Selasa, 18 Juni 2013

Anakku Menuntun Langkahku

Wijaya Hardiati *
http://sastra-indonesia.com

Menjadi ibu itu sebuah karir, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang tahun, sepanjang hidup. Tiada cuti, tiada gaji, tiada bonus, tiada uang lembur, tiada tunjangan, dan kadang tak dihargai. Namun saya bahagia serta bangga, tersebab surat tugasnya langsung ditandatangani oleh-Nya.

27 Juni 2000, saya mulai karir sebagai ibu untuk buah hati saya yang pertama, bernama Zinedine Zidney Arrad-Mizan. Lahir lewat operasi caesar, dengan berat lahir 1,7 kg. Dia tumbuh di antara kondisi perekonomian keluarga kami yang boleh dikata kekurangan. Hidup di rumah kontrakan sederhana, tak ada TV, tak ada tempat tidur, bahkan lemari pakaian kami memanfaatkan kardus bekas yang dibeli dari pasar loak. Sekuat daya, saya dan suami berusaha membuat hari-hari bisa ceriakan anak, seperti keluarga lainnya.

Malam sebelum tidur, bapaknya selalu mendongeng cerita boneka yang diadaptasi dari acara TV Teletubbies, dan diberi judul Teddy dan Po. Suatu malam, di antara riuh suara hujan di luar rumah, seperti biasa suami bercerita tentang Teddy si boneka beruang dan Po si boneka tubbies. Di ceritakan dalam kisah itu, Po tak sengaja temukan jam raksasa di tepi hutan. Di guyur hujan deras disertai angin kencang, sendirian Po kecil berusaha sekuat tenaga bawa pulang jam raksasa. Langkahnya tertatih bawa beban di punggung yang jauh lebih berat, sedari berat tubuhnya sendiri.

“Aduuhh, berat sekali!” keluh Po berkali-kali. Tiba-tiba Zidney beranjak dari duduknya, lalu dengan cekatan tangannya ambil alih jam itu. “Aku bantu ya Po, biar tidak berat” kata Zidney dengan pandangan penuh iba. Seketika bapaknya berseru, “Loh kakak, jangan dibantu! Biar Po berusaha sendiri. Nanti ceritanya langsung bubar dong kalau jamnya sudah berhasil dibawa sampai rumah Po.” “Nggak apa, Po kan masih kecil. Kasihan dia sendirian kehujanan.” Zidney bersikeras membantu Po, lalu menyelimuti tubuh boneka kecil itu. “Lain kali tak boleh diulangi lagi ya Po. Kalau pergi pulangnya harus tepat waktu, dan jangan ambil barang yang bukan milikmu!” katanya sambil mengelus kepala Po.

Saya terharu. Diam-diam ada perasaan bersalah menyeruak di hati. Teringat sebuah bola plastik yang saya temukan tergeletak begitu saja di depan rumah kosong, beberapa blok dari kontrakan kami, sebelum kejadian itu. Saya mengambilnya, dan memberikannya pada Zidney. Tapi dia menggeleng kuat-kuat, menolak benda bulat yang biasa jadi mainan favoritnya. Rupanya dia sudah paham, bola itu bukan miliknya, jadi tak mau menerimanya. Kemudian hati saya tiba-tiba gerimis, seperti hujan di luar rumah malam itu. Maafkan ibu, anakku. Tak akan lagi terjadi peristiwa serupa bola plastik itu. Walau tak punya banyak uang, tak ada alasan mengambil apapun yang bukan hak kita.

Ketika umur Zidney 3 bulan, saya hamil anak kedua. Menurut dokter, kelak jika lahir harus melalui operasi caesar juga, karena kelahiran pertama dengan operasi, dan jarak kehamilan belum ada 2 tahun. Antara sedih-senang kami terima kabar itu. Senang karena sebentar lagi ada si kecil baru yang menambah ceria suasana rumah. Sedih karena jujur waktu itu belum tahu bagaimana mencari uang untuk biaya persalinan caesar si calon adik. Setiap hari saya dan suami berikhtiar mencari dana dengan menghubungi segenap keluarga. Tapi sampai kehamilan berjalan 7 bulan, hasilnya nihil.

Akhirnya suatu hari merasa perut saya mulas-mulas, dan ketika diperiksakan ke dokter, ternyata si adik sudah siap lahir. Dengan hanya bawa uang hasil menabung, 500 ribu rupiah, kami berangkat ke RSUD Dr. Soejono. Begitu selesai diperiksa seperlunya, perawat langsung beri informasi bahwa saya harus dioperasi caesar dan disuruh menyiapkan uang 5 juta rupiah. Kami hanya bisa pasrah dan terus memohon kepada Allah untuk memudahkan jalan bagi kelahiran anak kedua.

Ternyata benar, disaat semua jalan terlihat buntu, saat itulah pertolongan Allah datang. Tepat jam 19.00 tanggal 19 Mei 2001, anak kedua kami lahir dengan berbagai keajaiban. Karena ukurannya kecil (berat lahir 1,6 kg) dokter memutuskan melakukan persalinan normal. Dengan melampirkan Surat Keterangan Gakin dari kelurahan, biaya persalinan hanya sebesar 81 ribu rupiah. Malam itu sempurnalah kebahagian atas kelahiran bayi cantik, putri kedua yang kami beri nama Niswana Salsabila Arrad-Mizan.

Begitulah kedua anak saya mempunyai kondisi lahir yang sama premature. Karena usia mereka cuma selisih 11 bulan, cukup menguras tenaga dan pikiran dalam pengasuhannya. Suatu siang saat bapaknya kerja di kantor, seperti biasa saya asuh kedua anak sambil menyetrika baju. Lala yang waktu itu berusia 8 bulan, tiba-tiba bergelayutan di pundak saya, seperti sedang mencari pegangan untuk berdiri. Orang Jawa menyebut trantanan. Karena sedang sibuk dan merasa gerak terbatas oleh pundak dipegangi seperti itu, dengan kasar sambil mengomel, saya tepis tangan Lala, “Adik, jangan ganggu. Ibu lagi sibuk. Adik jangan pegangan pundak seperti itu. Ayo duduk!”

Serta-merta badan Lala terhempas ke lantai, duduk. Tapi dia tak menangis, malah berusaha berdiri berpegangan pundak lagi. Tentu saya jengkel dan membentak lebih keras. Lala tetap tak mau menyerah meraih badan saya. Tiba-tiba Zidney memegang tangan adiknya, berkata, “Sini dik, pegangan pundak kakak saja. Nanti kakak ajarin main puzzle ya!” sambil matanya tetap memilih-milih kepingan puzzle.

Sontak saya tersentuh, seperti ada serpihan kaca menggores hati. Buru-buru hentikan aktifitas nyetrika baju. Saya tatap kedua buah hati dalam-dalam. Masyaallah, si kakak ini sedang asyik bermain puzzle, tapi sama sekali tak merasa terganggu ulah adiknya. Sementara saya ibunya, dengan tega menghempaskan tubuh kecil itu dengan dalih tak bebas bergerak karena nyetrika baju. Sungguh saya menyesal sekaligus malu. Zidney baru berumur 2 tahun, jauh lebih sabar daripada saya. Tak terasa air mata mengalir tak tertahankan. “Maafkan ibu ya Dik Lala. Maaf.” Saya peluk erat-erat Lala, sambil menyeka air mata. Dalam hati berjanji, esok hari dan seterusnya akan bangun lebih awal, memulai aktifitas rumah pagi-pagi sebelum anak-anak bangun, sehingga siangnya hanya menemani mereka bermain.

Pada umur 3 tahun Zidney, saya daftarkan masuk play group. Berharap cepat mandiri, sehingga saya bisa fokus merawat adiknya sambil mengerjakan kegiatan rumah. Tapi apa yang saya temui ketika hari-hari awal menunggui Zidney di sekolah? Dia tak mau berpisah dengan saya. Begitu saya tak terlihat, dia langsung menangis mencari-cari. Dan ketakutan jika pintu kelasnya ditutup oleh guru. Dari kejadian ini, saya introspeksi. Ternyata pola asuh yang mungkin terlalu disiplin, membuat Zidney tertekan. Dia tak ekpresif serupa teman-temannya, pun terlihat takut berbuat salah. Sedih meyadari ini, setelah itu saya tak lagi terlalu menerapkan disiplin pada anak. Setiap membuat keputusan, selalu melibatkan mereka memilih beberapa opsi. Kemudian, berangsur-angsur berubah ceria lagi, seperti teman-temannya.

Ini terlihat saat Zidney masuk SD. Kata wali kelasnya, dia punya sosialisasi bagus. Hampir semua anak kelas 1 dikenalnya, bahkan sebagian kakak kelas juga. Tapi kebiasaannya selalu banyak gerak, kadang membuat guru-gurunya kewalahan. Saat istirahat pun dalam kelas, senantiasa tak mau diam, berjalan ke sana-sini tak kenal lelah. Juga tak pernah mau disuruh menulis oleh gurunya. Setiap pulang sekolah, saat saya periksa buku tulisnya, lelembarannya kosong tanpa coretan sedikit pun. Sudah diimingi berbagai hadiah supaya mau menulis, tetap tak berhasil. Ini berlangsung beberapa bulan sejak masuk kelas 1. Sampai suatu hari, saya temukan di lembar buku tulisnya tak lagi kosong. Ada sebaris kalimat pendek berbunyi: “aku ingin sholeh.” Seperti anak kecil baru dapat permen, saya senang mendapati tulisan itu. Saya sebut “tulisan ajaib”. Sebuah kalimat pendek dengan huruf yang ditulis besar-besar berantakan, khas tulisan anak SD kelas 1.

Esoknya saya temukan tulisan lain di bukunya. Karena penasaran, saya tanya kepada guru kelasnya. “Bu, dua hari belakangan ini, saya lihat buku Zidney sudah tak kosong lagi. Hadiah apa yang ibu berikan, sehingga anak saya mau menulis? Sungguh saya berterima kasih pada ibu.” Sambil tersenyum sabar, ibu guru yang mengenakan seragam orange menjawab, “Tidak ada yang saya hadiahkan, ibu. Saya cuma bilang sama Zidney, nanti kalau tetap tak mau menulis, saya akan panggil ibu Zidney ke sekolah dan saya marahi.” Saya tertegun atas jawaban itu. “Waktu itu Zidney langsung duduk di bangkunya, mengeluarkan buku tulis dan pensil, lalu menulis satu kalimat yang saya perintah. Sepertinya, dia tidak rela ibunya dimarahi” ibu guru menambahkan.

Ada hawa sejuk tiba-tiba menyapa hati, bagai setetes air di padang pasir. Saya begitu damai mendengarnya, dia melakukan ini untuk saya, demi saya. Ya Allah, terima kasih. Saya berjanji menjadi ibu yang lebih sabar untuk kedua buah hati. Berhenti mengeluh, semoga Allah senantiasa mengalirkan kasih-Nya melalui jari-jari ini, untuk melimpahi anak-anak dengan kasih sayang lebih.

Saya tak menuntut mereka punya prestasi bagus di sekolah, hanya berharap selalu bahagia dengan apapun yang dijalani. Raport pertama Zidney di kelas 1 semester 1 mendapat peringkat 27 dari 27 siswa. Sedikitpun saya dan suami tak kecewa atau memarahi, Alhamdulillah prestasinya meningkat sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun. Beda dengan Lala, dari kelas 1 sampai sekarang, hasil rapotnya mendapat peringkat 10 besar. Tapi tak sekalipun saya dan suami membandingkan keduanya. Karena bagi kami, tak ada anak yang bodoh, masing-masing punya kecerdasannya sendiri-sendiri. Walau Zidney di kelas tidak terlalu pintar, tapi saya amati pandai menggambar. Motorik kasarnya juga bagus; pandai sepak bola, badminton, dan cepat bisa dalam olah raga, pun lekat menghafal arah jalan. Belakangan ini dia tekun berlatih main rubic cube, dan dalam hitungan hari, sudah ahli dengan rekor tercepat menyelesaikan rubik hanya 23 detik.

Tak terasa peristiwa tulisan ajaib itu terjadi 5 tahun lalu. Kini Zidney kelas 6, sudah banyak perubahan yang dialami. Dia sekarang sedang menjalani hari-harinya untuk persiapan UN. Hampir tiap hari pulang selepas maghrib, karena ikuti bimbingan belajar. Pula berlanjut di rumah, dia minta saya menemaninya belajar matematika, hingga larut malam. Saat inilah kesabaran saya sebagai ibu punya dua karir, di rumah dan di kantor sedang diuji. Bersamaan kantor saya persiapan akreditasi, tentu menyita perhatian banyak, pun harus menyediakan ekstra tenaga serta kelapangan hati menemani Zidney persiapkan UN. Tapi melihat semangatnya, tidak tega menolak permintaannya untuk menemani belajar, walau sudah sangat lelah dan mengantuk. Ternyata ujian sabar itu tidak hanya sampai di sini.
***

Hari itu, 2 April 2013, tiba-tiba suami mengirim pesan lewat facebooknya. Dia dan saya sama-sama sedang di kantor, waktu itu kira-kira pukul 10.00 WIB. Pesan singkat yang benar-benar tak terlupakan seumur hidup, “Ibu, bolehkah bapak menikah lagi tahun depan?” Sebenarnya saya tak perlu kaget, karena ini pernah kami bahas beberapa tahun lalu. Dulu hanya kalimat pengandaian, sekarang benar-benar permintaan nyata. Tetap saja, mendadak seperti ada ribuan bom meledak di kepala. Semua terasa gelap. Dengan sisa-sisa tenaga, saya berusaha terus sadar.

“Secepat itu? Apakah bapak yakin sudah mampu? Yakin bisa berlaku adil lahir-batin?” balas saya setelah menarik nafas sangat dalam. Beberapa menit kemudian muncul notifikasi pesan masuk di inbox facebook saya. “Ya. Insyaalloh tahun depan sudah cukup.” Lagi-lagi saya tarik nafas dalam-dalam, berkali-kali mengucap istighfar. Langsung saya sign out facebook, lalu kirim pesan lewat sms. Saya ingin masalah ini dibahas di rumah. Meminta suami pulang saat itu juga, dia pun menyanggupi.

Perjalanan dari tempat kerja suami ke rumah membutuhkan waktu kira-kira 1 jam, selama itu pula saya berusaha tenangkan hati, menenangkan diri. Saya baca banyak referensi poligami, tata caranya; menjalani sesuai tuntunan syari’at. Poligami memang dibenarkan dalam Islam, tapi tetap saja sebagai istri yang mencintai suami, hati ini terluka. Berbagai pikiran buruk muncul; Apakah suami selama ini menyimpan nama perempuan lain di hatinya? Apakah sudah punya calon? Mengapa secepat ini? Tahun depan? Seperti semuanya terkesan dipaksakan? Walau sejak suami lolos test PNS, bukankah secara materi saya masih bekerja untuk nafkahi keluarga? Bagaimana nanti suami mengatur keuangan dengan tambahnya 1 keluarga yang jadi tanggungannya? Bagaimana mengatur waktu untuk saya, anak-anak, dan istri keduanya? Sungguh saya tak mengerti jalan pikirannya kali itu.

Teringat kembali kebersamaan kami hari-hari lalu. Sudah 14 tahun menikah, bertahan dengan kondisi finansial serba kekurangan, lalu berangsur membaik. Teringat dulu dia bersabar menunggui saya sendirian di Rumah Sakit Bersalin ketika melahirkan anak pertama dan kedua, bagaimana dia rela tidur di kolong ranjang, sewaktu-waktu terbangun jika saya butuhkan sesuatu. Bagaimana dia tanpa keberatan sedikit pun membantu mengerjakan pekerjaan rumah, ngepel, mencuci piring, dan sebagianya. Begitu banyak jejak kebaikannya yang tak bisa saya lupa. Pelan-pelan hati saya luluh. Sungguh sedih, tapi ikhlas. Mungkin ini wujud cinta terbesar saya, kepada suami juga anak-anak.

Pukul 12.00 WIB tepat saya sudah sampai di rumah, kemudian suami datang 30 menit setelahnya. Langsung saya utarakan jawaban sebelum hati berubah.“Saya mengijinkan, menikahlah jika itu yang bapak inginkan” dia menatap lekat-lekat, tapi saya berusaha berpaling, menyembunyikan kelopak mata yang sembab habis menangis. “Sungguh ibu mengijinkan? Ikhlas? Kalau tidak diijinkan tidak apa-apa.” “Insyaallah ikhlas demi anak-anak, demi keutuhan jiwanya.” Sungguh ini demi anak-anak. Saya tak ingin membuat mereka terluka andai saya menyerah, memutuskan berpisah darinya. Di tempat mereka sekolah, SDIT Qurrota A’yun, pelajaran fiqih sudah mereka dapatkan sedari kelas 1. Dengan bimbingan dari ustadz dan ustadzah, saya yakin mereka dengan mudah memahami keputusan saya mengijinkan suami berpoligami. Teringat kembali, dulu Zidney rela menuruti gurunya untuk menulis, demi saya. Sekali lagi butir-butir kristal di hati memecah, tetapi kali ini terasa lebih ringan. Ya Allah, saya ikhlas.

Hari-hari berikutnya, jujur saya tak sanggup menatap wajah suami. Tangis saya selalu saja ingin tumpah jika berhadap muka dengannya. Saya lebih banyak diam jika hanya berdua saja di rumah dengannya. Tapi ketika anak-anak sudah pulang sekolah, berkumpul dengan mereka, terasa membaik kembali. Saya percaya, tidak sehelai pun rambut saya bisa jatuh tanpa ijin-Nya. Saya serahkan sepenuhnya masalah ini kepada Allah.

“Saya tidak jadi poligami,” kata suami tiba-tiba, kala saya baru pulang dari kantor, sedangkan dia sepertinya sudah beberapa saat di rumah. “Benarkah? Apakah ini cuma candaan?” “Benar! Saya akan menemanimu seumur hidupmu, tanpa ada wanita lain. Saya juga tak pernah punya calon. Poligami itu hanya sebagai wacana saja, tapi saya sudah memutuskan untuk tidak berpoligami selamanya.” “Apakah bapak akan minta sesuatu dariku, sebagai ganti permintaan poligami?” “Tidak. Hanya saja, kalau ibu mengijinkan dan anak-anak tidak keberatan, saya ingin liburan nanti bisa naik gunung dengan teman-teman.”

Saya memandang mata laki-laki di hadapan saya itu, apakah ada kesungguhan di sana? Ataukah dusta? Saya memilih berpikir positif, bahwa pernyataannya itu benar adanya. Sekali lagi saya beristighfar, tetapi bukan dengan beban kesedihan seperti hari lalu. Sungguh, Allah tak kan menguji seseorang melebihi kemampuannya. Baru 5 hari saya menyiapkan mental, membunuh semua luka untuk memulai mengikhlaskan akan adanya perempuan lain dalam rumah tangga saya tahun depan. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, dan saya bersyukur, karena diberi kesempatan untuk membuktikan komitmen demi keutuhan keluarga ini. Saat kondisi rumah tangga ditempa badai, di sinilah kekuatan perempuan diuji. Sanggupkah kecewa dalam kemarahan, kesedihan, tetap memainkan peran sebaik mungkin sebagai ibu, terus berjuang agar batin anak-anak sehat? Sekali lagi bersyukur, bahwa saya salah satu ibu yang dipilih untuk menjalani peran ini. Dan anak-anak, insipirasi sekaligus kekuatan saya.

Hari itu, sorenya kami sekeluarga menghabiskan senja di teras rumah. Melihat si adik asyik bermain bekel, dan si kakak tak jua melepas konsentrasinya ke kubus rubik yang dimainkan. “Hei lihat, ada pelangi di balik pohon sawo itu!” seru bapaknya menunjuk langit. Sepertinya, gerimis seharian tadi menyisakan pelangi senja. Anak-anak spontan mengikuti telunjuk bapaknya. “Ibu, aku ingin punya baju ungu seperti warna pelangi itu!” kata Lala. “Bajumu kan sudah banyak? Masih saja pengen yang baru lagi. Huuhh!!” kakaknya menimpali.

Saya pandangi kedua buah hati bergantian. Semoga Allah SWT senantiasa mengucurkan kasih sayang seluas samudra untuk ibu sampaikan pada kalian. Kecil atau besar, anak-anak selalu butuh ibunya, untuk jadi matahari dikala langit gelap, dan memberi kehangatan disaat udara di sekitar terasa dingin. Terimakasih anak-anak, tanpamu tak kan tegap langkah ini meniti karir ibu. Saya berencana mengambil cuti 3 hari saat UN Zidney nanti. Karir sebagai ibu, lebih penting daripada akreditasi di kantor saya.

*) Wijaya Hardiati, lahir di Ponorogo, 5 Mei 1976, adalah Wali dari Ananda Zinedine Zidney Arrad-Mizan (siswa kelas 6-Abu Bakar) dan Niswana Salsabila Arrad-Mizan (siswi kelas 5-Abu Bakar). Alamat sekarang di Jl. Sumbawa 2 Ponorogo. Penulis adalah istri dari Mohamad Rotmianto.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/06/anakku-menuntun-langkahku/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati