Senin, 05 Desember 2011

Bayang-Bayang Wajah

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Kabut pagi belum mengering. Padahal sinar matahari sudah mulai menghangatkan tubuh. Tapi toh begitu, bening air telaga sudah mulai menguap tersengat oleh hangat sinarnya. Kumparan waktu menyeretku berkeliling di tepian telaga. Riak-riak kecil menggiring ikan-ikan berkecipak di permukaannya. Sebatang pohon mangga menyapaku saat aku duduk di bawahnya. Daun kuningnya membelai wajahku yang muram memikirkan lembaran hari yang tiada menentu.

Pikirku terkuras untuk mengukir hari-hariku agar menjadi sebuah barang berharga. Selama ini hari-hari kubiarkan berjalan seiring perputaran matahari. Sejak fajar menjelang pagi hingga fajar menjelang malam, waktu kubiarkan berlalu tak membekas sedikitpun pada diriku. Aku tahu bahwa waktu tak akan datang lagi setelah dia berlalu bersama angin. Ia tak akan kembali yang kedua kali. Akan tetapi, kenapa aku selalu terlena membiarkan waktu pergi begitu saja?

Keluh kesah sang istri karena desakan kebutuhan hidup setiap hari memenuhi ruang kepala. Telinga terasa sakit jika mendengar keluhan-keluhan itu. Sebagai lelaki aku merasa gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi apakah sebagai istri terus hanya menuntut yang di luar batas kemampuan suami? Kurasa tidak. Sebab selama suami sudah menggerakkan tangan untuk mengais rizki dan hasilnya sudah diberikan kepada istri berarti kewajibannya sudah gugur. Istri tinggal mengatur pengeluaran hingga menjelang bulan berikutnya.

Menjelang senja saat langit merah bertarung dengan malam aku tak kuasa menahan himpitan beban yang semakin kencang. Catatan-catatan kebutuhan selama sebulan telah berderet di tembok malam. Yang satu belum terbayar yang lain sudah mengantre.

“Di saku celana. Ya, di saku celana masih tersimpan uang,” kataku dengan yakin.

Celana yang bergantung di tiang kuraba saku samping dan belakang. Tak ada yang tersentuh jemariku yang merayap mencari uang itu. Tiba-tiba dari balik kelambu istri muncul dan mengatakan bahwa uang yang ada dalam saku sudah ia gunakan untuk belanja pagi tadi.

“Aduh, mati aku! Itu uang untuk membeli pulsa!” kataku kesal.

Hari-hariku tercoret oleh ketidakpuasan istri. Ia selalu mengomel siang dan malam. Setiap keinginan yang terlontar dari mulut cerewetnya selalu kuturuti. Tapi risikonya, setelah tanggal lima belas uang untuk kebutuhan hari-hari tersisa sudah habis.

”Ah, tidak perlu susah! Yang penting anak istri bisa tersenyum. Kan, masih ada uang di tabungan!” suara kecil yang muncul dari dalam hatiku.

Perasaan gembira karena ada uang cadangan di tabungan menghiasi hari itu. Anak istri kutawari untuk berbelanja di minimarket yang berderet di sepanjang jalan. Tanpa basa-basi mereka bergirang ria. Si istri dengan sibuk mencatat belanjaan yang dibutuhkannya. Si anak minta mainan ini itu. Aku sekejap merasa bangga karena bisa membuat mereka tersenyum gembira. Eh, tidak tahunya setelah aku antre di bank berjam-jam ternyata saldo di buku tabunganku tinggal lima puluh ribu.

“Wik…..!” kataku kaget melihat saldo di buku tabungan.

“Ayo, Pak kita berangkat ke minimarket!” rengek anak-anakku.

Selembar uang lima puluh ribuan kuselipkan di dompetku yang menipis. Sedangkan sewaktu aku melirik catatan belanja istriku jumlah totalnya mencapai sekitar dua ratus ribuan. Belum lagi permintaan anak-anakku. Tapi apa boleh buat karena aku yang menawari mereka belanja mau tidak mau aku harus memberangkatkan mereka ke minimarket.

Ruang sejuk karena berpendingin di supermarket sedikit mendinginkan kekuatiran hatiku. Rasa was-was saat melihat tangan istriku trampil menyikat barang ini barang itu sedikit terkurangi. Anak-anakku yang mengambil beragam mainan juga kubiarkan. Keranjang barang belanja yang ditenteng oleh istriku sudah penuh. Akan tetapi, mereka juga belum berhenti melirik barang-barang yang dipajang di minimarket.
”Sudah, Bu?” tanyaku pada istri.

“Mestinya, belum. Karena banyak barang yang kosong terpaksa aku hanya belanja ini saja,” jawabnya dengan enteng.

Dalam hatiku mendongkol. Barang yang menggunung di keranjang belanja dibilang “hanya segini”.

“Capek deh!” ungkapku kesal.

Tangan kekar istriku menyodorkan barang belanjaan. Jari-jemari kasir terampil menghitung barang-barang yang dibongkar dari keranjang istriku. Di monitor kasir sempat kulirik ternyata biaya keseluruhan adalah seratus lima puluh ribu rupiah. Sedangkan uangku hanya lima puluh ribu.

“Ini, Bu dua seratus lima puluh ribu,” kata kasir sambil menyodorkan selembar kertas pada istriku.

Keringat mengucur deras menyerbu keluar dari pori-pori. Seketika itu pula kaos yang kukenakan basah oleh keringat. Istriku dengan mata menyalak menyodorkan hasil print out dari mesin kasir. Kuambil dompet yang terselip di saku belakang dengan tangan gemetar. Perlahan kubuka dompet berwarna hitam lantas kuambil selembar uang lima puluh ribuan.

”Cuma ada ini, Bu,” aku menunjukkan uang tersebut pada istri.

Raut istriku memerah dengan mata yang melotot tajam. Ia mengeluarkan raungan bak harimau yang siap menerkam mangsa. Aku mundur selangkah untuk menghindari terkaman istriku.

”Aduh, Pak!” jerit anakku karena jempol kakinya terinjak oleh sandal jepitku.

”Kurang ajaaaar!” auman istriku menggetarkan seluruh isi ruangan minimarket. Aku malu tiada terkira saat semua pandangan orang yang berada di ruang tersebut melihat ke arahku. Sekeranjang belanjaan dibiarkan tergeletak di meja kasir. Istriku membalikkan tubuhnya dan langsung melompat ke luar ruangan minimarket.

Gemetar tubuhku melihat wajah seram istriku seperti Maklampir, tokoh antagonis dalam sinetron Misteri Gunung Merapi. Aku melihat ia berkelabat menyerberang jalan dengan menyeret tangan anakku. Aroma wangi dari baju yang dikenakan oleh istri masih tertinggal di tempatku berdiri mematung. Sesaat kemudian bayangannya lenyap ditelan pertokoan yang berjajar di sepanjang trotoar.

“Aku yang salah,” ratapku dalam hati.
***

Di sudut telaga yang berair bening aku duduk seorang diri. Aku meratapi nasibku sebagai lelaki yang tak berdaya di mata istri. Bayang-bayang wajahku yang muram dan semakin mengerut tergores usia, terlihat hancur tak berbentuk. Bayang-bayang itu selalu kuamati dari permukaan air telaga yang menggiring riak-riak kecil ke tepian. Pohon magga yang berjajar rapi di sepanjang tepi telaga diam membisu tak mau menyapa diriku yang termenung di bawahnya. Bahkan mereka pun tak tega sekedar meluruhkan daun kuningnya yang membangunkan diriku dari ratapan yang berkepanjangan ini.

Sementara di rumah suasana menjadi hening. Ruangan yang luas tampak begitu sempit. Saat istriku duduk dengan ongkang-ongkang kaki di dingklik panjang peninggalan mertua, aku enggan masuk ke rumah.

”Ayo, Pak main kuda-kudaan!” ajak anakku sambil menyeret tanganku ke dalam rumah.

Hatiku berdebar-debar takut jika istriku menyalak lagi. Aumannya pasti bisa merobohkan rumah yang tak layak huni ini. Ah, ku tak peduli yang penting aku bisa enjoy bersama anak tersayangku yang sudah melupakan kekecewaannya sewaktu di minimarket tadi.

”Ayo, Pak yang kencang larinya!” gertak anakku dari atas punggungku. Spontan aku memacu rangkakku dengan kencang. Tanpa kusadari aku menyelonong di kolong meja makan.

”Duk!” bunyi sesuatu. Eh, anakku terjatuh dan keningnya berdarah terbentur meja. Jerit tangisnya segera kubungkam dengan telapak tangan agar istriku yang tadi ke ruang belakang tidak mendengar tangisan anakku. Darah yang mengalir di keningnya segera kuusap dengan kaos dalamku. Kening anakku sudah bersih tak ada tetesan darah lagi. Tapi benjolan yang muncul di kening bagian atas sulit kuhilangkan.

”Bagaimana, ya, caranya?” pikirku.

Topi yang bergambar ipin dan upin yang tergeletak di meja tamu segera kuraih lalu kukenakan di kepala anakku.

”Beres. Sudah tidak kelihatan.”

Istriku yang berderap dari ruang belakang menggetarkan seluruh pelataran. Hentakan-hentakan langkah kakinya seperti ribuan kaki kuda prajurit yang berlaga di medan perang. Jantungku berdegup kencang saat anakku di tarik ke gendongannya. Tanpa basa-basi ia melompat keluar bak singa menerjang lingkaran api dalam sirkus di televisi.

Pada siang hari istriku datang dengan diiringi sinar hatahari yang membakar. Gelembung-gelembung darah seakan mendidih di seluruh tubuhnya. Langkah kakinya berderap semakin kencang dengan mata terbelalak lebar. Tangan kirinya mengelus-elus kening anakku yang benjol terbentur meja sedangkan tangan kananya mencengkeram topi ipin upin sambil diacung-acungkan ke langit yang menyemprotkan hawa panas menyengat.

Aku masuk ke dalam kamar pura-pura tidak mengetahui kedatangannya. Saat kaki kananku baru melangkah ke dalam kamar tiba-tiba istriku sudah membentak dari pintu depan.

“Kau apakan anakku ini? Kenapa keningnya benjol seperti buah kedondong ini? Pakkkkkk…! Jawab!” ia membentakku dengan suara menggelegar.

“Ti, ti, tidak ta, ta, tahu!” jawabku gemetar sampai terbata-bata.

“Tidak tahu?! Terus darah yang ada di kaos dalammu itu darah siapa, heh?” serang istriku sambil menunjukkan bercak darah yang ada di kaosku.

“Sial! Aku lupa membersihkannya,” gerutuku dalam hati.

“Kamu ini suami apa? Kerja tak becus, momong anak gak becus. Bisanya hanya duduk daglu di talaga. Ya ini akibatnya, kepala anaknya dibenturkan di meja,” istriku mengomel.

Aku diam tak menyanggah apa yang ia ucapkan. Aku duduk diam tak menggubris semua yang diucapkan.

”Nanti kalau sudah lelah mengomel, ya…, ia akan berhenti sendiri,” belaku dalam hati.

Setelah menghabiskan bahan omelannya, tensi darah istriku menurun. Ia lantas berlalu di depanku menuju kamar.

Bayang-bayang sikap istriku yang semakin berani padaku terkadang mengukir pikiran tidak enak dalam hatiku. Aku lelaki yang tak berdaya jika berhadapan dengan istri. Padahal aku sendiri sudah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab dengan mencarikan mereka nafkah setiap hari. Tapi lagi-lagi karena penghasilanku yang tidak memadahi selalu menjadi alasannya berani merendahkan diriku.

Namun apa boleh buat, rizki itu sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa sejak zaman azali. Rizkiku segini sudah dicatat oleh Tuhan. Jadi tidak bisa dipaksa berpenghasilan seperti yang lain. Kalau terlalu dipaksakan maka yang terjadi adalah suami akan nekat melakukan tindakan yang menyimpang. Kalau sudah begitu, keluarga sendiri nantinya yang akan menanggung malu. Jadi aku berprinsip selama aku masih berkerja halal, tetap akan kujalani. Apa pun nanti hasilnya. Aku tak menghiraukan omelan-omelan istriku yang setiap hari memekakkan telingaku.

Deretan ratusan ikan berenang-renang di bening air telaga. Mereka hidup rukun berjalan berdampingan. Saat kulemparkan patahan ranting pohon mangga mereka berlomba-lomba mendapatkannya. Ketika mereka tahu bahwa itu bukan makanannya, mereka pun pergi mencari makanan yang lain dengan tetap berderet dan berenang bersama-sama.

Lamongan, April 2010
*) Ahmad Zaini, Penulis beralamat di Wanar Pucuk Lamongan, beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di Radar Bojonegoro, Majalah MPA (Depag Jatim), Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (Dewan Kesenian Lamongan,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Kidung Rumeksa Praja (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010). Pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat, Lamongan.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati