Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/
Apa yang sederhana memang langka. Apa yang sederhana menggoda mata. Karena langka dan menggoda, maka orang senantiasa mengharapkan ia ada. Demikian pula pada puisi Indonesia mutakhir. Mencari yang sederhana ibarat mencari tokek di kota metropolitan. Sekali pun ada sebagian sajak yang setia menampilkan hal-hal yang sederhana, namun karena ditulis oleh pengalaman penyair yang sempit dan dangkal, maka tidak ada sumur kata-kata. Kalau pun ada, betapa dangkal dan kering sumur itu.
Saya kira ucapan Boris Pasternak—dalam Dr. Zhivago—masih relevan di turunkan di sini: ”Hal-hal yang menakjubkan”, kata Pasternak, ”tidak lain adalah hal-hal sederhana, tapi disentuh oleh tangan jenius”. Sekalipun yang sederhana itu berada dalam pesona, tapi karena yang menyentuhnya adalah tangan yang tidak kreatif, maka ia tidak mempesona.
Kesederhanaan tidak berurusan dengan tema besar dan kecil. Kesederhanaan pada mulanya adalah bahasa ekonomi, bahasa sosiologi, kemudian diambil-alih oleh bahasa agama dan kini dipakai dalam bahasa (kritik) sastra. Apakah substansial membicarakan puisi dari sisi kesederhanaan ungkapan? Tentu saja. Siapa bilang tidak.
Sesuatu yang sederhana umumnya muncul dari hal-hal yang remeh-temeh. Karena itu, para aktivis dan pejuang kemerdekaan dulu berlomba-lomba menggunakan penggada besar, sementara para penyair lirik justru menulis oleh embun dan sayap kupu-kupu. Puisi yang menggunakan ungkapan sederhana sebagaian besar puisi hemat kata, puisi pendek. Di sana kesederhanaan terolah dengan apik dan terjaga. Lain halnya dengan puisi panjang yang bagaikan novel, tak jarang kata-kata yang muncul bukan suasana tapi kata-kata yang keberatan ide.
Godaan terbesar seorang penyair adalah menampilkan kata-kata yang membahana. Diam dianggap bukan sebagai maqam yang bisa mengantarkan sang penyair meraih otentisitas. Sunyi dianggap sudah lama berkarat besi sehingga puisi-puisinya terdengar bergemerincing bagaikan lonceng azura. Tak ada ketakziman, apalagi kediam-dirian dan keheningan. Yang ada cuma teriakan massal, mirip sajak demonstrasi saat reformasi.
Maka ketika saya menemukan kata-kata yang sederhana dalam puisi-puisi Jimmy, tiba-tiba saya teringat pada tudingan Nirwan Dewanto terhadap kecenderungan puisi penyair Lampung—termasuk Jimmy—yang menampilkan kata-kata ajaib. ”Kesedrhanaan tak lagi menarik bagi para penyair terkini, tak terkecuali penyair Lampung”. Nirwan betul. Tapi tidak semua sajak Jimmy ajaib, karena kata dan bahasa yang digunakan sudah mengalami penulisan-ulang. Malah terdapat cukup banyak ungkapan yang sederhana sebagaimana yang dimau Nirwan. Provokasi Nirwan ternyata cukup kena dan berhasil.
Kado pertama Jimmy yang terangkum dalam Puan Kecubung (KataKita, 2009) tak menampilkan kata-kata membahana, tapi mirip prosa yang diam. ”Pada sebuah pokok jambu saya pernah melihatmu berbincang dengan sekelompok semut sedang memintal sarang. Waktu itu, matahari masih susup oleh kabut dan satu dua daun uzur jatuh tersungkur karena lamur”. Atau kalimat yang mengejar metafora dengan bunyi yang terjaga di ujung baris: ”Bayangkan, bulan memar karena sepi melebar dan rama-rama acap liar lantaran banyak ada terkena sampar”.
Sederhana atau ajaibkah kalimat itu? Kita bisa berdebat panjang soal sederhana dan tidak sederhana dalam sajak dari berbagai sisi. Tapi bukan itu yang terpenting dalam sebuah sajak, sekalipun akan tetap menarik dipersoalkan. Jimmy bicara pada kita tidak dengan kata-kata massal, tapi individual. Bukan dengan kata-kata bunyi tapi sunyi. Sebab, seperti ditulis dalam sajak Bukit Fatima I, ”sunyi sudah lama jadi nyanyi”. Tanpa sunyi tak ada puisi. Kita berasal dari sunyi, kata Paz, dan kepada sunyi kita kembali.
Cukup banyak sajak Jimmy yang terasa pasif, lembut dan sederhana. Tapi tak jarang pula sajak yang menuntut kita merenungkan siratan makna dari takdir yang tersembunyi di balik hutan rimbun imaji. Kadang-kala muncul metafora absurd, seperti misalnya ”menyuapi sepotong bulan”.
Jimmy adalah penyair yang gemar pada labirin sekaligus pada yang feminin. Karena Jimmy mencoba menyuarakan dunia puan, sementara ia sendiri sang tuan, maka ada baiknya kita mendengarkan pengakuan Jimmy ini: ”Puan, aku tumbuh di tengah retakan/berulang kali kehilangan akar/sebatang kara antara ladang cinta/dan belantara kata-kata”.
Fragmen sajak Tamsil Damar Batu itu cenderung menghadirkan komunikasi searah, bicara dengan diri sendiri, sebuah monolog batin yang hening namun masih terasa nenes. Dari sekian model dan bentuk sajak yang dihadirkan, entah mengapa saya justru menyukai sajak Jimmy yang bercerita dengan berusaha memasuki sajak dramatik.
Syahdan, pada suatu hari Hamlet menemui Ophelia, dan berkata: ”Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba, memintal benang-benang kabut, lalu mengharamkan tubuhku larut, dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut”. Ophelia menjawab: ”Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa mematikan lampu saat hendak tidur, agar birahiku tak terlihat, yang membenamkanmu ke dalam jerat”.
Apa cuma Ophelia yang punya birahi? Apa dalam kalimat-kalimat itu terjadi dialog atau monolog? Tak mudah menjawabnya. Aktor dan produser ternama Rusia, Stanislavski, sempat juga kewalahan menjelaskan secarik kalimat yang menyerupai puisi dalam naskah Shakespere saat bicara tentang sifat soliloqui di atas panggung. Kalimat ”dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat/Lalu undur sejauh jarak lengannya/Dan dengan tangan yang lain di keningnya….”, bagi Stanislavski menghadirkan pertanyaan: ”apa dalam kalimat-kalimat itu dapat kalian rasakan hubungan tanpa kata-kata antara Hamlet dan Ophelia? Apakah dalam keadaan seperti itu pernah kalian alami sesuatu yang mengalir dari diri kalian, suatu arus yang datang dari mata, dari ujung jari atau yang keluar melewati pori-pori?”
Dalam sajak-sajak Jimmy ada gerak lakon yang berbaur dengan gerak lirik. Sajak Jimmy berjudul Rencana Seorang Aktor tentu bisa ditafsirkan memiliki hubungan dengan buku Persiapan Seorang Aktor, tapi bisa juga tidak. Hamlet dan Ophelia dalam sajak Jimmy memiliki persenyawaan dengan Hamlet dan Ophelia dalam drama, bisa juga tidak.
Sebagian sajak Jimmy tampaknya menyerupai susunan naskah drama dengan dialog-dialog yang berpsang-pasangan (seperti tampak dalam sajak Venus, Tentang Lajang, Lelaki dan Ikan (A), Lelaki dan Ikan (), Rumah Juru Timbang 2, Rumah Juru Timbang 3, Tonil Kadi & Kala). Jimmy memang pernah mengatakan: jika terdapat bentuk pengucapan drama dalam sajaknya, hal itu wajar saja mengingat ia sendiri seorang yang terlibat dalam dunia teater, dan jadi orang dalam pada Komunitas Berkat Yakin (salah satu komunitas teater yang ada di Lampung).
Pengalaman Jimmy bergelut di jagad teater tidak sia-sia. Malah ikut memperkaya pengucapan sajak-sajaknya. Misalnya, bagaimana Jimmy menempatkan sajak dramatik dengan memilih pengucapan prosa lirik. Di sana ada kisah tentang seorang aktor sedang berjalan pelan mengitari panggung pertunjukan outdoor, menuju ufuk lembut. Di sana tampak sekali matahari seperti dalam Orang Asing Albert Camus; yang memberat pada kedua mata tokohnya, seolah ingin melata, ”dari satu ufuk ke ufuk lain tubuhku” (sajak Saat Sakit). Tapi matahari tak akan pernah lagi menitipkan cahaya sekali pun renyai yang setiap senja menghampiri kita (Rencana Seorang Aktor).
Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali di siang hari. Makin lama kata-kata yang digunakan Jimmy tampak berakbut dan bersayap kupu-kupu, yang hanya bisa betah di cuaca. Kalimat-kalimatnya yang lembayung, yang tangkas bermain dalam dua aras tematis; gelap dan gumun, cerita dan drama, dialog dan monolog, mirip seperti kisah tentang jukung tanpa arah tujuan karena telah kehilangan ufuk; terombang-ambing di laut lepas tanpa tahu kapan akan menepi.
Pertemuan ufuk yang gelap dan gumun melahirkan pengucapan prosa dan pantun, dengan nada dasar yang kadang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Ada nada jazz, juga sonata yang berdebar serta gemetar yang hanya sebentar, lalu berseling kelakar, beragam perbalahan yang disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman luka yang belum sampai histeria. Kata-katanya seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak. Tak urung, Jimmy mengingatkan saya pada satu kalimat Nietzsche: ”Penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”.
Bagaimana pun, bentuk liris adalah busana paling sempurna dari sebuah emosi sementara. Sajak lirik bahkan tak jarang menjelma dari apa yang oleh Joyce disebut ”sebuah jeritan ritmis, semacam yang berabad-abad yang lalu membuat gembira orang-orang yang menarik dayung atau menarik batu ke puncak bukit”.
Lirik pada mulanya sebuah syair yang diiringi dengan petikan alat lira (dalam sastra Yunani). Lirik secara spontan melahirkan atau mewujudkan perasaan batin seseorang. Bersama dengan epik dan dramatik, lirik termasuk dari tiga jenis pokok sastra. Lirik mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu serta gaya yang langsung menyapa perasaan pembaca. Lirik sendiri terbagi menurut ode, elegi, soneta. Ada juga yang membedakan lirik langsung dan lirik tak langsung. Lirik langsung yaitu suara batin si penyair langsung diperdengarkan, sementara lirik tak langsung aku lirik menyembunyikan diri di belakang lambang atau metafora.
Penyair lirik berusaha mengungkapkan perasaaan secara lebih sadar mengenai emosi sesaat, ketimbang dirinya sendiri saat merasakan denyut gravitasi emosi yang sedang naik-turun. Denyut itulah yang menjadi penghubung beragam unsur dan anasir dalam sebuah sajak dan diolah ke dalam orbit untuk kemudian ditransformasi—atau ditransmutasi—ke dalam bentuk sajak.
Sebuah sajak dicapai ketika vitalitas yang telah mengalir dan membentuk pusaran di sekitar tokoh-tokoh, lalu mengisi setiap tokoh itu dengan tenaga vital yang dia anggap sebagai sebuah kehidupan estetik yang sesuai dan tak bisa diraba. Inilah bentuk dramatik, yang juga kita rasakan dalam sebagian sajak Jimmy. Sajak dramatik menampilkan sebuah jeritan, irama atau gairah jiwa dan berproses menjadi narasi yang mengalir dan memancar, hingga akhirnya menguatkan dirinya sendiri melalui eksistensi.
Gambaran estetik dalam bentuk sajak dramatik mirip sakramen, atau kehidupan yang tersucikan, atau yang terpancarkan dari ”rahim imajinasi” (James Joyce). Rahasia kehidupan estetis—seperti penciptaan materi—bisa diraih dan sang penyair seperti Pencipta—atau ciptaan—yang berada di dalam atau di belakang, di luar atau di atas karyanya. Bentuknya terkadang samar, tak terlihat, namun terasah oleh eksistensinya—atau mencoba mengasah dirinya sendiri melalui eksistensinya—sambil bersantai makan kuwaci dan minum segelas kopi.
Dalam sajak-sajak Jimmy terdapat suasana melankolia dengan guratan kata-kata cinta, kisah-kisah mistis di perkampungan misterius yang dihuni para tuan dan puan yang bergelut dengan perih. Bahkan ada ajakan untuk bercinta dengan puitis: “Mari, cium ranum keningku/sebelum kau alum dirajam waktu”. Ritme dan komposisi sajaknya tampak tertata dengan rapi. Ada warna yang berkilau embun, seni rupa kurva dan musik lirih.
Kata-kata yang muncul terkadang terasa memberat oleh kegandrungan bercerita. Jimmy memang penyair yang gemar bercerita, kadang secara gamblang. Dengan gaya bercerita, dengan bentuk yang menyerupai drama, sajak-sajak Jimmy hendak memenuhi tantangan lama, bahwa kisah-kisah dan drama-drama tua bisa menjelma masyarakat yang hidup tanpa ikatan kenyataan. Sebab, dunia kisah-kisah adalah sebuah kriminalitas dalam ingatan seorang penyair masa lampau. Maka kesusastraan kisah-kisah adalah sebuah dunia berbahaya karena ia bisa beroposisi terhadap realitas, dengan mengubahnya jadi cerita-cerita.
Untuk menegaskan bahwa puisi sebagai kisah-kisah, Jimmy memasukkan kalimat-kalimat berkisah, bahkan muncul kata syahdan sebanyak dua kali dalam buku ini. Sebagai cerita-cerita, puisi Jimmy menjadikan yang purba bukan sebagai masa lampau, tapi justru yang menyekarang. Jika kita menengok sejumlah kitab suci, di sana berjibun puisi kisah-kisah.
Saya suka pada kejernihan bahasa yang digunakan Jimmy, terutama ketika melukiskan kisah tablo dalam lima babak yang beberapa baitnya menyerupai gurindam: ”sudah tiga ratus pagi habis/ia belum juga ceguk dan menangis….di dalam, seorang lelaki telanjang/terus memasak dengan gasang”. Ada banyak kosakata yang asing—dalam arti yang masih jarang digunakan. Saya kira inilah salah satu kelebihan Jimmy dari penyair Lampung yang lain.
Simak pula kesederhanaan puisi Mencari Alamat: “sudah bergantikah warna cat rumahmu?/musim hujan sudah lama tiba/aku belum sempat menyimpan payung dan mantel/cuma ada potret kekasih, sajak-sajak lama/dan dongeng Zarahustra”. Mencari rumah ziarah bagi Jimmy ternyata tak mudah, kadang kala dengan via dolorosa (jalan penuh duka): “bagaimana jalan menuju rumahmu sekarang? Seperti lintas Sumatera atau jalan Dolorosa?”
Tak ada yang mengejutkan dalam sajak-sajak Jimmy. Tak ada kamuflase atau suspens, atau yang baru, karena sebagian besar sajaknya berangkat dari metafora yang menggelorakan imaji melalui pertemuan sunyi dan bunyi, drama purba dan lirik tua. Sebagaimana Jimmy mengutip Gao Xingjian dalam kata pembuka bukunya, maka saya ingin menegaskan juga: dalam sajak-sajakmu ”tak ada keajaiban/itulah yang dikatakan Puan Kecubung kepadaku”.
__________________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar