Selasa, 13 Maret 2012

Kado Puisi dari Jimmy

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Apa yang sederhana memang langka. Apa yang sederhana menggoda mata. Karena langka dan menggoda, maka orang senantiasa mengharapkan ia ada. Demikian pula pada puisi Indonesia mutakhir. Mencari yang sederhana ibarat mencari tokek di kota metropolitan. Sekali pun ada sebagian sajak yang setia menampilkan hal-hal yang sederhana, namun karena ditulis oleh pengalaman penyair yang sempit dan dangkal, maka tidak ada sumur kata-kata. Kalau pun ada, betapa dangkal dan kering sumur itu.

Saya kira ucapan Boris Pasternak—dalam Dr. Zhivago—masih relevan di turunkan di sini: ”Hal-hal yang menakjubkan”, kata Pasternak, ”tidak lain adalah hal-hal sederhana, tapi disentuh oleh tangan jenius”. Sekalipun yang sederhana itu berada dalam pesona, tapi karena yang menyentuhnya adalah tangan yang tidak kreatif, maka ia tidak mempesona.

Kesederhanaan tidak berurusan dengan tema besar dan kecil. Kesederhanaan pada mulanya adalah bahasa ekonomi, bahasa sosiologi, kemudian diambil-alih oleh bahasa agama dan kini dipakai dalam bahasa (kritik) sastra. Apakah substansial membicarakan puisi dari sisi kesederhanaan ungkapan? Tentu saja. Siapa bilang tidak.

Sesuatu yang sederhana umumnya muncul dari hal-hal yang remeh-temeh. Karena itu, para aktivis dan pejuang kemerdekaan dulu berlomba-lomba menggunakan penggada besar, sementara para penyair lirik justru menulis oleh embun dan sayap kupu-kupu. Puisi yang menggunakan ungkapan sederhana sebagaian besar puisi hemat kata, puisi pendek. Di sana kesederhanaan terolah dengan apik dan terjaga. Lain halnya dengan puisi panjang yang bagaikan novel, tak jarang kata-kata yang muncul bukan suasana tapi kata-kata yang keberatan ide.

Godaan terbesar seorang penyair adalah menampilkan kata-kata yang membahana. Diam dianggap bukan sebagai maqam yang bisa mengantarkan sang penyair meraih otentisitas. Sunyi dianggap sudah lama berkarat besi sehingga puisi-puisinya terdengar bergemerincing bagaikan lonceng azura. Tak ada ketakziman, apalagi kediam-dirian dan keheningan. Yang ada cuma teriakan massal, mirip sajak demonstrasi saat reformasi.

Maka ketika saya menemukan kata-kata yang sederhana dalam puisi-puisi Jimmy, tiba-tiba saya teringat pada tudingan Nirwan Dewanto terhadap kecenderungan puisi penyair Lampung—termasuk Jimmy—yang menampilkan kata-kata ajaib. ”Kesedrhanaan tak lagi menarik bagi para penyair terkini, tak terkecuali penyair Lampung”. Nirwan betul. Tapi tidak semua sajak Jimmy ajaib, karena kata dan bahasa yang digunakan sudah mengalami penulisan-ulang. Malah terdapat cukup banyak ungkapan yang sederhana sebagaimana yang dimau Nirwan. Provokasi Nirwan ternyata cukup kena dan berhasil.

Kado pertama Jimmy yang terangkum dalam Puan Kecubung (KataKita, 2009) tak menampilkan kata-kata membahana, tapi mirip prosa yang diam. ”Pada sebuah pokok jambu saya pernah melihatmu berbincang dengan sekelompok semut sedang memintal sarang. Waktu itu, matahari masih susup oleh kabut dan satu dua daun uzur jatuh tersungkur karena lamur”. Atau kalimat yang mengejar metafora dengan bunyi yang terjaga di ujung baris: ”Bayangkan, bulan memar karena sepi melebar dan rama-rama acap liar lantaran banyak ada terkena sampar”.

Sederhana atau ajaibkah kalimat itu? Kita bisa berdebat panjang soal sederhana dan tidak sederhana dalam sajak dari berbagai sisi. Tapi bukan itu yang terpenting dalam sebuah sajak, sekalipun akan tetap menarik dipersoalkan. Jimmy bicara pada kita tidak dengan kata-kata massal, tapi individual. Bukan dengan kata-kata bunyi tapi sunyi. Sebab, seperti ditulis dalam sajak Bukit Fatima I, ”sunyi sudah lama jadi nyanyi”. Tanpa sunyi tak ada puisi. Kita berasal dari sunyi, kata Paz, dan kepada sunyi kita kembali.

Cukup banyak sajak Jimmy yang terasa pasif, lembut dan sederhana. Tapi tak jarang pula sajak yang menuntut kita merenungkan siratan makna dari takdir yang tersembunyi di balik hutan rimbun imaji. Kadang-kala muncul metafora absurd, seperti misalnya ”menyuapi sepotong bulan”.

Jimmy adalah penyair yang gemar pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena Jimmy mencoba menyuarakan dunia puan, sementara ia sendiri sang tuan, maka ada baiknya kita mendengarkan pengakuan Jimmy ini: ”Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata”.

Fragmen sajak Tamsil Damar Batu itu cenderung menghadirkan komunikasi searah, bicara dengan diri sendiri, sebuah monolog batin yang hening namun masih terasa nenes. Dari sekian model dan bentuk sajak yang dihadirkan, entah mengapa saya justru menyukai sajak Jimmy yang bercerita dengan berusaha memasuki sajak dramatik.

Syahdan, pada suatu hari Hamlet menemui Ophelia, dan berkata: ”Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut”. Ophelia menjawab: ”Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar birahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat”.

Apa cuma Ophelia yang punya birahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespere saat bicara tentang sifat soliloqui di atas panggung. Kalimat ”dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya….”, bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: ”apa dalam kalimat-kalimat itu dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori?”

Dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang berbaur dengan gerak lirik. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama, bisa juga tidak.

Sebagian sajak Jimmy tampaknya menyerupai susunan naskah drama dengan dialog-dialog yang berpsang-pasangan (seperti tampak dalam sajak Venus, Tentang Lajang, Lelaki dan Ikan (A), Lelaki dan Ikan (), Rumah Juru Timbang 2, Rumah Juru Timbang 3, Tonil Kadi & Kala). Jimmy memang pernah mengatakan: jika terdapat bentuk pengucapan drama dalam sajaknya, hal itu wajar saja mengingat ia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, dan jadi orang dalam pada Komunitas Berkat Yakin (salah satu komunitas teater yang ada di Lampung).

Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater tidak sia-sia. Malah ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya. Misalnya, bagaimana Jimmy menempatkan sajak dramatik dengan memilih pengucapan prosa lirik. Di sana ada kisah tentang seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Di sana tampak sekali matahari seperti dalam Orang Asing Albert Camus; yang memberat pada kedua mata tokohnya, seolah ingin melata, ”dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku” (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya sekali pun renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali di siang hari. Makin lama kata-kata yang digunakan Jimmy tampak berakbut dan bersayap kupu-kupu, yang hanya bisa betah di cuaca. Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis; gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, mirip seperti kisah tentang jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk; terombang-ambing di laut lepas tanpa tahu kapan akan menepi.

Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun melahirkan pengucapan prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Ada nada jazz, juga sonata yang berdebar serta gemetar yang hanya sebentar, lalu berseling kelakar, beragam perbalahan yang disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman luka yang belum sampai histeria. Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: ”Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”.

Bagaimana pun, bentuk liris adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sementara. Sajak lirik bahkan tak jarang menjelma dari apa yang oleh Joyce disebut ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”.

Lirik pada mulanya sebuah syair yang diiringi dengan petikan alat lira (dalam sastra Yunani). Lirik secara spontan melahirkan atau mewujudkan perasaan batin seseorang. Bersama dengan epik dan dramatik, lirik termasuk dari tiga jenis pokok sastra. Lirik mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca. Lirik sendiri terbagi menurut ode, elegi, soneta. Ada juga yang membedakan lirik langsung dan lirik tak langsung. Lirik langsung yaitu suara batin si penyair langsung diperdengarkan, sementara lirik tak langsung aku lirik menyembunyikan diri di belakang lambang atau metafora.

Penyair lirik berusaha mengungkapkan perasaaan secara lebih sadar mengenai emosi sesaat, ketimbang dirinya sendiri saat merasakan denyut gravitasi emosi yang sedang naik-turun. Denyut itulah yang menjadi penghubung beragam unsur dan anasir dalam sebuah sajak dan diolah ke dalam orbit untuk kemudian ditransformasi—atau ditransmutasi—ke dalam bentuk sajak.

Sebuah sajak dicapai ketika vitalitas yang telah mengalir dan membentuk pusaran di sekitar tokoh-tokoh, lalu mengisi setiap tokoh itu dengan tenaga vital yang dia anggap sebagai sebuah kehidupan estetik yang sesuai dan tak bisa diraba. Inilah bentuk dramatik, yang juga kita rasakan dalam sebagian sajak Jimmy. Sajak dramatik menampilkan sebuah jeritan, irama atau gairah jiwa dan berproses menjadi narasi yang mengalir dan memancar, hingga akhirnya menguatkan dirinya sendiri melalui eksistensi.

Gambaran estetik dalam bentuk sajak dramatik mirip sakramen, atau kehidupan yang tersucikan, atau yang terpancarkan dari ”rahim imajinasi” (James Joyce). Rahasia kehidupan estetis—seperti penciptaan materi—bisa diraih dan sang penyair seperti Pencipta—atau ciptaan—yang berada di dalam atau di belakang, di luar atau di atas karyanya. Bentuknya terkadang samar, tak terlihat, namun terasah oleh eksistensinya—atau mencoba mengasah dirinya sendiri melalui eksistensinya—sambil bersantai makan kuwaci dan minum segelas kopi.

Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat suasana melankolia dengan guratan kata-kata cinta, kisah-kisah mistis di perkampungan misterius yang dihuni para tuan dan puan yang bergelut dengan perih. Bahkan ada ajakan untuk bercinta dengan puitis: “Mari, cium ranum keningku/sebelum kau alum dirajam waktu”. Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih.

Kata-kata yang muncul terkadang terasa memberat oleh kegandrungan bercerita. Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah dan drama-drama tua bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.

Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini. Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang. Jika kita menengok sejumlah kitab suci, di sana berjibun puisi kisah-kisah.

Saya suka pada kejernihan bahasa yang digunakan Jimmy, terutama ketika melukiskan kisah tablo dalam lima babak yang beberapa baitnya menyerupai gurindam: ”sudah tiga ratus pagi habis/ia belum juga ceguk dan menangis….di dalam, seorang lelaki telanjang/terus memasak dengan gasang”. Ada banyak kosakata yang asing—dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.

Simak pula kesederhanaan puisi Mencari Alamat: “sudah bergantikah warna cat rumahmu?/musim hujan sudah lama tiba/aku belum sempat menyimpan payung dan mantel/cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama/dan dongeng Zarahustra”. Mencari rumah ziarah bagi Jimmy ternyata tak mudah, kadang kala dengan via dolorosa (jalan penuh duka): “bagaimana jalan menuju rumahmu sekarang? Seperti lintas Sumatera atau jalan Dolorosa?”

Tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan sunyi dan bunyi, drama purba dan lirik tua. Sebagaimana Jimmy mengutip Gao Xingjian dalam kata pembuka bukunya, maka saya ingin menegaskan juga: dalam sajak-sajakmu ”tak ada keajaiban/itulah yang dikatakan Puan Kecubung kepadaku”.
__________________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati