Indra Tranggono*
http://www.jawapos.com/
PUBLIK budaya Surabaya akan disuguhi kolaborasi Teater Dinasti
Jogjakarta dengan kelompok musik Kiai Kanjeng, di Gedung Gramedia Expo,
19 November. Pertunjukan yang dimulai pukul 20.00 itu membawakan lakon
Tikungan Iblis karya budayawan Emha Ainun Nadjib. Pementasan yang
diselanggarakan Komunitas Bang Bang Wetan (BBW) dan Dewan Kesenian
Surabaya (DKS) ini merupakan bagian dari tur Teater Dinasti ke sejumlah
kota, setelah Agustus lalu tampil perdana di Taman Budaya Yogyakarta.
Bagi publik teater Surabaya yang mengikuti perkembangan teater tahun
1980-an, tentu tidak asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno
(eks Bengkel Teater) ini. Pada periode itu, Dinasti pernah tampil
antara lain melalui Geger Wong Ngoyak Macan.
Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang
mengambil peran penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di
negeri ini, pada saat represi Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti
memilih posisi sebagai kelompok teater kritis atau teater yang terlibat
dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya. Lakon-lakon yang
dipilihnya pun acapkali membikin ”telinga kekuasaan” merah. Dua
repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan
Sepatu Nomor Satu.
Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal
penguasa, Dinasti hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat
tekanan politik pembangunan Orde Baru. Peran sebagai budaya tanding ini
dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.
Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia membawa protes sosial?
Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi
bergulir tahun 1998. Represi politik –seperti dilakukan Orde Baru– tidak
lagi dominan. Dinasti akan menjadi kelompok yang ”bangun kesiangan”
jika masih meradang dengan protes sosialnya. Bukankah media massa jauh
lebih terbuka dan berani mengungkapkan berbagai realitas itu? Bahkan
media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam pengungkapan dibanding
kesenian.
Kelumpuhan Budaya
Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan politik dan kebebasan pers?
Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis
gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang
”tanpa” persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan
bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru
seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/
martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif
yang makin menguat, dan lainnya. Makin menguatnya kapitalisme pasar,
industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah
beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa
ini, pasca Reformasi 1998.
Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang:
masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya
secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang
digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme. Masyarakat
pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak
lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari
pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia
hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan
rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari
kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.
Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis
atas berbagai persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan
bangsa ini melalui kontemplasi. Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan
Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan pendekatan multimedia.
Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama,
tentang kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan
keberadaan tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk
sebagai ”raja kegelapan” yang mendorong manusia melakukan berbagai
penyimpangan nilai-nilai ideal, baik pada level agama maupun budaya.
Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis sebagai kambing hitam atas
berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal, dorongan penyimpangan
umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti kerakusan, hedonisme,
naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu menguasai/menindas
sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu menjadi upaya
manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.
Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang
berbeda dari pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan
Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi
”alat” Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis
adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan
berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan
eksistensinya. Ia menawarkan ”antitesis” atas ”tesis” Tuhan, agar
manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh,
mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir
sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan
mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan –dengan
seluruh nilai-nilai idealnya, maka pengakuan itu tidak artifisial,
melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan ”pembelaan” atas Iblis
melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.
Dari Garuda ke Emprit
Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai
secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan
sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam
narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal
penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan
membangun peradaban. Iblis –yang sejak awal manusia diciptakan sudah
tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi– akhirnya
membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari
tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan. Umat
manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar ”tapel” –sebuah terminologi
elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan
beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal
sehat.
Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita
mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika
unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk
terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti
Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya). Namun, karena Garuda itu
kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka
burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan
adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak
bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk
terbang dan menerkam.
Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini
untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat,
kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas
emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat
itu harus direbut. (*)
*) Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan, teater, dan penulis cerpen
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar