Yusri Fajar
http://jiwasusastra.wordpress.com
Prolog
Eka Budianta, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penyair, menuturkan bahwa ketika umur 15 tahun, dia telah berkenalan dengan komunitas sastra di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP, sekarang Universitas Negeri Malang). Sebulan sekali di Perguruan Tinggi tersebut diadakan pembacaan puisi, pentas teater dan diskusi sastra dalam acara malam purnama.
Saat itu dia berkenalan dengan para sastrawan Malang yang punya nama nasional seperti alm. Hasjim Amir, Jasso Winarto, dan Henri Suprianto yang mengajaknya berlatih membaca puisi dan pentas. Menurut Eka, sejak dulu kala, kota Malang sudah punya sanggar seni lukis, seni tari dan kelompok-kelompok baca puisi.
Awal tahun 2001 di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah menghadiri acara bedah puisi yang didahului dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta yang hadir. Pembicaraan tidak hanya terpusat pada apresiasi teks puisi baik dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik namun juga melebar pada diskursus determinasi dan resistensi komunitas dalam kaitannya dengan proses kreatif. Saya melihat ada kegairahan dari para pegiat sastra yang datang meski saya juga sekaligus mempertanyakan sejauh mana kegairahan itu akan terus menyala. Di forum itu saya bertemu dengan penyair muda Malang, Ragil Sukriwul, dan pegiat teater jebolan ISI yogyakarta, Jumali, yang dua-tiga tahun berikutnya sering saya jumpai dalam diskusi-diskusi pasca pentas teater dan beberapa event sastra dan budaya lainnya di Malang.
Tahun 2004-an di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya, saya bersama beberapa mahasiswa membidani kelahiran komunitas kesenian bernama teater O ( kini berubah nama menjadi teater Lingkar) yang pada perjalanannya tidak hanya berkonsentrasi pada proses kreatif berteater tetapi juga bersastra. Beberapa kegiatan pembacaan puisi, bedah prosa, menghadirkan sastrawan, sampai mengadakan sayembara penulisan puisi pernah dilakukan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang bergiat di komunitas tersebut pada perjalanannya juga mampu mempublikasikan puisi-puisinya di media masa. Geliat komunitas sastra selanjutnya saya temukan di kegiatan “arisan reboan (karena dilakukan malam rabu)” di Unibraw, yang di dalamnya berkumpul para pegiat teater dan pegiat sastra yang saling bergantian membaca puisi, bikin short performance, dan juga menggelar diskusi. Sastra saya lihat menggeliat di sana meskipun pada dasarnya geliat itu tak harus bertumpu pada ada dan tidak adanya sebuah komunitas.
Menurut saya, jika sastra ingin dimasyarakatkan dan ‘dibudidayakan’, gelombang sastra terpusat, bertumpu pada wilayah-wilayah tertentu, dan terlalu bersandar pada eksistensi para sastrawan tua atau yang sudah punya ‘nama’ sudah saatnya ‘dideskontruksi’. Karya sastra bisa lahir dari siapapun dan manapun termasuk dari wilayah yang tak dilihat dan kurang diperhitungkan. Di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian bisa jadi banyak bunga bagus dan menakjubkan, tetapi karena tak ada orang yang melihat maka bunga dan tanaman tadi tak terekspos keluar meskipun pada hakekatnya ia tetap sebagai ciptaan yang indah dan bagus. Karya bagus bisa lahir dari penulis tak terkenal dan dari daerah yang diremehkan. Kualitas karya juga tak bisa digaransi seratus persen oleh usia pengarang. Oleh karena itu gelombang dan geliat sastra itu harus dilihat sebagai kontruksi yang bisa hidup di berbagai habitat manusia dengan wilayah menyebar.
Namun ‘dekonstruksi’ sentralitas sastra dan penggairahan kehidupan sastra di wilayah-wilayah ‘terpinggirkan’ dari peta besar sastra sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Gerakan dan karya-karya sastra pedalaman yang sempat menarik perhatian karena semangat “revitalisasi sastra pedalaman” misalnya, sebagaimana diungkapkan Faruk, ternyata tak memiliki perbedaan signifikan dengan karya-karya dari pesisir dan tak mampu melahirkan revolusi bersastra dan cara berkesusastraan yang mandiri. Bahkan menurut pengamatan saya kini sastra pedalaman sedang mengalami hibernasi. Secara kultural bisa dikatakan belum mengakar dan belum mampu mendorong perubahan signifikan. Terlepas dari penilaian ini, minimal sastra pedalaman telah meletakkan pondasi untuk melakukan counter hegemoni dan melecut generasi mutakhir dari daerah-daerah untuk terus bereskplorasi meski ‘politik ordinasi dan subordinasi’ terus membayangi.
Post-modernisme memang mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, tidak terpusat dan terkungkung mainstream tertentu. Dan menurut saya, di negeri yang plural seperti Indonesia, sesuatu yang terpusat dan seragam justru memang sangat kontraproduktif dengan hakekat keberagaman dan keserbamungkinan cara bersastra. Oleh karena itu warna dan gelombang sastra dari berbagai daerah dengan penulis-penulis muda perlu dibaca dengan seksama.
Memintal karya ‘tanpa sentral’?
Perjalanan panjang dunia kesusastraan diwarnai konstruksi dan dekontruksi dalam lingkaran aliran sastra pada setiap zaman berbeda. Strukturalisme dan post strukturalisme, humanisme universal dan realis sosialis-revolusioner, sastra tekstual dan kontekstual, absurditas dan realitas-empiris, mencatatkan tensi-tensi ketegangan yang meramaikan dan memperkaya dunia sastra. Posisi para penyair dalam menanggapi fenomena lokal dan global di sekitarnya begitu beragam dan sepertinya mereka masih berada pada konteks pencarian ‘diri’ sehingga tidak mengherankan jika terjadi mimikri di sana -sini dan terdapat banyak kutub sastra.
Dunia subjektif individu dan teologi sastra “sufistik” misalnya, adalah dua buah warna yang dalam periode sastra pernah menjadi sentral dan hingga kini masih banyak penulis yang menjadikannya sebagai kiblat. Kecenderungan pertama mengkoptasi puisi sebatas struktur dan permainan semiotika, mistisisme linguistik belaka. Konteks hanyalah sumber dari penanda dan petanda bahasa. Sementara sastra sufistik membangun kontemplasi atas kekuatan supreme di luar diri manusia. Domain vertikal begitu kuat sehingga terkesan menegasikan relasi horizontal kontekstual. Realisme sosialis revolusioner menjadi kehilangan tempat pada puisi-puisi teologi profetik semacam yang ditulis oleh Abdul hadi WM, Amien Wangsitalaja, dan beberapa lainnya. Di barat, T.S. Elliot, meski dengan basis dan persperktif berbeda, mengesplorasi sesuatu yang ‘metafisis’ yang secara semangat memiliki kesamaan. Lalu bagaimana membaca karya sastra sastrawan-sastrawan muda Malang?
Karya-karya beberapa sastrawan muda Malang sepertinya tengah berada pada kisaran pencarian (eksperimentasi) stereotype estetis dan isi dalam dialektika latar perkembangan sastra yang melingkupinya. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang kesusastraan Indonesia tak bisa dihindarkan dari warna ‘kolonial’ yang melahirkan kekuasaan sentral. Mimikri menjadi bagian reflektif dari memori sadar dan alam bawah sadar pengarang atas konstruksi mapan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi dominasi dan berbagai gaya sastra, dengan dukungan kekuasaan media yang teramat sulit dihindari oleh mereka. Karena itu, dari pembacaan berulang dan seksama, saya dihadapkan pada peta tak purna dari ‘kemutakhiran’ karya-karya mereka. Peta yang menuntut kontinyuitas penelusuran ulang. Namun demikian, karya-karya sastrawan muda Malang perlu dikritisi dan didekati dengan perspektif objektif agar realitas-realitas yang saya sebutkan di atas tidak mereduksi subtansi kekuatan karya mereka.
Puisi-puisi Abdul Mukhid penyair muda Malang yang terkumpul dalam antologi tunggal “Tulislah Namaku dengan Abu” (2006) mengantarkan saya pada pengembaraan sastra “tanpa pusat”, tanpa mainstream, melanglang buana dari satu ruang ke ruang lainnya tanpa pernah berlama-lama di salah satunya. Mukhid suatu kesempatan terkesan subjektif, berasyik mansyuk dengan eksistensinya sebagai upaya membangun dialektika sunyi; seperti terlihat dalam puisi-puisinya yang berjudul Tulislah Namaku dengan Abu, Dialog imajiner Dengan Caligula, Catatan Sepi 1, 2, 3, Tanda Tanya Agung. Tapi dalam puisi lainnya Mukhid justru menebar kontekstualitas sosio-politik-kultural dengan diksi lugas seperti dalam puisinya, 56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas dan Berdamai dengan Kenyataan. Sementara di sudut lainnya, sentuhan teologi ketuhanan Mukhid terekam dalam Tuhan Maafkan Aku, Tak Semua dan Bukalah Bilik Hatimu. Mukhid sepertinya ingin berkelana dalam beragam genre, meski mungkin tak disadarinya. Sebuah pilihan berpuisi yang merdeka meski tanpa ciri. Cara berpuisi Mukhid hampir merambah sebagian besar penyair muda Malang yang karyanya pernah saya baca.
Ragil Sukriwul ‘mendekontruksi’ lokalitas dengan menabur beberapa diksi bahasa Inggris ke dalam puisinya yang sebenarnya mayoritas dia tulis dalam Bahasa Indonesia. Bagi saya, Ragil ‘tak menganggap’ petanda ‘global’ sebagai ancaman yang akan memarginalkan warna bahasa lokal (Indonesia) dan pemaknaannya. Ada kesadaran dan keberanian untuk mengelaborasikan petanda lokal dan global dalam puisi karena batas budaya telah remuk dalam desa global (global village). Salah satu puisinya berjudul “Lost”, dan puisinya yang berjudul “Jangan Kartu Pos I” berisi petanda global (Bahasa Inggris) yang saya maksudkan.
……………
Berceritalah tentang perutmu yang masih saja berteriak
Meski telah disumpal senampan Pizza, tentang jemari
Telunjukmu yang berungkali tersayat karena ngotot ingin
Masak
Sendiri,
(Juga biografi lelaki negeri mana saja yang pergi dan datang di kencanmu)
Ceritakan saja meski selarik puisi.
I was there…! I’m very Happy!” teriakan asingmu ini
Hanya jadi
Barisan abjad-abjad penuh cemas di sini
Jangan kirim kartu pos lagi: benci!
Kirimkan saja aku perih.
Lebih jauh, dengan gaya bangunan struktur dalam beberapa puisinya yang seperti mengajak kita untuk kembali melihat karya penyair Amerika E.E. Cumming dan penyair Sutardji Calzoum Bahri, Ragil juga sepertinya ingin meletakkan struktur bukan sebagai beban dalam berpuisi. Kata bisa digeser, ditata horisontal, vertikal, miring, dan tak lurus-rapi. Namun yang membedakan Ragil dan Sutardji adalah bahwa sebenarnya Ragil tak sepenuhnya ingin membebaskan kata dari makna sebagaimana Sutardji. Lihat saja dalam beberapa puisinya, seperti Di Antara yang Datang dan Pergi dan Menggambar Bulan, Ragil nampak masih bersetia dengan relasi makna dalam kata yang merajut puisinya.
Tegar Prajaksa, Penyair muda yang sedang kuliah di jurusan sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, mendekontruksi struktur kata dalam puisi dengan melakukan pemecahan dan penyatuan suku kata sebagaimana dilakukan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948). Tegar melakukan dekonstruksi itu dalam puisinya Kontemporer Cinta. Tegar lalu dengan liar juga mendekontruksi sistem kultur ‘tabu’ dengan menghadirkan kata vagina dalam puisinya: Rengek Bocah Lima Tahun. Meski dalam banyak puisinya Tegar cenderung membawa kata dalam permainan strukur bebas, ia ternyata juga tak melepaskan diri dari godaan konteks di luar dirinya sebagai muatan yang mendahului penciptaan. Puisi Berjudul Lapindo, yang hanya berisi huruf 0, dan Hamid Mencari Iskandar bisa menjadi bukti.
Sementara dalam dunia prosa, nampak dalam cerpen Corry Atur, cerpenis perempuan yang masih muda dan sedang kuliah di Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang, ketegangan mitos dalam tradisi dan elemen modernitas justru berusaha dikolaborasikan dengan tujuan menghadirkan bentuk yang tak terpusat. Ada upaya membangun ‘ideologi’ yang tidak semata-mata berkiblat pada tradisi dan juga tidak serta-merta mengagungkan keilmiahan ‘modernitas’ dalam salah satu unsur sastra (literary devices). Corry yang telah lama tinggal di Malang memang menggunakan tradisi, dalam hal ini pernik-pernik mitologi, untuk membangun cerita dengan atmosfer modern. Folklore tentang Coban Rondo (salah satu tempat wisata di Malang) misalnya, yang dia hadirkan untuk menawarkan benang merah cerita yang dia tulis menunjukkan relasi kutub sastra sehingga tercipta medan magnit antar satu dengan yang lainnya. Hal ini sungguh menarik karena dalam wacana post-modernisme dua entitas yang begitu berbeda dimungkinkan bisa menjadi sumber inspirasi yang justru saling melengkapi, mengisi, bahkan mendekonstruksi.
Dengan begitu proses kreatif bakal mendapatkan ‘kebebasan’ dan keliarannya, seperti penggalan puisi Skizoprenia karya Miza, penyair dan mahasiswa di Program Bahasa dan Sastra Unibraw.
……………
Dalam keliaran dan kegilaan
Sesungguhnya tangis tak henti
Mendera
Lalu dengan sengaja
Mengapungkan diri di tengah laut
Biar dikoyak-koyak hiu
Epilog
Saya tidak berpretensi bahwa pembacaan saya atas beberapa sastrawan muda Malang tersebut di atas sudah representasif. Identifikasi dan pemetaan sastra di Malang membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Di luar itu, upaya untuk menjadikan gelombang sastra di Malang sebagai bagian revitalisasi dan perayaan sastra perlu terus mendapatkan apresiasi dan dukungan. Sastra yang terpusat dan dipusatkan, berada di atas menara gading dan menegasikan potensi sastra di daerah-daerah akan menjadikan berbagai kemungkinan kreativitas menjadi ‘terbatas’.
Sengkaling, Malang, Desember 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar