Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/
Setiap pertemuan selalu menyematkan risalah sebagai salah satu rahasia penting dalam hidup. Nyaris selalu. Kadang ia begitu menggelisahkan. Kadang ia menjadi begitu sukar dirumuskan. Namun tak jarang justru ia menjadi hal remeh-temeh yang luput dari pandangan sekaligus membisik lirih; “abaikan!”. Setiap pertemuan lantas berubah ujud menjadi sebuah koleksi peristiwa yang layak disematkan sebagai “berharga”. Untuk sedikit saja menyebutnya, misal lipatan nuansa yang terbangun pada saat pertemuan terhadap sesuatu yang “baru” dalam hidup; pengetahuan. Mungkin seperti Nabi Adam yang bertemu dengan bergugus-gugus nama. Lalu hadir sesuatu yang dirasa sebagai ‘berbeda’.
Lalu, saya ingin berkisah tentang satu hal dari pertemuan. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “lan laku”. Kalau dialihkan ke bahasa Indonesia barangkali “dan jalan”. “Kala mangsane” kurang lebih bermakna “pada suatu ketika”. Saya memilih salah satu sebagai perasannya [meski memilih sejatinya adalah sesuatu yang tidak ringan bagi seorang seperti saya].
Suatu ketika di perjalanan bus malam yang saya tumpangi…
Saya teringat gurauan orang tua saya ketika kisah ini saya udar di depan mereka. “Wingit malam satu suro”, canda mereka. Tak pernah saya anggap sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh. Biasa saja. Bahasa lain barangkali ‘kebetulan yang tak terduga’. Dari Cilacap menuju Surabaya. Saat itu memang tepat malam satu Suro dalam almanak Jawa. Separo perjalanan saya ditemani salah seorang kolega kerja sebelum akhirnya dia turun lebih dulu di Jogja, lalu saya melanjutkan perjalanan seorang diri menuju Kota Pahlawan itu. Beberapa menit bus malam yang saya tumpangi berhenti di terminal Solo. Rehat sembari menerima operan penumpang dari bus lain. Saya duduk sendiri persis di belakang sopir. Seorang kakek, sekira umur 60-an lebih [di kemudian menit beliau mengatakan bahwa usianya hampir kepala tujuh], datang menghampiri. Dengan sopan menanyakan adakah kursi sebelah saya telah ada sang tuan. Saya menjawab kosong, lalu kakek itu meminta ijin untuk duduk di sebelah saya. Dengan senyum saya mempersilakan.
Percakapan antara kami dimulai saat bus mengeluarkan diri dari terminal. Kakek basa-basi menanyakan dari mana dan ke mana. Saya jawab; “Surabaya”. Rupanya, kami sama-sama berangkat naik bus dari Cilacap. Bertambah panjang kalimat kakek ketika menanyakan identitas saya. Saat saya jawab bahwa saya freelance di sebuah kerja keredaksian, tiba-tiba kakek itu menyalami saya dengan sangat hangat dan penuh penghormatan sembari berkata; “Wah, selamat. Saya senang sekali bisa bertemu dengan perempuan muda yang bla-bla-bla… [terminologi jurnalis berikut Kartini Muda ia munculkan dalam kalimat panjangnya]”. Saya nyengir saja. Sebentar kemudian saya meluruskan dugaan kakek tentang saya yang tak sepenuhnya benar. Saya bukan jurnalis, hanya seorang korektor naskah. Saya juga belumlayak disebut Kartini Muda, karena saya bukan pejuang sejati kaum saya seperti Kartini.
Sejurus kemudian, mengalirlah semuanya. Satu nama paling awal ia sebut adalah Mochtar Lubis. Berekor panjang kalimatnya tentang penulis kesohor itu. Saya terkesiap dalam diam. Beberapa menit awal, ternyata musti saya alami; bertemu dengan orang yang memiliki redaksi berlembar-lembar padahal kami sama-sama orang asing yang baru saja bertemu. Tapi saya senang. Gaya bicara, materi, dan diksi yang dipilihnya begitu menarik dan membuat saya dengan mudahnya menilai bahwa kakek ini luar biasa. Sangat beruntung saya bertemu orang asing yang dalam beberapa menit awal perjumpaan sudah memberikan saya banyak hal yang bisa dibagi; CERITA.
Penceritaan tidak terstruktur memang, gado-gado, berselang-seling antara publik dan domestik. Antara separo gosip dan ilmiah. Antara dunia akademik dan supranatural. Antara sesuatu yang antara-antara…antara lain-antara lain. Ketika saya katakan bahwa ini perjalanan pertama saya seorang diri menuju Surabaya, kakek itu menukas; “Saya doakan semoga perjalananmu kelak yang kedua ke Surabaya telah tidak seorang diri, tapi bersama pasanganmu”. Saya tersenyum nyengir kecil. Rupanya kalimat klise itu menjadi awal ia mengorek secara halus dunia privasi saya. Saya sadar. Bahkan ketika kakek itu lalu mencoba memberi semacam “pengantar pemancing” agar saya berkisah padanya, saya paham betul hendak ke mana kalimat-kalimat selanjutnya diarahkan.
Kakek yang saya tak tahu namanya itu berkisah panjang lebih dulu tentang siapa dirinya. Menemukan bakat diri ketika memasuki bangku SLTA dengan menekuni teknologi di sekolah setingkat STM [Sekolah Teknologi Menengah], lalu melanjutkan di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, hingga menjadi guru setelah sebelumnya beliau juga menempuh pendidikan di SGA [Sekolah Guru Agama]. Beliau penggila teknologi. Namun entah mengapa, pada titik apa dan mana beliau tak berkisah jauh terkait pekerjaannya kecuali bahwa ia keluar dari PNS dan memilih mandiri dengan berdagang.
Lalu, garis hidup mempertemukannya dengan kisah yang ia bilang “tak pernah diinginkan sebelumnya”. Menikah, memiliki beberapa putra, lalu bercerai. Pada bagian ini, saya terhenyak serius dalam batin. Pertanyaan otomatis itu pasti bergulir; “ada gerangan apa?”, namun hanya saya simpan. Sejak itu, lanjutnya, dimulailah petualangannya; beliau menyebut petualangan jiwa-raga [pada bagian ini, dalam batin saya meruyak juga. Inikah dunia lelaki dewasa? Logika saya pasti akan mengacuhkan, seperti yang sudah-sudah ketika saya musti mendengar hal yang menjauh dari nurani saya. Meski demikian saya selalu berusaha menyimak dan menerima apa pun penuturannya].
Tuhan masih mengijinkan kakek meneguhkan kepercayaan kembali dengan menikah untuk kedua kali. Bukan berarti selesai di sini. Kakek bilang, pernikahan yang sekarang, yang beliau ikhtiarkan sebagai terakhir, bukan tanpa badai. Beliau yang duda dengan beberapa putra telah beranjak dewasa, serta istrinya yang janda dengan beberapa anak remaja, mewarnai bahtera dengan segudang perselisihan yang menyulitkan dan menyakitkan. Tak disebutkan apa dan bagaimana semuanya mereka selesaikan serta bagaimana keluarga itu bertahan. Kakek itu lalu seperti membuat cerita sesegera mungkin selesai pada bagian ini. Sedikit pun tak ada tanya keluar dari mulut saya. Bukan wilayah saya untuk itu.
Satu babak yang bagi saya menarik adalah ketika beliau berkisah tentang “the only one” [kalimat berbahasa Inggris ini beliau gunakan apa adanya dan terus menerus]. Jauh di lubuk paling dasar hatinya, kakek itu berkisah tentang cinta masa lalu yang diakui sebagai yang teristimewa. Seorang kakek yang nyaris kepala tujuh bisa sebegitu mendalam mengenang cinta dan menguras langgam kenangan masa lalu? Saat realitas hidup telah mendudukkannya dalam bahtera yang ia kukuhkan sebagai yang terakhir? [saya bergumam, barangkali apa yang saya dengar adalah ‘salah’, barangkali saya memang tak pernah siap berdamai dengan logika realitas bahwa antara cinta dan keinginan untuk memiliki adalah sesuatu yang berbeda]. Pada saat saya menuliskan kalimat-kalimat ini, begidik hati saya. Tentu lah saya ngeri, mendialektikkan apa yang menjadi masa lalu menjadi terasa tak berjarak dengan hari ini dan mungkin hingga menutup mata kelak, dengan sebegitu hampanya dari persoalan yang mengkhawatirkan. Apalagi lalu disentuhkan unsur kesengajaan mencari celah, agar ada ruang yang terlepas dari jiwa demi ‘mencari pembenaran’ pemanjaan terhadap perasaan. Hmm, Tuhan…?
“The only one” si kakek rupanya telah menjanda ditinggal mati. Cerita lantas begitu mudahnya menghampiri dan mendukung ruang paling pribadi itu. Kerabat dan seluruh keluarga [juga istrinya sendiri], menerima dengan lapang saat pihak “the only one” itu bermaksud “ngunggah-unggahi” dalam sistem poligami. Seperti sinetron saja, mereka bertiga [kakek, istrinya, dan “the only one”] lalu berkunjung ke pemakaman, berziarah ke makam suami si “the only one”. Percakapan imajiner pun dilakukan. Seperti sebuah permohonan ijin untuk helat sakral. Di kemudian hari, si kakek membatalkan niatan itu. Beliau mengatakan tak ingin poligami. Tak hendak menyakiti istrinya. Kontan saya tergerak bertanya, mengapa lalu? Kakek kemudian agak panjang berkisah kepada saya soal cinta dan rumah tangga. Tak ada yang baru memang dari ujarannya. Hanya saja, saya menggarisbawahi bahwa sisi bijak sebagai orang tua yang ia kedepankan. [sebenarnya tak mudah bagi saya menuliskan kesimpulan ini, karena memang saya merasa dibenturkan dengan banyak hal yang jauh dari jangkauan hati serta logika yang saya amini selama ini].
Kakek yang mengaku memiliki dua orang idola dalam hidupnya, yakni Subhan ZE [politisi muda NU yang meninggal karena kecelakaan mobil di Makah pada jaman orde baru] dan Dr. Zakiah Daradjat [tokoh pendidikan] ini lantas beralih ruang kepada saya. Bertanya adakah saya memiliki “the only one” seperti ia miliki. Adakah saya pernah patah karena kelewat larut dalam mendulang sumur asmara. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah saya duga, tapi cukup kaget juga ketika mendengarnya. Terbata-bata saya berkisah. Betul-betul di luar praduga saya, saat kakek itu menyebut-nyebut penggalan ruang privasi saya dengan tepat. Betapa beliau tahu nyaris seluruh kisah asmara saya. Yang mengejutkan, kakek itu tiba-tiba mengatakan bahwa my first love, hingga detik ini, diam-diam masih mencintai saya meski pusara yang telah saya bangun untuknya kokoh tak tergoyahkan. Beliau juga mengatakan bahwa tepat saat berada di depan Ka’bah Januari 2005 silam, seseorang yang pernah spesial di masa lalu itu menyebut nama saya satu kali dengan kepasrahan total, seperti jenasah yang dimasukkan ke liang lahat. Merinding saya dibuatnya [sampai-sampai tak saya teruskan pikiran saya yang bertanya-tanya siapa sosok yang tengah berbincang dengan saya ini]. Beliau seperti dukun, seperti “winarah” terhadap hal yang sudah-sudah. Ah, entahlah. Saya sempat merasa sedih, lalu cepat-cepat berpikir bahwa sejarah saya itu sudah selesai dan tak perlu digelar lagi.
Detik selanjutnya tidak saya teruskan cerita pribadi saya yang ditanyakannya. Saya pasang kuda-kuda. Seperti berjaga-jaga. Sejurus kemudian, kakek yang seolah paham dengan apa yang tengah saya risaukan, berganti dari kalimat tanya menjadi kalimat berita. Tepatnya; wejangan. Oke lah, saya mendengar dan menerimanya. Sembari dalam hati berdoa semoga Tuhan saja yang akan membagaimanakan lelaku saya selanjutnya. Seolah mengakhiri subbab terkait cinta, kakek itu bilang; “Kalau saja aku masih memiliki anak lelaki yang bujang, ingin aku memintamu sebagai menantuku”. Wah! Saya tergelak dalam hati…!
Lalu, perbincangan bergulir ke ranah lain; sosial, politik, budaya, dan agama. Campur aduk tapi mengasyikkan untuk sebuah perjalanan panjang yang dipandu percakapan. Wawasan luas yang dimilikinya, berikut ketrampilan berceritanya, sangat memukau. Kerap saya menggelengkan kepala, entah sebagai tanda tak tahu saat ditanya entah sebagai tanda kekaguman. Sayang sekali saya tak sempat merekamnya, seperti saat beliau bercerita filosofi Ha Na Ca Ra Ka. Tentang Musollini, Hitler, Al-Ghozali, Soekarno, Tan Malaka, Sahrir, Semaun, juga Gus Dur. Seluruh rangkaian yang tergambar di depan saya terhadap sosok kakek ini, membuat saya saat itu mudah sekali menduga bahwa orang ini pastilah eks-tapol [saya tak memiliki argumen terkait ini, hanya feeling saja, bersebab beberapa kali saya berbincang dengan orang-orang eks-tapol enam lima, nyaris memiliki karakteristik khas macam kakek ini].
Dalam pejalanan berjam-jam itu, juga diselingi oleh sikap diam, sikap jeda antara kami untuk kemudian berbincang kembali. Ketika beliau bertanya tentang konten skripsi berikut dunia akademik yang pernah saya jalani secara berkarat-karat di kampus dulu, yang kemudian saya jawab dengan singkat bahwa saya ini pemalas, tak dinyana kakek itu berucap; “Anda ini radikal ya”. Kalimat panjangnya lalu terurai seperti sebuah analisa terhadap kisah hidup saya. Tak pelak saya terbahak-bahak. Saya menggeleng, menolak klaimnya. Kakek itu melanjutkan; “Kamu ini seperti burung walet hitam. Sulit diduga karena kamu telah pandai terbang”. Gubrak! Macam mana pula ini, protes saya membatin.
Nyaris tak pernah terbersit dalam benak, bahwa saya akan bertemu dengan orang asing dalam nuansa macam ini. Perjalanan singkat tetapi memanjangkan peristiwa seperti buku-buku tebal yang menarik untuk bolak-balik dibaca. Tiba di terminal Nganjuk, kakek itu turun setelah sebelumnya berpamitan dan menyampaikan salam hangat pada saya; “Kalau kita sebatas bertemu seperti ini namanya kebetulan komunikasi, tapi kalau kamu datang ke rumah saya di Blitar, baru namanya silaturahim. Lain saat, datanglah ke rumah. Saya dan istri dengan senang hati siap mengantarmu ziarah ke makam Bung Karno, saya juga siap menjadi guide untuk wisata sejarahmu”. Sungguh, saya hanya bisa bengong, melongo. Hingga tak terucap kalimat dari saya untuk mengekalkan detik-detik perpisahan itu dengan misalnya bertanya; “Nama Kakek siapa? Bisa bagi alamat untuk saya? Nama saya Ndari, bla-bla-bla”, tak saya ucapkan apa pun. Saya hanya senyum. Menjabat tangannya sembari singkat berucap terima kasih. Lepas itu, saya terhenyak dalam sendiri.
Deru laju roda bus yang saya tumpangi seperti memperjalankan laju hidup saya selanjutnya. Nganjuk – Surabaya, saya lalui dalam sepenuh diam. Ada yang lalu terasa membekas di alam pikir saya. Saya mencoba men-save naskah berlembar-lembar yang tertulis beberapa jam lepas bareng kakek itu di memori kepala. Termasuk ruah pertanyaan yang tak terjawab [siapa sosok kakek itu…]
Kaki saya menginjak lantai di terminal Bungurasih Surabaya dengan riang. Seorang kawan yang telah menanti saya mengajak sarapan pagi di salah satu warung makan di terminal yang sibuk itu. Tak saya buka kisah kakek itu padanya. Saya masih belum bisa slow, serta belum bisa bagaimana musti berkisah padanya. Seakan sebuah rahasia. Hingga kami melanjutkan perjalanan bersama ke Kota Gresik, melalui dua hari yang padat dalam kebersamaan segenap orang, segenap cerita panjang, membuat saya dapat melupakan sementara.
Lalu, sepulang dari kota panas distrik Jatim itu, semampang panjang dalam angkutan umum, yang kembali saya lalui dalam sendiri, hadirlah kesempatan itu. Saya buka kembali buku ingatan. Memutar rekaman. Saya baca sekaligus saya dengar. MP4 saya melagukan koleksi Chryse, seperti memandu dan menghadirkan nuansa sendu. Ada ruang dengan jendela yang banyak. Saya buka semuanya satu per satu. Menghilirmudikkan hawa segar. Bersulih dengan hawa dalam ruang. Saya menulis puisi singkat di telepon genggam. Mempertanyakan ihwal pertemuan yang saya inginkan. Yang saya rahasiakan. Sampai rasa haru menyeruak pelan dan berkeriapan; “Adakah akan saya sua sebuah pertemuan yang adalah salah satu rahasia penting dalam hidup?” [buliran bening jatuh perlahan…]
Yogyakarta, Maret 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar