Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa hakekat hidup manusia di dunia ini adalah untuk kembali kepada Tuhan dengan membawa limpahan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, orientasi hidup di dunia ini hanya kepada Tuhan. Manusia hidup di dunia ini hanyalah proses pencarian terhadap hakekat Tuhan yang haqq, agar saat ia kembali kepada-Nya kelak sanggup memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.
……“Dunia ini ibarat Thursina, dan kami Musa pencari sinar-Nya; setiap petunjuk datang dari-Nya, puncak gunung ini akan pecah berkeping-keping” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Rumi menegaskan, bahwa semua tempat yang berada di dunia ini diibaratkan sebagai bukit Thursina serta semua manusia berposisi sebagai Musa AS. Manusia berposisi sebagai subjek yang melakukan pencarian terhadap bukti keberadaan tuhan dalam realitas kehidupanya. Tentunya bagi Rumi perlambang ini bukan berorientasi kepada seluruh manusia, tetapi bagi mereka yang yakin dan percaya akan keberadaan tuhan.
Mengapa Thursina dan Musa yang menjadi perumpamaan? Hal tersebut dikarenakan, kedua citra ini merujuk pada sebuah kisah yang termaktub di dalam Al-Quran surat Al-a’raf ayat 143. Surat ini menceritakan bahwa di bukit tersebut Musa AS bermunajat kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan menampakkan bentuk dzat sejati-Nya. Kemudia Allah berkata pada Musa AS: “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku”. Musa AS kemudian menoleh ke arah bukit yang dimaksud. Pada saat itu, ia melihat bukut-bukit yang tadinya berdiri tegak kini menjadi hancur berkeping-keping masuk ke dalam perut bumi tanpa meninggalkan bekas.
Fenomena semacam itu merupakan ilustrasi dari Tuhan, bahwa dzat-Nya yang sejati tidak dapat ditangkap secara lahir. Dzat-Nya bersifat kasat mata yang tidak dapat terwujud dalam alam materi dan bahkan tidak sanggup digapai dengan menggunakan logika berfikir atau akal karena kesempurnaanya.
Kant yang bergelar sebagai Raksasa Ahli Pikir juga menyadari akan hal itu, sehingga ia berkata: Dzat Tuhan itu benar-benar ada dan merupakan perkara yang besar utuk dibahasnya, tetapi letaknya jauh di atas kemampuan akal, oleh karena itu saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan akal, supaya saya sediakan tempat buat iman. Selain itu Ibnu Khaldun juga menambahkan, bahwa mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, hidup di akhirat kelak, hakekat kenabian, hakekat sifat-sifat ketuhanan, atau persoalan lain yang terletak di luar kesanggupan akal adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu, tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Secara lebih lanjut Agustin juga menyatakan bahwa tuhan tidak bisa ditanggap atau di sifati, sebab Ia mengatasi sifat dan gambaran. Beleh saja manusia memberi sifat kepada tuhan, namun sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.
Dengan jelas, fenomena di atas menegaskan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna.
Sebuah pertanyaan, apa yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia sebagai bukti keberadaan tuhan? Yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia adalah eksistensi Tuhan. Jadi, bukan esensi-Nya.
Apa perdedaan esensi dengan eksistensi? Sebenarnya kedua istilah ini sama, yaitu sebagai penunjuk keberadaan suatu hal, baik hal tersebut bersifat hidup atau mati. Perbedaanya terletak pada kriterianya. Esensi merupakan intisari; sesuatu yang menjadikan suatu hal itu apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam hal, sedangkan eksistensi merupakan bentuk yang menunjukan keberadaan suatu hal yang hidup yang berbeda dengan yang lainya (Partanto dan Barry, 1994:133 dan 159).
Sesuatu yang pasti dimiliki oleh semua benda adalah dzat, sedangkan yang menjadikan suatu benda hidup itu berbeda satu sama lainya adalah pergerakanya. Eksistensi mengarah pada suatu bentuk amaliah atau akhlak dari suatu hal. Jadi, sekali lagi yang dapat dilogikakan sekaligus ditangkap oleh indra manusia adalah Akhlak atau Fi’liyah Tuhan. Akhlak Tuhan ini tercermin melalui nama dan sifat-Nya. Sebagaimana Al-Kindi mengungkapkan, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya dzat yang tidak tampak. Dzat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.
Berdasar pada pandangan Al-Kindi, bentuk alam yang tertata rapi tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menjadikanya. Yang menjadikan alam tidak lain adalah dzat yang tidak terlihat. Dzat itu adalah Dzat Tuhan.
Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asmaul Husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
Rumi mengilustrasikan kembali perihal kehancuran bukit yang dipandang Musa AS saat itu. Kepingan-kepingan bukit yang tidak sanggup menerima penampakan Dzat Tuhan secara lahir itu menjelma menjadi beberapa bentuk. Bentuk kepingan tersebut ada yang berwarna hijau, putih, menjadi mutiara, batu manikam dan ambar.
……Sebagian kepingan menjadi hijau, sebagian kepingan menjadi putih, sebagian kepingan menjadi mutiara, sebagian lagi kepingan menjadi batu manikam dan ambar ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).
Jika ungkapan tersebut ditinjau lebih jauh lagi, ungkapan itu mengandung perlambang. Perlambang itu meliputi: warna hijau identik dengan ketenagan dan kedamaian, warna putih identik dengan kesucian dan kemuliaan, mutiara identik dengan batu permata, manikam identik dengan intan, dan ambar identik dengan damar yang keras seperti batu yang terdapat di dsar laut dan berbau harum.
Semua kriteria tersebut apabila ditarik satu garis lurus, akan menghasilkan satu pengertian baru. Pengertian tersebut adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehudupan ini yang menjadi incaran setiap orang.
Hubunganya dengan konsep yang dibangun Rumi adalah berorientasi pada keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang ditunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan kepadanya, niscaya itu adalah sebuah rahmat yang tinggi nilainya dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung karena hal tersebut sanggup memperkuat keimanan yang telah tumbuh di hati seorang manusia akan esensi dan eksistensi Tuhan.
Lebih lanjut Rumi menghimbau kembali kepada siapa saja yang hendak mengetahui Dzat Tuhan secara lahir, hendaknya kisah Musa AS dijadikan wacana. Alam semesta akan porak poranda dan hal semacam itu patutlah kiranya untuk dijadikan wahana dalam memperkuat keimanan dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa.
……Kau yang sangat merindukan wajah-Nya, lihatlah batu pecahan gunung-Nya itu ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Musa AS tidak ingin mengulagi lagi tidakanya untuk memohon agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap dan rindu terhadap bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam semesta ini sebagi wahana dan petunjuk dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Tentunya dalam lirik puisi Rumi selanjutnya, ia menisbatkan dirinya sama dengan Musa AS. Sama bukan berarti sama dalam tataran sebagai nabi dan rasul, namun sama dalam konsep pemahaman bahwa dia tidak mengharapkan agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap agar mendapatkan petunjuk-petunjuk ilahiah sebagai wahana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, Rumi menyatakan dengan ungkapan sebagai barikut:
……“O gunung, angin apa yang berhembus di puncakmu? Kami telah mabuk oleh suaranya.” …… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)
Rumi sungguh lihai dalam mengambil citra untuk disematkan sebagai konstruksi dasar karyanya. Ia memilih citra yang mengandung nilai filosofis yang tinggi sebagai pengingat kembali, mereka yang mendewakan logika maupun siapa saja yang hendak melakukan pencarian bukti akan adanya Tuhan. Ia juga memberikan wacana baru bagi tiap orang agar mereka tidak salah persepsi saat menafsirkan konsep ketuhanan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna. Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yang tampak pada indrawi mausia, yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam asmaul husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
============
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar