Senin, 27 Februari 2012

Kegelisahan Buah Simalakama Dimas Arika Mihardja

Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/

BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)

“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work)

Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya dengan kinerja cipta karya puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis puisi lima tahun terakhir, khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan di jejaring social semacam facebook), tak pelak memunculkan berbagai pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber, menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi seperti yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai membuat dan langsung publis, yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini terjadi tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta. Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra (dengan abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para penyair yang dianutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penulis karya sebelumnya (kalau tidak boleh dikata sebagai pengekor kelas akut).

Sebagian pelaku sastra menyambut fenomena menarik ini sabagai sesuatu yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari, serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan roda-roda sastra khususnya puisi yang setelah sekian lama tak ada derit suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra lainnya menganggap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau saringan kuat atas karya yang dipublis. (adanya dua pendapat inilah yang memicu adanya perang argument yang tak berkesudahan antara peran sastra puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa sastra puisi dalam kedudukannya di masyarakat yang berbudaya adi luhung).

Tidak ada yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip langsung (terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak), sedangkan sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk budaya sastra (terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.

Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, Dimas Arika Mihardja (untuk selanjutnya saya singkat “DAM”) tidak sembarang memberi judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu isyarat, kalau judul itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi secara utuh, maka judul “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, saya ibaratkan sebuah lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan menulisnya secara utuh seperti ini: “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya bijak disikapi): Disikapi oleh siapa? Orang lampaukah? Atau orang kinikah? Penyair legenda hidupkah? Atau penyair masa kinikah? blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak: ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu lama.

Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair masa kini (baca tanpa tending aling aling ya: penyair yang baru awal menapak jejak): “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin disampaikan DAM pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi (kalau tidak boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban moril selaku penggiat, pencipta dan atau pencinta sastra). Dan kegelisahan penyair, esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait pertama, yang saya kutipkan di bawah ini:

“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”

Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama puisi DAM di atas, aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya dengan memilih “cintaku” sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya. Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya, senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca: risau, gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat baca/penghayat atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi karya DAM “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris tadi hanya memberi makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi, ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah sastra: “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal//”

Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?

Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas:

“BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”

Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri, dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam menggeluti dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”

Pesan yang sarat wanti-wanti dari sosok penyair DAM untuk penyair kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada tiga baris terakhir pada bait pertama:

“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”

Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli, karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para penyair kini, khususnya pemula. Siapa pecinta sastra puisi yang tidak mengenal karya Sapardi Djoko Damono yang fonumenal “Aku Ingin”, dan betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna, seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara“, benar-benar seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita tidak hati-hati serta bijak mencernanya.

Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama, yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi” yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan ke permukaan.

Tapi apa? Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan kalimat “keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud? Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM sewaktu mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya (baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh membiak pemikiran bahwa setelah karya di publis, maka matilah penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB “ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya, yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek pembenar. Disinilah sikap wanti-wanti pada penyair masa kini ini begitu ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi, baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang ada seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyarqi tentang pola pemikiran SCB pada bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri”: “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi tangan.”

Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javissyarqi, menuliskan:

“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”

Pada bait dua, yang merupakan penegas bait pertama. Dam dalam siratan pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”.

APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis sehingga perlu diselamatkan? (dikutip dari Catatan: Dimas Arika Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”).

Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya di BPSM, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih, asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat pun terusrat di dalamnya:

“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”

Salam lifespirit!
(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/imron-tohari/esai-ringan-tentang-pembacaan-kegelisahan-buah-simalakama-dimas-arika-mihardja/10150486414413174?ref=notif¬if_t=like

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati