Jumat, 14 Oktober 2011

9 DARI NADIRA: SEBUAH MONUMEN

Maman S. Mahayana *
http://mahayana-mahadewa.com/

Leila S. Chudori, 9 dari Nadira (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Oktober 2009, xi + 270 halaman)

Konsep cerpen—novel akhirnya gagal mempertahankan dirinya. 9 dari Nadira boleh mengajari para penghamba teori untuk tidak lagi bersikukuh pada konsep. Bukankah teks sastra yang melahirkan teori? Maka ia harus rela mendahulukan teks (sastra) yang berhasil menyibakkan rimbun teori dalam membuka jalan baru. Itulah yang terjadi pada 9 dari Nadira yang berada pada garis demarkasi cerpen—novel. Jadi, sinyalemen Budi Darma tentang 9 dari Nadira sebagai novel, patutlah dipertimbangkan.

Meski begitu, perkara konsep cerpen—novel berkaitan dengan bentuk dan waktu penceritaan. Capaian estetiknya harus dapat teruji berdasarkan ekselensi dan eksesnya dalam mengusung sebuah bangunan cerita. Di sinilah, 9 dari Nadira seperti menceburkan saya pada hamparan danau metafora dengan segala gelombang kata-kata bersayap. Dan bahasa Indonesia yang kerap dituding miskin daya ungkap, menjelma menjadi serangkaian tata kalimat yang penuh pesona, begitu plastis, lincah dalam permainan berbagai majas dan idiom. Segalanya jadi terasa segar—renyah, bahkan terkadang juga suram—murung, bergantung pada peristiwa digambarkannya. Sungguh mengasyikkan!

Tokoh-tokoh yang hadir di sana gonta-ganti bertindak sebagai narator. Pusat penceritaan (focus of narration) pun menyerupai adegan-adegan film dengan kamera yang menyoroti siapa saja yang dianggap bakal mendukung keseluruhan cerita. Di sinilah kepiawaian sutradara diuji. Apakah lintasan-lintasan peristiwa masa lalu, pemotretan pada tokoh tertentu, atau pergerakan pemain figuran, mirip pola serial silat Kho Ping Ho atau film-film Bollywood? Pola kilas balik lintasan masa lalu, pergantian pencerita, pergeseran pusat penceritaan, jika tak hati-hati, sering menggelincirkan pada lubang kosong, menghadirkan rumpang, atau terkesan mengulur tegangan secara eksesif, bahkan lewah. Jika begitu, ia akan menjadi lanturan (digression), seperti bentuk surat pada novel-novel awal Balai Pustaka atau propaganda politik karya-karya zaman Jepang.

9 dari Nadira ternyata pergi jauh mengubur model itu. Segala kisah memang berseliweran. Menclak-menclok di beberapa kota dunia, atau bolak-balik antara masa lalu dan masa kini. Kerap juga imajinasi kita dibawa melayang ke dunia di entah-berantah, tetapi terasa sangat dekat. Tiba-tiba saja kita seperti disergap peristiwa nun jauh di sana, tetapi tokh rasanya ikut terlibat di situ. Tentu saja itu dimungkinkan, bukan hanya lantaran jalinan ceritanya yang mengalir-mengasyikkan, tetapi juga karena semua peristiwanya mencantel pada satu titik. Tertata begitu fungsional merekatlekatkan keseluruhan potongan gambar puzzle: sebuah keluarga Bram—Kemala, dan ketiga anaknya: Nina—Arya—Nadira.

Dalam sejarah antologi cerpen Indonesia—jika ditempatkan di situ—tidak syak lagi, 9 dari Nadira berada dalam posisi terdepan. Inilah monumen cerpen Indonesia yang disiapkan dengan sangat matang. Sebuah tonggak penting yang niscaya akan menggagalkan kita, jika kita coba menafikannya. Lalu, bagaimana jika ditempatkan dalam peta novel Indonesia? Apakah ia sekadar pelengkap belaka atau menawarkan sesuatu yang dapat menambah kekayaan tematik, stilistik, atau formalistik?

Secara tematik, 9 dari Nadira berhasil melebarkan problem domestik menjadi persoalan manusia transnasional. Keluarga Bram Suwandi adalah representasi manusia Indonesia yang hidup dalam pergaulan masyarakat dunia. Jadi, meski tidak punya cantelan kultur etnik, akar agama (Islam) tetap sebagai penanda identitas ideologi. Dan sesuai dengan perkembangan zaman, akar ideologi itu disikapi secara berbeda oleh ketiga anaknya. Maka, tema apa pun yang coba dikembangkan melalui salah seorang tokoh anggota keluarga Bram Suwandi, problem domestik itu bisa menjadi sumber, bisa juga muaranya. Dengan begitu, jika 9 dari Nadira ditempatkan sebagai novel, ia mewujud novel yang unik, karena ke-9 cerita yang terhimpun dalam buku ini, dapat menjadi pintu masuk menelusuri kisah-kisah sebelum atau selanjutnya.

Sesungguhnya, pola 9 dari Nadira terasa lebih dekat pada Para Priyayi—Umar Kayam yang keseluruhannya memusat pada ketokohan Sastrodarsono. Tetapi, Umar Kayam membangunnya secara kronologis, sehingga agak sulit menempatkan Lantip yang berada di bagian akhir menjadi pintu masuknya. Begitu juga dengan Burung-Burung Manyar—Mangunwijaya yang mengembangkan penceritaannya melalui tokoh Seto—Atiek, atau Pada Sebuah Kapal – Nh Dini yang melakukan pergantian pencerita Sri—Michel. Komposisi 9 dari Nadira, meski “Mencari Seikat Seruni” (hlm. 1—34) paling pas berada sebagai pembuka cerita, kisah lain pun pada dasarnya berpeluang menjadi pintu masuknya. Dengan demikian, 9 dari Nadira bolehlah diibaratkan abjad Korea, Hun Min Jeong Eum (Han Geul) yang jika dilipat dari atas ke bawah atau dari kiri ke kanan atau sebaliknya, akan tetap memperlihatkan keseimbangannya, komposisinya yang harmonis.

***

Ada sembilan kisahan dalam 9 dari Nadira yang berjalin kelindan mengungkap berbagai persoalan yang dihadapi keluarga Bram—Kemala, dan ketiga anaknya: Nina—Arya—Nadira. Kematian Kemala, Sang Ibu, yang bunuh diri, adalah sumber serangkaian problem psikologis melanda keluarga itu. Maka, perilaku menyimpang dan cuek habis Nadira, sikap protektif dan lepas kendali Nina, kecemasan Arya, semuanya punya akar psikologis, tidak hanya akibat kematian mendadak Sang Ibu, melainkan juga jauh ke masa kecil Nina—Arya—Nadira. Dengan begitu, tragedi ibu yang bunuh diri, dalam ke-9 cerita itu menjadi semacam pesona magnetis yang merambat memasuki wilayah sosial, politik, bahkan juga dunia jurnalistik yang menjadi salah satu kekuatan buku ini.

Dengan kehidupan dunia jurnalistik itulah, penghadiran tokoh-tokoh wartawan dan dinamika aktivitas majalah Tera, sesungguhnya seperti sebuah potret yang mempunyai cantelan peristiwa faktual yang terjadi dalam sejarah kontemporer kehidupan bangsa ini. Tentu saja penyajian peristiwa itu tidaklah sebagaimana adanya. Harus ada fiksionalitasnya. Dengan begitu, peristiwa fiksional di sana, justru dapat dicurigai sebagai fakta, seperti yang terjadi pada Penembak Misterius dan Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma.

Dalam 9 dari Nadira, penghadiran tokoh Nadira, selain menjadi kunci pembuka yang menggerakkan keseluruhan cerita, juga bertindak sebagai pengobar dan sekaligus peredam konflik, terutama bagi kedua kakaknya: Nina—Arya, dan lingkungan tempat kerjanya: majalah Tera. Meski begitu, dinamikanya akan surut ke belakang jika tak ada katalisatornya: bayang-bayang Sang Ibu yang bebas bergerak memasuki kegelisahan tokoh-tokoh Bram, Nina, Arya, dan Nadira. Jadi, setelah kisahan pertama, “Mencari Seikat Seruni,” kisah-kisah selanjutnya, termasuk “Kirana” (hlm. 165—180), seperti sengaja menyimpan benang merah yang selalu dapat ditarik ke belakang, ke kisahan pertama.

Sebut saja kisah “Utara Bayu” (hlm. 211—232) yang fokus ceritanya lebih banyak jatuh pada tokoh Utara berikut keluarganya. Peranan tokoh Nadira di sana pun, seperti sengaja dihadirkan selintasan. Tetapi peristiwa apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik Tara—Novena? Peristiwa bunuh diri Kemala, Sang Ibu yang lalu melekat membayang-bayangi Nadira. Dengan begitu, kisah ini pun benang merahnya jelas: Kemala—Nadira. Begitulah, Leila S Chudori tampaknya sangat mempertimbangkan betul pemanfaatan tokoh-tokoh yang menjadi pencerita, sebab implikasinya jatuh pada pergeseran pusat penceritaan. Jadi, meski Leila leluasa memainkan tokoh-tokoh rekaannya, ia tak lepas kendali. Lalu apa maknanya dalam konteks kepengarangan? Itulah yang ditegaskan Subagio Sastrowardojo tentang bakat alam dan intelektualitas.

9 dari Nadira tidaklah sekadar menyajikan sembilan kisah –cerpen panjang atau novel— yang mengalir berkelak-kelok atau dibungkus dalam kemasan cantik, tetapi juga sekaligus menunjukkan penguasaan berbagai teknik bercerita, keterampilan memanfaatkan dan memperpanjang tegangan, kelincahan mengolah bahasa, kekayaan pengalaman, dan keluasaan wawasan. Dengan demikian, kualitas karya seorang pengarang sesungguhnya sangat ditentukan oleh intelektualitasnya, dan bukan sekadar mengandalkan bakat alam. Dan Leila S Chudori lewat 9 dari Nadira ini telah menunjukkan kualitas itu. Percayalah!

*) Maman S Mahayana, Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati