Salamet Wahedi *
Jurnal Nasional,29 Agu 2010)
Thuuoong...! thooung...! thooung...!
SIRINE kapal merapat memulai debar dada. Selamat datang di Pulau Madura, sebentang spanduk merah menyala menarik perhatianku. Dan patung karapan sapi, merupakan nilai lebih yang mengakrabkan pulau ini dalam benakku. Seperti tempat-tempat yang aku singgahi, Dermaga Kamal, dan mungkin seluruh petak kenangan yang akan kulalui di Pulau Madura ini, adalah kesederhanaan yang mulai mengelupas. Seperti kegersangan yang pelan-pelan beringsut di beranda hatiku.
Mendekati terminal, ibu tua dan seorang anak merengek, merenyuh desir darahku. Di telinga, di antara lagu Iwan Fals, Siang di Seberang Istana, keluh Rafa mendengung. Seperti sebuah isyarat. Keluh pada malam dia berhasil mencopoti celana kelelakianku.
"Apa yang kau inginkan dariku, lelaki? Sekadar wawancara?" kata Rafa yang malam itu begitu anggun. Tatapannya penuh gairah. Seulas senyumnya menghentak nalarku. Tak bisa ditahan lagi, rona mukaku berubah. Cepat-cepat kutepis dengan anggukan satu kali. Pelan. Penuh kesungguhan.
"Tidakkah kau akan menikmati ‘jajanan yang tidak berbungkus daun' malam ini?"
Jajanan tak berbungkus daun? Ah Rafa termasuk perempuan penuh imaji. Tidak adakah jalan lain Rafa?, aku membatin. Rafa begitu memikat, setiap pertanyaan yang kucoba sodorkan, disimpannya dalam simpul senyum manisnya. Lama-lama tak dapat kuhindari tatapannya yang teduh tapi runcing. Apalagi aroma tubuhnya, desah napasnya. Aku tak lagi dapat mengelak. Ia tak hanya memikatku. Tapi, ia membuatku kagum dan bangga padanya. Ia tangguh dan penuh imajinasi. Kata-katanya meluncur ritmis. Apalagi ditambah cahaya matanya yang berkaca-kaca.
"Rafa!" lenguhku meregang ngilu. Lagi-lagi Rafa melempar senyum melihat tubuhku mengejang. Tangannya membelai kepalaku yang rebah dekat ketiaknya. Rafa seperti guru geografiku. Ia begitu lugas mengajariku tentang ilmu bumi. Ia pemandu wisata yang lihai. Diperkenalkannya aku pada gunung yang selalu berdegup. Diajaknya aku menyelam, merasakan kehangatan sungai. Juga ditunjukkannya padaku bagaimana cicak lekat di dinding.
***
"Sumenep! Sumenep!"
SUARA seorang kondektur melintas di ujung retina. Memancingku mempercepat langkah. Sampai dekat loket karcis ibu tua itu terus mengejarku, manatapku penuh asa. Tangannya tiada pegal-pegalnya menadah. Dan anaknya bergelantungan di tanganku. "Om minta uang, Om. Aku belum makan," kata anak itu, kedua matanya begitu sayu. Tapi, begitu jernih. Mata yang runcing. Sedang si ibu, tampak mengiba. Ibu yang lusuh. Pakaiannya terkesan tak dicuci. Bibirnya pecah-pecah kering. Dan garis wajahnya penuh debu. Aku pun merogoh uang kecil di kantong celana.
Mungkin inilah yang diceritakan Rafa sebagai pemanggul sejarah buta. Sosok yang tak pernah dilihat dan disaksikan dengan saksama. Ya, kata Rafa, iklan dan orasi politik elite kita menggembar-gemborkan kesejahteraan kita semakin meningkat. Bahkan dengan bangganya mereka memamerkan bisnis ekspor kantong pengusaha mereka. Tanpa mau menengok bagaimana nasib orang tua dan generasi bangsa ini masih tercecer di pinggir-pinggi jalan.
Meski sebagai wanita tuna susila, Rafa selalu mengesaniku dengan kata-kata yang meluap ‘pedas'. Kata-kata yang meluncur sederas desahnya merengkuh tubuhku.
"Apa yang dapat kita dapatkan di negeri ini. Hanya dongeng dan janji. Para pejabat kita tak ubahnya para penyair yang tiada henti merangkai kata."
"Dan pilihanmu?" tanyaku dengan wajah melucu. Menggodanya untuk melempar cubitannya ke perutku waktu itu.
"Kupilih jalanku. Seperti angin memilih ruang di mana ia akan bersemayam," sungging Rafa mencibir.
"Puitis banget," sontak kata-kataku membuat mata Rafa ngacir ke langit luas.
Ah Rafa, kau mengingatkanku pada kisah Perempuan di Titik Nol!
***
"Tanah merah! Partelon pasar! Rombongan!"
MATAHARI telah beranjak melewati garis puncak. Dengan sebersit cahaya banal yang meredup, ia menyapa ladang-ladang menghijau tua di kanan-kiriku. Bus melaju 50 km per jam. Di kejauhan, pohonan, orang-orangan timbul tenggelam. Seperti ingatan yang nanar. Dan senja lamat-lamat seperti tangan seorang ibu mengusap kepala anaknya. Semburat jingganya seperti gincu perawan membias di kaca bus.
Dan burung-burung? Ah, perjalanan yang begitu eksotis. Setiap jengkal jalan yang kulalui, bak menyimpan serpih kerinduan. Berulang kuarahkan tele kameraku ke obyek yang melintas bak seliweran perempuan di senja Dolly, tempatku nongkrong dan menikmati panorama tubuh. Menikmati pemandangan sepanjang jalan yang senyap, kadang menderu, tambah asyik saja dengan iringan celoteh lagu-lagu jalanan pengamen.
Di sini aku kembali teringat wajah beku Rafa. Wajah yang menuturkan nasib orang-orang di sekitarnya. Dengan aksen Sumenepnya, pada malam ke-59 pertemuan kami, di Taman Bungkul, ia bercerita tentang seorang Rawit. Seorang anak berusia 15 tahun. Usia yang segar untuk menimba ilmu. Tapi sayang, pada usia yang masih belia ini, Rawit memilih belajar di kolong langit lepas. Ia begitu lihai mengamen. Memainkan gitar. Malam-malamnya dihabiskan di jalanan. Bermacam lagu telah menjadi menu pelajaran terbaiknya. Rafa begitu antusias setiap bercerita fragmen suram orang-orang di sekitarnya. Penghayatannya sungguh menakjubkan. Mimik wajahnya, intonasi suaranya, serta gerak bibirnya bak perpaduan busur dan anak panah menembus dadaku. Buru-buru aku memalingkan wajah, saban Rafa mengerling manis.
"Kau lelaki yang kuterima dengan ketelanjanganku. Kuraup seluruh telanjangmu. Kau tuntaskan birahi tanpa lendir kondom."
"Aaaa...." mulutku tercekat diteror tatapan dingin Rafa. Senyumnya menyeringai. Gemulai tangannya menepuk pundakku. Lalu kepalaku....
Laju bus semakin menderu. Keramaian mulai menepi di jalanan. Semburat senja seperti kibasan rambut pirang perempuan muda yang memilih duduk di dekatku. Ia melempar senyum. Tebal bibirnya membuatku berdegup. Oval matanya seperti lorong masa silam. Suram dan penuh hantu tanda tanya. Dan lentik tangannya? Ah....
"Mas turun mana?" kerling mata perempuan di sampingku bak lampu yang membuat mataku bergeragap. Mataku bergegas menangkap raut wajahnya. Lalu aku menjawab sekadarnya, "Sumenep"
"Sumenep? Di mana?"
"Mau ke Nyadar"
"Oh! mas wartawan ya? Sama saya juga mau ke sana. Mas asli mana?"
Seperti pertanyaan sebelumnya, aku hanya menjawab sekadarnya. Aku jelaskan, aku memang seorang wartawan. aku lahir dan besar di Lidah Wetan. Ayahku berasal dari Sukabumi. Ibuku asli Bangkalan.
"Berarti indo dong?" senyumnya seperti sebilah jeruk. Lalu ia memerkenalkan namanya: Asfi, asli Sumenep.
"Saniman," aku balik memperkenalkan diri, ketika kehangatan jabatan tangannya meminta kepastian.
Sepanjang perjalanan, aku mengesani Asfi sebagai sosok perempuan yang bijak. Sosok perempuan yang suka warna kuning. Kata-katanya, seperti awal perjumpaan, seperti sebaris pasukan yang dengan sigap dan penuh perhatian menunggu instruksi. Ceritanya tentang Nyadar yang akan kuliput, membawa sekelebat bayangan gamang: kecemasan, suasana mistis, dan kenangan yang tiba-tiba begitu sentimental menggodaku.
"Nyadar itu semacam ritual syukuran. Ia lahir atas niatan mensyukuri tumbuhnya garam di Girpapas," Asfi begitu lihai menceritakan nyadar. Sekali-kali dialihkannya pandangannya ke tempat kosong. Mengingat-ngingat secuil kenangan yang tercecer, atau menghadirkan suasana yang sungguh menyentuh jiwa.
"Kadang aku bergidik membayangkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan nyadar ladar di luar nalar," tandas Asfi. "Bayangkan saja, bagaimana nasinya panjang3 itu awet. Tidak cepat basi. Bedaknya dapat menyembuhkan penyakit. Yang paling aneh, mungkin bagi orang-orang luar Gir Papas, nyadar bagi masyarakat Gir papas seperti ritual menunaikan haji"
Berulang Asfi menandaskan hal-hal mistis. Mimiknya, setiap ia menguraikan selalu diliputi eksotisme. Semacam gelora jiwa kerinduan. Raut mukanya memancar aura alam lain. Sisi lain orang Madura yang selama ini hanya kukenal dari desas-desus dan secuil sosok Rafa.
"Oh, Hajjah Murdiah," tandas Asfi ketika kutanya tentang Rafa. Asfi lalu menjelaskan panjang lebar tentang sosok dan sepak terjang Rafa, sampai akhirnya ia menunaikan ibadah haji.
Ah Rafa, sosokmu kini tak lagi banal, tapi kau begitu sakral menghentak ilusi dan imajinasiku....
***
MALAM berkelebat riuh. Hembusan debu memenuhi rongga tanah Kebun Dadap. Tanah berlangsungnya ritual agung nyadar, begitu orang-orang Gir Papas menyebutnya. Di tanah Kebun Dadap ini pun, beberapa gambar dalam momen yang eksotis dan penuh romantika sudah memenuhi memori digitalku. Tak ketinggalan arakan bengatowa4 dengan kemeja racok saebu5. Sampan-sampan yang hilir mudik menelan dan memuntahkan penumpang yang berjibun.
Berdesak-desakan di atas sampan kecil kadang aku ngeri. Apalagi ketika sedikit oleng. Sontak mulutku juga berteriak-teriak seperti ibu-ibu. Dua hari di tanah Muaragaram ini, aku seperti melihat denyut nadi gelisahku: antusiasme masyarakat terhadap ritual adat-istiadat, muda-mudi mulai tampil punk dan glamour ke perayaan budaya, pasar malam digelar demi memeriahkan, dan turis-turis yang datang sekadar nampang. Ah, rasa gelisah itu tidak hanya bergolak di setiap titik nadir darahku, tapi mulai meruncing menusuk mata setiap kuarahakan tele kamera untuk mengambil gambar. Gambar-gambar itu seolah hendak berbicara. Tapi sayang gemerlap lampu Phillips yang mengganti lampu talpe, membuatnya ngungu terpaku bisu. Ah inikah nyadar yang eksotis itu, Rafa!
Menjelang tengah malam, Asfi mengajakku ziarah.
"Kalau tengah malam begini sudah sepi. Kita akan sedikit tenang memanjatkan doa. Abang nanti bisa merasakan sendiri bagaimana hawa mistis yang sering aku rasakan dan aku ceritakan," wajah Asfi yang tampak lebih segar dan berbinar. Senyumnya yang berulang di lemparkannya membuatku berdegup. Setiap kali kutepis gemuruh yang menjalari pori-pori darah, setiap itu pula ada hawa aneh yang menghentak alam bawah sadar. Hawa yang menyelusup seperti gulungan asap. Hawa yang lewat rongga dadaku seiring udara yang berlari-lari kecil. Dan lamat-lamat, di ujung gulungan asap, aku melihat wajah lain di wajah Asfi....
Duduk depan pasarean Mbah Anggasuto, aku hanya tertunduk sendu. Suasana yang hening dan senyap, menghapus tumpukan debu di jantungku, di otakku, di kelenjar darahku. Sesekali percakapan pelan dan penuh intonasi bengatowa, menyentuh gendang telinga. Seperti kuku angin mengelus kulit ariku.
Tak ada doa yang bisa kurapal. Hanya kelebat udara dingin dan penuh sentuhan, terus kurasakan. Kutangkap. Kupasang segenap panca indera dalam posisi on. Semakin lama kelebat yang membuat bulu roma berdiri, semakin pekat dan menyedot jiwaku dalam pusara sunyinya. Apalagi Asfi dengan telaten menuntunku dari pasarean5 satu ke pasarean lainnya. Seperti burung, aku seperti berkelana di cakrawala mistis tanpa batas. Dan setiap kali kumasuki pintu kecil pasarean, aku merasakan getar rindu yang dalam dan berat.
Cahaya bulan yang menyelinap di antara daun-daun pohon asam tak ubahnya kerling berpuluh pasang lancheng-paraben6. Berpuluh pasang yang mengendap di tempat-tempat gelap seperti burung-burung membagi kehangatan. Dan esoknya, mereka akan bercerita dengan malu-malu akan sejarah yang diukirnya di antara gelap kubangan sampan yang belum selesai. Di antara nisan-nisan yang setiap menangguk sepi.
Melewati titik puncak malam, para pedagang mulai memberesi barang-barangnya, dan keramaian pun menepi. Di beberapa celah jalan, hanya kelengangan yang bertahan. Kepul debu tidak sekelabu maghrib. Melintas di area pasar malam nyadar, dengan sesekali mencari obyek yang eksotis, aku merasa diradar sepasang mata gaib. Bahkan beberapa kali aku canggung. Orang-orang menyapa, menawarkan sisa dagangannya seperti datang dari masa lalu. Dan lamat-lamat wajah Rafa, membercak di setiap sudut malam. Ah, Hajjah Murdiah!
" Apa yang kau lamunkan Saniman?
Sebilah tangan menepuk bahuku. Terawangku mengawang. Dan alam bawah sadarku, seperti dikena reruntuh kota sehabis perang. Inikah luka kenangan dan rindu? Mataku semakin berkunang-kunang menyirap gulusan debu dan rasa. Rafa, ah Hajjah Murdiah balutan tubuhmu menebar embun cahaya, seruku dalam hati melihat sosok yang menepukku.
Dan yang paling membuatku membatu dan tidak mampu sekadar menggerakkan tele kameraku, seorang bocah yang menggelayut di sisi kiri Rafa, ah! Hajjah Murdiah. Bocah bermata jernih. Senyumnya menyimpan kilat tajam. Dan sepotong belati mainan diacung-acungkannya ke dadaku.
Sumenep-Surabaya, April 2009
Catatan:
1. Nyadar: ritual syukuran yang dilakukan masyarakat Pinggir Papas. Ritual ini dilakukan setiap tahun. Ritual ini merupakan adat-istiadat yang terus berlangsung sampai sekarang. Nyadar dilaksanakan tiga tahap. Nyadar pertama dan kedua dilaksanakan di Desa Kebun Dadap. Dan nyadar ketiga dilaksanakan di Desa Pinggir Papas.
2. Perempuan di Titik Nol: novel karya Nawal El-Saadawi, pengarang perempuan Mesir.
3.Panjang: piring besar yang digunakan dalam ritual nyadar.
4. Bengatowa: sesepuh/pemangku adat.
5. Pasarean: kuburan
6. Lancheng-paraben: perjaka-perawan.
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=465257722274
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 19 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar