Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/
Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah: apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya pada sastra.
Mungkin setelah itu seorang guru sastra mendapatkan beberapa pegangan untuk untuk menjawab, walau pun tidak benar-benar tuntas tentang: bagaimana mengajarkan pelajaran sastra. Tetapi sementara itu, pertanyaan lain sudah buru-buru hendak mengejar. Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya ada di luar sastra. Apa, siapa dan bagaimana sebenarnya apa yang disebut “guru” itu. Apakah itu sebuah lembaga atau orang?
Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan adalah segala tulisan yang indah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang tidak indah tidak termasuk sastra. Apa batas/syarat keindahan itu. Bagaimana kalau ada sebuah karya yang sama sekali tidak indah, tetapi mengandung ekspresi yang sangat penting, sehingga menuntun imajinasi mengembara ke sesuatu yang lain, yang mengantarkan ke pada makna-makna yang mendasar, sehingga menciptakan haru?. Apa itu juga keindahan? Kalau begitu keindahan itu bisa tidak indah?
Lalu bagaimana dengan sastra lisan yang menjadi salah satu kekuatan di dalam tradisi kita, apa itu bukan sastra hanya karena tidak tertulis? Sebuah sastra lisan Bali yang dikenal dengan nama Men Kelodang ( Bu Kelodang), misalnya, (atau ambillah sastra lisan yang mana pun) transkripsinya bila dibaca akan terasa patah dan tak indah.
Tetapi bila dibunyikan, lewat mulut seorang nenek untuk didengarkan oleh cucunya yang sedang tumbuh, ia menjadi sebuah tenung yang mengandung berbagai aspek. Di situ ada pendidikan moral yang diam-diam menjadi kekayaan batin calon penerus generasi itu di masa depan. Sastra lisan adalah sebuah lab, sebuah kepustakaan yang berwujud bunyi yang sangat besar artinya pada tradisi Timur yang menempatkan pembelajaran sebagai proses yang non formal yang disebut magang atau nyantrik..
Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.
Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra mendadak membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan pun yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Segala hal kena gigit oleh sastra. Teknologi dan dagang pun tak mampu bebas dari sastra.
Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya, bila sastra tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada sesuatu yang telah sesat . Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu sendiri.
Bila di masa lalu, pelajaran sastra hanya dikunyah oleh anak-anak bagian A (budaya) di SMA, bahkan kemudian nyaris dibuang, karena jam pelajarannya dikanibal oleh pelajaran tata bahasa, maka sebenarnya sudah terjadi kesalahan besar. Sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa. Dan tanpa kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan hanya kering, membosankan, tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.
Dengan memandang sastra seperti itu, tak ada yang tidak terjamah oleh sastra. Sastra sendiri sebaliknya juga tidak hanya terpatok pada dirinya sendiri. Sastra tak terkunci pada keindahan, kemolekan dan tulisan tok. Sastra tak hanya masturbasi kata-kata, tetapi idiom idiom bahasa, yang menjadi kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya, teknologi, ekonomi maupun masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan bahkan juga agama.
Tak heran, kalau di berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra, dikaitkan dengan sejarah dan politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya berhenti sebagai bacaan pelipur lara, tetapi juga menjadi dokumen sosial-politik terhadap kurun masa di saat pengarangnya hidup. Dari sebuah cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S.
Guru sastra bertugas untuk membuka semua katup-katup sastra. Dengan keberadaan seorang guru permainan kata-kata itu tidak mampus sebagai teka-teki, tetapi memberikan inspirasi yang membuat sastra berdaya. Sastra akan memotivasi bahkan menstimulasi manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang dan mencapai targetnya. Guru sastra adalah seoprang jubir, seorang PR, seorang menejer, seorang agen dan seorang penafsir. Walhasil seorang “:pemain” aktip, bukan hanya makelar apalagi
Pada prakteknya, seorang guru di masa lalu, adalah seorang “penghajar”. Ia memiliki posisi lebih tahu, lebih cerdik, lebih pintar dan lebih berkuasa . Untuk mengoper ilmu yang dikuasainya (padahal sering ilmu yang sudah kedaluwarsa), ia tak segan-segan melakukan kekerasan dengan dalih desiplin. Suasana kelas lebih merupakan pertunjukan monolog dan indoktrinasi tanpa boleh ada yang membantah. Yang terjadi bukan proses pembelajaran tetapi penderaan. Murid-murid disiksa untuk menelan, menghapal, apa yang dimuntahkan oleh guru. Berpendapat lain bisa dicap kurangajar.
Hasil pembelajaran seperti itu memang tak menghalangi anak-anak yang jenius untuk tumbuh terus dan melejit berdasarkan kodratnya. Tetapi secara umum, posisi guru yang menghajar itu sudah menyelewengkan makna pembelajaran menjadi pelajaran mengembik. Murid-murid hapal nama-nama, tahun dan jumlah, tetapi tak mampu memaknakan apa hakekat dari semua pengetahuan yang diterimanya.
Murid yang terdidik bertahun-tahun bukannya menjadi luas wawasannya dan kaya gagasannya, tetapi malah menjadi berkepala keras dan pada gilirannya, mentoladan jejak gurunya, menjadi otoriter.
Mengajar adalah mengantar, membimbing, mengembangkan potensi anak-anak didik dengan berbagai pengetahuan yang harus terus dikembangkan dan diikuti perkembangannya. Pelajaran bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mengantar mereka yang diajar agar sampai kepada hakekat dari makna-makna berbagai hal di dalam kehidupan yang terus bergerak, berkembang, bertumbuh bahkan mungkin berubah.
Kadangkala seorang guru bisa lebih bodoh dari muridnya, tetapi ia tetap seorang guru. Ia menjadi guru bukan karena lebih pintar, tetapi karena berkemampuan untuk mengembangkan potensi anak didiknya berdasarkan kemampuan masing-masing. Mengajar dengan demikian bukanlah mengindoktrinasi, atau menyulap orang bodoh menjadi pintar. Guru bukan seorang dukun, bukan juga tukang sihir dan bukan seorang tiran.
Guru adalah seorang teman yang membimbing yang membagi informasi secara periodik dan sistimatik, sesuai dengan tingkat kemampuan anak didiknya. Sehingga apabila ia menghadapi murid yang sangat pintar, yang lebih pintar dari dirinya, ia tidak perlu merasa terancam akan dipecat. Sekali seorang menjadi guru, ia tetap saja guru, karena itu sebuah fungsi yang tetap diperlukan oleh orang yang pintar sekali pun, karena “guru” lah yang menemani muridnya untuk mengembangkan kepintarannya.
Mengajar lebih cenderung sebagai menemani secara aktip, anak-anak didik dalam memunggut pengetahuan dari berbagai buku. Mengajar lebih kurang adalah menjadi seorang tukang kebun dengan berbagai bibit pohon yang memiliki watak berbeda-beda, di dalam sepetak tanah yang sama.
Kesibukan rutinnya adalah merawat dan mengembangkan. Bagaimana membagi perhatian, bagaimana menyiasati agar pohon-pohon itu berkembang, di tanah yang adanya memang begitu, adalah tanggungjawab guru.
Mengajar sama sekali bukan menghajar, meskipun sekali tempo diperlukan hajaran. Mengajar adalah mempengaruhi kalau perlu “menipu” anak didik untuk mencintai dan melihat kegunaan dari apa yang dibelajarkan. Mengajar berarti membuat siasat. Seorang guru harus belajar bersiasat, tanpa bersiasat, pembelajaran akan kembali menjadi penghajaran.
Seorang guru harus dapat membuktikan bahwa apa yang diajarkannya bermanfaat. Tanpa melihat kemanfaatan dari apa yang dipelajari, tanpa menyadari kaitannya dengan realita, maka pelajaran tetap akan kembali sebagai “penghajaran” yang membuat mereka yang belajar merasa didera/dihukum.
Mengajar bukan menyulap seorang anak yang bodoh menjadi pintar, bukan mendadani murid dengan asesoris ijazah/gelar, tetapi mencoba membuktikan bahwa bahwa anak yang bodoh itu sebenarnya sudah keliru, karena ia lupa bahwa dirinya pintar. Tak ada yang bisa diajarkan kepada orang lain, apalagi sastra.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya, relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah ilmu.
Apa gunanya sastra. Mengapa sastra terkait dengan hidup setiap orang? Itulah yang harus dijawab oleh setiap guru sastra supaya pebelajarannya tidak menjadi penghajaran.
Ada banyak metode mengajar. Semua metode bagus, tetapi tidak semua yang bagus cocok dengan siapa yang mengajar dan siapa yang diajar. Sementara itu, siapa yang mengajar tidak harus lebih penting dari siapa yang akan diajar.
Bukan pengetahuan pengajar atau apa yang cocok dengan pengajar yang penting, tetapi apa yang akan menjadi pengetahuan yang diajar dan bagaimana membuat yang diajar jadi berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan agenda mutlak. Seorang guru sastra memiliki strategi masing-masing sesuai dengan medan dan kondisi orang-orang yang diajarnya.
Pelajaran sastra tak penting diajarkan oleh siapa, tapi siapa yang diajar, itu sangat menentukan. Di masa lalu hal ini diabaikan. Kurikulum yang ingin mensistimatiskan pendidikan, mecoba melihat pembelajaran sebagai membangun rumah. Desainnya yang terlebih dahulu dirancang. Kemudian dirinci pelaksanaannya sesuai dengan waktu dan biaya. Lalu hasilnya ditargetkan. Tapi apa yang terjadi?
Yang muncul adalah satu birokrasi yang rapih. Rumah pun jadi, nampak indah, tepat waktu, sesuai dengan rencana dan tidak ada pembengkakan biaya. Itu sem ua memang cocok buat menyusun laporan, sebab ada rencana, ada hasil, sehingga jelas plus dan minus prosesnya dalam setiap tahun. Persis seperti sebuah pembukuan uang.
Tetapi apa lacur, rumah yang dibangun itu, hasil pembelajaran sastra itu, ketika dihuni, ketika diujicoba hasilnya, yang tinggal hanya dendam, rasa benci dan muak, karena hanya menjadi kenang-kenangan bagi mereka yang sudah dihajar, terhadap tindak kekerasan. Rumah itu bukan dipersiapkan untuk ditinggali tetapi dilihat sebagai maket dal;am sebuah pameran. Pelajaran sastra hanya menjadi pelajaran tidak perlu yang buang-buang waktu dan membuat orang benci pada sastra.
_Pembelajaran sastra telah menghasilkan semacam Rumah Sangat Sederhana yang cocok untuk etalase laporan administrative, bahwa sudah dilaksanakan pembangunan. Namun kalau ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorang pun yang dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara itu. Berbeda dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel kereta api di stasiun.
Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi sarang bagi pengghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya, sehingga cocok dan akrab. Rumah semacam itulah yang lebih diperlukan dalam proses pembelajaran sastra.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.
Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun, gurindam, soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa yang nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sajak-sajak pamflet Rendra, lagu-lagu Bimbo yang liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, misalnya, selama ini tak pernah sempat diajarkan di dalam pelajaran sastra, karena adanya diujung kerucut. Bahkan guru-guru sastra pun banyak yang tidak tahu. Pelajaran sastra harus dimulai digenjot dari masa kini, karena sastra bukan hanya mimpi, bukan cerita masa lampau..
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.
Sajak “Aku” yang ditulis oleh Chairil Anwar, setiap kali dibaca kembali, seperti sebuah sajak yang baru, karena ia mengandung makna yang seperti tumbuh. Kata-kata memang sesuatu yang mati, tetapi maknanya berkembang, mengikuti interptretasi dari pembaca. Karya sastra tidak membungkam pembaca, tetapi justru menawarkan diri agar pembaca dapat mengembangkan interpretasinya. Sastra menggelorakan kehidupan pikir dan imajinasi pembaca. Permainan itulah yang akan membuat sastra menjadi semacam permainan yang seharusnya menarik dan asyik karena hampir tanpa batas.
Sebuah lakon bernama “Menunggu Godot” karya Samuel Beckett, adalah sumbangan yang monumental terhadap kehidupan. Sebagaimana Thomas Alfa Edison yang menemukan listrik, atau Einstein yang menyumbangkan teori kwantum, Beckett menangkap satu makna besar dari kehidupan bahwa pada hakekatnya manusia, semua manusia harus menunggu. Dengan memahami kesaksian Beckett tersebut, wawasan tentang kehidupan bertambah dan semakin jelas bahwa sastra bukan hanya hiburan, tetapi ilmu.
Sebuah novel berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Beecher Stowe yang menceritakan penderitaan budak-budak kulit hitam di Amerika telah mengobarkan rasa kemanusiaan orang Amerika. Buku tersebut dianggap salah satu pencetus dari perang Saudara di Amerika yanbg kemudian membawa kesetaraan perlakuan terhadap kulit hitam di negara yang kini mengakju menjadi pelopor demokrasi itu.
Kita membutuhkan guru-guru pelajaran sastra yang memahami apa sastra dan bagaimana mengajarkan sastra kepada anak didiknya. Untuk itu, sebagaimana juga olahraga, diperlukan pendidikan khusus.
Tapi itu mungkin hanya sebuah mimpi, kecuali kalau pelajaran sastra diberikan posisi yang setara dengan pelajaran tata bahasa, setidak-tidaknya proposional. Lebih lanjut, kerucut kurikulum sebaiknya dibalik agar konteks kekiniannya keluar. Pembelajaran sastra tidak lagi dimulai dari Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, tetapi dari — misalnya – Sutardji atau …….. .
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar