[Dari Sabrank Suparno,
Fikri. MS sampai Wong Wing King]
Nurel Javissyarqi
Sudah beberapa hari ini
aku berada di Jombang, padahal rencananya paling banter dua atau tiga hari.
Beginilah keadaanku kala berkelana, seperti udara diterbangkan angin ke mana sesukanya,
tiada lebih diriku sewaktu di rumah. Ku bebaskan alam pikir-kalbu mengikuti
arus tak terlihat, sericikan ombak kehidupan berjuta jumlah, dan setiap
partikel terkecil menentukan aura. Daun-daun, burung-burung, bergerombol awan
bertumpuk-tumpuk kadang menipis sesuai tarian bayu berdendang, berdentaman ke
dasar jiwa.
Mungkin kesukaanku pada dua
perkara; membaca dan menulis; menyimak buku, peredaran alam, gerak hayati,
lajuan bertumbuh pula kelayuan. Semuanya kurasai sebadan bersandaran
ketenangan, belajar menggali ikhwal ribuan makna, membongkar batu-batu cadas
pengertian. Aku jadi teringat para ibu pemukul batu-batu di Gunung Kidul,
penjual kerupuk berjalan kaki, pedagang almari dengan pikulan kayu, doanya
perbuatan. Menjajakan yang dibawanya dengan kembalian tak memaksa, hanya ketenangan
rahayu teridam, sekehendak pada alam keabadian.
Pagi ini aku kembali
bertepatan di rumah Sabrank, desa Dowong, Plosokerep, Sumobito, yang
kesehariannya bekerja ke sawah, dia tak lebih pantulan jiwa revolusioner Emha
Ainun Nadjib, tetangga desanya, Mentoro, Sumobito, Jombang. Sejak belia dia
sudah kerap mendengar kata-kata Emha, atau malahan jarang membaca karya-karyanya,
seperti murid belajar langsung. Ucapan Cak Nun, tak kurang sama di buku-bukunya
yang dikemudian hari dijumpainya.
Sabrank Suparno, awal
mula kukenal seorang pembaca cerkak (cerito cekak atau cerpen berbahasa Jawa)
yang handal, seperti petuah-petuah orang dulu. Jiwa tuturnya tak sebentuk
menggurui, tetapi dengan langgam penceritaan sindiran, paribasan, membuat orang
terheran-heran. Jikalau melihat perbedaan insan jaman sekarang yang banyak
melupakan kebudayaan leluhur, dialah salah satu penguri-uri budaya. Aku
bersyukur, dia mulai merambah ke kancah susastra Indonesia, sehingga kita
mengetahui jawilan-jawilan kecil bak mutiara keringatnya.
Kukira keberangkatannya
menapaki jalan kepengarangan lewat cerkak, tumbuh sejiwa berontak disamping
menta’ati tradisi. Atau berkehendak melapangkan keduanya, dalam menggenapi usia
kehadiran pribadi sebagai manusia Jawa mengenali bahasa Indonesia. Di lihat
tulisannya makin membeludak, sedang buku-buku perpustakaan pribadinya tidak
seberapa, atau bisa dikata lebih banyak baca realitas; bencah kebijakan, hijau
pepadian perkaya pikiran, hujan lebat kegalauan menentukan pilihan tahap
penelitannya, mendung bergayuh harapan kelam. Namun ada secercah cahaya di
sela-sela gemawan, matahari keyakinan diberangkatkan dari kemauan, hasrat tak
ingin tertinggal dari jauh.
Entah apa dipikir
mengenai alam penulisan, kemungkinan bukan ketenaran, apalagi kekayakan, tidak.
Dia telah berkelana ke pulau dewata Bali hingga plosok-plosoknya, Madura, dan
dataran tanah Jawa sudah dihatamkannya. Mungkin segenap jiwa-raganya
dipersembahkan demi nilai-nilai adiluhung terserap, sekaligus menyerap jati dirinya
tetap kokoh di bumi kelahiran, sejauh kalimatnya mampu meresapi kalbu pembaca.
Sabrank sekadar lulusan
Aliyah setingkat SMA, maka sangat memalukan, jika ada mahasiswa kurang bisa menulis.
Alam pendidikan kelak benar-benar menuju titik kehancuran, kalau tidak pandai
mengamalkan segenap keilmuannya, hanya berpelesiran dari desa ke kota, adu gengsi
gagah-gagahan, atau hanya mampu mengadopsi teori pula mazhab aliran dari negeri
jauh yang jelas tidak dapat mengakar di bumi Nusantara.
***
Minimal beberapa hari ini
di Jombang, aku coba meresapi pelbagai kemungkinan ke depan; pertama membakar
gairah kawan Fikri MS., kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November
1982 yang lulus kuliah di STKIP Jombang, yang bertemu dengannya di malam
pementasan teater bertajuk “Elegi Sebuah Negeri.” Serta memberi usulan spasi
pada nama cerpenis Wong Wing King, kelahiran Jombang jebolan UNDAR.
***
Penyair Fikri. MS yang
aktif di teater, menceritakan hari-harinya disibukkan kegiatan komunitas, sehingga
sedikit waktu luang berkarya tulis, meski berbakat kesastrawian. Semoga
sekembalinya dari Jawa, ada ruang-waktu khusyuk mengudar segenap pengalamannya
demi dibentuk gugusan karya, berangkat dari realitas ditempa bacaanya.
Setidaknya ia sudah menancapkan ruh semangat di Komunitas Sanggar Teater
Gendhing di Muara Enim, yang digagas bersama kawan-kawannya semenjak 18 Agustus
2008 sampai sekarang menggeliat. Tampangnya, mengingatkan aku pada kawan
Marhaliam Zaini asal Riau, yang berkacamata penuh selidik memandangi atau
membaca para pendahulu demi ditumpahkan dalam karya yang menyatu sejiwa-raga,
seperti percampuran ruh di ubun-ubun seniman.
***
Cerpenis Wong Wing King
yang sebelumnya membentuk Sanggar Sinau Lentera, kini jadi Lentera Sastra
Sepuluh. Juga menggagas Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia, dalam
lingkungan UNDAR. Sosoknya malu-malu tapi haus belajar disamping dirinya
pengajar, sehingga ringanlah kakinya melangkah, menambah wawasan di manapun
dalam jangkauannya. Namanya mengingatkan aku pada buku “Pelita Hidup” disusun
Moerthiko, penerbit Sekretariat Empeh Wong Kam Fu tahun 1979, yang diprakatai
Empeh Wong Kam Fu sendiri. Lagian tidak keliru, Wong Wing King (dalam bahasa
Jawa bermakna Orang di Belakang) pula berdarah turun Cina atas silsilah dari
Kediri.
***
Malam itu di kampus AMIK
Jombang, digelar acara rutin setiap tanggal 10an pengajian sastra, yang
membedah salah satu cerpennya. Lantas diriku teringat rutinitas dulu di
Lamongan, yang rutin pula menampik tulisanku untuk dibedah, sampai jadi buku.
Hanya satu esai yang dibahas pun sebatas permukaan, padahal sudah kufotokopi di
setiap acara bulanan. Entah imbas apalah, acaranya tidak berjalan lancar hingga
lima tahun dari sekarang, dan sepertinya mulai diaktifkan kembali, mungkin juga
tak lama.
***
Acara di AMIK tidak
tampak bebentuk senioritas, sehingga memudahkan bertukar pengalaman, maka
diriku tak segan mengajukan usul agar bulan depan karyaku dibahasa, dan aku
bersyukur diterima dengan tangan terbuka. Ya, semoga ajek menimba keilmuan di Jombang,
meski jarak Lamongan-Jombang lumayan membuat pegal, tapi kukira ini baik
daripada membaca-menulis dalam kamar sedirian, yang menimbulkan minimnya
kontrol. Setidaknya, atas bacaan kawan-kawan, kelak beberapa kekurangan akan
terketahui atau guna ditambal di dalam perevisian.
***
Gejala kemandekan acara
rutin kegiatan sastra biasanya tak ditopang penambahan bacaan para peserta, maka
berputar itu-itu saja kajiannya dari waktu sudah-sudah. Rupa-rupa ini
barangkali berasal sikap kegantengan, tapi dalam pancapain keilmuan tidak
tampak peningkatan, biasanya sebagai gong penutup seolah berbijak rasa
menampung jalannya diskusi. Padahal kedatangan para peserta diniatkan menimba
keilmuan saling mengisi, bukan adu mulut tanpa referensi.
Sangat disayangkan, jika
para pelaku sastra di Lamongan tidak terus sinahu, tapi masih suka
disebut-sebut, apalagi bangga dimasukkan dalam antologi Jawa Timur, tapi tak
mencerminkan tanjakan, padahal usia terus bertambah. Kukira ajaran ini masih
patut didengungkan; “mencari ilmu sampai ke liang lahat.” Namun aku bersyukur,
masih ada beberapa yang mau berdiskusi sepadan, meski di waktu-waktu kebetulan;
Rodli TL., Imamuddin SA, Agus B. Harianto, dan Denny Mizhar, AS. Sumbawi
sepulang dari Malang, Haris Del Hakim dari Surabaya. Sehingga mengurangi
kecelakaan pula kebelusuknya tilikan tengah terbangun diatas masing-masing,
yang diharapkan paparan terkemuka melalui jalan lurus mencerahkan.
Bulan Januari 2011.
http://sastra-indonesia.com/2011/01/belajar-sastra-lokal-ala-saipi-angin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar