Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/
BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal
buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?
buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!
(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)
“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work)
Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya dengan kinerja cipta karya puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis puisi lima tahun terakhir, khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan di jejaring social semacam facebook), tak pelak memunculkan berbagai pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber, menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi seperti yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai membuat dan langsung publis, yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini terjadi tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta. Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra (dengan abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para penyair yang dianutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penulis karya sebelumnya (kalau tidak boleh dikata sebagai pengekor kelas akut).
Sebagian pelaku sastra menyambut fenomena menarik ini sabagai sesuatu yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari, serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan roda-roda sastra khususnya puisi yang setelah sekian lama tak ada derit suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra lainnya menganggap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau saringan kuat atas karya yang dipublis. (adanya dua pendapat inilah yang memicu adanya perang argument yang tak berkesudahan antara peran sastra puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa sastra puisi dalam kedudukannya di masyarakat yang berbudaya adi luhung).
Tidak ada yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip langsung (terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak), sedangkan sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk budaya sastra (terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.
Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, Dimas Arika Mihardja (untuk selanjutnya saya singkat “DAM”) tidak sembarang memberi judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu isyarat, kalau judul itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi secara utuh, maka judul “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, saya ibaratkan sebuah lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan menulisnya secara utuh seperti ini: “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya bijak disikapi): Disikapi oleh siapa? Orang lampaukah? Atau orang kinikah? Penyair legenda hidupkah? Atau penyair masa kinikah? blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak: ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu lama.
Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair masa kini (baca tanpa tending aling aling ya: penyair yang baru awal menapak jejak): “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin disampaikan DAM pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi (kalau tidak boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban moril selaku penggiat, pencipta dan atau pencinta sastra). Dan kegelisahan penyair, esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait pertama, yang saya kutipkan di bawah ini:
“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama puisi DAM di atas, aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya dengan memilih “cintaku” sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya. Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya, senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca: risau, gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat baca/penghayat atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi karya DAM “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris tadi hanya memberi makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi, ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah sastra: “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal//”
Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?
Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas:
“BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini
buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri, dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam menggeluti dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Pesan yang sarat wanti-wanti dari sosok penyair DAM untuk penyair kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada tiga baris terakhir pada bait pertama:
“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”
Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli, karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para penyair kini, khususnya pemula. Siapa pecinta sastra puisi yang tidak mengenal karya Sapardi Djoko Damono yang fonumenal “Aku Ingin”, dan betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna, seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara“, benar-benar seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita tidak hati-hati serta bijak mencernanya.
Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama, yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi” yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan ke permukaan.
Tapi apa? Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan kalimat “keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud? Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM sewaktu mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya (baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh membiak pemikiran bahwa setelah karya di publis, maka matilah penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB “ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya, yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek pembenar. Disinilah sikap wanti-wanti pada penyair masa kini ini begitu ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi, baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang ada seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyarqi tentang pola pemikiran SCB pada bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri”: “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi tangan.”
Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javissyarqi, menuliskan:
“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”
Pada bait dua, yang merupakan penegas bait pertama. Dam dalam siratan pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”.
APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis sehingga perlu diselamatkan? (dikutip dari Catatan: Dimas Arika Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”).
Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya di BPSM, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih, asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat pun terusrat di dalamnya:
“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”
Salam lifespirit!
(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/imron-tohari/esai-ringan-tentang-pembacaan-kegelisahan-buah-simalakama-dimas-arika-mihardja/10150486414413174?ref=notif¬if_t=like
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar