Arie MP Tamba
Jurnal Nasional, 3 Nov 2013
‘Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia.‘ (Pramudya Ananta Toer, Tempo, 1999)
KETIKA Alice Munro, cerpenis Kanada yang piawai mengolah dan mengurai “jiwa perempuan” sampai ke sela-sela terdalamnya, dan menampilkannya ke permukaan dalam untaian cerita bergaya realis yang memukau menyabet Nobel Sastra 2013, seorang penulis di dunia maya menulis, “Saya suka, tapi saya tetap menjagokan Pramudya Ananta Toer.” Suatu pernyataan yang bagi saya “membangunkan” pertanyaan dan mengingatkan saya pada sebuah tulisan tentang karya Pram, Arus Balik.
Kenapa Nobel Sastra hanya diberikan kepada para sastrawan yang masih hidup? Itulah pertanyaan sekaligus gugatan, karena hal tersebut mengakibatkan banyak sastrawan besar yang karya-karyanya gemilang kehilangan kesempatan mendapatkan penghargaan ‘layak‘ minimal dari komunitasnya. Karena mereka telah pergi lebih dulu, meninggalkan karya-karya besar besar yang masih saja dibaca hingga kini. Sebut saja Mishima dari Jepang, Borges dan Cortazar dari Argentina, dan…Pram dari Indonesia. Sedikit nama besar yang meninggalkan jejak sastra yang masih jadi sumber inspirasi bagi sastrawan kemudian dan pembaca sastra umumnya.
Banyak buku telah mengurai panjang lebar perihal sosok Pram dan perjalanan keseniannya, namun untuk tulisan ini saya mengutip biografi singkat Pram dari buletin sastra online Pawon.
Pram dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung. Ayahnya seorang guru dan ibunya pedagang nasi. Pram meneruskan sekolahnya pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, Pram mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Pram menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia jadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Masa itu, Pram mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.
Pram banyak melakukan kritik terhadap pemerintahan Jawa-sentris, dan pernah mengusulkan agar ibukota Indonesia dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an Pram ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang beredar, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pram merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 – Juli 1969, Juli 1969 – 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 – 12 November 1979 di Pulau Buru, November – 21 Desember 1979 di Magelang .
Pram dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu Pram menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Pram telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa.
Banyak dari tulisan Pram menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambarkan pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors’ Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya Pram aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pram menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku karya-karya Pram. Pameran itu sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pram. Pameran bertajuk “Pram, Buku dan Angkatan Muda” menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 bukunya yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Pram meninggal dunia pada 30 April 2006 (usia 81 tahun).
Kepada seorang kawan sesama blogger, beberapa waktu berselang saya mengakui, bahwa novel Indonesia yang masih membuat saya terkenang-kenang sampai saat ini adalah Arus Balik-nya Pram. Saya memang mengakrabi karya-karya besar Pram lainnya, khususnya tetralogi Bumi Manusia. Tapi saya semakin menyadari, keraksasaan Pram sebagai pengarang paling menonjol adalah di Arus Balik. Untuk mengenangnya, saya pun mencoba menunjukkan penghargaan melalui uraian ini.
Arus Balik secara gemilang memperlihatkan situasi dan proses kehidupan yang kompleks sekitar abad XVI di Nusantara, terutama di sekitar Tuban, Jepara, Demak, sebagai pusat-pusat kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama, dalam persinggungannya dengan ekspansionisme Portugis dan Spanyol ke berbagai pelosok dunia yang ternyata sampai juga ke wilayah Nusantara.
Arus Balik sebagai judul sekaligus tema menggambarkan secara ilustratif, bahwa pada zaman Majapahit, arus ekonomi, politik, dan budaya “bergerak” dari selatan ke utara. Pada zaman Gajah Mada ini (bagian kedua abad ke-14), keagungan dan kekuasaan Majapahit membesar di kawasan yang makin meluas, bahkan sampai melampaui batas negara Indonesia sekarang. Namun, selama abad ke-15, kejayaan itu makin mundur, dan pada awal abad ke-16, ketika cerita Arus Balik dimulai, gerak “arus balik”, yaitu arus kekuasaan, ekonomi, dan budaya termasuk agama, dari utara makin deras.
Pertama, arus agama Islam menggelombang dari ‘atas angin’, menyebar di Nusantara, berangsur-angsur menyingkirkan agama Hindu-Buddha yang selama 1000 tahun berkibar di daerah Jawa-Bali. Kedua, munculnya kekuasaan Eropa yang dilambangkan oleh jatuhnya Kesultanan Malaka dan datangnya Portugis ke Nusantara. Dengan begitu, disimpulkan bahwa keruntuhan keagungan Jawa bukanlah sebuah perkembangan sejarah yang tak terhindari atau nasib yang tak terelakkan. Melainkan, karena Jawa sendiri “memungkinkan” orang utara mengambil alih kepemimpinan di daerah Nusantara. Pemimpin Jawa, tidak lagi punya visi dan wibawa seperti pendahulunya, terutama negarawan unggul semacam Patih Majapahit, Gajah Mada.
Arus Balik melibatkan banyak tokoh cerita dengan jalinan kausalitas kehidupan yang erat, mulai dari Galeng (yang kemudian menjadi Wiranggaleng), Idayu, Pada (yang kemudian menjadi Mohammad Firman), Rama Cluring, Sayid Habibullah Almasawa (syahbandar baru), Ki Aji Benggala (syahbandar lama yang kemudian bergelar Sunan Rajeg), Adipati Unus, Adipati Tuban, Gelar, Jafar, dan banyak lagi, yang merentang plot dan karakter dari lapisan jelata sampai ningrat, dari wilayah “garong” sampai “agamawan”, penduduk desa dan kota, dari suku bangsa Jawa, Sunda, Banten, Melayu, dan bangsa Arab, Cina, Portugis, Spanyol. Berada dalam kerangka waktu penceritaan yang sama, dengan persoalan kehidupan yang berbeda-beda, dan respon yang saling berbeda-beda pula dalam menanggapi situasi yang sama maupun berlainan.
Pada bagian pembukaan Arus Balik menyajikan beberapa peristiwa yang selanjutnya menjadi ciri khas pada setiap halamannya: kesertamertaan (simultan dan paralel). Langit cerah, cahaya bulan menyinari hutan, laut, hewan, manusia; bumi gelisah dan resah; laut Jawa gelisah; kapal peronda pantai meluncur cepat dengan tiga orang penumpang yang gelisah (juru tinjau, nakhoda, dan Patragading, putra keduaratus empat puluh satu raja atau Adipati Tuban); anjing hutan merenungi langit, membaung menyeru rembulan; seorang tua memberi wejangan pada masyarakat Awiskrambil, wilayah perbatasan Tuban, dan di antara masyarakat itu terdapat dua tokoh utama cerita: Galeng dan Idayu.
Arus Balik bercerita tentang masa-masa akhir kerajaan Tuban akibat ancaman Portugis dari laut, ancaman Demak yang sudah menguasai Jepara, wilayah Tuban. Kerajaan Demak, melalui Pati Unus, berusaha menyerang Portugis di Malaka, Adipati Tuban tak mau ikut serta dan membantu dengan ikhlas, bahkan berusaha merangkul Portugis. Untuk tujuan tersebut, Tuban menggantikan syahbandarnya yang lama dengan syahbandar baru pelarian dari Malaka yang dianggap dapat berkomunikasi dengan Portugis atau Spanyol.
Adipati Tuban adalah orang yang berikhtiar memegang status-quo tanpa menyadari bahwa masa lalu sudah lewat untuk selamanya. Adipati Tuban menjadi lambang sikap pemimpin Jawa masa itu: hidup dalam keratonnya, ingin tahu berita-berita baru tentang apa yang terjadi di dunia luar, senang berfilsafat tentang peredaran zaman, tapi tidak berani atau tidak sanggup menarik kesimpulan dari berita yang ia terima atau mengambil tindakan tegas untuk mencegah “arus balik” yang langsung mengancam status-quonya.
Sementara itu, Tuban sedang menyambut kedatangan Idayu, penari kesayangan raja yang berasal dari Awiskrambil dan juga pegulat perkasa yang bernama Galeng yang sekaligus kekasih Idayu.
Pada awalnya, Galeng buta politik; satu-satunya pegangannya ialah wejangan dan ajaran Rama Cluring tentang panggilan yang harus diemban angkatan muda Tuban. Ketika Adipati Tuban memaksanya menetap di kota Tuban, ia merasa sangat berbahagia, apa lagi ia selalu dicemoohkan dan dihinakan para pembesar Tuban, sebagai anak dusun yang bodoh dan picik, hanya mempunyai kekuatan fisik sebagai pegulat. Tapi berangsur-angsur Galeng belajar banyak tentang hubungan politik dan tentang sikap pemimpin Tuban dan lain-lain. Adipati sebenarnya sangat cemburu dan tersinggung sebab tak berhasil mengambil Idayu sebagai selirnya. Si penari yang memukau beragam laki-laki itu tetap setia kepada Galeng. Dan Adipati Tuban juga terpaksa mengakui keberanian dan kepandaian Galeng menghadapi serangan Sunan Rajeg dan mengangkatnya sebagai panglima.
Namun, Wiranggaleng sendiri bukanlah pahlawan ideal yang berhasil mengalahkan semua lawan, mampu mewujudkan angan-angannya, sekalipun memahami prioritas seorang raja Jawa: berani memperjuangkan cita-cita keagungan dan kejayaan Jawa, khususnya Tuban, untuk mana, ia siap mengorbankan segalanya. Wiranggaleng juga harus mengalami penderitaan terpisah dari istri dan anak-anaknya, untuk suatu “perang politik” Adipati Tuban yang menilai orang lain tidak sejajar dengan dirinya. Dan lebih jauh, Galeng nyaris menjadi prototipe protagonis kesayangan Pram: telah melawan, meskipun sia-sia, sebagaimana Minke, Ontosoroh, dan tokoh-tokoh penting lainnya dalam novel-novel maupun cerpen-cerpen Pram.
Dan Wiranggaleng memang telah mengorbankan banyak, termasuk “pasrah” menerima Idayu yang “diperkosa” oleh Sayid Habibullah Musawa menggunakan obat bius, ketika Galeng di medan perang. (Si syahbandar yang pandai berkata-kata dan licik ini, menurut Arus Balik, adalah tokoh pembawa “jagung” pertama ke Pulau Jawa dan Nusantara. Wiranggaleng mengangkat dirinya sendiri sebagai senapati, karena senapati lama ragu menyerang bekas Syahbandar Tuban yang kemudian menghimpun kekuatan di pedalaman. Tuban berhasil menaklukkan pemberontak itu. Seterusnya, kota Tuban menjadi semakin sepi dan Galeng serta Idayu kembali ke desa, memutuskan menjadi rakyat biasa, setelah lelaki itu terlibat dalam pertempuran yang gagal dalam usaha mengatasi ancaman dari laut maupun dari darat.
Masalahnya, Adipati Tuban memang bermaksud lain. Seperti disebutkan, Adipati Tuban memilih menyimpang di perjalanan kerja sama politik dengan Demak dalam menghadapi Portugis. Ia memang mengirimkan pasukannya membantu pasukan Demak ke Malaka, namun ia mengirimnya terlambat. Hingga, karena bantuan yang tidak ikhlas ini, Tuban ikut menentukan kekalahan serangan Pati Unus ke Malaka, yang membuat Pati Unus menjadi cacat, namun masih terus berusaha menyiapkan diri untuk sekali lagi menyerang Portugis di Malaka. Namun, begitu Pati Unus meninggal dunia dan Raden Trenggano menggantikannya sebagai penguasa Demak, kebijakan politik Demak berubah.
Perhatiannya tidak tertuju ke pembangunan armada angkatan laut, melainkan berusaha memperluas kekuasaannya atas tanah dengan angkatan daratnya memerangi raja-raja lainnya. Pembalikan orientasi demikian, kemudian membuat kekuatan laut Demak runtuh, berganti dengan ekspansinya ke lingkungan bangsa sendiri (melingkar ke dalam). Dengan kata lain, terjadi pula “arus balik‘ dalam kebijakan raja Demak yang pada gilirannya membuat kerajaan tak lagi berdaya menghadapi Portugis, dan sibuk berperang melawan kerajaan-kerajaan lain di daratan yang sama.
Begitulah, novel Arus Balik kaya dengan berbagai cerita individu maupun bersama, mampu menggambarkan peperangan secara detail dan perlengkapan perang secara memukau, mengalirkan perdebatan filosofis maupun liku-liku psikologis yang mengasyikkan, memaparkan tata cara pergaulan masyarakat Tuban dengan gamblang, tata cara hubungan antara raja dengan rakyatnya, kaya gambaran mengenai pakaian, adat istiadat, dan berbagai perilaku dalam pergaulan masyarakat Tuban pada waktu cerita digulirkan. Dan di antara rangkaian cerita yang memusat dan terkonsentrasi pada plot yang ketat itu, sering pula terungkap kata-kata bijak, bergerak dari kekayaan variasi permukaan keseharian, yang sesekali masuk ke dalam persoalan esensi kehidupan.
Pada penghujung cerita, dikisahkan bahwa Wiranggaleng memang sempat mengusir Peranggi, namun cerita sesungguhnya habis. “Arus balik‘ tidak dapat dicegah dan Wiranggaleng mengundurkan diri untuk kedua kalinya, menjadi petani kembali. Dalam visi peristiwa politik masa 1511-1530 itu, ditunjukkan ketidakmampuan pemimpin Jawa menanggulangi perubahan akibat zaman baru, karena mereka mendua hati, kurang visi, kurang tabah, terikat pada cita-cita dan norma-norma kolot, atau menjadi hamba keserakahan dan hawa nafsu. Itulah sosok Adipati Tuban, yang hadir kontradiktif dengan sosok Wiranggaleng sebagai wakil rakyat jelata Jawa. Polos, berpegang pada norma dan nilai esensial kemanusiaan, yang sejak dulu menentukan hidup masyarakat Jawa dan tetap dipermaklumkan oleh guru Rama Cluring di desa Awiskrambil.
Dengan Arus Balik ini, Pram menjadikan kekuatan fiksi sebagai “landasan” sebentuk sejarah. Fiksi dan fakta, khususnya yang mengangkat masa lalu, berdamai menawarkan renungan-renungan kemanusiaan. Untuk mencapai ini diperlukan kemauan sekaligus kecintaan studi sejarah yang serius. Sisi yang menonjol dalam kehidupan maupun karya-karya Pram.
Dan Arus Balik juga seperti menegaskan kembali, bahwa jiwa manusia bisa korup, tergerus kekuasaan, harta-benda, dan kesenangan duniawi. Sementara, orang kecil yang tak memiliki banyak hal kecuali kesetiaan dan pengabdian pada kemanusiaan, acap kali memancarkan aspek tak bercela dari moral kemanusiaan. Hal yang menjanjikan harapan, pada tujuh ratusan halaman Arus Balik.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/11/artikulasi-arus-balik-nusantara-pram.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar