Akhmad Sahal *
Kompas, 2 Juni 2000.
Ajakan Bentara
Sejak semula, lembar kebudayaan Bentara yang selama ini dijadwalkan terbit sebulan sekali setiap Jumat minggu pertama, diniatkan untuk menampung wacana-wacana pemikiran yang kian disadari kini, yakni betapa perubahan deras tengah terjadi di dunia, dan betapa arus pemikiran berkembang cepat.
Sebagai contoh, telaah teoritik yang sering disebut sebagai cultural studies, marak dalam diskusi-diskusi akademik di Barat. Di Indonesia, fenomena tadi masih lamat-lamat gemanya, dan hanya beberapa gelintir kalangan akademik yang tertarik pada fenomena itu.
Lembar kebudayaan Bentara dimaksudkan untuk menampung perkembangan wacana-wacana semacam itu. Di sini Bentara mengundang partisipasi kalangan pemikir kebudayaan, kalangan akademis, dan siapa saja yang tertarik pada pergulatan pemikiran untuk ambil bagian dalam ajang pemikiran dalam lembaran sederhana ini. Tulisan bisa berupa telaah mendalam terhadap satu masalah, monografi, ringkasan hasil penelitian, dan lain-lain. Panjang setiap tulisan di sini umumnya sekitar 19.000 karakter (sekitar 3.000 kata), atau dalam ukuran “konvensional”, sekitar 13 halaman folio diketik dua spasi. Kami menunggu partisipasi Anda. Redaksi.
DEWASA ini, banyak orang mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mereka mengabaikan sastra. Dalam mengkaji sastra, mereka tidak seperti kalangan kritikus yang melihat sastra sebagai medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri. Karena di mata mereka, sastra hanyalah suatu teks budaya atau dokumen sosial yang mengandung—di baliknya atau di luarnya—praktik-praktik penandaan (signifying practices) yang selalu merupakan hubungan kekuasaan yang timpang. Dan, sastra dikaji dengan kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Dalam membaca sastra, mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap sastra selalu bersifat “politis”, bukan dalam arti kuno seperti dislogankan Lekra, yakni mengabdikan sastra untuk partai atau menjadikan politik sebagai panglima, melainkan dalam arti melihat karya sastra sebagai representasi sosial. Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda politik di sini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.
Dalam pandangan mereka, sastra sebagai dokumen sosial bahkan tidak lebih tinggi atau lebih penting dari dokumen sosial lain, semisal praktik hidup sehari-hari (everyday practices) yang ditawarkan oleh budaya massa dan budaya media. Apa yang disebut nilai-nilai keindahan yang menjadikan teks sastra selama ini diletakkan dalam posisi high culture ternyata hanyalah suatu konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah. Posisinya yang adiluhung dalam budaya adalah hasil pemaksaan selera dan cita rasa kelas sosial tertentu yang dominan. Mungkin persisnya bukan pemaksaan, melainkan hegemoni. Pemaksaannya tidak berlangsung dengan kekerasan melainkan dengan bujukan dan kesukarelaan, yang ditutup-tutupi atau dilupakan sehingga selera dan cita rasa kelas tertentu itu seolah-olah merupakan nilai universal yang bernama keindahan. Jadi teks sastra sejatinya sama nilainya dengan karya pop, tajuk rencana Kompas, jingle iklan, lirik lagu dangdut atau naskah sinetron Cinta Paulina.
Yang saya maksud “mereka” dalam dua alinea pertama tulisan ini adalah para pendukung cultural studies. Di negeri-negeri utara, cultural studies tak pelak merupakan fenomena penting dan kontroversial dalam dunia akademis, terutama bidang humanities selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Bukan saja lantaran ia adalah “gerakan akademis” yang multidisipliner (melibatkan sastra, sejarah, antropologi, dan filsafat sekaligus), melainkan juga melampaui dinding disiplin ilmu, bahkan dinding akademis. Pretensinya bukanlah kajian-kajian yang steril yang selama ini tampak dalam disiplin akademis yang ada, melainkan kajian yang berwatak emansipasi, yakni berpihak kepada yang terpinggirkan dan tak tersuarakan (the subaltern)—baik dari segi kelas sosial, ras, maupun gender—dalam kanon resmi suatu kebudayaan.
Dan karena kanon resmi ditentukan oleh mereka yang borjuis, berkulit putih, dan laki-laki, berpusat-Barat dan berwatak logosentris, maka aksentuasi pemihakan terhadap “yang lain” (the other) dalam cultural studies tercermin dalam kajian yang merayakan difference dan pluralisme, seperti kajian postkolonial, multikultural, juga kajian feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna. Nama-nama luar negeri seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, juga Raymond Williams dan Michel Foucault, serta nama-nama dalam negeri seperti Melani Budianta dan Ariel Heryanto merupakan pendukung, atau setidaknya sering dihubung-hubungkan, dengan cultural studies ini.
Genealogi dan karakteristik
Dalam bahasa kita, sebutan cultural studies mungkin tidak bisa dengan mudah diterjemahkan menjadi “kajian-kajian budaya” karena istilah tersebut mengandung riwayat hidup dan karakteristiknya sendiri yang khas, yang bisa jadi tidak terangkum ketika diterjemahkan. Ada baiknya di sini kita lacak genealoginya dan kita usut karakteristiknya.
Simon During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993), menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni, kita tahu, berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, Marxis dari Inggris, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya “budaya” dari “masyarakat” dan terpisahnya “budaya tinggi” dari “budaya sebagai cara hidup sehari-hari”. Cultural studies jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa “dari atas”, dan pembelaan terhadap subkultur.
Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran poststrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa “dari atas” menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micro-politics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural, postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu.
Pemetaan dua jalur tersebut tentu saja bersifat menyederhanakan karena dalam praktiknya cultural studies tentu jauh lebih meriah dan beragam. Tetapi paling tidak, melalui riwayat hidup semacam itu, kita bisa meraba-raba apa karakteristik yang menonjol pada cultural studies. Dalam pandangan saya, tiga hal bisa disebut di sini.
Pertama, penolakan terhadap esensialisme dalam kebudayaan. Melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni dengan sendirinya mengakui proses konstruksi sosialnya. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah buku Orientalism Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi melainkan konstruksi dan representasi Barat.
Selain merupakan konstruksi sosial, budaya juga selalu bersifat hibrida. Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi kekiniannya. Dengan demikian, sebutan “Jawa”, “Islam” atau “Barat” selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk.
Kedua, penghargaan terhadap budaya sehari-hari, terutama budaya pop dan media. Cultural studies tidak sekadar mendekonstruksi kanon dalam budaya dan melumerkan pemisahan antara “budaya tinggi” dan “budaya massa”, tetapi juga menyambut dan merayakan budaya massa ini. Mereka menolak pendapat yang melihat budaya massa semata-mata sebagai komoditas kapitalisme yang selalu berdampak homogenisasi, pengulangan, dan penyeragaman. Karena dalam praktiknya, orang menerima dan menggunakan budaya massa tidak dengan sikap pasif, melainkan aktif memaknainya dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Penjual Warung Tegal menonton telenovela Amerika Latin di televisi sekadar untuk selingan sembari melayani pembeli, ibu-ibu rumah tangga menontonnya untuk bahan obrolan di pasar atau di meja makan, dan penyair melihatnya untuk cari inspirasi atau bahan guyon. Penerimaan mereka terhadap budaya massa tidak dengan sendirinya membuat mereka terkooptasi atau teralienasi. Dengan kata lain, konsumen selalu punya kebebasan dalam proses negosiasi untuk memaknai (decoding) citraan budaya massa, dengan cara memiuhkannya dari maksud sang pemilik modal atau menjadikannya sebagai kesenangan belaka.
Sesungguhnya, naiknya pamor budaya sehari-hari di mata cultural studies ini tidak bisa dilepaskan dari semakin mendunianya gaya hidup yang dijajakan media massa yang sekaligus mengubah nilai yang ada di dalamnya. Konsumerisme, misalnya, yang dulunya dikecam karena tidak berangkat dari kebutuhan riil sang konsumen tetapi berdasar kebutuhan yang diciptakan oleh citra media kini justru merupakan simbol dan ekspresi menjadi manusia kontemporer.
Dalam konteks mendunianya budaya media yang ditopang dengan pasar global inilah cultural studies yang semula bertumbuh di dunia akademi Barat kini juga merambah ke seluruh dunia.
Ketiga, kuatnya sikap politis. Cultural studies, baik dari jalur Gramsci maupun Foucault, adalah suatu agenda politik dalam dunia akademi. Perhatian mereka adalah penelanjangan terhadap hubungan kuasa yang timpang dalam kebudayaan, melalui pembacaan terhadap pelbagai dokumen sosial. Dan seperti saya sebutkan di awal tulisan, kalaupun toh mereka mengkaji karya sastra, mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra ketimbang sastra itu sendiri, pada konteks ketimbang teks.
Lebih Peka
Lalu, bagaimana kita menanggapi cultural studies ini? Saya kira, sikap anti esensialisme dan penghargaan kepada praktik budaya sehari-hari yang menjadi ciri cultural studies layaklah dicatat sebagai sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi kita . Setidaknya, kita tidak lagi melihat kebudayaan dengan kacamata antropologi lama yang memakai dikotomi budaya maju/primitif, atau mematok kebudayaan dalam satu karakter tunggal yang ajek (misalnya, “budaya Jawa adalah harmoni”, “Barat berdasar rasio, Timur pakai rasa”). Kita juga dibuat lebih peka dan apresiatif terhadap praktik-praktik penandaan (signifying practices) dari budaya massa yang menyerbu kita setiap hari.
Hanya saja, sikap politik yang kental dalam cultural studies bisa menimbulkan problem tersendiri, terutama bila menyangkut pembacaan mereka terhadap karya sastra. Harus diakui, langkah mereka mendekonstruksi kanon budaya (yang memusat pada kulit putih, borjuis dan laki-laki) menyemaikan karnaval multikulturalisme yang beragam suaranya dan setara posisinya. Meskipun dalam kenyataan hal ini belum sepenuhnya tercapai, tetapi ada pengakuan yang semakin luas bahwa karnaval semacam itu adalah suatu kebajikan. Mereka juga berhasil menempatkan yang bukan kulit putih, bukan laki-laki dan bukan borjuis tidak lagi berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka di Indonesia, sastra kiri dan sastra peranakan yang selama ini dibungkam dan tidak terangkum dalam kanon resmi sastra Indonesia menjadi penting untuk ditampilkan.
Namun, watak politis ini sering dilantunkan dengan sikap yang kelewat serius dan heroik sehingga mereka mengutamakan PC (political correctness) dalam melihat karya. Apa yang dianggap berharga dalam suatu karya bukanlah kualitas literernya melainkan “kebenaran politik”-nya. Pertimbangannya lebih pada pesan politik ketimbang eksplorasi literer, lebih pada “isi” ketimbang “bentuk”, kalau dikotomi “isi-bentuk” masih mau dipakai di sini.
Repotnya, ini bisa menjadi semacam dalih bagi karya sastra yang sebenarnya gagal secara sastra, tetapi karena melantunkan politik (sering secara verbal), memekikkan pemihakan terhadap suara pinggiran atau menampilkan suara kaum pinggiran itu sendiri, ia seakan terselamatkan. Hanya karena suatu karya ditulis oleh buruh, perempuan, gay dan lesbian, atau kulit hitam, maka ia dianggap berharga. Penelitian Melani Budianta tentang sastra pinggiran dua tahun lalu adalah sumber rujukan yang baik bagaimana label “pinggiran” bisa menjadi perlindungan bagi karya sastra yang buruk.
Selain itu, PC juga bisa terjebak menjadi rezim kebenaran baru, meskipun pada mulanya ia membongkar rezim kebenaran yang dominan. Ini bisa terjadi manakala karya sastra dibebani semacam moralitas politik yang didatangkan dari luar sastra. Jadinya orang akan berpikir sekian kali kalau mau menampilkan karya yang mengkritik, memparodikan, bermain-main atau menghumorkan the subaltern, karena takut jangan-jangan itu menyinggung mereka. Jangan-jangan tidak “benar secara politik”.
Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap sebagai nilai yang “obyektif” dan universal? Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka, sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa. Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya ketimbang sastranya.
Bahwa keindahan adalah konstruksi sosial dan tidak melekat begitu saja dalam karya, itu bisa saya terima. Tetapi saya ingin membedakan keindahan (yang tidak lain ternyata hanyalah konsep tentang keindahan) dengan pengalaman estetik. Pengalaman estetik inilah yang sejatinya menyertai kita manakala kita terlibat dalam penciptaan maupun pembacaan karya. Tetapi apa itu pengalaman estetik?
Wacana Tubuh
Terry Eagleton, Marxis dari Inggris, pernah menyatakan bahwa estetik pada prinsipnya adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang berbeda dengan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan sesuatu yang inderawi (sensuous) yang konkret, bersifat nisbi, terbatas, sementara dan tak bisa dikendalikan oleh kerangka diskursif. Karena itu, yang berharga di sini adalah momen-momen pengalaman yang tak bisa diulang (einmalig) dan penuh ketakterdugaan. Berbeda dengan wacana konseptual yang dikendalikan oleh gagasan, kebenaran atau tujuan yang bisa dipatok sebelumnya, wacana tubuh mengimplikasikan suatu proses gerak yang bernilai pada dirinya sendiri, tanpa memikirkan telos (tujuan) Kalau boleh mengutip ungkapan Chairil Anwar, wacana tubuh adalah kesiapan untuk: “Terbang/ Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat//–the only possible non-stop flight//Tidak mendapat”.
Dengan wacana tubuh semacam inilah kita menghadapi karya sastra. Kesiapan untuk “tidak mendapat” menjadikan kita tidak hanya menerima Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer yang mendedahkan semangat humanisme, melainkan juga cerpen-cerpen “nonsens” Umar Kayam, imaji surealis Sepotong Senja untuk Pacarku dari Seno Gumira Ajidarma, ataupun absurditas dunia Olenka dalam novel Olenka Budi Darma. Kesediaan untuk berurusan dengan yang sensuous membawa kita memasuki puisi imaji Sapardi Djoko Damono dan puisi suasana Goenawan Mohamad, yang bergelut dengan ihwal yang sepele, yang ephemeral, dan tak menawarkan “guna” dalam hidup, dan sama sekali tidak mengandung isi politik dan semangat emansipasi.
Saya menduga, pengalaman estetik inilah yang tersingkir ketika cultural studies mengkaji dan membaca sastra. Mereka tampaknya lebih memilih wacana konseptual dalam arti yang dikemukakan Eagleton, sehingga yang dicari atau dituntut dalam karya adalah gagasan dan keberartian, dalam hal ini isi politik.
Yang perlu diperhatikan, kebanyakan mereka tidak begitu tertarik pada puisi, kecuali puisi sosial politik. Karena dalam puisi, pergulatan dengan momen-momen estetik dioptimalkan. Dalam puisi, kata-kata berpaut erat dengan imaji, rima, alusi dan bunyi yang membuatnya tidak bisa lepas dari kekonkretan pengalaman inderawi. Dalam puisi, kita berhadapan dengan ketakterdugaan, bukan dengan suatu proyek yang terencana. Watak puisi semacam inilah yang menjadikannya tidak akrab dengan cultural studies.
Boleh jadi, mereka menolak disebut mengabaikan estetika. Karena mereka merasa tetap mengamalkan laku estetik, tetapi dengan arti baru, yakni bukan sebagai pengejawantahan wacana tubuh melainkan sebagai ethos atau etika untuk suatu praksis. Pandangan semacam ini setidaknya pernah dilontarkan oleh salah satu pendukung cultural studies, Ian Hunter dalam karyanya Aesthetics and Cultural Studies. Di situ Hunter menegaskan bahwa estetika haruslah dipandang sebagai etika, dalam arti “seperangkat teknik dan praktik yang otonom yang memungkinkan individu melakukan problematisasi pengalamannya secara terus-menerus”. Hanya saja, pendirian Hunter yang menyamakan laku estetik dengan laku etik ini mengandung cacat serius. Kalau memang yang ingin ditonjolkan adalah etika untuk suatu praksis, kenapa harus dengan karya seni atau sastra? Apakah ini tidak termasuk apa yang dalam filsafat Anglo-Saxon disebut sebagai category mistake (kesalahan menempatkan kategori)?
Tersingkirnya estetik dalam cultural studies tak pelak menjadikan cultural studies terjerumus pada sikap salah urus terhadap kesusastraan. Mereka memang memecah kebekuan, ketika menyatakan kebudayaan sebagai konstruksi sosial dan ketika mengapresiasi budaya sehari-hari. Tetapi intensi pembebasan yang terlalu bersemangat itu telah memiskinkan bacaan mereka terhadap sastra. Dengan hanya membatasi sastra sebagai dokumen sosial, mereka sesungguhnya melupakan dimensi lain yang jauh lebih penting, yakni sastra sebagai dunia imajinasi dengan segala kesubtilan dan kegilaannya. Padahal itulah sesungguhnya raison d’etre kesusastraan kapan pun, baik di zaman cultural studies hari ini maupun zaman Homeros ribuan tahun yang lalu…
Akhmad Sahal, Kader NU, redaktur jurnal Kalam.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar