Senin, 19 September 2011

Untuk Apa Memetakan Penyair Sumatera?

Udo Z. Karzi*
Cybersastra.net, 5 Sep 2003

Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., “Jakarta dan Tabung Orba” (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8–13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.

Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, “Kepenyairan Sumatera” (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.

Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, “Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: “Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera”, Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera–pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi.” Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor…. Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***

Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang “pensiun” dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi “kematian” sang penyair?

Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?

Seorang “pensiunan penyair” berkata, “Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang.” Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika–sama dengan cerpen–aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: “Bosan!”

Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***

Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.

Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.

Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama–belajar dari bahasa Lampung misalnya–syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.

Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan “peta politik penyair”. Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.

Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah “kekuasaan”-nya ke seluruh antero jagad.

Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.

Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru.

*) Penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2003/09/esai-untuk-apa-memetakan-penyair.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati