Suara Perempuan sebagai Saksi Zaman
Judul buku: Sex, Power, and Nation: An Anthology of Writings, 1979 – 2003
Penulis: Julia Suryakusuma
Penerbit: Metafor Publishing
Tebal: xxxvii + 453 halaman
Peresensi: Melani Budianta*
http://www2.kompas.com/
Salah satu aspek diri Kartini yang kurang dimunculkan dalam peringatan setiap tanggal 21 April adalah sosoknya sebagai seorang pemikir kritis yang terjebak oleh zamannya. Sejak berusia belasan tahun, gadis bangsawan Jawa itu mengamati segala sesuatu di sekitarnya, dan yang terjadi pada dirinya dengan sorotan yang jernih dan tajam.
Surat-surat yang ditulisnya dalam bahasa Belanda untuk sobat-sobat kolonialnya merupakan saksi zaman dari suara seorang perempuan intelektual yang terpingit dan terbungkam oleh kebudayaannya sendiri yang tak mungkin memahami dan menerima gagasan emansipatorisnya. Membaca hidup Kartini adalah menyaksikan bagaimana kekuasaan-yang oleh feminis masa kini disebut “patriarki”-beroperasi melalui tradisi budaya lokal untuk mengatur tubuh dan seksualitas perempuan, dan bagaimana negara kolonial yang telah memberikan pencerahan pikiran melalui bahasa dan sastra, menutup telinga terhadap jeritannya.
Bagaimanakah para perempuan pemikir yang lahir sesudah Kartini menyikapi zamannya masing-masing? Karya mereka tersebar, dari esai-esai jurnalistik Rohana Koedoes sampai Maria Hartiningsih, esai kebatinan SK Trimurti sampai esai filosofis Karlina Leksono, puisi Nursjamsu sampai ledakan karya sastra perempuan akhir-akhir ini. Masih perlu waktu untuk menelusuri sejarah pemikiran feminis di Indonesia. Jangankan menyambung mata rantai dari satu tokoh ke tokoh lainnya, mengumpulkan tulisan masing-masing tokoh yang umumnya masih berserakan, merupakan suatu tantangan.
Seratus tahun setelah meninggalnya Kartini, Indonesia dihadiahi sebuah buku kumpulan 20 tulisan Julia Suryakusuma dalam bahasa Inggris berjudul Sex, Power and Nation. Membaca esai-esai Julia Suryakusuma menjelang Hari Kartini di tahun 2005, mengingatkan kita tentang, di satu sisi, bagaimana sosok perempuan dikonstruksikan dari zaman ke zaman, dan sisi lain, bagaimana perempuan menyuarakan pendapatnya melalui tulisan dan menjadi pelaku perubahan. Kartini diabadikan sebagai putri Indonesia dalam lagu WR Supratman di tahun 1930-an, menjadi pahlawan nasional di tahun 1964, dan menjadi ikon wanita dalam perspektif pembangunan di zaman Orde Baru. Dalam hidupnya yang singkat, Kartini sendiri tidak berpeluang untuk membuat banyak pembaruan, tetapi surat-suratnya yang penuh pergulatan jiwa dan pikiran menjadi inspirasi untuk gerakan emansipasi.
Generasi Julia Suryakusuma mempunyai kesempatan lebih besar untuk bergerak di ruang publik. Julia adalah pendiri Yayasan Almanak Politik Indonesia (API) dan termasuk salah satu aktivis yang turun ke jalan dalam aksi Suara Ibu Peduli, demonstrasi pertama dalam rangkaian gerakan massa yang menggerakkan reformasi. Tetapi, dalam wawancaranya di The Jakarta Post pada tahun 1999, Julia menandaskan bahwa aktivisme yang sebenarnya terletak pada tulisan-tulisannya yang menggugat berbagai konstruksi mapan yang ada.
Sorotan pertama Julia dalam buku ini adalah “negara dan bangsa”. Melalui sembilan esai, yang dipublikasikan di berbagai media massa dan jurnal mancanegara, Julia muncul bukan sebagai seorang komentator politik “dari dalam” yang memberikan pembaruan kepada dunia tentang perubahan sosial politik yang terjadi di Indonesia, sambil meletakkan konteksnya dalam perspektif sejarah. Esai-esai tentang persoalan kepemimpinan, kebebasan pers, partai politik, kekerasan negara sampai sikap mental bangsa Indonesia ini ditulis pada titik-titik kritis paruh dekade akhir Orde Baru sampai era Reformasi. Tak mengherankan jika bagian yang diberi judul Building a New Nation ini dibuka dengan esai yang menghadirkan kembali detik-detik menegangkan sepuluh hari menjelang berhentinya Soeharto.
Dari bagian pertama ini tampil sosok Julia, sebagai komentator politik independen yang fasih bicara untuk komunitas global, suatu profesi yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari di Indonesia, bisa disebut di sini, antara lain, Arief Budiman, Ariel Heryanto, dan Goenawan Muhamad. Dalam hal ini Julia menunjukkan bahwa berbeda dengan stereotip yang ada, intelektual perempuan tidak hanya berurusan dengan persoalan perempuan, tetapi membawa perspektif perempuan untuk mengkritik persoalan bangsa dan negara. Ulasan kritisnya tentang perspektif partai terhadap partisipasi publik perempuan merupakan contoh visi semacam ini. Pada saat yang sama, observasi yang lebih umum tentang masa depan partai politik di Indonesia tak kurang relevan sampai sekarang. Menurut Julia “masa depan partai dan demokrasi di Indonesia akan tetap bergejolak sampai masyarakat dapat diajak untuk menolak rayuan primordialisme dan komunalisme para elite politik, dan berani mendesak pertanggungjawaban mereka atas kebijakan publik”.
Jika di bagian pertama, perspektif feminis Julia mewarnai esai-esai politiknya, bagian kedua yang berjudul Sex and Power merupakan inti pemikiran feminis Julia yang menunjukkan keterkaitan antara permasalahan perempuan dengan persoalan politik dan negara. Bab ini dibuka dengan salah satu karya terpentingnya, yakni State Ibuism, yang merupakan ringkasan tesis MA di Insitute of Social Studies, The Hague tahun 1988. Tesis Julia tentang ibuisme negara ini dibongkarnya dari ideologi Orde Baru, seperti terlihat pada Dharma Wanita, PKK, dan berbagai kebijakan tentang perempuan pada masa itu. Dilengkapi dengan esai kedua dengan topik yang sama tentang negara dan seksualitas dalam budaya birokrasi pegawai negeri, kedua tulisan Julia telah menjadi acuan “wajib” bagi para pakar Indonesia maupun mancanegara yang mempelajari masalah perempuan di Indonesia. Dalam bagian ini Julia membahas persoalan perempuan dari berbagai aspeknya, dari masalah mode sampai bentuk-bentuk formal aktivisme perempuan; dari persoalan perempuan sebagai buruh dan pekerja migran sampai korban kekerasan dan militerisme.
Julia mengakui bahwa kecenderungan negara memakai konstruksi-konstruksi gender untuk berbagai kepentingan bukan hal yang baru. Sumbangan pentingnya di sini adalah menunjukkan bagaimana hal tersebut terlihat dalam perwujudannya yang spesifik dalam berbagai konteks di Indonesia dalam era pembangunanisme Orde Baru, dalam konflik dan militerisme, serta kapitalisme global-lokal.
Tulisan-tulisan Julia mendobrak anggapan bahwa feminisme adalah perang melawan laki-laki. Walaupun tidak menjadi fokus perhatiannya, Julia menunjukkan bagaimana laki-laki (pegawai negeri, buruh perkebunan, misalnya) juga mengalami penindasan. Tidak terjebak dalam dikotomi penguasa-korban, Julia mengilustrasikan-dalam catatan etnografis yang rinci di perkebunan karet Citandoh-berbagai strategi perempuan dan laki-laki untuk bertahan dalam berbagai kungkungan ekonomi dan sosial.
Dibandingkan dengan bagian sebelumnya, sebagian besar bagian ini merupakan hasil penelitian akademis yang didukung oleh survei, statistik, dan catatan etnografis. Penelitian ini diolah sedemikian rupa menjadi esai-esai yang enak dibaca. Bagian yang sangat penting bagi mahasiswa dan peneliti kajian perempuan di Indonesia ini, di sisi lain menunjukkan betapa banyak amunisi ilmiah perlu dikerahkan untuk menggoyahkan aksioma “di Indonesia tidak ada masalah dengan perempuan”. Melalui esai-esainya yang menyentuh permasalahan yang traumatik bagi perempuan Indonesia, yakni pemerkosaan massal di bulan Mei 1998 dan kekerasan militeristis di daerah-daerah konflik inilah, Julia menjadi juru bicara yang penting bagi korban dan aktivis kemanusiaan. Bahkan sampai sekarang pun masih banyak pihak yang menolak mengakui bahwa kekerasan semacam ini pernah terjadi.
Jika bagian pertama buku ini berkaitan dengan profesi Julia sebagai pendiri API dan sebagai komentator politik, dan bagian kedua berkaitan dengan landasan ideologi feminis dan akademisnya, maka bagian ketiga-yang paling tipis-merupakan penyaluran hobi Julia di bidang sastra. Sebetulnya nama Julia muncul pertama kali di media massa di awal tahun 1970-an sebagai pemenang sayembara menulis tentang buku melalui ulasannya tentang karya Iwan Simatupang. Esai terakhir dalam buku ini adalah ringkasan dari tesis BA Honoursnya di City University, London, pada tahun 1979, yakni tentang kaitan sastra dan politik dalam karya sastrawan Lekra. Julia melihat kontradiksi, baik dalam gerakan Manikebu maupun PKI. Kelompok Manikebu dilihatnya sama siapnya untuk “memakai sastra sebagai alat perjuangan ideologi”. Sedangkan strategi aliansi damai PKI dalam politik berkontras dengan garis revolusionernya yang keras di bidang sastra dan budaya-kekeliruan yang menjerumuskan sastra pada “dogmatisme, simplifikasi, romantisme perjuangan, propaganda dan konfrontasi tanpa basis teoretis yang memadai”. Dari sastra perjalanan karier Julia bergerak ke feminisme dan politik (perjalanan yang secara kronologis disusun terbalik dalam bukunya). Meskipun demikian, ulasan Julia tentang pengarang Indonesia mutakhir di bagian ketiga, seperti Rieke Diah Pitaloka dan Djenar Maesa Ayu, menunjukkan bahwa ia masih tertarik mengikuti perkembangan sastra.
Surat-surat Kartini dikumpulkan oleh Nyonya Abendanon, sahabatnya, diterbitkan dalam bahasa Belanda di tahun 1911, dalam bahasa Indonesia di tahun 1938 dan dalam bahasa Inggris di tahun 1920, dan edisi khusus dengan pengantar Eleanore Roosevelt di tahun 1964. Tulisan Julia (tujuh makalah ilmiah, satu catatan etnografis, tujuh esai, dua tesis dan tiga kolom) yang tersebar di berbagai jurnal dan koran mancanegara ini dikumpulkannya sendiri sebagai hadiah untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-50. Dalam sebuah kolom di majalah wanita baru-baru ini, Julia menjelaskan motivasi di balik “hadiah untuk diri sendiri”: “Mungkin hadiah yang paling ’tinggi’ adalah kepuasan yang kita dapat dengan memberi dari diri kita-ilmu, waktu, energi, perasaan, kasih sayang-bagi orang lain, yang membuat kita merasa berguna. Semua hal ini membutuhkan pengorbanan, disiplin, dan dedikasi. Tapi apakah artinya hidup tanpa semua itu? Masing-masing dari diri kitalah yang bisa menentukan, apakah hadiah yang paling berharga yang ingin kita berikan kepada diri kita. Masalahnya, bersediakah kita membayar harganya?”
Hadiah Julia adalah kehadiran kuat pribadinya dalam tulisan-tulisannya. Dengan penuturan yang mengalir, Julia berbicara lugas dan spontan. Bandingkan dengan gaya menulis ilmiah yang umum di Indonesia-yang cenderung meniadakan diri dalam kalimat-kalimat pasif. Suara Julia datang dari perpaduan yang kompleks: Julia yang sekuler dan rasional, dan yang spiritual-reflektif, Julia yang percaya diri dan yang peka, yang suka berdandan dan yang turun ke jalan, yang sensual dan yang radikal, yang skeptis dan yang romantis, yang berpusat pada diri sendiri dan yang mengamati orang lain. Tidak semua orang setuju dengan gagasan-gagasannya, dan suka pada gaya dan sosoknya, seorang “anarkis” (sebutannya sendiri) yang sewaktu-waktu siap menjadi liar dan mengusik. “Just write however the spirit moves you,” katanya.
Strategi ini membawa konsekuensi terhadap konsistensi ulasan. Dalam membahas karya sastra, misalnya, Julia bisa berpanjang lebar membicarakan pengarang kesukaannya, dan meyentuh secara permukaan pengarang yang tidak terlalu memancing perhatiannya. Esai-esai sosial politiknya di beberapa bagian diwarnai oleh bingkai ilmiah dengan kategori dan klasifikasi; dan di bagian-bagian lain oleh opini-opini yang dilemparkannya dengan ringan tentang tokoh dan peristiwa yang diamati.
Tak enggan berspekulasi, Julia membuat esai-esainya menggoda dan mengusik. Bacalah teorinya tentang lima sikap mental Manusia Indonesia (tidak matang, penuh ketakutan, tak berdaya, irasional, dan sulit menata diri) yang mengingatkan kita kepada Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis. Manusia Indonesia, menurut Julia, belum mencapai modernitas tetapi telah meninggalkan tradisi. Terperangkap dalam konflik kepentingan global dan internal, Manusia Indonesia menumbuhkan mentalitas jalan pintas yang cenderung mereduksi permasalahan menjadi generalisasi sempit.
Celetukan-celetukannya terkadang berseberangan dengan opini yang populer pada masanya. Sosok Wiranto di mata Julia menimbulkan tanda tanya: seorang populis yang secara terbuka mendukung reformasi, tapi kemudian berbalik arah, “apakah karena kesetiaan pada mantan atasan dan kroni, atau karena niat untuk menjaga stabilitas demi bangsa dan Negara?”. Sebaliknya, Gus Dur, yang kelebihannya sebagai pluralis diakui oleh Julia, dikecamnya dengan keras karena telah merendahkan diri untuk menjatuhkan Megawati berdasarkan orientasi keperempuanannya.
Di sisi lain, keberadaan Julia di berbagai persilangan, termasuk persilangan bidang minat, disiplin ilmiah (antropologi, sosiologi, politik) memperkaya dimensi tulisan-tulisannya. Kerumitan yang dialaminya karena berada di dunia perbatasan (“Barat-Timur, intelektual-aktivis, pemimpi yang idealis/realis, pemberontak-tradisionalis dan … feminis-’femme fatale’) dimanfaatkannya untuk menjadi sumber kreativitas dan sarana untuk menjadi “mediator budaya”. Satu abad yang lalu, seperti Julia, Kartini juga dibesarkan di perbatasan dua dunia dan dua bahasa, tetapi posisi ini membawa konsekuensi yang sangat berbeda. Penguasaan bahasa dan budaya yang menjadi kunci lompatan bagi generasi Julia untuk memperoleh akses dan kebebasan gerak, dalam konteks Kartini menjadi pembuka kesadaran akan kungkungan yang tak mungkin dilampaui.
Kartini dan Julia, dua perempuan yang haus ilmu ini jelas dibesarkan dalam kondisi yang bertolak belakang. Bandingkan potret Julia di buku itu yang bergaya bak foto model dengan potret Kartini yang nyaris tanpa ekspresi dalam konvensi fotografi zaman kolonial yang serius dan muram. Jika Kartini bermimpi untuk bersekolah di negeri Belanda, Julia Suryakusuma mendapatkan gelar MA dari sebuah institut ilmu sosial di negeri Belanda. Kartini lahir dalam keluarga bangsawan Jawa yang hanya mengirim anak laki-laki ke luar negeri, sedangkan Julia lahir di New Delhi, India, dan dibesarkan di Eropa, sebagai anak diplomat Indonesia yang terbiasa melanglangbuana. Jika Kartini remaja melahap literatur dunia dalam Bahasa Belanda diam-diam dalam pingitan di kamarnya, Julia membaca filsafat dunia dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman, di usia belasan tahun di sebuah sekolah internasional Amerika di Roma.
Tidak banyak pemikir perempuan menikmati kemewahan seorang Julia dengan aksesnya yang global. Tapi kita tidak boleh lupa, berapa harga yang harus dibayar untuk melahirkan tulisan-tulisan seperti ini. Surat-surat Kartini lahir dari penderitaan, dan bahkan Julia harus membayar aktivitas dan karyanya bukan saja dengan keringat, waktu dan uang. Aktif menulis di zaman Orde Baru, Julia menulis baris demi baris tulisannya dengan ancaman ditangkap bahkan beberapa kali diinterogasi. Posisinya sebagai intelektual dengan pendidikan akademis dibayarnya dengan meninggalkan anak selama tiga tahun, sebuah ongkos yang penuh pergulatan emosi dalam diri maupun keluarga. Dalam kaitan itu, bagian yang paling menyentuh dalam buku ini, dan merupakan dokumen yang bernilai adalah esai biografis (pengantar) tentang pergulatannya sebagai seorang intelektual dan seorang perempuan, istri, ibu dan anak dalam gejolak perubahan zaman.
Tidak seperti kiprah politik atau bisnis, sumbangan pemikiran penting bagi dunia tapi tak secara langsung kasat mata. Surat-surat Kartini tak pelak lagi menjadi inspirasi bagi para pemikir perempuan di Indonesia dan kekayaan bagi kesusastraan dunia. Dalam untaian rantai selanjutnya, tulisan-tulisan Julia membukakan wawasan bagi pemikir perempuan lainnya. Myra Diarsi, aktivis perempuan di Komnas Perempuan mengakui bahwa kesadaran feminisnya mulai mendapatkan ruang setelah membaca artikel Julia dalam Jurnal Prisma di tahun 1980-an. Kumpulan tulisan Julia merupakan salah satu dokumen penting untuk perkembangan feminime di Indonesia dan sumbangan bagi pemikiran kritis tentang bangsa dan negara.
Berbeda dengan dua perempuan yang datang dari kelas menengah atas ini, Indonesia masih dipenuhi oleh buruh-buruh kecil tanpa pendidikan yang menulis di remang-remang lampu teplok di pemukiman kumuh. Di sanalah tersisa pergulatan Kartini- Kartini abad ke-21 di era yang masih terpingit di tengah hiruk-pikuk persilangan global-lokal. Sebagian dari mereka punya kesempatan mengaktualisasikan diri melalui komunitas buruh atau komunitas sastra, sebagian besar tak punya akses untuk membuat suaranya terdengar. Bagaimana mereka menyikapi proses-proses peluasan atau penyempitan ruang gerak dalam otonomi daerah, dalam tatanan ekonomi global, dalam kekerasan berbasis budaya maupun ideologi? Siapa akan mendengar mereka?
Di tempat-tempat lain, perempuan-perempuan korban kekerasan mengunci suaranya, dan kita pun melupakannya. Suatu hari, tiba-tiba, seorang perempuan korban kekerasan mengirim surat elektronik kepada saya: “Jangan buka identitas saya, jangan sebut alamat saya, tapi bacalah cerita hidup saya.” Ketakutan membayangi nadanya. Saya berjanji suatu waktu meneruskan ceritanya. Masih banyak Kartini-Kartini yang bahkan belum bisa menemukan suara mereka. Berapa harga yang harus mereka bayar untuk bersuara dan siapa yang akan menanggungnya?
*) Pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar