Senin, 05 Desember 2011

Pelukis Gelombang Laut

Dody Kristianto*
http://sastra-indonesia.com/

Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Tubuhnya perlahan bangkit dari lautan yang selama ini menyelubunginya. Ia nampak elok nan gemulai. Benar-benar menunjukkan sebuah arsiran dan detil rinci air lautan yang membentuknya. Cahaya bulan terang memberi warna kuning langsat pada kulitnya yang semula bening. Ia nampak rupawan. Rambutnya tergerai panjang. Setiap lekuknya berasal dari percikan gelombang. Gelombang nyalang, ketika malam sangat hening dan tak ada suara lain terdengar selain deru gelombang yang panjang.

Dan perempuan itu mulai melangkah gemulai. Matanya menatap bulan yang nampak bulat sempurna. Dari wujud kesempurnaan bulan, mata perempuan terbentuk, sangat terang dan meneduhkan bagi siapa pun yang beradu pandang. Ia merentangkan tangan. Lalu satu demi satu tetes air terbang membalut tubuhnya. Lantas buliran air itu berubah menjadi gaun putih nan anggun. Berpadu padan dengan wajahnya yang seterang cahaya bulan.

Lalu perempuan itu berjalan. Sangat pelan. Ia meninggalkan gelombang yang selama ini membungkusnya. Keanggunannya bagai seorang putri kerajaan. Kerajaan yang hanya ada dalam khayalan. Kerajaan bagi mereka yang percaya impian. Perempuan itu ibarat kupu-kupu terlahir dari butir kepompong. Butir kepompong gelombang yang tak henti menerjang daratan. Lalu perempuan itu berjalan pelan. Ia menatap jauh. Memandang ke arahku…

***

Perempuan yang tercipta dari gelombang itu adalah imajiku yang tertuang dalam wujud lukisan. Lukisan yang kuhibahkan kepada kantor dan kini terpajang di tengah ruang kantor. Lokasi yang kukira sangat strategis. Orang-orang yang berlalu-lalang bisa menikmati lukisanku. Bahkan bosku pun mengakui hasil goresan kuasku. Ia mengatakan kalau aku sepatutnya menjadi seorang seniman, bukan kasir pada pekerjaanku saat ini. Aku hanya tersenyum kecut mendengar pujian dari bosku. Juga rekan-rekanku yang lain. Namun mereka tidak tahu yang kurasakan selama ini. Mereka tak mengerti sesuatu yang membayangi diriku.

Yang selama ini terjadi adalah gejolak jiwaku. Gejolak jiwa yang menderu ketika menyaksikan gelombang menerjang. Gelombang yang mengasah dan membentuk diriku hingga aku tabah menghadapi kerasnya kota besar. Gelombang yang senantiasa membayangiku ke manapun. Di mana aku berada, aku selalu terngiang mendengar bisikan gelombang. Sampai pada inti atom terdalam, aku kerap terhanyut oleh partikel-partikel gelombang.

Aku dibesarkan di sebuah desa nelayan. Desa tepi pantai, yang hidup sehari-harinya takkan dapat terlepas dari gelombang. Karena dari situlah para penduduk memperoleh nafkah. Termasuk juga ayahku. Sebenarnya ketika masih berusia 6 tahun, aku adalah anak yang paling enggan diajak melaut. Aku lebih memilih bermain di hamparan pasir pantai, mencari tempat yang agak jauh dari bibir pantai. Terkadang aku bersembunyi di tempat penjemuran ikan, saat ayah maupun saudara-saudaraku yang lain mengajakku melaut. Aku berlari sekencang mungkin, menghindari kejaran mereka.

Gerak gelombang yang selalu menerjang membuatku sangat takut kala itu. Aku tak pernah bisa membayangkan, mengapa pergerakan sekumpulan tetes air yang bersatu dengan tetes lainnya dapat menghasilkan tenaga yang begitu besar. Bahkan aku kerap berandai-andai seumpama gelombang yang menerjang itu sebesar rumah. Bahkan lebih besar dari rumah. Tentu gelombang itu akan menelan tubuh kecilku. Menggilingnya dalam satu gilasan raksasa yang membuat diriku hancur berkeping-keping. Sebuah fantasi yang kubayangkan setiap detik dapat terjadi pada diriku.

Apalagi, aku pernah mendengar cerita dari orang-orang tua di desa, bahwa gelombang besar pernah melanda desaku, menewaskan beberapa orang, termasuk kakek dan nenekku. Cerita yang membuatku bergidik. Pun yang bercerita adalah paman dan bibiku. Mereka adalah orang yang selalu mengatakan padaku, bahwa merekalah yang mendidik ayah menjadi seorang nelayan tangguh, setelah orang tua ayah meninggal. Lantas mereka menyuruh aku agar tidak bermain-main dekat pantai karena pantai dijaga oleh dedemit yang setiap saat akan mencari tumbal anak kecil seusiaku.

Namun berbeda dengan ayahku. Ia selalu berpikir bahwa gelombang adalah kawan bagi nelayan. Tidak akan ada gelombang yang menelan nelayan. Gelombang akan mengantar nelayan menuju sumber penghidupan. Tak ada yang harus ditakutkan. Hal ini selalu ditanamkan ayah pada teman-temannya, termasuk pada anak-anaknya, tak terkecuali diriku. Memang ayah dikenal sebagai penyemangat di kalangan nelayan lainnya. Bila nelayan-nelayan lain berputus asa menghadapi sedikitnya hasil tangkapan, maka ayah akan membakar semangat mereka. Ia meminta para nelayan melaut lebih jauh lagi hingga didapat hasil tangkapan yang memuaskan.

Tapi aku tak tahu mengapa, setiap kali ayah dan saudaraku yang lain mengajakku melaut, aku selalu enggan. Sudah berkali-kali kukatakan pada ayah dan saudara-saudaraku bila aku takut akan gelombang yang setiap saat menelanku. Lantas, ayah marah bila aku selalu mengatakan hal yang sama. Terkadang ia sampai memukul pantatku hingga aku menangis sekerasnya. “Tidak ada gelombang besar. Kamu tidak boleh jadi penakut. Kamu itu lelaki yang tumbuh di lautan”, tandas ayah di tengah tangisanku. Namun biasanya ibu akan mendekatiku dan menenangkanku. “Cup cah bagus, ayahmu hanya ingin kamu berani melaut. Kamu harus berani nak. Gelombang itu tidak menakutkan!”, tukas ibu sembari menggendongku. Setelah itu segalanya akan berlangsung seperti biasa. Aku bersembunyi menghindar tiap kali ayah mengajakku melaut.

Suatu ketika, aku bernasib sial. Saudaraku tertuaku memergokiku sedang bermain di tempat penjemuran ikan. Ia mendekapku dengan erat. Aku meronta semampuku. Akan tetapi sia-sia. Tubuh kakakku terlalu kuat untuk kugoyahkan. Aku hanya bisa menangis sekeras mungkin. Sedang tubuh kecilku ini sudah pasti akan dibawa ke kapal, melaut bersama ayah dan nelayan lainnya.

Hawa pengap dan amis ikan segera menyergapku. Begitu juga dengan ayunan gelombang yang menghentak kapal. Seketika itu aku merasa pusing. Aku tak berani menatap sekitar. Tubuhku meringkuk di sudut kapal sembari menangis sekuatku. Nelayan yang lain hanya tertawa melihat tingkahku. Tapi tidak dengan ayah. Ia langsung menentengku, membawaku ke bagian depan kapal. “Lihat ke depan. Tidak ada yang harus kamu takutkan”, seru ayah.

Aku terus menangis sambil melihat ke depan. Tampak hanya ada hamparan gelombang laut dan garis khayal pertemuan antara langit dan lautan. Aku lantas terdiam memandang apa yang tergelar di depanku. Sungguh indah. Lebih indah disbanding pemandangan serupa yang kusaksikan di daratan. Mengetahui tangisku mulai lerai, ayah langsung mengelus rambutku. “Bagaimana Nak? Tak ada yang harus kamu takuti kan?”, kata ayah sambil mengecup ubun-ubunku.

Ayah pun melepas gendongannya pada tubuhku. Perlahan ia meninggalkan aku. Sementara aku masih termangu di pinggir kapal, membiarkan gelombang menggoyang tubuhku. Aku masih terpana oleh pemandangan yang baru saja kusaksikan. Lalu aku menengok ke bawah, berkaca pada gelombang yang masih menderu. Aku menyaksikan bayanganku terpantul kabur, bersahutan dengan gelombang laut yang terus saja bergerak. Gerakan lamat-lamat yang bisa kupandang. Bahkan kunikmati bersama air mataku yang mulai mengering.

Hari-hari selanjutnya, aku berani ikut rombongan ayah melaut. Aku mersakan goyangan gelombang sebagai suatu buaian. Bagaimana sinar matahari yang memantul di lautan membuat imajinasiku melayang. Terkadang aku memikirkan gelombang itu tiba-tiba menjelma sekawanan kupu-kupu. Melayang dengan lincah di atas lautan. Lalu, tiba-tiba seekor ikan berukuran lumayan besar melesat, menenggak kawanan kupu-kupu itu. Tidak hanya sebatas ikut melaut, kala fajar belum menyingsing aku telah berdiri di bibir pantai. Merasakan bagaimana gelombang laut memerciki kakiku.

Gelombang laut makin lama makin menjadi-jadi di depanku. Ia seolah memainkan sebuah pertunjukan besar. Aku kerap menyaksikan sebuah kapal rakssa menyembul dari balik gelombang. Kapal yang berukuran lebih besar dari kapal yang biasa digunakan ayahku melaut. Kadang juga wujud satria berkuda yang berderap di atas laut. Ia berlari menuju arahku yang diam termangu di bibir pantai. Lantas ketika akan menerjangku, satria berkuda itu pecah, menjelma kembali gelombang yang menabrak tubuhku. Aku tersadar bahwasanya tubuhku baru saja diguyur oleh sepercik gelombang. Gelombang yang selalu kupermainkan dan mengajakku bermain-main.

Aku belajar untuk menggambar wujud-wujud yang dibentuk oleh permainan gelombang. Aku menorehkan coretan di atas pasir. Coretan beraneka ragam. Ada kalanya sesosok satria, kemudian sepasang pengantin yang berjalan di atas lautan, atau pun seekor elang yang melesat tiba-tiba dari balik gelombang. Coretan yang selanjutnya mewarnai pesisir pantai dan membuat para nelayan terheran-heran dengan tingkah polaku.

Seiring berlalunya waktu, gelombang masih terus berderap di dalam otakku. Ketika aku telah bersekolah kebiasaanku menggambar gelombang masih terus berlanjut. Intensitasnya bahkan semakin menggila. Sepulang aku bersekolah sampai menjelang malam aku masih duduk di bibir pantai, sembari menunggu gelombang membentuk dirinya jadi bermacam wujud. Termasuk wujud seorang putri rupawan. Lalu putrid itu berjalan perlahan menghampiriku. Terus aku mulai menggambarnya di atas buku gambar, memberinya gaun beraneka ragam yang terbuat dari butiran gelombang pula. Aku melakukan hal ini ketikahampir malam dan bulan purnama menjelang. Namun seperti sebelumnya terjadi, gelombang itu tak pernah membentuk dirinya menjadi seorang putri. Aku pun tetap termangu di bibir pantai.

Bahkan aku lebih sering terduduk sendirian ketika malam. Menanti putri rupawan melangkah pelan ke arahku. Menjulurkan tangannya dan ia mengajakku berdansa. Seolah aku adalah seorang pangeran yang telah lama dinantinya. Lalu kami berdua pun berdansa, beriring musik gelombang yang terus bergulung tanpa henti. Tanpa pernah mengenal waktu. Tak hanya di atas gelombang. Aku berdansa dengan sang putri di atas kertas putih yang telah kupersiapkan. Kertas yang akan tergores dengan sapuan gerakan lembut kami berdua.

Ternyatalah, putri rupawan hanya gejolak dalam hatiku yang tak mampu kuredam. Gejolak yang muncul dari kegilaanku terhadap gelombang. Gelombang yang semula kutakuti ternyata jadi bagian tak terpisahkan dalam hidupku. Aku merasa tubuhku turut tercipta dari tetesan gelombang dan sedang menunggu suatu penyatuan dengan gulungan gelombang.

***

Kini aku hidup di kota besar dan bekerja sebagai seorang kasir. Sudah 14 tahun aku meninggalkan desa, meninggalkan terjangan gelombang yang telah menempa dan membentuk diriku. Kali terakhir aku melihat gelombang di desa 7 tahun lalu, ketika menghadiri pemakaman ayah. Seorang lelaki tua yang begitu bangga pada gelombang hingga nafas terakhirnya. Ia tetap gagah meski dibalut tubuh renta. Berada di tengah gelombang untuk mencari sebanyak mungkin ikan. Menurut saudara-saudaraku, ayah memang sempat melaut sebelum ia mangkat.

Aku menyaksikan telah banyak yang berubah di desaku. Tempat aku biasa berdiri menatap gelombang telah digerus oleh gelombang. Maka pemerintah setempat membangun pemecah gelombang agar gerusan itu tidak sampai pada rumah penduduk. Kukira gelombang merangsek memakan pantai karena kerinduan mereka pada diriku. Kerinduan yang sangat terlalu hingga mereka berderap kencang mencari diriku. Aku tak pernah ragu akan hal itu.

Di kota aku sangat tersiksa. Tak ada gelombang yang dapat aku abadikan. Setiap aku berjalan-jalan di tengah kota, yang kulihat hanyalah gelombang yang telah terpecah pada aliran sungai-sungai kecil yang kotor. Dan di sungai yang kian keruh itu, aku mendengar mereka merintih merasakan perilaku manusia kota yang tak pernah benar-benar memahami mereka. Rasa sakit mereka sampai ke telingaku, mengiris-iris hatiku. Membuat darahku memanas dan menderu kencang. Aku sudah tidak kuasa mendengar rintihan mereka.

Di tepian pantai kota yang juga kotor, aku mencoba menggambar gelombang sebagai mayat-mayat yang bangkit. Dan dalam kesenyapan malam, mayat-mayat itu melangkah dan mengepung kota yang tengah terlelap. Wajah mereka teramat mengerikan. Tangan mereka yang penuh darah memanjang, mencari tubuh manusia. Lalu mayat-mayat itu masuk dalam mimpi manusia, menghantui mereka, lantas menenggelamkan mereka dalam satu terjangan gelombang besar. Manusia tak berdaya. Mereka kelam dalam keganasan gelombang. Termasuk diriku.

*) mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati