Jumat, 13 Mei 2011

Pengajaran Sastra

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah: apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya pada sastra.

Mungkin setelah itu seorang guru sastra mendapatkan beberapa pegangan untuk untuk menjawab, walau pun tidak benar-benar tuntas tentang: bagaimana mengajarkan pelajaran sastra. Tetapi sementara itu, pertanyaan lain sudah buru-buru hendak mengejar. Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya ada di luar sastra. Apa, siapa dan bagaimana sebenarnya apa yang disebut “guru” itu. Apakah itu sebuah lembaga atau orang?

Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan adalah segala tulisan yang indah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang tidak indah tidak termasuk sastra. Apa batas/syarat keindahan itu. Bagaimana kalau ada sebuah karya yang sama sekali tidak indah, tetapi mengandung ekspresi yang sangat penting, sehingga menuntun imajinasi mengembara ke sesuatu yang lain, yang mengantarkan ke pada makna-makna yang mendasar, sehingga menciptakan haru?. Apa itu juga keindahan? Kalau begitu keindahan itu bisa tidak indah?

Lalu bagaimana dengan sastra lisan yang menjadi salah satu kekuatan di dalam tradisi kita, apa itu bukan sastra hanya karena tidak tertulis? Sebuah sastra lisan Bali yang dikenal dengan nama Men Kelodang ( Bu Kelodang), misalnya, (atau ambillah sastra lisan yang mana pun) transkripsinya bila dibaca akan terasa patah dan tak indah.

Tetapi bila dibunyikan, lewat mulut seorang nenek untuk didengarkan oleh cucunya yang sedang tumbuh, ia menjadi sebuah tenung yang mengandung berbagai aspek. Di situ ada pendidikan moral yang diam-diam menjadi kekayaan batin calon penerus generasi itu di masa depan. Sastra lisan adalah sebuah lab, sebuah kepustakaan yang berwujud bunyi yang sangat besar artinya pada tradisi Timur yang menempatkan pembelajaran sebagai proses yang non formal yang disebut magang atau nyantrik..

Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.

Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra mendadak membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan pun yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Segala hal kena gigit oleh sastra. Teknologi dan dagang pun tak mampu bebas dari sastra.

Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya, bila sastra tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada sesuatu yang telah sesat . Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu sendiri.

Bila di masa lalu, pelajaran sastra hanya dikunyah oleh anak-anak bagian A (budaya) di SMA, bahkan kemudian nyaris dibuang, karena jam pelajarannya dikanibal oleh pelajaran tata bahasa, maka sebenarnya sudah terjadi kesalahan besar. Sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa. Dan tanpa kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan hanya kering, membosankan, tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.

Dengan memandang sastra seperti itu, tak ada yang tidak terjamah oleh sastra. Sastra sendiri sebaliknya juga tidak hanya terpatok pada dirinya sendiri. Sastra tak terkunci pada keindahan, kemolekan dan tulisan tok. Sastra tak hanya masturbasi kata-kata, tetapi idiom idiom bahasa, yang menjadi kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya, teknologi, ekonomi maupun masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan bahkan juga agama.

Tak heran, kalau di berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra, dikaitkan dengan sejarah dan politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya berhenti sebagai bacaan pelipur lara, tetapi juga menjadi dokumen sosial-politik terhadap kurun masa di saat pengarangnya hidup. Dari sebuah cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S.

Guru sastra bertugas untuk membuka semua katup-katup sastra. Dengan keberadaan seorang guru permainan kata-kata itu tidak mampus sebagai teka-teki, tetapi memberikan inspirasi yang membuat sastra berdaya. Sastra akan memotivasi bahkan menstimulasi manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang dan mencapai targetnya. Guru sastra adalah seoprang jubir, seorang PR, seorang menejer, seorang agen dan seorang penafsir. Walhasil seorang “:pemain” aktip, bukan hanya makelar apalagi

Pada prakteknya, seorang guru di masa lalu, adalah seorang “penghajar”. Ia memiliki posisi lebih tahu, lebih cerdik, lebih pintar dan lebih berkuasa . Untuk mengoper ilmu yang dikuasainya (padahal sering ilmu yang sudah kedaluwarsa), ia tak segan-segan melakukan kekerasan dengan dalih desiplin. Suasana kelas lebih merupakan pertunjukan monolog dan indoktrinasi tanpa boleh ada yang membantah. Yang terjadi bukan proses pembelajaran tetapi penderaan. Murid-murid disiksa untuk menelan, menghapal, apa yang dimuntahkan oleh guru. Berpendapat lain bisa dicap kurangajar.

Hasil pembelajaran seperti itu memang tak menghalangi anak-anak yang jenius untuk tumbuh terus dan melejit berdasarkan kodratnya. Tetapi secara umum, posisi guru yang menghajar itu sudah menyelewengkan makna pembelajaran menjadi pelajaran mengembik. Murid-murid hapal nama-nama, tahun dan jumlah, tetapi tak mampu memaknakan apa hakekat dari semua pengetahuan yang diterimanya.

Murid yang terdidik bertahun-tahun bukannya menjadi luas wawasannya dan kaya gagasannya, tetapi malah menjadi berkepala keras dan pada gilirannya, mentoladan jejak gurunya, menjadi otoriter.

Mengajar adalah mengantar, membimbing, mengembangkan potensi anak-anak didik dengan berbagai pengetahuan yang harus terus dikembangkan dan diikuti perkembangannya. Pelajaran bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mengantar mereka yang diajar agar sampai kepada hakekat dari makna-makna berbagai hal di dalam kehidupan yang terus bergerak, berkembang, bertumbuh bahkan mungkin berubah.

Kadangkala seorang guru bisa lebih bodoh dari muridnya, tetapi ia tetap seorang guru. Ia menjadi guru bukan karena lebih pintar, tetapi karena berkemampuan untuk mengembangkan potensi anak didiknya berdasarkan kemampuan masing-masing. Mengajar dengan demikian bukanlah mengindoktrinasi, atau menyulap orang bodoh menjadi pintar. Guru bukan seorang dukun, bukan juga tukang sihir dan bukan seorang tiran.

Guru adalah seorang teman yang membimbing yang membagi informasi secara periodik dan sistimatik, sesuai dengan tingkat kemampuan anak didiknya. Sehingga apabila ia menghadapi murid yang sangat pintar, yang lebih pintar dari dirinya, ia tidak perlu merasa terancam akan dipecat. Sekali seorang menjadi guru, ia tetap saja guru, karena itu sebuah fungsi yang tetap diperlukan oleh orang yang pintar sekali pun, karena “guru” lah yang menemani muridnya untuk mengembangkan kepintarannya.

Mengajar lebih cenderung sebagai menemani secara aktip, anak-anak didik dalam memunggut pengetahuan dari berbagai buku. Mengajar lebih kurang adalah menjadi seorang tukang kebun dengan berbagai bibit pohon yang memiliki watak berbeda-beda, di dalam sepetak tanah yang sama.

Kesibukan rutinnya adalah merawat dan mengembangkan. Bagaimana membagi perhatian, bagaimana menyiasati agar pohon-pohon itu berkembang, di tanah yang adanya memang begitu, adalah tanggungjawab guru.

Mengajar sama sekali bukan menghajar, meskipun sekali tempo diperlukan hajaran. Mengajar adalah mempengaruhi kalau perlu “menipu” anak didik untuk mencintai dan melihat kegunaan dari apa yang dibelajarkan. Mengajar berarti membuat siasat. Seorang guru harus belajar bersiasat, tanpa bersiasat, pembelajaran akan kembali menjadi penghajaran.

Seorang guru harus dapat membuktikan bahwa apa yang diajarkannya bermanfaat. Tanpa melihat kemanfaatan dari apa yang dipelajari, tanpa menyadari kaitannya dengan realita, maka pelajaran tetap akan kembali sebagai “penghajaran” yang membuat mereka yang belajar merasa didera/dihukum.

Mengajar bukan menyulap seorang anak yang bodoh menjadi pintar, bukan mendadani murid dengan asesoris ijazah/gelar, tetapi mencoba membuktikan bahwa bahwa anak yang bodoh itu sebenarnya sudah keliru, karena ia lupa bahwa dirinya pintar. Tak ada yang bisa diajarkan kepada orang lain, apalagi sastra.

Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.

Apa gunanya sastra. Mengapa sastra terkait dengan hidup setiap orang? Itulah yang harus dijawab oleh setiap guru sastra supaya pebelajarannya tidak menjadi penghajaran.

Ada banyak metode mengajar. Semua metode bagus, tetapi tidak semua yang bagus cocok dengan siapa yang mengajar dan siapa yang diajar. Sementara itu, siapa yang mengajar tidak harus lebih penting dari siapa yang akan diajar.

Bukan pengetahuan pengajar atau apa yang cocok dengan pengajar yang penting, tetapi apa yang akan menjadi pengetahuan yang diajar dan bagaimana membuat yang diajar jadi berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan agenda mutlak. Seorang guru sastra memiliki strategi masing-masing sesuai dengan medan dan kondisi orang-orang yang diajarnya.

Pelajaran sastra tak penting diajarkan oleh siapa, tapi siapa yang diajar, itu sangat menentukan. Di masa lalu hal ini diabaikan. Kurikulum yang ingin mensistimatiskan pendidikan, mecoba melihat pembelajaran sebagai membangun rumah. Desainnya yang terlebih dahulu dirancang. Kemudian dirinci pelaksanaannya sesuai dengan waktu dan biaya. Lalu hasilnya ditargetkan. Tapi apa yang terjadi?

Yang muncul adalah satu birokrasi yang rapih. Rumah pun jadi, nampak indah, tepat waktu, sesuai dengan rencana dan tidak ada pembengkakan biaya. Itu sem ua memang cocok buat menyusun laporan, sebab ada rencana, ada hasil, sehingga jelas plus dan minus prosesnya dalam setiap tahun. Persis seperti sebuah pembukuan uang.

Tetapi apa lacur, rumah yang dibangun itu, hasil pembelajaran sastra itu, ketika dihuni, ketika diujicoba hasilnya, yang tinggal hanya dendam, rasa benci dan muak, karena hanya menjadi kenang-kenangan bagi mereka yang sudah dihajar, terhadap tindak kekerasan. Rumah itu bukan dipersiapkan untuk ditinggali tetapi dilihat sebagai maket dal;am sebuah pameran. Pelajaran sastra hanya menjadi pelajaran tidak perlu yang buang-buang waktu dan membuat orang benci pada sastra.

_Pembelajaran sastra telah menghasilkan semacam Rumah Sangat Sederhana yang cocok untuk etalase laporan administrative, bahwa sudah dilaksanakan pembangunan. Namun kalau ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorang pun yang dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara itu. Berbeda dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel kereta api di stasiun.

Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi sarang bagi pengghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya, sehingga cocok dan akrab. Rumah semacam itulah yang lebih diperlukan dalam proses pembelajaran sastra.

Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.

Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun, gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.

Sajak-sajak pamflet Rendra, lagu-lagu Bimbo yang liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, misalnya, selama ini tak pernah sempat diajarkan di dalam pelajaran sastra, karena adanya diujung kerucut. Bahkan guru-guru sastra pun banyak yang tidak tahu. Pelajaran sastra harus dimulai digenjot dari masa kini, karena sastra bukan hanya mimpi, bukan cerita masa lampau..

Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.

Sajak “Aku” yang ditulis oleh Chairil Anwar, setiap kali dibaca kembali, seperti sebuah sajak yang baru, karena ia mengandung makna yang seperti tumbuh. Kata-kata memang sesuatu yang mati, tetapi maknanya berkembang, mengikuti interptretasi dari pembaca. Karya sastra tidak membungkam pembaca, tetapi justru menawarkan diri agar pembaca dapat mengembangkan interpretasinya. Sastra menggelorakan kehidupan pikir dan imajinasi pembaca. Permainan itulah yang akan membuat sastra menjadi semacam permainan yang seharusnya menarik dan asyik karena hampir tanpa batas.

Sebuah lakon bernama “Menunggu Godot” karya Samuel Beckett, adalah sumbangan yang monumental terhadap kehidupan. Sebagaimana Thomas Alfa Edison yang menemukan listrik, atau Einstein yang menyumbangkan teori kwantum, Beckett menangkap satu makna besar dari kehidupan bahwa pada hakekatnya manusia, semua manusia harus menunggu. Dengan memahami kesaksian Beckett tersebut, wawasan tentang kehidupan bertambah dan semakin jelas bahwa sastra bukan hanya hiburan, tetapi ilmu.

Sebuah novel berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Beecher Stowe yang menceritakan penderitaan budak-budak kulit hitam di Amerika telah mengobarkan rasa kemanusiaan orang Amerika. Buku tersebut dianggap salah satu pencetus dari perang Saudara di Amerika yanbg kemudian membawa kesetaraan perlakuan terhadap kulit hitam di negara yang kini mengakju menjadi pelopor demokrasi itu.

Kita membutuhkan guru-guru pelajaran sastra yang memahami apa sastra dan bagaimana mengajarkan sastra kepada anak didiknya. Untuk itu, sebagaimana juga olahraga, diperlukan pendidikan khusus.

Tapi itu mungkin hanya sebuah mimpi, kecuali kalau pelajaran sastra diberikan posisi yang setara dengan pelajaran tata bahasa, setidak-tidaknya proposional. Lebih lanjut, kerucut kurikulum sebaiknya dibalik agar konteks kekiniannya keluar. Pembelajaran sastra tidak lagi dimulai dari Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, tetapi dari — misalnya – Sutardji atau …….. .

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati