenjak itu, aku menghilang dari kehidupan Elang. Padahal di dalam rahimku telah ada benih cinta kami. Hanya untuk membuktikan bahwa aku tak sehina tuduhan bundanya, bahwa anak Kembang Jepun identik dengan keturunan geshia. Sebuah hal yang mustahil, ketika anak gadisnya masih perawan. Dan kami lakukan persetubuhan itu atas nama cinta. Kubuktikan kegadisanku pada Elang, sekaligus dia berharap dengan kehamilanku, bundanya mau merestui hubungan kami. Namun sebelum semuanya ini kami sampaikan kepada bundanya, aku memilih pergi setelah peristiwa senja itu, daripada sakitku makin tak bisa membuatku menikmati pernikahanku dengan Elang.

”Kamu perempuan bodoh me! Ndak cengli.”

Tak kuhiraukan kalimat seru cece Lani. Aku terus mengemasi semua pakaianku dari lemari kamar kostku.

”Kamu baru saja berkarir di dunia model karena Elang. Lalu kamu membiarkan dirimu hamil dan pergi darinya.”

Kulirik sejenak cece Lani, sahabat, teman satu kamarku, seorang waitress café di Kembang Jepun. Lalu kuhela nafas panjang, kuusap perutku yang mulai membuncit.

”Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil. Minta pertanggungjawaban Elang, kawin lari, atau kamu gugurkan kandunganmu. Biar karirmu tak terganggu. Jangan bodohlah me.”

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Setelah selesai berkemas, kucium pipi cece Lani. ”Ndak tahulah ce. Kamsiya. Aku harus pergi.”

Cece Lani menghalangi langkahku, ditatapnya aku, mata sipit kami beradu, kubuang pandangku ke lantai ubin kamar. Lalu jemari tangan kanannya memegang daguku, dan diarahkan padanya.

”Me, terus ndik mana kamu ntik tinggal? Mau pergi kemana? Ntik yok apa dengan…”

Segera kupegang tangan kanannya, kupeluk tubuh mungilnya. Dia menangisi kepergianku. Tujuh tahun kami selalu bersama dalam keceriaan dan kesedihan, sebuah persahabatan yang terjalin karena sakit yang kami rasakan sama. Di jalan kami bertemu dan di jalan kami hidup bersama.

”Sudahlah ce, biarkan meme pilih jalan hidup yang sebenarnya.”

Semenjak itu kami hanya berhubungan lewat surat. Dan satu tahun kemudian dia menikah dengan koko Johan, sales marketing salah satu produk minuman di café tempatnya bekerja.

Keterpurukan masa laluku tak menjadikan aku mati jiwa. Dengan tabungan yang ku miliki, kuberanikan diri pijaki bumi Jakarta. Beruntung kontrakku dengan beberapa iklan masih menghasilkan royalti. Hingga aku bisa merawat kandunganku dengan baik, selain bisa mengontrak rumah mungil di pinggiran Jakarta, dan sanggup menggaji ning Ginah, pembantu yang kubawa dari Surabaya. Dia yang selama ini membantuku berjualan baju di kaki lima Kembang Jepun, sebelum Elang, seorang fotografer ternama di Surabaya menemukanku, mengajakku menjadi modelnya, lalu memacariku dan mengajakku menikah.

”Sungguh, kusisakan cinta itu buatmu, bukan berarti kau tersia dan terbuang hon. Namun ku memang tak bisa mengikisnya habis. Aku terluka karenamu, bukan karena kau telah menyakitiku, namun karena kau pernah datang dengan keseluruhan cintamu…buat Kemilau….buah cinta kita, aku panggil dia Key…kunci cinta kita hon…”

Kukirim email kepada Elang, terus mengalir saja tak henti satu tahun ini, namun tak pernah ada jawaban darinya. Akupun tak mau mencari dimana dia. Bagiku kehadiran Key sudah sangat berarti. Aku hanya ingin, dia tahu aku punya bukti cinta itu tetap untuknya.

Meski karirku sebagai model cemerlang, namun ku tetap tak bisa memberi keluarga yang sempurna bagi seorang Key. Hingga ku terima pinangan Erick, seorang manajer hotel tempatku menginap, ketika aku ada show di Paris. Dia lelaki romantis yang bisa membuatku melupakan Elang meski hanya sejenak.

Aku memang wanita pemuja suasana, yang begitu merindukan sebuah kelembutan hati dan belaian kasih yang bisa menjadikanku wanita seutuhnya.

”I wanna married with you.”

Aku begitu larut dengan Erick yang meminangku di kala sunrise di bawah ”Gadis Besi” menara karya Alexandre Gustave Eiffel itu.

Tiga bulan kemudian, kami mengikat janji suci, menikah di Champ de Mars, di bawah la tour Eiffel, semua mengalir begitu saja, bak aliran sungai Seine yang terus setia menyejukkan besi menara itu, ketika panas menyengatnya. Sebuah surga dunia yang tak pernah ada dalam impianku. Bulan madu yang indah dengan mengunjungi istana Versailles, aku merasa menjadi permaisuri Louis XVIII. Mungkin ini sebuah kemenanganku atas pertapaan batinku selama ini. Meskipun sejujurnya aku belum sepenuhnya punya cinta buat Erick, namun aku ingat pesan ning Ginah, menikahkah dengan orang yang mencintaimu, kelak kamu akan bahagia. Dan Erick bisa menerimaku apa adanya. Bagiku saat itu, aku ingin membina sebuah mahligai indah berumah tangga.

Setelah menikah dan tinggal di Paris, Tuhan belum juga menitipkan buah hati kami di dalam rahimku. Mungkin karena di sudut hatiku, masih begitu lekat bayang seorang Elang. Hingga tak ada keikhlasan rahim ini buat mengandung benih Erick, entahlah. Padahal, Erick begitu tulus mencintaiku dan Key.

Ternyata Tuhan hanya sembilan bulan menjodohkan kami, Erick meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hatiku hancur karena aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku kembali hidup hanya bertiga dengan Key dan ning Ginah. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku memilih Surabaya karena bagiku, kota ini adalah ibuku. Aku selalu home sick dimanapun aku tinggal. Aku mulai membuka sebuah usaha, yang tak jauh dari keahlianku. Membuka butik di Pasar Atum.

Butikku makin maju. Hingga aku bertemu dengan Prima Laksana, seorang designer kondang Surabaya. Meskipun pekerjaannya akrab dengan dunia perempuan, namun Prima adalah lelaki macho dan begitu sempurna di mataku. Kami sering mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah, setelah tujuh bulan berpacaran. Meski usianya lima tahun di bawahku. Aku sudah merasa mantap menyandarkan kelelahan hatiku padanya. Bagiku ini pernikahanku yang terakhir. Dia begitu bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi Key.

”Benar kan kataku. Kamu bisa temukan lelaki yang lebih baik dari semua lelaki yang pernah ada dalam hatimu…”

Aku hanya manggut-manggut mendengar kalimat cece Lani, sambil memegang cincin berlian yang telah melingkari jari manis kananku lima bulan ini. Lalu kami masuk ke dalam Rembulan café di Tunjungan Plaza III. Kami rehat sebentar, capek banget setelah shoping seharian sekalian nostalgia, karena kami lama ndak jalan bareng.

”Belum ada tanda-tanda junior Prima di perutmu me?”

Aku mengelus perutku yang masih ramping, sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan mengikuti cece Lani duduk di sudut kanan belakang cafe. Namun setelah duduk, pandanganku serasa tak nyaman dengan yang kulihat di samping kiri meja kami.

Aku kenal sekali dengan performance lelaki, dengan hem lengan panjang biru laut, yang hanya terlihat punggungnya itu. Aku terdiam, tak menggubris kalimat-kalimat cece Lani. Lalu cece Lani ikut terdiam, melihat ke meja samping kami.

Kedua tangan itu saling erat menggenggam, meremas, dan pasangan lelaki berhem biru itu menangis sesenggukan. Lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat yang meluncur dari lelaki berhem biru itu, ketika nada musik cafe berhenti.

”Yakinlah, aku masih sayang kamu. Aku menikah karena buat status saja. Berapa kali harus kubilang? Toh kita masih bisa ketemu tiap hari…sudahlah…ragaku miliknya, tapi hatiku tetap milikmu…”

Rasanya saat itu aku ingin segera membubarkan pemandangan menjijikkan itu. Namun ragaku tak kuat, karena gemuruh detak sang jantung yang benar-benar tak bersahabat lagi dengan tubuhku. Prima Laksana ternyata seorang gay! Aku pingsan!

”Saudari Lilian dan saudara Prima Laksana …silakan masuk ke ruang sidang tiga…”

Tiba-tiba aku dikejutkan suara petugas Pengadilan Agama yang memanggilku ke ruang sidang. Aku memasuki ruang sidang ditemani cece Lani. Nampak di ruang sidang hanya ada pengacara suamiku.

”Sabar me..semoga gugatanmu menang…”

Kalimat cece Lani datar, dia turut merasa sangat bersalah, karena selama ini dialah yang mendorongku untuk menerima lamaran Prima. Maka dia terus setia menemaniku hingga putusan sidang berakhir.

Ketukan palu hakim, memenangkan gugatanku. Namun terasa hampa hatiku dan kosong pikiranku. Kalut tak bermakna rasanya hidup ini, sebuah kelelahan yang tak berkesudahan. Cece Lani lalu membimbingku keluar dari ruang sidang.

”Ijinkan aku datang dengan keseluruhan cintaku…”

Sebuah suara yang datar dan berat, yang pernah kukenal. Aku dan cece Lani menghentikan langkah di pelataran mobil. Kami mencari arah suara itu, di belakang kami. Kami menoleh. Lelaki dengan tampilan macho, celana dan jaket blue jeans, rambut terkuncir rapi ke belakang. Aku merasa, tiba-tiba menjadi arca tua yang siap roboh.

”Elang…!” Sempat kudengar kalimat cece Lani sebelum mataku berkunang-kunang dan dibopong Elang, dibawa masuk ke dalam mobil…batinku menjerit…honey!

”Cik, tolong mobile minggir…”

Suara tukang parkir dan ketukan tangannya di kaca mobilku, membuyarkan lamunanku malam itu. Segera aku menjalankan mobilku. Kulajukan pelan-pelan menyusuri sepanjang jalan Kembang Jepun, sambil kuhapus air mataku yang tiba-tiba begitu saja mengaliri tirus pipiku.

Batinku malam itu. ”Dimana kamu Elang? Rumahmupun telah sunyi tak berpenghuni..maafkan aku hon…”

Rumah Hijau, 230907, energi kepak elang

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati