Ragdi F. Daye
http://www.harianhaluan.com/
Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.
Tapi sebentar… Kau tahu, aku tak pandai bercerita. Mungkin lebih baik kuputar lagu-lagu yang meruntuhkan hati agar aku bisa lancar berkata-kata, agar aku tak malu-malu menelanjangi diri di depanmu. Aku tak akan mengeraskan volumenya. Sayup-sayup saja.
Seperti perjumpaanku denganmu, pertemuanku dengannya tak pernah kusangka.
Aku sedang lari dari rasa jenuh dalam pertemuan yang tak jelas arah itu. Kubawa diri ke meja di pojok kedai minum yang tanpa dinding dengan secangkir kopi yang tak terlalu pahit. Angin menghambur masuk mengelus pipiku, menghantarkan aroma bebunga, mungkin tanjung. Seperti biasa, jenuh akan membuatku gundah dan gugup. Aku jadi merasa aneh dengan perjalananku yang sebenarnya agak berat karena harus meninggalkanmu. Kemarin aku ingin membatalkannya namun kau memaksa karena menurutmu pertemuan itu penting dan berguna bagi masa depan pekerjaanku. Nyatanya aku terpuruk dalam kebosanan.
Kutekan nomormu, tapi tak diangkat-angkat. Kucoba berulang kali, namun tetap sama. Kau tak bisa dihubungi, padahal aku ingin mendengarkan suaramu dan menghirup energi dari kata-katamu. Apakah kau sudah tidur atau telepon genggammu tertinggal di kamar depan dekat rak buku? Ah, nanti saja kaujawab. Aku mulai meneguk kopi yang rasanya tak terlalu istimewa itu, mengetuk-ngetukkan tangan kiri ke paha, dan membiarkan mata menjelajah ke mana-mana.
Hingga aku melihat dia. Dia? Ya, dia yang dulu pernah singgah dalam hari-hariku.
Mulanya aku diam saja. Tetap duduk di bangku tersudut itu dan mengamati orang-orang di sekitar. Aku pura-pura tidak melihatnya karena mungkin saja dia juga pura-pura tak melihatku. Apa pentingnya menyapa seseorang dari masa yang sudah lalu? Bisa-bisa membawa masalah. Kualihkan perhatian dengan mencoba lagi menghubungimu. Tetapi nihil. Malam berlanjut. Orang-orang datang dan pergi. Pertemuan malam itu mungkin sudah selesai dan aku dapat balik ke kamar. Namun aku tetap duduk, menghirup kopi pelan-pelan, mengetuk-ngetukkan jemari ke paha, dan kembali melihatnya yang seperti tak tahu bahwa ada aku tak jauh darinya.
Dia, dia tidak cantik sepertimu. Dia juga tidak berpakaian anggun menawan seperti kebiasaanmu. Malam itu dia hanya mengenakan celana panjang pudar dan blus kebesaran dipadu syal merah-hitam. Dia duduk menopang wajah dengan tangan. Sebatang rokok terjepit di sela jarinya. Sebatang rokok?; Perempuan seperti apa itu?, mungkin kau akan bertanya, tapi dengarkan saja. Di mejanya tampak dua buah gelas yang kuduga berisi kopi karena begitulah dia dahulu. Wajahnya tampak kusam dan sendu. Sesekali dia menaruh rokoknya, lantas menulis cepat-cepat di sebuah buku kecil di atas meja. Barangkali dia sedang menulis puisi, cerita, atau rangkaian kata-kata serupa itu.
Apakah dia masih mengingat puisi tentangku yang pernah dibuatnya dulu? Hatiku mulai gemetar oleh dorongan rasa yang tak kukehendaki. Aku ingin menghampirinya. Menatap bibir hitamnya yang kubenci sekaligus kusukai. Dudukku mulai tidak nyaman, seolah ada duri menonjol di lapisan bangku. Mendekatinya terasa mengkhianatimu. Tetapi diam saja seperti menyiksa diri sendiri. Akhirnya aku berdiri. Tidak, tidak. Aku tak bermaksud mengkhianatimu. Aku hanya ingin bicara dengannya. Siapa tahu bisa tumpas seluruh jemu.
“E, e… Kau?” ekspresi terkejutnya bagimu mungkin terkesan berlebihan. Dia terbatuk dan rokoknya jatuh.
Aku duduk di seberangnya. Tersenyum kaku. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik.” Dia memasukkan ujung telunjuk kiri ke mulut, menggigit ujung kuku dua detik. “Kau… tinggal di kota ini?”
“Ehm, tidak. Aku sedang ada pertemuan di sini.” Kutunjuk lantai atas. “Kau sedang jalan-jalan?”
“Besok aku ada acara di pusat kota.”
“Tentang puisi?”
Sungguh, percakapan kami begitu tersendat-sendat, sama sekali tak seperti cerita di film-film. Aku tak tahu, apakah aku yang terlalu membuat jarak atau dia. Kami banyak mengumbar senyum basa-basi sebagaimana layaknya dua manusia dewasa yang munafik.
Apakah dia lalu mengajakku ke kamarnya, atau malah aku yang membawanya ke kamarku? Ah, tenanglah. Ceritaku masih panjang.
Dia menyibakkan rambutnya yang ikal bergelombang, menopang dagu lagi, lalu menatap mataku lekat-lekat. “Mau duduk-duduk di atas atap?”
Tentu saja aku tersentak. Duduk-duduk di atas atap? Gila, aku sudah tidak muda lagi!
“Takut jatuh sekarang?”
“Ehm, tidak, tidak. Ini hotel. Malam. Apa nanti kata orang?”
“Apa nanti kata orang? Hahaha… Itu pertanyaanmu dulu sebelum kita memanjat atap gedung rektorat universitas untuk kemudian menatap matahari tenggelam sampai lenyap dipulun gelap.”
Oh, ya. Benar! Itu dulu, waktu aku masih mahasiswa, sinting! “Oke. Baiklah.”
Dia memesan minuman kepada pelayan, memasukkan barang-barangnya ke tas-samping, kemudian menarik tanganku. Kami berlari mendaki anak tangga sampai lantai enam seperti dua kanak-kanak kurang kerjaan. Napasku ngos-ngosan. Mengertilah, aku sudah bapak-bapak, bukan? Tetapi dia tetap seperti kucing manis yang kesurupan. Meletup-letup. Tidak lelah. Tetap tertawa-tawa menyemburkan kata-kata puisi jalang.
Betapa itu yang dulu sangat kusuka dari dia. Betapa itu yang dulu menyihirku.
“Kamu terlalu rajin! Negara ini tidak akan berubah!” Dia merebut diktat kuliahku dan melemparkannya ke udara ketika aku masih sempat-sempatnya menyiapkan ujian semester di atas atap. Lembaran-lembaran itu melayang dalam angin untuk kemudian berhamburan di pelataran taman rektorat.
Itu dulu. Ribuan senja yang lalu.
“Ayolah!”
Kami menyusup keluar melalui pintu darurat. Pekat malam yang haru menyambut. Pesona lampu-lampu seperti kunang-kunang kasmaran. Bintik-bintik cahaya bintang di langit seperti titik-titik embun di kelopak mawar akhir subuh.
Aku berdiri di tengah dataran atap dengan gamang dan riang. Kukembangkan tangan. Menghirup sejuk malam. Mengusir kelesuan. Dia duduk di tubir atap, menjuntaikan kaki. Aku mengambil tempat di sampingnya. “Ayo, ceritakan tentang dirimu! Sudah berapa ratus puisi yang kautulis? Sudah berapa puluh bukumu yang terbit? Sudah berapa lelaki yang kaubuat patah hati?”
“Kau menyindirku?”
“Tidak. Aku memujimu.”
“Bukuku yang terbit baru tujuh. Dan tak ada lelaki yang kupatahkan hatinya sejak kau pergi mematahkan hatiku.”
“Astaga! Kau sudah mulai melancarkan serangan, ya!”
“Aku sungguh-sungguh. Walau kau tak mengerti puisi, tapi kau mencintai puisi. Tak ada mata yang menatapku berbinar-binar, selain kau dengan pandangan bocah lima tahun dihadiahi layang-layang itu.”
“Aku sudah beristri,” kataku datar. “Dia sedang mengandung anak ketiga kami.”
“Sudah tiga anakmu?”
“Dua gugur. Mudah-mudahan yang ini selamat.”
“Dan malam ini kau bersamaku, saat istrimu hamil…”
“Kita ‘kan tidak melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Duduk seperti orang gila di atas atap begini?! Oh, ampuni aku!”
“Jadi kau masih belum menikah?”
“Seperti yang kukatakan dulu, aku ingin kau yang jadi suamiku.”
“Tapi aku tak bisa menikahi puisi!”
Pukul 00:04. Ah, betapa lengangnya!
Apakah kau sudah lelap dalam mimpi saat itu? Atau malah tak bisa tidur karena berhalusinasi tentang aku yang hendak meloncat dari atas atap?
“Tidak adakah satu dari beribu penyair itu yang menarik hatimu?”
“Ini bukan soal menarik atau tidak. Malah banyak dari mereka yang mampu membuatku mabuk tanpa meneguk arak.”
“Lalu kenapa tak kaurelakan satu? Lihatlah mukamu begitu muram kesepian!”
“Kau ‘kan tahu, aku ini burung pengicau yang liar, yang kubutuhkan adalah dahan rindang yang nyaman.”
Tak ada lagi yang kami lakukan selain pembicaraan yang melompat-lompat, tertawa kering, menepuk-nepuk nyamuk, meneguk minuman karbonat dalam kaleng, memeluk lutut masing-masing, bermenung, memandang ujung langit, menunggu cahaya fajar menyemburat….
Di antara hitam langit malam dan titik-titik bintang, kulihat kau melambaikan tangan. Kau mengenakan pakaian putih panjang yang kemerahan. Kemerahan? Tidak. Tidak. Itu seperti darah. Darah? Tubuhmu mengambang melayang-layang dalam ledakan cahaya merah seperti mahkota mawar pecah.
Buru-buru kuambil telepon genggam. Menekan nomormu berulang-ulang. Jawab! Jawab! Ayolah…!
“Halo! Halo!”
“…. Ada apa, Sayang? Kau tak bisa tidur?”
“Kau baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja?”
“Hei, kau dengan siapa?”
“Tidak, aku tidak dengan siapa-siapa. Anak kita baik-baik saja?”
“Istrimu baik-baik saja?”
“Psst…! Sst! Diam!”
“Kau dengan seseorang? Hei! Aku dengar suara perempuan.”
“Tidak. Aku barusan mimpi buruk. Mungkin kau mimpi buruk juga.”
“Kau dengan siapa?”
“Kau baik-baik saja, kan?”
“Ya.”
“Oke, besok pagi kutelepon lagi.”
Kubisukan telepon genggam. Subuh akan segera datang. Pikiranku pasti kacau karena begadang. Kulemparkan kaleng kosong.
“Kau seharusnya tadi tak bersuara.”
“Takut sekali kau rupanya.”
“Aku tak mau menyakiti hatinya. Pasti dia jadi risau bertanya-tanya.”
“Kita ‘kan tidak berbuat apa-apa.”
Ketika pagi akhirnya datang, kami membuang diri ke dalam lift. Wajah-wajah kami tampak berkerut-kerut di pantulan dinding berkilau.
“Segeralah kau pilih seseorang untuk melabuhkan kelelahanmu.”
“Aku menginginkanmu.”
“Pakai akal sehatlah! Aku tak akan menceraikan istriku ataupun menjadikanmu yang kedua.”
Di lantai bawah kami berpisah. Dia mencuri cium pipiku sambil berbisik memintaku datang ke acaranya. Aku mengangguk dan berjanji dalam hati untuk segera berkemas pulang. Kuaktifkan telepon genggam.
Ada banyak panggilan tak terjawab darimu, dan sebuah pesan: Demi Tuhan, apakah berpisah satu hari dapat membuatmu tidur dengan perempuan lain?
Nah, ceritaku sudah selesai. Tak ada yang kututup-tutupi. Aku benar-benar telanjang. Sekarang, mari kubuka rantai yang membelit tubuhmu, juga saputangan yang menyumpal mulutmu. Apakah musiknya perlu diganti?
“Jahat! Jahat! Jahat…! Gila sekali kau!”
Kau melompat dari kursi lalu mencakar-cakar dadaku. Merobek-robek kemeja yang belum sempat kuganti sejak pulang dari bandara karena kau dengan cerewet terus bertanya sepanjang jalan dengan prasangka yang tajam menikam. “Apa aku ini kurang seksi sehingga kau mau jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah aku tak becus mengurusmu? Apa aku tak cukup perhatian, pengabdian, dan cinta untukmu? Kenapa kau sama saja dengan para lelaki bajingan?”
Tidak. Tidak. Tidak.
Kau keliru. Mungkin benar, bahwa dia adalah bara yang menggelegakkan darahku, memberi sensasi. Tapi kau adalah air yang menghapus dahagaku, membuatku akan terus hidup dan bermimpi. Walau sebagai air kadang kau menjadi gelombang yang membanting dan terkadang mengalir diam tanpa riak membuatku menggigil dalam sepi.
Padang, 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar