Selasa, 21 Oktober 2014

Faruk HT: Sastra Bukan Tempat Sunyi Lagi

Wawancara bersama Faruk H.T.
Sariful Lazi
sarifulpenyair.blogspot.com

Sastra Islami dalam beberapa tahun belakang ini sedang laku keras. Apakah fenomena sastra islami akan mengukuhkan genre yang kuat dalam dunia sastra Indonesia atau sekadar tren?

Dr. Faruk, S.U., kritikus Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai sastra islami sebagai karya populer. Yang disebut sastra populer di Indonesia, kata Faruk, agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama.


Sastra dewasa ini dalam pandangan Faruk, cenderung ke arah kolaboratif. Sastra sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan.

Faruk HT saat ini mengajar di almamaternya Jurusan Sastra Indonesia UGM. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Kepala Pusat Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM. Faruk telah menulis sejumlah buku. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra (1989), Pengantar Sosiologi Sastra (1993), Pertarungan Tak Kunjung Usai (1995), Hilangnya Pesona Dunia (1999), Women Womeni Lupus (2000), dan Beyond Imagination (2001). Muhamad Sulhanudin dan Wiwik Hidayati mewawancarainya pada Juni 2007 di Gadjah Mada Medical Centre (GMC).

Bagaimana pandangan anda mengenai pesan moral dalam karya sastra?
Kalau kita mendengarkan lagu-lahgu Jawa, tembang-tembang moral, itu isinya pesan-pesan moral, dan itu tak ada masalah. Dalam konteks sastra modern agak berisiko kalau banyak pesan moralnya. Orang sekarang lebih suka hiburan daripada banyak ajaran. Bahkan sebenarnya banyak ajaran yang disampaikan dengan menghibur. Ini juga masalah. Masalahnya, apakah sejenis dakwah yang berisi hiburan, atau sejenis sastra yang diisi dakwah. Kalau dia sejenis dakwah yang disampaikan dengan hiburan, ini artinya degradasi. Sebenarnya bukan apakah sastra perlu moral, tapi apakah dakwah perlu mengibur. Itu bukan kemajuan, tapi kemunduran bagi dakwah.

Masalahnya bagi karya sastra?
Itu problematik. Dia bisa dimasukkan dalam kategori sastra pop. Ini tren. Tapi yang paling penting bahwa masyarakat Indonesia mayoritas islam dalam tanda petik. Banyak islamnya. Yang namanya sastra populer di Indonesia otomatis agak mungkin menjadi sastra islami. Islam itu pasar. Ini bagian dari proses besar komoditifikasi agama. Jadi bagaiamana agama itu menjadi komoditas.

Lalu, jika dakwah disampaikan dalam medium sastra?
Sekarang dakwah itu macam-macam. Ada Aa Gym, Bukhori, semuanya itu dakwah. Problemnya itu bukan di sastra, tapi di dakwah.

Dalam fiksi islami yang diusung oleh Forum Lingkar Pena ada pembatasan eksplorasi seks. Apakah dalam sastra memang mengenal pembatasan, misalnya tidak boleh menyampaikan sesuatu yang dianggap tabu?
Dalam sastra tidak mengenal tabu. Kalau dalam FLP ada perdebatan seperti itu, berarti itu tabu dalam islam, bukan dalam sastra. Dalam sastra pengarang bebas saja.

Kalau pengarang bebas, bagaimana dengan tanggungjawab penulis terhadap karyanya?
Penulis tidak ada tanggungjawab. Tanggung jawab penulis adalah berkarya. Kalau dia tidak berkarya, berarti dia tidak bertanggunjawab.

Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya menyebut pengarang turut andil dalam kebrobrokan di masyarakat. Itu akibat karyanya yang banyak mengeksplotasi seks?
Nggak ada hubungannya kebobrokan masyarakat dengan karya seks. Kalau Aa’ Gym gimana? Taufik Ismail menganggap itu bobrok, bagi saya nggak ada maslaah. Tergantung siapa yang memandang. Itu korelatif. Penemuan-penemuan cara ber-sek, penemuan-penemuan untuk merangsang berbirahi, kalau tak ada itu, 90% laki-laki impoten. Keluarga jadi bubrah karena laki-laki tak bisa bergairah, perempuan nggak bergairah. Mereka memerlukan nonton video prono biar bergairah lagi. Daripada keluarga bercerai, lebih baik nonton video porno.

Apakah anda sepakat dengan pelabelan sastra islami? Adakah kajian khusus dalam dunia akademik mengenai sastra islami ini?
Labelling itu untuk jualan. Secara konseptual saya kira itu lebih dekat denga dakwah. Pelabelan itu hanya orang jualan. Islam itu pasar. Dakwah itu jualan. Kalau dalam dunia akademis untuk soal itu, kajiannya lebih bersifat sosiologis, bukan estetik.

Apakah sastra islami itu lantas hanya sekadar tren?
Ya, itu tren sesaat. Di indonesia, itu ciri khas. Semua cepat berubah. Orang gampang bosan. Apalagi sekarang zaman media elektronik, televisi. Cepat sekali orang gampang berubah. Periodisasi sastra di Indonesia paling lama hanya 10 tahun. Itu hanya angin lewat. Itu berulang-ulang. Hal yang sama, seperti orang seminar, temanya diulang-ulang. Yang berubah bentuknya, isinya sama. Tempatnya saja yang berubah, bentuknya sama. Kalau sebelumnya dari TV, pindah ke musik, pindah ke yang lain lagi. Sama saja.

Anda tadi menyebut sastra islami atau sastra dakwah itu sebagai karya populer. Karya populer dalam hal ini seperti apa?
Populer dalam arti menjangkau publik yang lebih luas. Yang tidak populer, itu punya publik sendiri. Publik yang lebih sedikit. Kecil. kalanganya elit.

Bagaimana apresiasi para kritikus sastra terhadap karya populer semacam itu?
Apresiasi itu bentuknya bermacam-macam. Ada apresiasi berupa pujian kritikus. Ada apresiasi dalam bentuk orang membeli buku. Orang membeli itu juga memberi apresiasi. Targetnya beda-beda. Target audiensnya beda, bentuk apresiasnya berbeda.

Apakah mungkin sebuah karya populer akan dipuji oleh kritikus sastra?
Karya populer yang mendapat pujian, bisa juga. Apalagi kalau kritikusnya dibayar. Sekarang bukan pada orangn atau karyanya, tapi pada besar kecil honornya. Sekarang pada umumnya karya yang diterbitkan oleh penerbit besar, akan mendapatkan pujian. Tergantung honornya.

Kritik yang bagus seharusnya yang seperti apa?
Kritik yang merangsang diskusi

Kalau karya populer banyak diapresiasi masyarakat, tapi kenapa kritikus kurang mengapresiasinya?
Kritikus sendiri. Audiens sendiri. Orang bangga dengan dirinya sendiri. Yang penting orang jangan serakah. Sudah laku pengen dibicarakan kritikus. Orang itu punya tempatnya sendiri. Itu sudah satu kelompok sendiri. Pembaca itu kritikus sendiri. Yang membaca sastra itu sesama sastrawan. Kategori pembaca sastra itu sekarang gelap. Kategori pembaca di dalam konteks karya sastra itu lebih tepat mengarah ke sastra populer daripada sastra yang disebut serius. Sastra serius itu persoalannya di seputar kritikus. Ia membangun duniaya sendiri. Dan pembaca dalam lingkaran sastra, kawanya sendiri. Dunia kritikus dan pembaca dalam konteks elitis, ya itu saja. Dalam lingkungan sastrawan sendiri. Kadang mereka berdebat, berkelahi.

Kalau sebuah karya sastra hanya diapresiasi oleh kritikus atau kalangan elit, apakah itu tidak terkesan ekslusif?
Mau ekslusif ya karepe, mau tidak ya karepe, kenapa sih kok repot banget. Biarin saja. Jangan meminta orang yang ekslusif untuk tidak ekslusif. Jangan meminta orang yang tidak ekslusif, untuk ekslusif. Kalau ada yang memprotes ekslusif, buat saja yang tidak ekslusif. Jalannya sendiri. Nggak ada masalah. Orang sekarang sudah harus bisa toleran terhadap perbedaan, pilihan dan sebagainya.

Bagaimana anda melihat kecenderungan sastra belakangan ini?
Sastra itu sekarang kolaboratif. Berkolaborasi dengan musik, pembacaan, pementasan, diskusi launching. Sastra kelihatanya sekarang bukan tempat sunyi lagi. Sastra itu bagian seperti dakwah. Semuanya masuk ke arah hiburan. Arahnya semua ke sana. Yang serius dan yang tak serius arahnya sama. Mencoba menghilangkan skat-skat.

Apakah dengan begitu sastra akan kehilangan esensinya?
Bisa juga. Tapi nggak ada masalah. Mau hilang ya hilang, mau nggak ya silakan.

Menurut anda, apakah karya yang muncul pada periode ini akan bertahan lama?
Nggak ada sastra yang bertahan sampai lama. Lagu-lagu pop bertahan sampai lama. Lagu nostalgia itu, tahun 50an, tahun 60an. Haryati… Karya sastra itu muncul tenggelam. Chairil Anwar kadang orang lupa, kadang inget lagi. Sama saja. Sastra sekarang, sastra dulu, sama saja akan timbul tenggelam. Bentuk, pilihan jalannya sama. Tak ada perubahan yang signifikan.

Ada sastrawan yang mengatakan problem dalam dunia sastra Indonesia sekarang karena kurangnya kritikus?
Nggak usah berharap banyak dari kritikus. Kritik saja sendiri. Sesama sastrawan kan saling mengkritik. Saingannya sastra, ya ekspresi seni yang lain. Misalnya televisi. TV itu audio visual. Lain dengan era cetak, yang jadi raja ya sastra. Lain dengan era audio visual. Di era audio visual yang jadi raja bukan lagi sastra, tapi teater, pertunjukan. Sastra itu wakil dari masyarakat aksara. Sekarang masyarakatnya sudah elektronik.

Dengan begitu apa sastra Indonesia tidak punya masa depan?
Sastra yang mau kuat itu sementara di televisi. Kalau mau banyak, televisi. Kalau mau kuat dalam arti banyak. Kalau kuat tidak dalam arti banyak, sedikit itu sudah kuat. Berdua saja itu banyak.
***

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati