Jumat, 14 Oktober 2011

RUMI DAN JEJAK TUHAN DI ATAS SAJADAH MUSA

Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/

Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa hakekat hidup manusia di dunia ini adalah untuk kembali kepada Tuhan dengan membawa limpahan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, orientasi hidup di dunia ini hanya kepada Tuhan. Manusia hidup di dunia ini hanyalah proses pencarian terhadap hakekat Tuhan yang haqq, agar saat ia kembali kepada-Nya kelak sanggup memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.

……“Dunia ini ibarat Thursina, dan kami Musa pencari sinar-Nya; setiap petunjuk datang dari-Nya, puncak gunung ini akan pecah berkeping-keping” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Rumi menegaskan, bahwa semua tempat yang berada di dunia ini diibaratkan sebagai bukit Thursina serta semua manusia berposisi sebagai Musa AS. Manusia berposisi sebagai subjek yang melakukan pencarian terhadap bukti keberadaan tuhan dalam realitas kehidupanya. Tentunya bagi Rumi perlambang ini bukan berorientasi kepada seluruh manusia, tetapi bagi mereka yang yakin dan percaya akan keberadaan tuhan.

Mengapa Thursina dan Musa yang menjadi perumpamaan? Hal tersebut dikarenakan, kedua citra ini merujuk pada sebuah kisah yang termaktub di dalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 143. Surat ini menceritakan bahwa di bukit tersebut Musa AS bermunajat kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan menampakkan bentuk dzat sejati-Nya. Kemudia Allah berkata pada Musa AS: “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku”. Musa AS kemudian menoleh ke arah bukit yang dimaksud. Pada saat itu, ia melihat bukut-bukit yang tadinya berdiri tegak kini menjadi hancur berkeping-keping masuk ke dalam perut bumi tanpa meninggalkan bekas.

Fenomena semacam itu merupakan ilustrasi dari Tuhan, bahwa dzat-Nya yang sejati tidak dapat ditangkap secara lahir. Dzat-Nya bersifat kasat mata yang tidak dapat terwujud dalam alam materi dan bahkan tidak sanggup digapai dengan menggunakan logika berfikir atau akal karena kesempurnaanya.

Kant yang bergelar sebagai Raksasa Ahli Pikir juga menyadari akan hal itu, sehingga ia berkata: Dzat Tuhan itu benar-benar ada dan merupakan perkara yang besar utuk dibahasnya, tetapi letaknya jauh di atas kemampuan akal, oleh karena itu saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan akal, supaya saya sediakan tempat buat iman. Selain itu Ibnu Khaldun juga menambahkan, bahwa mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, hidup di akhirat kelak, hakekat kenabian, hakekat sifat-sifat ketuhanan, atau persoalan lain yang terletak di luar kesanggupan akal adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu, tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Secara lebih lanjut Agustin juga menyatakan bahwa tuhan tidak bisa ditanggap atau di sifati, sebab Ia mengatasi sifat dan gambaran. Beleh saja manusia memberi sifat kepada tuhan, namun sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.

Dengan jelas, fenomena di atas menegaskan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna.

Sebuah pertanyaan, apa yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia sebagai bukti keberadaan tuhan? Yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia adalah eksistensi Tuhan. Jadi, bukan esensi-Nya.

Apa perdedaan esensi dengan eksistensi? Sebenarnya kedua istilah ini sama, yaitu sebagai penunjuk keberadaan suatu hal, baik hal tersebut bersifat hidup atau mati. Perbedaanya terletak pada kriterianya. Esensi merupakan intisari; sesuatu yang menjadikan suatu hal itu apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam hal, sedangkan eksistensi merupakan bentuk yang menunjukan keberadaan suatu hal yang hidup yang berbeda dengan yang lainya (Partanto dan Barry, 1994:133 dan 159).

Sesuatu yang pasti dimiliki oleh semua benda adalah dzat, sedangkan yang menjadikan suatu benda hidup itu berbeda satu sama lainya adalah pergerakanya. Eksistensi mengarah pada suatu bentuk amaliah atau akhlak dari suatu hal. Jadi, sekali lagi yang dapat dilogikakan sekaligus ditangkap oleh indra manusia adalah Akhlak atau Fi’liyah Tuhan. Akhlak Tuhan ini tercermin melalui nama dan sifat-Nya. Sebagaimana Al-Kindi mengungkapkan, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya dzat yang tidak tampak. Dzat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.

Berdasar pada pandangan Al-Kindi, bentuk alam yang tertata rapi tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menjadikanya. Yang menjadikan alam tidak lain adalah dzat yang tidak terlihat. Dzat itu adalah Dzat Tuhan.

Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asmaul Husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

Rumi mengilustrasikan kembali perihal kehancuran bukit yang dipandang Musa AS saat itu. Kepingan-kepingan bukit yang tidak sanggup menerima penampakan Dzat Tuhan secara lahir itu menjelma menjadi beberapa bentuk. Bentuk kepingan tersebut ada yang berwarna hijau, putih, menjadi mutiara, batu manikam dan ambar.

……Sebagian kepingan menjadi hijau, sebagian kepingan menjadi putih, sebagian kepingan menjadi mutiara, sebagian lagi kepingan menjadi batu manikam dan ambar ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Jika ungkapan tersebut ditinjau lebih jauh lagi, ungkapan itu mengandung perlambang. Perlambang itu meliputi: warna hijau identik dengan ketenagan dan kedamaian, warna putih identik dengan kesucian dan kemuliaan, mutiara identik dengan batu permata, manikam identik dengan intan, dan ambar identik dengan damar yang keras seperti batu yang terdapat di dsar laut dan berbau harum.

Semua kriteria tersebut apabila ditarik satu garis lurus, akan menghasilkan satu pengertian baru. Pengertian tersebut adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehudupan ini yang menjadi incaran setiap orang.

Hubunganya dengan konsep yang dibangun Rumi adalah berorientasi pada keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang ditunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan kepadanya, niscaya itu adalah sebuah rahmat yang tinggi nilainya dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung karena hal tersebut sanggup memperkuat keimanan yang telah tumbuh di hati seorang manusia akan esensi dan eksistensi Tuhan.

Lebih lanjut Rumi menghimbau kembali kepada siapa saja yang hendak mengetahui Dzat Tuhan secara lahir, hendaknya kisah Musa AS dijadikan wacana. Alam semesta akan porak poranda dan hal semacam itu patutlah kiranya untuk dijadikan wahana dalam memperkuat keimanan dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa.

……Kau yang sangat merindukan wajah-Nya, lihatlah batu pecahan gunung-Nya itu ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Musa AS tidak ingin mengulagi lagi tidakanya untuk memohon agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap dan rindu terhadap bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam semesta ini sebagi wahana dan petunjuk dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Tentunya dalam lirik puisi Rumi selanjutnya, ia menisbatkan dirinya sama dengan Musa AS. Sama bukan berarti sama dalam tataran sebagai nabi dan rasul, namun sama dalam konsep pemahaman bahwa dia tidak mengharapkan agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap agar mendapatkan petunjuk-petunjuk ilahiah sebagai wahana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, Rumi menyatakan dengan ungkapan sebagai barikut:

……“O gunung, angin apa yang berhembus di puncakmu? Kami telah mabuk oleh suaranya.” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Rumi sungguh lihai dalam mengambil citra untuk disematkan sebagai konstruksi dasar karyanya. Ia memilih citra yang mengandung nilai filosofis yang tinggi sebagai pengingat kembali, mereka yang mendewakan logika maupun siapa saja yang hendak melakukan pencarian bukti akan adanya Tuhan. Ia juga memberikan wacana baru bagi tiap orang agar mereka tidak salah persepsi saat menafsirkan konsep ketuhanan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna. Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yang tampak pada indrawi mausia, yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam asmaul husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

============
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati