Sabtu, 02 Juli 2011

Nurel Javissyarqi Gugat!

Wawan Eko Yulianto
http://sastra-indonesia.com/

Seperlu apakah kita menggugat Sutardji Calzoum Bachri? Sangat, bagi Nurel Javissyarqi. Kenapa? Sepertinya cukup banyak alasan untuk melakukannya. Apa saja yang perlu digugat? Saya akan coba mendaftar beberapa saja yang berhasil saya tangkap dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.

Gugatan Nurel dipicu oleh esai Tardji yang berjudul “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” di mana Nurel menemukan paragraf mono-kalimat ini:

“Peran penyair menjadi unik, karena–sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya–secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggunjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” (89)

Selanjutnya, Nurel pun mulai menggugat panjang lebar. Dalam perjalanan gugatannya, Nurel juga mendudukkan satu esai lagi sebagai biang ketidaksesuaiannya dengan Tardji, yaitu esai “Menulis di atas Mantra.”

Sebelum membicarakan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, saya ingin meringkas sebentar kedua esai Tardji tersebut.

Pada esai “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” Tardji menyatakan bahwa Tuhan menciptakan semesta dari imajinasinya. Pada gilirannya, salah satu ciptaan Tuhan, yaitu penyair, juga menggunakan imajinasinya untuk mencipta. Tuhan dan penyair tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas ciptaannya. Bahkan, penyair, sebagaimana disitir dalam surat Asy-Syu’ara, cenderung tidak melakukan apa yang dia katakan, KECUALI penyair yang beriman, yang “jika ditafsirkan secara duniawi bisa berarti para penyair serius yang selalu melandaskan dirinya pada Kebenaran dalam meningkatkan atau mengembalikan martabat manusia sebagai makhluk termulia di bumi” (90). Yang dilakukan “penyair beriman” inilah yang menjadikan puisi penting, karena selain “meninggikan dan meluhurkan martabat manusia” (fungsi individunya), dia juga “bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah.” Puisi yang menurut Tardji bisa menjadi contoh puisi semacam itu adalah teks Sumpah Pemuda, yang sebenarnya juga imajinasi (karena waktu itu belum ada nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia) yang sarat makna dan menjadi inspirasi “para pembaca dan pendengarnya yang kemudian merealisasikannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan agar mimpi dalam sumpah pemuda menjadi kenyataan” (92). Kelak, cita-cita Sumpah Pemuda itu menggiring Indonesia pada pemahaman kebangsaan yang bersifat homogen. Adalah perpuisian tahun 70-an yang selanjutnya menunjukkan anak-anak bangsa yang mau merangkul kembali “unsur-unsur daerah yang mereka akrabi.” Bagi Tardji, ini merupakan sumbangan sekaligus koreksi atas Sumpah Pemuda. Tapi, pengangkatan unsur daerah (yang dianggap Tardji sebagai “aspirasi kultural”) ini tidak menunjukkan dampak terhadap kehidupan sosial. Ketika pada tahun 2000-an marak diterapkan otonomi daerah, yang memunculkannya bukanlah aspirasi kultural tadi, tapi “respons terhadap kebutuhan atau tekanan politik” (93). Akhirul esai, Tardji menyayangkan pemerintah kita yang tidak menganggap puisi sebagai aspirasi kultural, tidak seperti John F. Kennedy yang pernah bilang “Jika politik bengkok, puisi yang meluruskan.” Padahal, sekali lagi, menurut Tardji, puisi-puisi yang baik itu mencerminkan “aspirasi hati nurani bangsa.” (93).

Pada esai “Menulis di atas Mantra,” Tardji menyatakan bahwa landasan estetiknya adalah mantra. Tetapi, dia memilah-milih bagian dari landasan tersebut yang harus ditebalkan dan harus dihapus. Dia memandang landasan itu bukan sesuatu yang siap pakai, dan butuh kerja kreatif untuk menggunakannya. Yang dia lakukan itu banyak dilakukan oleh penyair 70-an lain. Mereka kembali ke tradisi alih-alih menjadi “binatang jalang” yang mengagungkan humanisme universal atau menjadi “malin kundang” (96). Menjadi “binatang jalang” dan “malin kundang” merupakan upaya pencarian karakter. Penyair tahun 70-an menemukan tempat nyaman di unsur-unsur yang mereka akrabi, yaitu unsur lokal. Lalu Tardji melompat dan ujug-ujug menyatakan bahwa puisi merupakan buah sekaligus bibit sejarah. Salah satu puisi yang menjadi bibit sejarah adalah teks Sumpah Pemuda (dengan argumen seperti di paragraf di atas). Tardji mengakhiri dengan penyesalannya kenapa para penyair tahun 70-an tidak mendapatkan “ventilasi politik” atas aspirasi mereka. Padahal, kalau berhasil, semestinya otonomi daerah sudah bisa dimulai 30-an tahun yang lalu. Hal itu karena “politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita” (99).

Begitulah singkatnya kedua esai Tardji yang membuat Nurel “menggugat tanggung jawab kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.” Selanjutnya, saya akan COBA mendaftar poin-poin penting dari gugatan Nurel tersebut.

Pada bagian pertama buku Menggugat, Nurel berargumen bahwa penyair tak beda dengan profesi lain, dan bila Tardji dalam esai pertama mengatakan bahwa penyair lebih tinggi dari orang berprofesi lain, maka “Hanya perasaan berlebihanlah yang menganggap capaiannya yang lebih agung” (21). Nurel berargumen bahwa syair cenderung jauh dari masyarakat karena “mereka membangun patung-patung mitos sebagai sesembahan. Dielu-elukan sebagai warisan kenabian tanpa memiliki fungsi yang jelas bagi masyarakat, sebagaimana napas kerja lain di belahan bumi kekinian” (23). Nurel juga berargumen bahwa kekeliruan penyair sepanjang jaman adalah karena mereka tergoda “meloloskan diri dari tanggung jawab dengan memanfaatkan ayat-ayat, nilai, dan corak lelaku sedurungnya, sehingga abai pada ikhtiar kehidupan” (23). Dia mengakhiri dengan pandangan bahwa surat Asy-Syu’ara adalah hardikan kepada para penyair.

Pada bagian kedua, Nurel mengkritik Tardji yang menyatakan dalam esai pertama bahwa Tuhan mencipta dari imajinasiNya. Nurel memandang ini sebagai kesembronoan Tardji dalam memahami salah satu pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240). Padahal, yang sebenarnya: jagad raya adalah hasil Tuhan bertajalli atau beremanasi atau memancarkan cahayanya. Nurel pun menyuruh Tardji membaca Asy-Syu’ara dengan lebih serius. Kenapa? Karena, menurut Nurel, “Dalam pandangan Tardji, penyair seolah-olah tugasnya berleha-leha, mengigau kata-kata indah yang memabukkan, seakan-akan kesurupan Tuhannya, sebentuk umpatannya (tuduhannya) Fir’aun dan orang-orang celaka kepada para utusan Allah, di kala kalah di dalam perdebatan” (34). Jadi, kesalahan Tardji adalah pada penggunaan kata “imajinasi” yang bagi Nurel berasosiasi negatif, atau terlalu ringan.

Pada bagian ketiga, Nurel berargumen bahwa Tardji yang beraliran mantra itu posisinya cenderung tak tersentuh, dan “belum ada yang mengupas konsepnya lebih dalam (dari dalam), yakni watak ‘perdukunan’ intelektualnya, mantranya, dari akar-akar lokalitas, sehingga mewujud karya-karyanya” (35). Nurel mencurigai Tardji sebagai penyair yang berfaham, sekali lagi, “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” Padahal, bagi Nurel, semestinya mantra sangat “sarat makna, karena dari maknanyalah, daya aura menembus segala yang dikehendaki menuju batas-batas takaran dan terketahui” (36). Bagi Nurel, ini merupakan ketidaktepatan, dan semestnya Tardji mau merevisinya, bukannya “tiadalah perlu memusingkan perevisian pandang [karena] di sanalah dianggapnya tugas dari para kritikus” (37). Kemudian Nurel menarasikan dengan puitis kisah mulai diturunkannya waktu ke jagad raya hingga bagaimana kelak muncul yang namanya mantra dan jimat. Nurel mengakhiri dengan mempertanyakan apakah mantra Tardji “benar-benar karya pemilik rohaniah sekelas mantra” (44).

Di bagian keempat, Nurel membahas esai Mochtar Lubis yang berbicara tentang kecenderungan bangsa Indonesia yang mudah terpukau oleh mantra, jimat, lambang, yang dalam manifestasi mutakhirnya bisa berbentuk slogan-slogan Sukarno–btw, Pancasila juga termasuk dalam kelas ini. Separuh jalan bagian empat ini, Nurel berargumen bahwa Tuhan sebenarnya bertanggung jawab, tidak seperti yang tertulis dalam esai pertama Tardji. Sekali lagi, dalam bagian ini, Nurel mempertanyakan kemujaraban mantra Tardji. Nurel membayangkan bahwa jika saja Tardji mempertunjukkan puisinya, “sungguh kentara puisi-puisi Tardji sekadar muslihat kata, tipu daya bahasa tak mengandung unsur dinaya mantra” (52).

Di bagian kelima, Nurel mengawali dengan adanya mantra-mantra tertentu dalam bahasa Jawa yang memutar balikkan ayat Al-Qur’an, sehingga menghasilkan “pamor terbalik,” sebagaimana dipraktekkan para dukun penghamba jin. Dia juga menghardik, jangan-jangan Tardji yang ingin “membebaskan kata [dengan niat awal] mengeramatkan bahasa Indonesia lewat mantra” itu malah berdampak negatif? “Apakah kredonya tak menjerumuskan umat ke jurang jahiliah, kreativitas pembodohan?.” Di sini kemudian Nurel menguraikan tiga kelompok dalam ilmu kebatinan, yaitu 1) para nabi, rasul, wali, dan orang-orang diberkati, 2) syaman, dan 3) ilmu hitam (termasuk di dalamnya “mantra mengundang roh gentayangan, arwah nenek moyang berwatak buruk, dll”). Selanjutnya, saya tidak berhasil menangkap maksud dari bagian kelima ini.

Pada bagian keenam, Nurel mengurai tulisan Taufik Ikram Jamil tentang Tardji, yang menurut Nurel “membelejeti” Tardji meskipun disampaikan dalam bahasa yang seperti memuji. Hal ini berbeda dengan para kritikus yang cenderung meneruskan puja-puji kepada Tardji dan melupakan landasan awal penciptaan Tardji, niat Tardji dalam berpuisi. Tentu, ini berbeda dengan Taufik, yang mengenal Tardji secara personal, sehingga bisa mengkritiknya.

Pada bagian ketujuh, Nurel membahas tentang pernyataan sikap Tardji dalam pengantar buku Tardji Isyarat: Kumpulan Esai. Dalam pengantar ini, Tardji membela sajak-sajaknya karena para kritikus tidak dapat mengapresiasi sajak-sajaknya dengan kadar yang semestinya. Pembelaan Tardji tersebut adalah dengan cara menjelaskan pandangan-pandangan kepenyairannya dalam tulisan-tulisan seperti yang terkumpul dalam buku isyarat tersebut. Itulah bukti tanggung jawab penyair terhadap karyanya. Bagi Nurel, itu “bukan tanggung jawab, melainkan [indikasi/bukti bahwa] karyanya memang bobrok, sehingga butuh alat pengantar si empunya” (72). Sikap Tardji membela karya-karyanya itu mengindikasikan bahwa “batinnya belum ikhlas melepas” (72) atau “belum diuji” (73) atau konsep si penyair belum matang (75). Nurel mengkritik kegusaran Tardji karena para pandangan para kritikus tidak sesuai dengan pandangannya pada awal penciptaan, padahal “tidakkah penilaian orang lain cenderung mengisi?” (76).

Demikianlah kira-kira poin-poin penting dari buku Menggugat yang berhasil saya tangkap. Sekarang waktunya saya menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada Nurel dan siapa saja yang berkesempatan membaca buku Nurel ini, dan memberi perhatian yang sepantasnya kepada kedua esai Tardji yang dibahas di sini.

Pertama, apakah benar Tardji berpandangan bahwa “penyair tidak bisa dimintakan pertanggunjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”? Kata-kata tersebut memang dapat ditemukan dalam esai Tardji yang dibidik Nurel. Tapi sepertinya kita perlu urai lagi esai tersebut. Paragraf tersebut muncul sebelum Tardji mendedah bagaimana Al-Qur’an memandang para penyair sebagai kelompok orang yang “cenderung tergoda untuk bisa bebas tidak mempedulikan pertanggungjawaban terhadap karya-karyanya” (90). Tapi tepat setelah pembahasan terhadap kecenderungan penyair tersebut, Tardji juga menyatakan bahwa Tuhan memperingatkan penyair tentang kecenderungannya yang bisa dibilang negatif tersebut. Nah, bukankah ini berarti Tardji tahu bahwa sebenarnya tidak demikian sikap penyair yang beriman atau yang serius itu? Lagipula, di bagian selanjutnya esai tersebut Tardji membahas tentang “puisi” yang baik, yang menjadi bibit sejarah, yang mempersatukan Indonesia ke dalam satu nusa, bangsa, bahasa: Sumpah Pemuda?

Dengan itu, terjawab sudah bahwa sebenarnya Tardji tidak mendukung penyair kebanyakan sebagaimana dihardik dalam surat Asy-Syu’ara. Jadi, tidakkah kini saatnya Nurel membaca lagi pembacaan Tardji atas surat Asy-Syua’ra ini? Dan tentu dia kini perlu membaca tulisannya terkait gugatannya terhadap pembacaan Tardji atas ketiga ayat itu.

Kedua, bagaimanakah sikap Tardji terhadap mantra? Nurel berulang kali mempertanyakan keampuhan mantra Tardji. Dan sebenarnya saya juga pernah mendengar penyair lain mempertanyakan ini. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa dari kredo Tardji yang berjumlah kata 306 (termasuk nama dan tanggalnya) itu para penyuka puisi Indonesia begitu terpukau oleh kata “mantra” yang hanya muncul dua kali itu? Padahal kata “kata” muncul 23 kali (10 kali lipat dari kata “mantra”). Eh, kok jadi itung-itungan? Saya ingin mencoba memahami kalimat-kalimat penutup dalam kredo tersebut:

“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.”

Di sini Tardji tidak ingin menjadikan kata-kata (dalam puisinya!) sebagai pengusung makna. Dia ingin membebaskannya dari beban itu. Dia mengembalikan kata kepada kata pertama, yaitu “Kata.” Di sini, bisa ada dua versi. Dalam versi Injil, setahu saya yang dimaksud kata ini adalah “Yesus.” Dalam Yohannes 1:1, tertulis “In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God” Tapi kalau buat orang Islam, sepertinya yang dimaksud kata di sini adalah “Kun.” Apa maksud Tardji mengembalikan kata kepada “Kun”? Mungkin Tardji mengacu pada fungsi “Kun” itu sendiri. Jadi, dalam puisinya Tardji menggunakan kata untuk menjadi kata itu sendiri, bukan untuk membawa pesan lain (seperti misalnya kata “laptop” membawa pesan sebuah komputer tipis yang bisa dijinjing dan dipangku). Dan saya beranggapan bahwa Tardji menganggap “Kun” itu sebagai mantra Tuhan. Mantra apa? Apakah mantra yang mempunyai kemujaraban supra natural?

Pertanyaan barusan sepertinya dapat dijawab dengan melihat pembahasan Tardji atas sikapnya menulis di atas mantra. Dia menyebutkan dalam esai itu bahwa “kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan [Tardji] yang berada di atasnya” karena menurut Tardji

“salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.” (95)

Jadi, terlihatlah di sini bahwa bisa jadi kemujaraban mantra itu merupakan satu dari sekian hal yang ingin Tardji lupakan karena tidak lagi relevan dengan konteks zaman.

Atau, bisa jadi Tardji, sebagaimana telah dituduhkan banyak orang, telah berubah. Mantra yang Tardji bahas dalam kredonya bisa jadi bukan lagi mantra yang dia bahas dalam esai-esai terkininya. Apalagi, dalam kedua esai yang digugat Nurel ini mengisyaratkan bahwa yang menjadi sumpah pemuda itu serupa mantra adalah karena memiliki “irama dan pengulangan kata-kata” (91), bukan kemujarabannya. Jika perkiraan yang terakhir ini memang berpotensi benar, maka saya menyarankan kepada Nurel agar membandingkan dulu pandangan Tardji yang dulu dengan yang sekarang tentang mantra. Dengan begitu, mungkin telaah Nurel jadi lebih terfokus.

Omong-omong soal fokus, sepertinya pembahasan tentang mantra dan kemujarabannya yang cukup merajalela dalam buku ini malah mengurangi fokus gugatan Nurel. Atau, jika memang ingin terus menyertakan mantra dalam pasal-pasal gugatan kepada Tardji, mungkin Nurel harus bersedia menyampaikan gugatan-gugatannya dengan cara yang koheren dan lebih tertata, sehingga pembahasan tentang mantra itu bisa benar-benar mendukung gugatan atas tanggung jawab kepenyairan Tardji.

Karena waktu sudah habis, maka sementara begini dulu pembacaan saya atas gugatan Nurel.

Sumber: http://berbagi-mimpi.info/2011/07/03/nurel-javissyarqi-gugat/
Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 12

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati