Seno Gumira Ajidarma
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
DRUPADI terbangun karena jeritan Utari. Semenjak kematian Abimanyu, putri Wirata yang hamil tua itu susah tidur. Begitu juga malam itu, di dalam tenda-tenda kubu Pandawa di lapangan Kurusetra. Drupadi bermimpi buruk sekali. Dalam tidurnya ia melihat seekor kelelawar berkelebat di tengah malam. Ia bisa melihat kelelawar itu dengan jelas. Seperti bukan sembarang kelelawar. Ini kelelawar siluman. Matanya yang merah kekuningan menyorot dengan kejam dalam kegelapan. Mulutnya yang bergigi runcing menetes-neteskan darah, tetesan darahnya membasahi dedaunan di dalam rimba. Ia melihat kelelawar itu dipanah oleh Sikhandi, dibabat kelewang Drestajumena, dilempar jala Pancawala, namun kelelawar itu selalu bisa menghindar. Ia melejit sampai ke rembulan, kembali lagi dengan cepat menyambar ketiga ksatria itu tanpa bisa dilawan. Darah menetes dari mulutnya, terbang menembus malam.
Lantas terdengar jeritan Utari.
“Ada apa Utari?”
“Ada orang di dalam tenda.”
“Siapa?”
“Entahlah. Gelap sekali. Ia membawa pisau belati yang menetes-neteskan darah.”
Tiada rembulan di langit, namun redup cahaya lentera di setiap tenda menyisakan ingatan dalam benak Utari.
Di luar terdengar suara orang mulai ramai. Mereka keluar.
Para Pandawa sedang meninggalkan perkemahan mereka, atas anjuran Kresna melakukan penyucian, dengan mengunjungi tempat-tempat keramat. Demikianlah dikisahkan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh 1):
…mereka itu telah menuju ke desa-desa untuk secara diam-diam mengunjungi tempat-tempat ziarah dengan berjalan kaki. Mereka itu berhasrat besar untuk dengan sejenak melihat keindahan malam yang memesonakan dan serbaindah dan tenang.
Sekalipun pada waktu itu sedang gelap, karena bulan tanggal tua, keadaannya terang disebabkan karena sinar bintang yang berkilauan terang benderang. Di tepi jalan kunang-kunang bersinar-sinaran dan dengan terbang bersama-sama itu seolah-olah menunjukkan jalan. 2)
Keadaannya sedemikian bagusnya, seolah-olah keindahan langit dan bumi itu saling bertukar-tukaran pada waktu malam itu. Kayu-kayunya menjadi mega, sedangkan meganya menjadi kayu menurut anggapan mereka yang terpesona. Bintang-bintangnya menjadi kembang, sedangkan kembang-kembangnya yang bertebaran itu merupakan bintang yang ada di angkasa. Sungai menjadi halimun yang bergantungan, sedangkan halimun yang bergantungan menjadi sungai yang mengalir dengan kencangnya.
Adalah suatu bukit dengan belukarnya yang berkumpul-kumpulan, sehingga dingin keadaannya. Di tempat itulah salju menyongsong. Bukit itu sekaligus ingin minum embun yang telah terkumpul di lereng bukit kecil. Burung cucur mengeluarkan suara yang mengerikan, karena suaranya menyerupai nyanyian yang terus menerus berisikan ratapan tangis. Suara indah ini disertai oleh suara burung tadahasih yang dengan cara yang tidak memaksa mencari keindahan.
Dan di suatu sungai terdengar suara jentera yang digerakkan oleh air, seolah-olah menyerupai salunding dalam pertunjukan wayang. Bambu kosong yang tertiup angin itu mengeluarkan suara dan itulah suara seruling yang mengiringinya. Yang merupakan nyanyian orang-orang wanita adalah nyanyian kodok yang terdengar di jurang-jurang. Suara cenggeret dan yanyian belalang yang keras dan riuh itu merupakan suara berirama dari kamanak dan kangsi. 3)
Adalah suatu ladang sunyi yang belum menghasilkan padi; orang-orangan untuk menakut-nakuti burung dengan waspada mengadakan penjagaan terhadap pencuri. Sebab babi rusanya dengan diam-diam dan dengan tidak diketahui dengan seenaknya saja merusak tanam-tanaman. Alat perangkapnya dapat menangkap sesuatu binatang dan ini dibuktikan oleh pukulan kentongan yang digantungkan itu sehingga berbunyi dengan tiada hentinya. Suara kijang yang serak dan terus kedengaran riuh rendah di jurusan Barat Laut menjawab teriakan kuwung.
Halimun seolah-olah memberi semangat; adalah seorang penjaga yang masih muda dan sebagai orang ketiga ialah seorang wanita. Dengan diam-diam mereka itu berbuat serong pada waktu orang-orang lainnya sedang tidur; orang yang berjalan dengan tidak diketahui itu terserang oleh hembusan angin. Pada waktu itu ia menghilang; ada beberapa pohon cemara yang sambil menantang bersorak-sorak; itulah sesungguhnya teriakan orang-orang yang mengadakan ilmu sihir. Burung kokok beluk mengeluarkan suara yang menakutkan, sedangkan suara yang dikeluarkan oleh ular-ular naga menyerupai suara genta yang menakutkan.
Perjalanan orang-orang Pannddawa lima itu telah jauh dengan diantarkan oleh raja Kreshnna dengan memasuki hutan-hutan yang lebat. Mereka itu berkumur dengan air dari tiap-tiap tempat berziarah yang mereka lalui dan yang mereka taburi dengan bunga. Yang mereka harapkan, ialah kesucian hatinya yang gilang gemilang, supaya mereka mendapatkan kesukaan yang bersih dari segala noda. Sekalipun ini yang telah diharap-harapkan, hati mereka merasa ngeri dengan tidak diketahui darimana datangnya rasa takut itu.
Waktu itu sunyi senyap, ialah jam enam. 4) ; akhirnya diketahui adanya suatu tanda yang tidak baik. Ada beberapa ekor burung gagak yang datang tidak pada musimnya dan setelah burung-burung itu saling berkelahi dan saling menyambar memuntahkan nanah yang busuk. Juga ada beberapa anjing yang saling menyerang dan berkelahi, sedangkan pada waktu yang bersamaan itu turunlah hujan darah dan yang menjatuhkan air hujan sebesar buah pinah dan kepala orang. Tempat itu penuh dengan orang-orang raksasa dan mayat yang tidak berkepala dan yang menari-nari dan ada di antaranya yang dengan ganasnya memanggul bangkai.
Dalam sekejap mata hilanglah mereka itu dan dengan nyata datanglah beberapa orang utusan yang menyembah kaki orang Pannddawa. Konon dikatakan, bahwa banyak di antara mereka itu diberi bertugas untuk mencari orang-orang Pannddawa; mereka itu telah membagi dirinya dalam beberapa kelompok, sehingga mereka itu menuju ke beberapa jurusan. Mereka memberitahukan, bahwa perkemahannya telah hancur karena terbawa oleh arus serangan yang dahsyat yang diadakan oleh Acwatthama, anak pendeta, sehingga mengalami kerusakan. Orang-orang bangsawan yang telah didahului oleh serangan mereka tidak lagi bernafas; itu sudah semestinya, karena mereka itu sedang tidur nyenyak.
Terutama Dhresttadyumna dan Cikannddi yang telah dibunuh, demikian juga halnya dengan lima orang anak Pannddawa 5) yang telah dikuasai oleh Acwatthama yang kesemuanya itu telah dipenggal kepalanya. Tidak diceriterakan nasib raja-raja yang mengakui kepemimpinan raja Yudhishttira bersama-sama dengan menteri-menterinya yang juga telah binasa. Hanya puteri-puteri saja yang tidak terbunuh bersama-sama dengan mereka yang sempat mengangkat kaki dengan takutnya. 6)
Drupadi teringat mimpinya, langsung menuju ke tenda putranya, Pancawala.
Sebentar kemudian terdengar jeritan Drupadi, yang langsung pingsan.
Orang-orang yang menyibak tenda Pancawala, Sikhandi, dan Drestajumena terkesima. Tenda itu robek di bagian belakang. Di dalam tenda tampak ketiga ksatria itu terkapar bersimbah darah. Mereka telah dibunuh dalam tidurnya. Drestajumena, ksatria Pancala yang memenggal kepala Mahaguru Dorna, tewas dengan luka tusukan di dadanya. Sikhandi yang menumbangkan Bhisma, hancur tubuhnya, seperti ditusuk-tusuk dengan membabi buta. Pancawala yang tak pernah berperang, merah seluruh tubuhnya bermandi darah.
Perkemahan itu menjadi gempar. Bima yang murka melemparkan para penjaga malam sampai tidak kelihatan lagi. Yudhistira, Arjuna, Nakula, Sadewa, tak mampu bersuara menyaksikan Pancawala. Tanpa menunggu perintah sejumlah regu berkuda telah menderap ke dalam hutan. Namun dalam gelap malam tak berbulan, apakah yang bisa ditemukan?
“Apa yang kau lihat, Utari?”
Utari mencoba mengingat apa yang dilihatnya.
“Gelap sekali, tapi cahaya lentera memperlihatkan sesuatu yang aneh.”
“Apa?”
“Orang itu bersurai seperti kuda, dari belakang kepala sampai leher dan punggungnya.”
Arjuna mendesis.
“Benar, Aswatama…”
“Utari, kau lihat ada mutiara di dahinya?” Bima bertanya.
“Sesuatu berkilat dari dahinya.”
Di seluruh dunia hanya ada satu manusia seperti itu, karena Aswatama adalah anak Mahaguru Dorna dari seekor kuda sembrani yang sebenarnya bidadari Dewi Wilutama. 7) Ketika dia dilahirkan, di langit terdengar suara ringkik kuda, maka ia diberi nama Aswatama. 8) Meski menguasai segenap kesaktian ayahnya, Aswatama tidak pernah mampu menguasai rasa takut -kini ketakutan itu diatasinya dengan cara yang nekat. Dendam telah mengalahkan ketakutannya, meski melanggar tatacara ksatria.
Arjuna melepaskan panah yang sakti ke langit. Dengan seketika alam terang benderang. Dalam sekejap, Arjuna melesat ke dalam hutan. Bima dan Nakula-Sadewa menyusulnya.
Para pengawal yang berjaga di tenda Yudhistira mendengar ratapan Drupadi.
“Suamiku, raja agung yang telah mendapat kemenangan, berbahagialah dengan segala perolehan. Engkau telah mendapatkan kembali Indraprastha, kini mendapatkan kembali Hastina beserta segenap taklukkannya. Betapa luasnya kini kerajaanmu, Yudhistira, betapa besar kekuasaanmu. Dalam Rajasuya engkau telah mendapatkan segala-galanya, dan kini engkau telah memusnahkan musuh-musuhmu pula. Berbahagialah. Berjayalah. Naiklah ke singgasana. Tinggalkanlah aku yang kini telah menjadi sebatang kara. Ayahku, Drupada yang tua, telah memberikan nyawanya untuk kemenanganmu. Saudaraku Drestajumena, telah memimpin balatentara Pandawa untuk kejayaanmu. Saudaraku Sikhandi telah menumbangkan Bhisma yang bahkan tak terkalahkan oleh dewa-dewa. Putra kita Pancawala yang hanya mampu mencintai sesama manusia, hancur luluh tubuhnya. O, Yudhistira, telah kuberikan segalanya untukmu, terimalah, dan tinggalkan aku. Dewa-dewa tidak mengizinkan aku hidup bahagia. Baru beberapa hari terhapus dendam yang merajamku bertahun-tahun, malapetaka melanda begini rupa. Siapakah kiranya yang tidak akan menduga, bahwa aku memang dilahirkan untuk hidup menderita? O, dewa! Siapakah kiranya tega memasangkan peran ini untukku? Peran perempuan menderita tiada terkira. Biarlah kuikuti orangtua, saudara, dan anakku tercinta. Tak tahu ke nirwana atau ke neraka.”
Yudhistira mengelus bahu Drupadi.
“Drupadi…”
“Aku bukan Drupadi. Aku tak tahu siapa diriku lagi. Perasaanku hancur, tubuhku mengambang, jiwaku melayang-layang. Karmapala apakah ini? Sebagai gadis brahmin kuucapkan mantra meminta suami sampai lima kali, dalam penjelmaan kembali aku menjadi Drupadi, mendapatkan lima suami yang menyeret aku ke dalam penderitaan. Apakah permintaan seorang perempuan untuk mendapatkan suami, bahkan memilih sendiri suaminya dalam sayembara adalah berlebihan, sehingga mendapatkan karmapala penderitaan? Aku Drupadi merasa hidupku menderita, meski aku adalah putri kerajaan Pancala yang bersuamikan maharaja Indraprastha. Kalau begini caranya lebih baik aku menjadi orang sudra, atau paria, pasti aku lebih berbahagia. O, Yudhistira, katakanlah kepada Arjuna agar merampas mutiara di dahi Aswatama. Biarlah aku menjadi perempuan yang penuh dengan dendam, jika memang suratan menghendakinya demikian.”
Terutama dewi Kunti yang sangat sedihnya, karena menderita kesusahan yang tidak ada bandingannya. Begitu pula dewi Draupadi, putri raja Drupada, sangat memilukan keadaannya dan tidak tahu apa yang akan menjadi obat kesukarannya. Kedua orang ini berkeluh kesah seolah-olah mereka itu tidak ada di dunia, setelah lima orang anak Pannddawa lima itu terbunuh; mereka sungguh-sungguh susah! Karena tidak tahu apa yang akan dikerjakan, mereka menunjukkan penyesalannya terhadap raja Kreshna yang mengajukan usul kepada orang Panddawa untuk pergi.
“Aduhai, lima orang anak Pannddawa; wahai anak-anak yang tercinta! Sayanglah kamu sekalian telah meninggal. Kamu sekalian belum pernah menikmati rasa suka, tetapi sekonyong-konyong kamu dibinasakan oleh musuh! Pasti tidak akan terjadi, wahai anak-anakku dan tidak akan mengalami kematian, sekalipun diserang oleh musuh yang sejuta jumlahnya, apabila ayah-ayahmu ada di tempat ini dan tidak pergi karena diminta untuk mengadakan ziarah minta bantuan kepada dewa-dewa.
Akhirnya Kreshnna-lah, anak raja Wasudewa, yang menyebabkan kematianmu sekarang, wahai anak-anakku sekalian. Ikhlaskanlah kematianmu, yang kejam itu, wahai anak-anakku sekalian; dosamu ialah karena kamu tidak menghadap lagi ayah-ayahmu! Pastilah bahwa saya akan ikut mati, supaya dapat mengantarkan ayahku yang juga telah gugur, demikianlah halnya dengan saudara-saudaraku yang juga telah tidak ada; mereka telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya. Apa tujuannya, apabila saya tidak merelakan hidup saya ini di dunia?”
Kresna berkata.
“Ingatlah Drupadi, bukan hanya dikau seorang yang menderita. Pandawa juga kehilangan saudaranya, seratus Kurawa dan Resi Bhisma tercinta. Utari yang hamil tua bahkan juga kehilangan suaminya. Tak ada yang menang dalam peperangan. Tak akan pernah ada…”
burung hantu hinggap di puncak tiang
berlayar malam-malam ke Yordania
melihat sukma Aswatama gelandangan
menyandang 3000 tahun beban kutukan, o
Catatan:
1) Pada akhir Kakawin Bharata-Yuddha tertulis : Bukan saya sendirilah yang menyusun ceritera ini; adalah seorang pujangga dari sang raja yang termasyhur di dunia ini yang bernama Mpu Seddah, orang yang tinggi martabatnya. Ialah yang menyusun bagian depan ceritera ini yang indah dan tidak ada bandingannya. Pada waktu sampai ceritera ketika raja Salya menjadi panglima, Mpu Seddah menyuruh saya menyelesaikan cerita ini, karena saya merasa kikuk dan tunarasa. Karena saya merasa sayang tentang ciptaan penyair raja ini yang sangat indah, saya dengan sengaja memberanikan diri untuk melanjutkan akhir ceritera ini yang mengerikan (Wirjosuparto, 1968: 360). Terjemahan lain: Dengan demikian saya tidak sendirian dalam menggubah kisah ini. Seorang yang mematangkan kepandaiannya sebagai abdi sang raja, Mpu Sedah yang tersohor itu, menulis bagian pertama kakawin ini,tanpa ada satu cacad pun yang mengurangi keindahannya. Adegan ketika Salya menjadi panglima tertinggi, mengawali bagian karya yang dibebankan kepadaku dan yang bersifat janggal dan tawar. Sungguh sangat disayangkan, bahwa kemanisan sang penyair istana lalu dilapisi kepahitan (Zoetmulder, 1983: 340-1). Dari dua terjemahan atas teks yang sama, namun bisa tertafsirkan berbeda ini, tetap jelas menunjukkan bahwa penulis bagian yang dikutip, dan kutipan selanjutnya, adalah Mpu Panuluh. Seluruh kutipan dari versi Wirjosuparto.
2) Bandingkan bagian ini dengan versi Zoetmulder, yang menerjemahkannya dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko : Biarpun bulan muda, namun malam cerah karena bintang-bintang gemerlapan dan kunang-kunang pun berkedip-kedip seolah-olah mau menunjukkan jalan.
3) Kamanak dan kangsi: nama alat musik (Zoetmulder, 1995 : 449, 456).
4) Masih mengacu kepada perhitungan waktu India sezaman : kala (48 detik); ghati, ghatika, nadi, nadika (24 menit = 30 kala); muhurta, ksana (48 menit); divasa (24 jam). Jadi yang dimaksud adalah pukul 03:00 pagi (Zoetmulder : 243).
5) Dalam cerita yang Anda baca, Pancawala adalah anak Drupadi dari kelima ayahnya. Pilihan ini saya anggap lebih praktis, dan lebih unik (Drupadi tak tahu siapa ayah biologis Pancawala), ketimbang Drupadi mempunyai lima anak dari lima ayah seperti teks Kakawin Bharata-Yuddha ini. Dalam Mahabharata dari India lima anak itu adalah Pratiwindya dari Yudhistira; Srutasoma dari Bima; Srutakirti dari Arjuna; Srutanika dari Nakula; dan Srutawarman dari Sadewa. Dengan begitu Drupadi di sini tetap poliandris. Dalam versi Jawa Baru, Pancawala adalah anak Drupadi dari Yudhistira. Menjadi jelas kini, darimana kata panca itu berasal. Agaknya yang lima itu disatukan, atau sifat ke-lima-annya dipertahankan, ketika suami Drupadi dijadikan satu orang saja. Adapun kata wala berarti jejaka.
6) Wirjosuparto, op.cit., h. 344-7.
7) Poerbatjaraka (1992: 19-20).
8) Berasal dari versi lain, dengan ibu bernama Krepi (Poerbatjaraka: 32).
9) Wirjosuparto, op.cit., halaman. 348-9.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 25 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar