Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/
“Cinta dan sakit jiwa adalah saudara kembar. Teruslah tertawa, bergembira dengan kegilaan.”
Entahlah, kegilaan ini dimulai dari cinta atau cinta dimulai dari kegilaan. Mencintai adalah seberapa sabar ia hari ini harus duduk berlama-lama menikmati secangkir kopi mocca, yang dihirup wanginya setiap setengah jam sekali.
Lelaki itu memang sudah beruban, wajahnya berkerut, tangan kirinya menyangga, menggaruk rambutnya yang terasa gatal karena ulah nakal kehidupan. Tangan kanannya menyeruput pelan tapi pasti, kopi yang belum dingin, lalu menghempaskan nafas serasa lega. “Hah…”.
Tetapi, sejurus kemudian seraya memaki-mbatin, “Anjing…!” duduk santai di depannya memelototi seonggok daging hidup yang tak berdaya di seberang jalan. Tubuh itu duduk-setengah berjongkok memeluk kedua kaki, sedang punggung dan pundak kirinya tersangga pohon besar yang kokoh.
Tempat duduk itu sangat nyaman, tak tergerus hangat terik mentari, tak terbelai halus rintihan gerimis dan tak pula harus merogoh kocek berlebih. Namun siang ini terasa sangat panas. Di samping kaca lebar, itulah di mana ia memperhatikan “Anjing” umpatannya tadi.
Kini ia memperhatikan putaran jarum jam. Kira-kira hampir tiga jam ia belum beranjak, bahkan merubah posisi duduknya. Lalu, ia mengangkat tangan sambil memantik ibu dan jari tengahnya, “ctak” (isyarat, hei kemarilah).
Datanglah gadis muda yang cantik, meskipun tak begitu seksi karena pakaiannya nampak sopan. “Kali ini bawakan aku secangkir kopi seperti ini lagi!” serunya tegas, serak dan putus-putus. Pelayan itu hanya menundukkan wajahnya sembari tersenyum cerah.
Setelah segelas kopi mocca panas datang, ia tak lagi menyeruput minumannya yang semula, namun meminumnya tanpa etika, tanpa gaya sama sekali, seperti derita tenggorokan yang kering, “haus”, menghabiskan begitu saja air hitam-coklat tak terlalu manis itu.
Semena-mena ia meninggalkan meja-kursinya, menaruh tas kulit coklat berisi laptop sekenanya, tak merasa kuatir sedikitpun barangnya akan dicuri pencuri. Ia berjalan gagah, punggunya agak bengkok ke depan, yang kuyakin, kegagahannya tak bakal runtuh.
Ia mengangkat tangan kanan lalu menoleh kekiri, mengayunkan, melambaikan sedikit. Kendaraan-kendaraan, mobil-mobil, motor-motor dan sepeda-sepeda berhenti. Tentulah demikian, karena memang berjalan di jalur hitam-putih memotong jalan raya, menuju orang diam di seberang jalan yang bersandar di pohon besar. Tangan kirinya menenteng secangkir kopi panas dengan tangkas.
***
Benarlah dugaanku, ia menemui Anjing umpatannya.
“Hei Anjing! Kupandang, kuperhatikan, kau benar-benar Anjing! Sangat mengganggu pandanganku dari sana” makinya menyemburat sambil menunjuk kafe tempat ia duduk tadi. “Maumu apa, mengotori pandang luasku!? Hei! Jawab…, dasar Anjing…?”
Memang senyatanya daging ini lemas, tak berdaya, lalu ia mengangkat mukanya, kaget. Mukanya memelas, matanya menatap tak bergairah, kantung-matanya menggantung tebal, sepertinya ia tak pernah hidup, tak pernah tidur. Lalu berucap, “Ha…?” – maksudnya ingin mendengar ulang, apa maunya si orang sepuh tadi – kulihat dahinya bergaris-garis, berlipat-lipat, seperti gelombang air.
“Apa yang kau lakukan, duduk di sini seharian, berhari-hari, tanpa makan minum, apa yang kau lakukan hei Anjing muda!?”
(Orang muda itu berkulit putih bersih, namun tetap saja terlihat kumuh, meskipun kaos tipis yang ia pakai nampak masih bersih dan tak terlalu bau. Hidungnya mancung, dan menurutku lebih tampan bila disandingkan dengan Antonio Banderas). Dengan bodohnya ia mengulang jawaban, “Ha…?”
“Ah…, bodohnya kau Anjing…., lalu duduk di pinggir trotoar, kira-kira setengah meter mendekat ke Anjing muda itu. Sekarang posisinya sama. Ia sederajat dengan orang muda itu, karena sama-sama di bawah.
“Hei Anjing, kau kenapa duduk berdiam di sini, dan kukira, kau tak hidup, mati pula tidak…,” ia memperpelan suaranya.
Sekarang bukan sekedar menyeruput kopi panasnya, tapi dihirupnya dalam-dalam. Seolah tak peduli dengan kejadian hidup apa saja, tanpa beban, lepas begitu saja. Ia memandang langit biru dengan teriknya yang menyengat, melawan arus, namun takkan pernah tersengat, karena memang pohon besar tempat Anjing muda bersandar, begitu rindang, lebat dengan daun-daun yang saling menyelimuti.
“Aku dulu bukan Anjing,” hanya itu yang Anjing muda katakan.
Kulihat, matanya berkaca-kaca lalu, menundukkan muka pun ia tak berani, hanya wajah yang pasrah dengan keadaan. Seolah tak ada tempat lagi untuk menyembunyikan malu.
“Dan kau juga anjing, bukan?” selorohnya asal untuk orang tua beruban yang masih menikmati kopi panas. Sontak saja kaget mendengar selentingan panas si Anjing muda.
“Kau bukan sekedar binatang, hei Anjing muda! Tapi kau sudah gila! Ucapanmu ngawur, ingin sekali tanganku ini menamparmu! Rasa-rasanya kau ingin meludahiku!?” Ternyata sampai juga ia menapaki api amarah, naik darah, agak memerah mukanya karena mendengar gongongan Anjing muda.
Anjing muda itu nyengir, menangis, meratap, merintih-rintih, tapi juga tertawa, terkekeh-kekeh. Hampir tak ada batas lagi antara senang dan susah, gembira dan sedih, atau gila-sakit jiwa dan gila-genius luar biasa.
Hari semakin sore, karena matahari mulai condong. Merah surya berubah menjadi oranye di lautan udara lepas yang menyimpan-memantulkan energi besar semesta. Burung-burung gereja beterbangan pulang ke kandang-kandang alaminya, dan kulihat kopinya tinggal beberapa sruput lagi.
Pak Tua:
“Lantas kenapa aku juga kau sebut anjing, hei Anjing muda?”
Anjing Muda:
“Aku dulu pemilik seluruh kota ini, termasuk kafemu yang nampak ramai sekali. Benar aku masih muda, tapi sepuluh tahun yang lalu, usiaku masih 17 tahun, tapi semuanya telah dalam genggamanku.”
Pak Tua:
“Aku tak mengerti apa maksudmu…?”
Anjing Muda:
“Aku juga tidur dengan keempat anak perempuanmu, lalu dua di antaranya hamil bukan!? Dan kau juga yang menyuruh menggugurkannya! Seluruh gadis cantik dan yang mampu mempesonaku di kota ini ada 90 orang, dan semuanya sudah kutiduri pula.”
“Jangan berpikiran macam-macam karena badanku kurus lalu aku penyakitan pak tua, semua yang kutiduri, mereka semua gadis baik-baik, virgin! Aku si Raja Cinta yang tenar itu!”
“Engkau tahu pak tua, siapa yang menguasai pusat perjudian di kota ini? Aku juga yang punya! Rumah bordil dan apartemen di tengah kota juga milikku!”
“Kafemu memang ramai, tapi diskotik di ujung jalan sangat ramai, itu semua karena kendaliku. Tempat itu surga obat-obat terlarang. Mariyuana, sabu-sabu, ekstasi, kokain dan heroin, semuanya berkualitas dan komoditas utama!”
“Aku biasa membunuh orang. Saingan bisnisku, bos-bos yang enggan menguntungkanku dan siapapun yang menyulut kebencianku!”
Pak Tua:
“Kau bajingan itu rupanya!?” Bukan sekedar mengumpat, tapi sedikit terkejut dan merasa bangga karena duduk bersama dengan orang gila-tak berguna, sekaligus bos besar yang sangar.
Anjing muda:
“Benar sekali! Semuanya tunduk padaku! Walikota, pengusaha, polisi, jaksa, para hakim, guru-guru, anak-anak kecil, ibu-ibu, para pengemis pun suka padaku!”
“Semuanya suka padaku! Aku yang memelihara mereka, dengan uang apa saja yang ada di gengamku! Kau tahu gereja-gereja, kuil-kuil, Katedral kota, masjid-masjid, semuanya terbangun atas kuasaku, bahkan khutbah-khutbah agama pun bisa kupesan sesuai selera dan tak ada satupun yang berani melawan!”
“Tapi kau tahu siapa aku?”
Pak tua hanya menggelengkan kepalanya sekali.
“Aku lah si Raja Iblis dan Malaikat dalam satu jasad!”
“Ah…, sudahlah, tidak penting baik dan buruk, sama saja. Semuanya sama saja, orang waras atau edan sepertiku, sama saja.”
Sejurus kemudian, mereka berdua terdiam, semuanya menjadi sunyi, bertambah sunyi karena tak ada satupun kendaraan yang melintas, sepi.
“Ya, semuanya sama saja. Baik itu dari buruk. Jahat itu dari kebaikan. Benar dan salah adalah dua sisi mata uang. Cinta dan sakit jiwa adalah bersaudara.” Pak Tua menginsyafi suatu hal yang sangat penting dalam hidupnya.
***
“Aku masih tak mengerti hei Anjing muda, mengapa kau sebut aku anjing pula!?” Kini kata yang keluar dari mulutnya tak lagi bermuatan emosi, namun tegas ingin tahu betul apa yang sedang terjadi.
Anjing muda:
“Kau bodoh sekali, bukannya itu semua menandakan, dengan kuasa, dengan uang, dengan kekuatan kepalamu pula, dengan keberanianmu, semuanya sama saja? Semuanya bisa kukendalikan!?”
“Bagiku tak ada bedanya antara pria hidung belang, penjudi, tukang minum, dan perampok dengan pemimpin agama, pastur, pendeta, ustadz, mereka semua sama saja!”
“Mereka dipenjara oleh nafsu-nafsu, nafsu birahi, nafsu amarah, dan keinginan-keinginan yang ‘harus’ dipenuhi, termasuk nafsu religius, memenuhi keingingan Tuhan yang menurutku tak ada bedanya dengan memenuhi keinginan iblis!”
“Tidak ada baik dan buruk, tidak pula benar dan salah, tidak ada indah dan jelek, yang hitam untuk kebahagiaan, yang putih pula demikian. Gelap dan terang sama saja, tidak ada bedanya sama sekali!”
Pak Tua:
“Anjing muda, aku semakin tak mengerti ocehanmu!”
Anjing muda:
“Bebal benar kau anjing! Dengan kehendak, aku bisa mencipta apapun!”
“Kubangun sekolah-sekolah agama dari hasil pelacuran, kudirikan rumah bordil dan pusat perjudian dari hasil bisnis percetakan dan penerbitan kitab suci, buku-buku, literatur-literatur keagamaan, bahkan separuhnya dari wakaf dan uang zakat yang diberikan oleh kolegaku yang agamis!”
“Menurutku, menurut kuasaku, mereka yang ditangkap polisi, dipidanakan oleh jaksa dan diadili oleh hakim, kemudian dipenjarakan, bukan hanya para pencuri, perampok dan pembunuh. Siapapun yang semisal dengan mereka, juga mestinya dipenjarakan!”
“Para agamawan, para orang suci, para pendeta, mereka mengajak manusia berbuat baik atas nama Tuhan? Tuhan yang mana? Siapa dia? Berbuat baik apa? Tindakan mereka? Bukannya mereka sama saja?”
“Sesungguhnya mereka telah mencuri waktu, merampok ‘diri’ dan menamakannya kesalehan, membunuh ‘manusia’ atas nama memenjarakan nafsu, hasrat dan kejahatan, tapi yang mana? Nafsu, hasrat, dan kepentingan Tuhanlah kejahatan itu!”
Pak Tua:
“Demi Tuhanku yang kucintai, aku tak mengerti kata-katamu Ajing muda…, apa maksudnya?”
Anjing muda:
“Sekarang aku bertanya padamu, apa bedanya bersembahyang di kuil, ruku’ dan sujud di depan altar menghadap Tuhan dengan mandi bersama gadis-gadis seksi berdada besar? Sama-sama menyenangkan kan? Lalu apa bedanya?”
Pak Tua:
“Demi Tuhanku, agama memiliki hukum-hukum yang harus dipenuhi, untuk keteraturan!”
Anjing muda:
“Agama yang mana anjing tua!? Siapa yang menulis kitab suci? Tuhan? Bohong sekali jika penulis kitab suci bak puisi itu Tuhan! Kapan dia menulisnya? Di mana? Kecuali kamu sakit, atau aku yang sakit!”
“Tak pentinglah…, tapi yang kau mesti tahu dengan hatimu, kuyakini Tuhan tetaplah ada. Namun bukan berarti Ia punya pensil dan selembar kertas, atau Ia punya mesin ketik untuk menulis syair-syair. Semua tulisan sama saja. Ya tulisan. Manusia seperti aku ini yang membuat.”
“Itu sekedar tulisan pak tua. Tak mungkin makna semesta, ide-ide, pikiran-pikiran Tuhan terangkum dalam buku kecil bersampul kulit itu pak tua!”
Pak Tua:
“Aku mengerti, kita berdua bertuhan, tetapi kau tak beragama, atau kau punya agamamu sendiri, seleramu.”
“Lalu bagaimana jika ibuku adalah isteriku, anakku juga isteriku dan anak-anak gadisku memiliki lebih dari seratus suami? Itu yang kamu inginkan!? Atau satu suami saja dalam kitab suci? Atau isteri adalah isteri yang kita cintai, kami saling memasangkan cincin di jari manis dan berciuman di depan pendeta atas nama Tuhan, berjanji sehidup semati tanpa terpisahkan kecuali karena kematian?”
“Lalu bagaimana jika barang-barangmu, rumah-rumah, kantor, pabrik, ladang, sekolah-sekolah adalah milikku juga, secara bergantian semauku, aku pun memilikinya? Ataukah milikmu adalah milikmu yang absah, kau dapat dari hasil kerja kerasmu, keringat darahmu?”
“Lalu bagimana jika sesukaku aku menyeret orang yang kubenci, kuseret ibumu, kuperkosa kemudian kubunuh di alun-alun kota dan mayatnya kugantung di pelataran? Ataukah berlaku seperti nasehat dalam kitab suci, hidup rukun, harmonis, saling menghormati, saling menyayangi dan hidup dalam damai?”
Anjing muda:
“Tak penting semua itu bagiku hei anjing! Sama sekali tak penting!”
“Inginku, kubikin sendiri agamaku, kitab suciku, norma-norma, hukum-hukum, aturan-aturan benar dan salah, baik dan buruk, bukankah semua itu mudah? Bukankah kau sendiri juga membuatnya, semua agama juga membuatnya, tuan-tuan mereka? Tapi nanti, tak perlulah dengan semua itu kau beri aku gelar nabi!”
Pak Tua:
“Bukannya tadi kau berbicara tak ada benar dan salah, baik dan buruk!?”
Anjing muda:
“Apa bedanya ‘ada’ dengan ‘tak ada’ bagiku? Sama sekali aku tak tertarik untuk mengikuti aturan apa pun yang menurutku tak penting.”
“Kau sama saja denganku, kau anjing, lidahmu terlalu sering menjilat, menjilat Tuhanmu, agamamu, kitab sucimu, dan tak apalah kau sebut aku anjing pula, aku menjilat apapun sesukaku!”
Pak Tua:
“Demi Tuhan, Puji Tuhan, tak sesabar ini aku duduk menikmati kopi mocca yang begitu nikmat…,” lalu ia mengaitkan kancing-kancing jas hitam yang dikenakan, mengusap-usap kotoran patahan daun-daun kering yang jatuh dari atas, dan barulah aku tahu mengapa tadi menaruh tasnya sembarangan di kafe, lalu memesan kopi panas dan membawanya keluar ke seberang jalan tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Ternyata, ia “bos” pemilik kafe di seberang tempat ia duduk. Ia merasa tak nyaman dengan orang gila yang ia namakan Anjing muda itu, karena mengurangi estetika mengopi dari kafenya.
Lalu ia bertutur kembali di episode kopi mocca ini, “Apa yang kau tahu tentang ‘cinta’ hei Anjing bijak?”
Anjing muda:
“Cinta itu cinta, atau cinta itu tak ada, sama saja.”
“Sesuatu yang ada dan tak ada tak penting, sama saja!”
“Seperti halnya aku hidup, aku mati, sama saja.”
“Aku makan, minum, tidur dengan perempuan, atau tidak, sama saja!”
“Aku tahu kau orang baik orang tua, kau taat aturan-aturan! Tetapi aku lebih dari itu, aku tahu banyak hal dan tak banyak orang yang mengetahuinya. Hingga aku menemukan kebenaran bahwa benar dan salah menjadi tak penting lagi!”
“Aku hanya bergembira dengan kebenaran, ketiadaan, ya, kebenaran itu patut untuk ditertawakan! Apa kamu pernah berpikir jika yang benar itu ternyata sebenarnya adalah salah, dan sebaliknya yang salah adalah benar, atau keduanya salah, atau keduanya benar? Semua itu terjadi Pak Tua…”
Lalu ia tertawa lepas, mengangkat wajah menengadah ke langit, sampai kedua matanya tertutup, “Ha ha ha ha…”
***
Orang tua itu merogoh sesuatu yang ia simpan di balik punggungnya. Tepatnya, sesuatu yang ia selipkan di celananya, “pistol”. Ia mengelapnya dengan sapu tangan yang diambil dari saku celana, mengecek enam peluru yang menempel di wadah silinder dan menarik pemicunya.
Kini, ia hendak bertutur ringan, “Kau hebat sekali Anjing muda. Ya, cinta itu tak ada, atau cinta itu cinta saja, atau cinta itu, terserah aku menamakannya apa. Mungkin cinta itu, seberapa sabar aku hari ini harus duduk berlama-lama bersamamu menikmati secangkir kopi mocca. Semua kata tidak bermakna atau semua kata bermakna banyak tak terhingga, sama saja!”
Anjing muda:
“Benar-benar mengerikan pak tua! Kau benar-benar anjing yang mengerikan orang tua! Ha ha ha ha…”
Pak Tua:
“Anjing muda, terimakasih, karenamu, aku telah mengerti cinta dan kehidupan itu apa.”
“Sekarang aku ingin tahu, aku ingin kau mencontohkan bagaimana kau menertawakan kebenaran itu! Ini, ambillah pistolku!”
Anjing muda:
“Ya…?” Kini nampak kerutan tanya di antara kedua alisnya yang bertarung.
Pak Tua:
“Cinta itu tidak hidup dan tidak mati, atau tidak apa pun! Sama saja bukan!? Benarkah jika kau mati, kau tetap hidup, atau sebaliknya, dan apapun, sama saja bukan!? Sekarang hadapkanlah pistol itu dikepalamu, tariklah pelatuknya! Pastilah sama saja bukan!?”
Ditariklah pelatuk pistol yang digenggam tangan kanan Anjing muda itu, meledaklah, pecah kepalanya tertembus peluru!
Orang tua itu terpental menjauh dari tempat duduknya yang semula, tak ada apapun yang ia pikirkan lagi, sama saja dengan anak muda itu, tak ada apapun, atau ada apapun tak berhingga, sama saja.
Pak Tua dan seorang muda itu, benarlah mereka. Cinta atau sakit jiwa, keduanya adalah seni kehidupan yang selayaknya dinikmati dengan kesungguhan. Maka, tertawalah dan terus tertawa, berbahagia.
Pak Tua itu, ia ketakutan sekali setelah apa yang telah terjadi, wajahnya memucat. Ia melihat sobekan kertas yang digenggam si Anjing muda, lalu mengambilnya. Kertas itu dibukanya, bertuliskan;
Dem un bekannten Gott
Kepada Tuhan yang tak dikenal
Ich will dich kennen,
Kuingin mengenalmu,
Unbekannter,
Yang tak dikenal,
Due tief in meine Seele Greifender,
Kau, yang menggarap jiwaku dalam-dalam,
Mein Leben wie ein Sturm Durchschweifender,
yang mengembarai kehidupanku bagaikan badai,
Du Unfa?barer,
Kau yang tak dapat dimengerti,
mir Verwandter!
yang sejenis denganku!
Ich will dich kennen,
Kuingin mengenalmu,
selbst dir dienen
malahan menjadi hambamu
(Friedrich Nietzsche)
Malang, 19 Oktober 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar