Kamis, 19 Januari 2012

Identitas dan Tubuh yang Dilepaskan dari Bahasa

Afrizal Malna
http://publiksastra.net/

DUA lembaga pembacaan sastra hingga kini saling tarik-menarik, menghasilkan negosiasi yang tidak mudah untuk melihat wajah sastra Indonesia masa kini. Yang pertama, lembaga kritik sastra. Saya ingin menyebut lembaga ini sebagai “sastra pertama”. Sastra pertama ini awalnya menghasilkan negosiasi yang gesekannya cukup tajam antara politik dan pandangan-pandangan kebudayaan.
Terutama pada masa-masa polemik kebudayaan, dan pandangan antara universilisme sastra dengan sosialisme dan kemudian kontekstualisme. Negosiasi ini kini kian mereda dan cenderung menghasilkan sastra mono kultur. Infrastruktur Lembaga sastra pertama ini, mekanisme dan konservasinya tidak pernah eksplisit. Umumnya lembaga ini bermain di tingkat redaktur media massa cetak, Dewan Kesenian, Taman Budaya, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pemberi hadiah sastra, perpustakaan sastra dan komunitas-komunitas sastra.

Lembaga kedua adalah pasar, yang dimainkan oleh para penerbit buku dengan permainan pasar yang mereka jalani, entah lewat pelebelan buku best seler dan imij selebriti. Saya menyebut lembaga ini sebagai “sastra kedua”. Negosiasi yang berlangsung dalam sastra kedua ini lebih banyak bergerak di antara kepentingan modal, pasar dan seremoni. Kapitalisasi sastra dan pasar ikut mengambil isu-isu publik di sekitar gaya hidup, politik gender dan eksotisme sejarah maupun agama. Kedua lembaga ini, antara sastra pertama dan kedua, sama-sama tidak eksplisit memperlihatkan prosedur yang mereka jalani maupun politik sastra yang mereka lakukan. Ada kesan cukup signifikan dimana sastra kedua, yaitu pasar, kian kuat dan mengaburkan peran sastra pertama. Dalam beberapa hal, sastra pertama dan kedua mudah untuk melakukan kolaborasi satu sama lainnya. Hal ini misalnya muncul lewat pengarang-pengarang yang memiliki kemampuan membiayai penerbitannya sendiri, dan menggunakan pengantar pada bukunya dari para penulis yang dianggap sudah menjadi ikon pada lingkungan sastra pertama, atau ikut sebagai juru bicara bukunya.

Di antara kedua fenomena itu, kini muncul fenomena “sastra ketiga”, yaitu semua aktifitas sastra yang bergerak di dunia internet maupun mobile phone. Sastra ketiga ini merupakan fenomena baru, memiliki potensi besar menghasilkan komunitas sastra maupun pergaulan sastra tanpa rejim. Sastra ketiga sebenarnya memiliki potensi besar untuk memasuki dunia digital atau elektrik dan menghasilkan estetikanya sendiri dalam kancah politik multimedia. Kalau sastra pertama berhadapan dengan agresi nilai atau mainstream sastra, sastra kedua berhadapan dengan agresi pasar dan publisitas, maka sastra ketiga berhadapan dengan agresi mobilitas, percepatan dan benturan antar disiplin yang lebih massif.

Ketiga sastra di atas memiliki potensi untuk mendorong terjadinya perubahan radikal dalam klaim sastra. Sastra menjadi bagian dari napas publik. Sastra bukan lagi lingkungan tertutup, setiap orang memiliki hak dan potensi untuk menerbitkan karyanya. Demokratisasi sastra ini juga belum tahu akan bergerak kemana. Demokratisasi sastra ini juga belum menghasilkan negosiasi alternatif untuk estetika yang lain. Ia lebih banyak bermain di tingkat kuantitas daripada kualitas. Negosiasi konseptual belum signifikan terjadi. Karena itu demokrasi ini cenderung menghasilkan polusi sastra. Karya sastra bertumpuk di pasar, dan pembaca tidak memiliki mekanisme atau prosedur berdasarkan apa untuk memutuskan buku yang akan mereka konsumsi. Publik cenderung berhadapan dengan “pasar buta” kesusastraan. Publik harus menjadi bagian dari komunitas sastra tertentu untuk tahu karya sastra yang akan mereka konsumsi.

Bagaimanakah melihat kehidupan sastra Jawa Timur di tengah fenomena sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga ini? Pembacaan sastra lewat kawasan administratif dan konteks budaya yang melatarinya seperti ini baru mungkin dilakukan kalau kita mencoba memetakan kawasan administratif sastra ini sebagai kawasan provinsial. Dan pemetaan ini akan memberikan posisi yang signifikan dari bagaimana peranan sastra Jawa Timur dalam peta ini.

Saya merasa tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk membuat peta ini, tetapi pembicaraan ini tidak bisa menghindar dari keharusan dilakukannya pemetaan ini. Pemetaan yang akan saya turunkan di bawah ini sifatnya sementara, sederhana dan apa adanya. Saya lakukan lebih sebagai halte untuk melanjutkan pembicaraan ini.

PETA PUISI
Sumatra Jawa Barat Jakarta

Amir Hamzah Ramadhan KH Yudhistira Adri Nugraha
Chairil Anwar Ajip Rosidi F. Rahardi
Sitor Situmorang AS. Dharta Jefri Al Katili
Rifai Apin Karno Kardibrata
Sutardji Calzoum Bachri Acep Zamzam Noer
Fitri Yani

Jawa Tengah Jawa Timur Dst.

Rendra Abdul Hadi WM
Sapardi Djoko Damono Akhudiat
Darmanto Jatman Zawawi Imron
Wiji Thukul Mashuri
Dorothea Rosa Herliany Mardi Luhung
Joko Pinurbo F. Aziz Manna

PETA PROSA
Sumatra Jawa Barat Jawa Tengah

Hamka Remy Silado Tirto Adisuryo
Ras Siregar Mas Marko
Muchtar Lubis NH. Dini
A.A. Navis Ashadi Siregar
Hamsat Rangkuti Danarto
Triyanto Wirokromo
Gunawan Maryanto

Jawa Timur Jakarta Bali

Idrus Armijn Pane Putu Wijaya
Pramoedya Ananta Toer Sutan Takdir Alisjahbana Oka Rukmini
Budi Darma Ayu Utami
Ratna Sari Ibrahim Jenar Mahesa Ayu
Leres Budi Santoso Nukila Amal
Lan Fang Dian Sastrowardoyo
Fahrudin Nasrulloh

Saya mohon maaf data yang sangat miskin untuk peta ini. Pembaca bisa menambahkan nama-nama dalam peta ini tanpa batas. Karena memang saya hanya membutuhkan tidak terlalu banyak nama untuk pembicaraan yang terbatas ini.

Cara saya menempatkan antara para penulis puisi dengan penulis prosa cukup berbeda. Untuk penulis puisi, faktor geologi, kultur (suku), ideologi, bahasa ibu dan reliji cukup menentukan. Sementara untuk penulis prosa cenderung lebih longgar, lebih menggunakan faktor kota domisili mereka. Penulis-penulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ramadhan KH, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, faktor geologi alam cukup organik dalam puisi-puisi mereka. Penyair seperti Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Ramadhan KH. Karno Kardibrata, Darmanto Jatman, faktor kultur (suku) dan bahasa juga organik dalam puisi mereka. Faktor ideologi bisa kita lihat pada Rifai Apin, AS. Dharta atau Wiji Thukul. Sementara faktor lain kuatnya budaya kreol pada puisi Yudhistira Adri Nugraha, Akhudiat, F. Rahardi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Jefri Al Katili, Mardi Luhung atau F. Aziz Manna. Dalam budaya kreol ini, warna urban merupakan bagian dari fenomena puisi-puisi mereka.

Tubuh Geologi dari puitika Zawawi Imron

Dalam peta itu, D. Zawawi Imron memperlihatkan jejak paling berwarna untuk melihat strategi puitika Jawa Timur dalam peta puisi Indonesia. D. Zawawi Imron banyak dilihat puisi-puisinya organik dengan ikon-ikon alam maupun kultur Madura dan tradisi sastra pesantren, juga menyimpan militansi khas Jawa Timur. Militansi yang bisa ditarik ke daya hidup, mistik, maupun konsekuensi-konsekuensi sosial seperti dalam sajaknya Utang atau Celurit Emas. Militansi yang kadang-kadang menjadi tidak berbatas lagi dengan semacam nihilisme puitik. Melalui puisi-puisinya. kita seperti kembali menyusuri daun-daun kering antara cerita-cerita panji dan candi, menaiki perahu antara laut, sungai dan hutan, menyusuri folklor-folklor pesantren dan menciptakan adanya komunitas literer yang memang berpikir dengan imaji dan bukan dengan logika. Budaya lisan saya kira merupakan seponsor utama untuk lahirnya cara berpikir seperti ini.

Puisi-puisi Zawawi memiliki strategi puitik yang umumnya bergerak dari isu-isu sosial, nilai-nilai lokal atau reliji sebagai “tubuh pertama” dari puitikanya. Isu atau nilai-nilai ini kemudian bergerak mengalami internalisasi dan menghasilkan “tubuh kedua”. Lihatlah sajak Utang karya D. Zawawi Imron ini: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami (dari Ribut Wijato, “Propinsi Para Penyair”, 2002).

Tema utang dalam puisi Zawawi, yang merupakan isu nasional, dalam strategi puitikanya mengalami internalisasi seakan-akan utang telah menjadi tubuhnya sendiri. Melalui tubuh kedua ini, penggemparan dan pengukuhan atas eksplorasi imaji-imaji puisi mulai dilakukan hingga mendapatkan posisinya yang massif dan militan.

Tubuh kedua ini cenderung melakukan distraksi atas isu atau tema yang diangkat. Tema hutang oleh Zawawi dialihkan melalui internalisasi individual: Hutang menjadi aku, hidup dalam tubuhku dan menjadi tubuhku sendiri. Internaliasi yang berlangsung menjadi mistifikasi antara aku dan hutang. Di sini imaji bergerak menjadi tidak terduga, dan unsur-unsur kultur mendapatkan ruang lebih besar untuk digerakkan. Setelah itu “tubuh ketiga” diciptakan untuk mendistribusi metafor ke ruang dan waktu yang lebih luas, menjadi samudra dan anak-cucu. Tubuh ketiga ini menjalan fungsi untuk menyampaikan semacam pesan yang dibawa puisi. Pesan dengan imaji-imaji kewilayahan.

Geologi puisi muncul dalam jeda antara tubuh kedua dengan tubuh ketiga, yaitu munculnya unsur laut. Dalam puisi yang lain munculnya unsur alam dan ikon-ikon kultural maupun reliji. Strategi puitika seperti ini khas mewarnai banyak puisi Zawawi. Kemampuan geologi tubuhnya bahkan dengan mudah ditransfer oleh Zawawi ketika ia menulis puisi-puisi dalam konteks kultul yang lain. Hal ini bisa dilihat ketika Zawawi menulis sajak-sajak dengan kultur bugis. Kultur bugis bertemu dengan tubuh geologi Zawawi lewat laut: bertemunya Bugis dan Madura lewat budaya laut atau pesisir.

Puisi-puisi Zawawi menjadi lebih kaya bila dibaca melalui puisi-puisi Abdul Hadi WM. Irama-irama yang lebih menghujam, tegas, menikam dan dramatik pada puisi Zawawi, mendapatkan koreografi lain bila dibaca melalui imaji-imaji puisi Abdul Hadi yang lebih banyak melanjutkan lirisisme puisi Indonesia.

Tubuh geologi Zawawi itu cenderung tidak menjadi tubuh yang bertanya, melainkan lebih sebagai tubuh yang menyatakan. Berbeda dengan puisi Abdul Hadi yang cenderung hidup sebagai tubuh filosofis yang memainkan pertanyaan-pertanyaan.

Nilai-nilai heroik pada puisi-puisi Zawawi tidak lagi berlangsung pada puisi-puisi Abdul Hadi WM yang cenderung filosifis. Zawawi, misalnya, tidak mengakses asal-usul hutang yang merupakan tema nasional ini: skandal antara ekonomi nasional dengan keuangan internasional. Ia membawa hutang itu ke dalam tubuhnya sendiri. Di balik kerja mistifikasi seperti ini ada daya hidup dan militansi. Militansi yang kadang-kadang menjadi nihilistik juga.

Identitas dan Bonek

Saya tergoda untuk melihat militansi yang tidak bertanya itu ke wilayah politik identitas. Di balik militansi itu, di antaranya terdapat klaim heroisme yang disandang Jawa Timur, terutama melalui Perang Kemerdekaan. Nilai-nilai militan dan klaim militansi itu sendiri bisa dilihat sebagai dua hal yang berbeda. Namun klaim heroisme mendapatkan peluang yang memang jauh lebih luas untuk mengkaitkan dirinya ke dalam tradisi militansi itu. Militansi yang mungkin datang dari elan vital budaya laut atau pesisir dalam menghadapi kerasnya kehidupan di laut.

Atau militansi itu memang menjadi kheos ketika yang dihadapi bukan lagi laut, melainkan politik kolonialisme global yang berlangsung melalui kolonialisme Belanda dan politik internasional yang dijalankan kepentingan Amerika dan Inggris melalui tentara sekutu. Dalam kheos itu, heroisme itu memperlihatkan sisinya sebagai amok massa; berlangsung di luar strategi politik nasional. Hal ini bisa dilihat misalnya melalui penelanjangan revolusi kemerdekaan yang dilakukan Idrus dalam novelnya Soerabaja. Karya ini sendiri cenderung dihindari dalam banyak kajian sastra di sekitar sastra Jawa Timur. Karena karya ini seakan-akan melawan heroisme yang mau dijadikan tradisi dalam wilayah ini.

Heroisme yang kheos itu kini mendalatkan tubuhnya yang lain dalam fenomena bonek. Saya tidak tidak tahu banyak tentang asal-usul tradisi bonek ini. Tetapi bonek saya kira merupakan bagian dari histeria sejarah untuk merdeka, untuk bebas dari penjajahan tanpa strategi pembacaan untuk tahu apa itu kemerdekaan dan apa penjajahan itu sendiri pada masa revolusi kemerdekaan. Bambu runcing digunakan untuk menghadapi mesin perang tanpa takut. Pekik kemerdekaan atau Allahu Akbar sudah membuat kita menjadi heroik walaupun harus mati sia-sia. Mati tanpa tahu apa itu kemerdekaan dan apa itu penjajahan.

Dalam politik identitas, bonek ini merupakan tubuh kheos dari tidak bertemunya antara tubuh budaya dengan tubuh nasional dalam konteks terjadinya perluasan politik identitas melalui Perang Dunia Kedua. Di balik Perang Dunia Kedua ini, politik identitas bergerak dari modernisme Eropa (yang didalamnya terkandung paham-paham sosialisme) ke modernisme Amerika yang kapitalistik dan hegemonis. Sementara itu di tingkat nasional bergerak isu-isu nasional untuk berdiri di atas kaki sendiri melalui perluasan pandangan-pandangan Marhaenisme yang Marxis ala Sukarno dan kemudian militerisme yang dibawa Nasution.

Bonek dalam novel Pramoediya Ananta Toer, Bumi Manusia, dapat kita temukan pada tokoh Minke: monyet pribumi dalam pergaulan kolonial. Juga dapat kita temukan dalam novel Rafilus karya Budi Darma sebagai dunia besi yang keras dan buta. Rafilus merupakan konstruksi realitas sosial yang tidak terjelaskan dan bergerak sebagai mesin sejarah yang buta. Mesin sejarah yang terbuka untuk lahirnya “negeri dusta” seperti yang berusaha dirumuskan oleh Abdul Mukid dalam cerpen dengan judul yang sama, Negeri Dusta.

Dalam novel Lan Fang, Perempuan Kembang Jepun, politik identitas ini bisa kita temukan melalui tokoh Sujono. Sujono merupakan lelaki Jawa yang hidup sebagai kuli. Ia tidak tahu untuk apa seorang lelaki bekerja. Ia bekerja hanya untuk mabuk dan berjudi. Untuknya lelaki itu seharusnya hidup untuk perang. Tetapi ia juga tidak tahu apa itu perang, siapa musuhnya (Belanda, Jepang atau Tentara Sekutu)? Seorang lelaki Jawa yang sebenarnya sangat polos, dan kemudian harus mengalami banyak luka dalam permainan politik identitas di sekitarnya antara dunia kuli, perjudian, mabuk, perempuan, cinta dan pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial antara China, Belanda dan Jepang. Ketika perang berkecamuk, Sujono justru menghadapi perangnya sendiri dalam konflik domistik yang dialaminya.

Pencairan identitas dan perluasan strategi literer

Lestari, Anak Sujono yang lahir dari seorang perempuan Jepang (Matsumi), merupakan tubuh politik identitas yang harus menerima derita dari pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial itu sebagai tubuh korban dalam sejarah. Ia hidup lajang sambil membawa bekas sayatan luka di wajahnya (luka dari konflik domistik). Pencairan atas luka-luka sejarah justru merupakan politik kesadaran yang dilakukan Lestari kepada anak angkatnya, Maya, yang menikah dengan Higashi (seorang lelaki Jepang) pada bulan Desember 2003. Lestari berusaha menyembunyikan sedemikian rupa luka-luka sejarahnya agar anak angkatnya tetapi melihatnya sebagai seorang “orang tua tunggal” yang kuat dan cantik. Tetapi luka itu mudah dibaca lewat sayatan pada wajah Lestari.

Novel Lan Fang ini menurut saya menarik untuk membaca motif-motif “pembersihan diri” dari luka-luka sejarah. Yang menarik kemudian bagaimana politik identitas tidak lagi bergerak sebagai sesuatu yang organik, melainkan dengan mencangkokkannya. Yaitu lewat Maya sebagai anak angkat yang kemudian menikah dengan lelaki Jepang. Lan Fang dengan jelas mencantumkan waktu pernikahan mereka, Desember 2003 di Surabaya. Berarti berlangsung setelah reformasi terjadi.

Identitas yang tidak lagi dilihat sebagai organik atau sesuatu yang terberi itu, berlangsung bersamaan dengan pencairan identitas dan perluasan strategi literer yang berlangsung dalam puisi. Identitas tidak lagi bermain dalam imaji-imaji militan, melainkan melalui koreografi yang lebih bersifat prosaik. Hal ini berlangsung pada puisi-puisi Akhudiat, Arif B. Prasetyo, Mardi Luhung, Mashuri, F. Aziz Manna, R. Adi Ngasiran atau R. Giryadi. Strategi literer yang mereka lakukan sama dengan praktek menulis puisi melalui prosa. Puisi tidak lagi dipraktekkan sebagai genre yang mempertahankan identitasnya pada bentuk. Melainkan sebagai suatu kerja memperaktekan metafora dan bagaimana koreografi atas imaji dilakukan.

Puisi-puisi Akhudiat, yang masih memainkan unsur bunyi yang khas dengan hentakan-hentakan keras Jawa Timur (juga pada puisi Aming Aminoedhin), tidak lagi terjadi pada puisi di bawahnya. Puisi-puisi setelah D. Zawawi Imron dan Akhudiat, memperlihatkan kesan bagaimana bahasa dilepaskan dari tubuh. Bahasa dilihat semata sebagai gerak, dan dengan demikian koreografi atas imaji maupun struktur lebih mudah dilakukan. Beberapa praktek melepaskan bahasa dari tubuh ini memang menghasilkan “pengsumpekan” atau “polusi” puisi melalui bahasa. Bahasa tiba-tiba menjadi ruang yang terlalu luas dengan batas-batas yang tidak jelas lagi: penyair menghadapi semacam agresi dari bahasa yang telah dibuat hiruk-pikuk oleh media-media publik.

Perluasan bahasa seperti ini juga berlangsung pada prosa, terutama pada karya-karya Fahrudin Nasrulloh. Masuknya sekian banyak diksi-diksi baru bahasa Indonesia, dan diksi-diksi ini kemudian mengalami dekorisasi baru melalui dialog-dialog sufistik pada prosa-prosanya.

Fenomena itu memang tidak berdiri sendirian. Di antara puisi-puisi mereka bisa kita lihat puisi Ribut Wijoto yang masih perduli dengan rima, seperti juga yang pernah dilakukan Sabrot D. Maliaboro di antara puisi-puisi Saiful Hajar, R. Timur Budi Raja atau A. Muttaqin. Atau M. Faizi yang menggunakan bahasa dengan jernih.

Politik Geografi Sastra

Melihat politik geografi sastra dalam konteks Jawa Timur, ada 2 hal yang cukup mengherankan saya. Pertama, kehidupan sastra Jawa Timur lebih banyak diramaikan oleh lembaga sastra pertama yang dijalankan oleh komunitas-komunitas sastra, dewan kesenian dan media massa cetak. Pasar atau sastra kedua, lebih banyak diisi justru oleh sastra pertama. Dalam politik georafi ini, batasan kawasan dibuat hampir defenitif. Hampir tidak ada terbitan-terbitan antologi sastra di Jawa Timur yang ikut mengkurasi dirinya dalam konteks peta sastra nasional. Sehingga kawasan ini justru seperti memprotek dirinya untuk terjadinya pembacaan perbandingan secara langsung antara sastra Jawa Timur dengan di luarnya.

Keheranan saya yang lain dalam menghadapi fenomena Arif B. Prasetyo dan Beni Setia. Di kawasan Jawa Timur, Arif dikenal sebagai penyair dan eseis. Sementara di Bali, Arif justru lebih dikenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa. Begitu pula Beni Setia, Puisi-puisi Beni yang saya kenal, cukup dekat dengan musik blues yang sangat Bandung. Saya menduka imaji-imaji musik blues ini telah menjalin koreografi dengan model produk-produk imaji ala Si Kabayan dalam kultur Sunda. Imaji-imaji Kabayan bermain untuk terjadinya semacam perayaan sosial maupun sebagai katarsis dari tekanan-tekanan sosial dalam konteks budaya lisan. Sementara pada Beni, ia mengalami distraksi menjadi perayaan individu.

Kalau kawasan sastra Jawa Timur dibaca lewat pelepasan tubuh dari bahasa, dan mengkoreografi gerak imaji maupun metafor sebagai konsekuensi dari perluasan ruang global, maka kawasan ini seharusnya juga lebih membuka dirinya ke ruang politik pembacaan sastra yang lebih luas lagi, dan menjadi bagian dari demokratisasi sastra yang sedang berlangsung antara sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga. Demokratisasi sastra yang terbuka luas, bahkan untuk menulis puisi tidak lagi melalui media sastra, melainkan media lain yang non-sastra.
______________
Makalah untuk diskusi sastra Jawa Timur di Universitas Airlangga, Surabaya, 20 Juli 2010.
Dijumput dari: http://publiksastra.net/2011/03/identitas-dan-tubuh-yang-dilepaskan-dari-bahasa/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati