Jafar Fakhrurozi
kawanmalaka.wordpress.com
Membaca tulisan saudara dosen Aprinus Salam (AS) yang berjudul Sastra dan Penafsiran Ideologis di Jawa Post, Minggu (09/11), di mana di mata AS, kajian-kajian sastra kini seakan menjauhkan diri dari kacamata ideologis. Hal itu dianggap kontraproduktif dengan realitas sosial Indonesia yang dilanda berbagai krisis. Dari sana saya membayangkan bahwa para ilmuwan sastra kita masih berpersoalan dalam cara berfikirnya. Apalagi di era kebebasan seperti sekarang, setelah kebebasan berideologi kita direnggut orde baru, kinilah saatnya kaum intelektual merayakan kebebasan berideologi demi terciptanya diskursus konstruktif bagi bangsa.
Kita semua resah dengan kondisi bangsa kita dewasa ini, terlebih dunia intelektualitas kita yang asyik masyuk dengan dunianya sendiri, bahkan diperbudak oleh arus besar kapitalisme. Hemat saya, apa yang disampaikan oleh AS tentang minimya kritik sastra ideologis cukup beralasan. Sayangnya AS kurang menyertakan data-data untuk mendukung pemikirannya. Namun wacana tersebut kiraya menarik untuk diperdebatkan. Sebagai seorang akademisi, AS mungkin menjumpai secara empirik apa yang terjadi di lapangan akademis. Kita tahu, bahwa sedikit jurusan sastra yang sudah memperbaharui materi kurikulumnya. Kurikulum yang dimaksud adalah teori dan kajian sastra mutakhir seperti teori pos-strukturalisme, cultural studies, dan sebagainya.
Kajian sastra selama ini masih berkutat dari wacana positivisme, kaku, dan sempit. Bahkan menghindarkan dari konteks sosial yang semakin genting dan absurd. Ilmu pengetahuan dipelajari hanya untuk kepuasan berfikir serta keuntungan individu semata. Di Indonesia banyak sekali ilmuwan seperti itu. Termasuk di dunia sastra. Banyak ilmuwan sastra kita yang mencari “selamat”. Alih-alih bersikap netral, mereka malah ikut arus dunia yang menyengsarakan bangsa. Apa yang disebut netralitas keilmuan adalah sebuah jalan aman yang menyesatkan. Padahal idealnya sebatas itu ilmiah, sastra sebagai ilmu seharusnya mesti liar dan menjelajah seluruh sendi kehidupan. Bukankah begitu yang dilakukan para penemu peradaban dahulu. Bagaimana Alfa Edison dicap gila sebelum menemukan listrik, Galileo yag dihukum mati lantaran bilang bumi itu berputar mengelilingi matahari. Pramoedya AT dibui karena banyak mengkritik pemerintah dalam karya-karyanya. Keliaran itu yang justru melahirkan peradaban baru yang berguna untuk alam semesta.
Dunia akademis kita seperti alergi terhadap dunia ideologi. Sebagai contoh, pengalaman di jurusan saya. Waktu saya mengajukan usulan penelitian skripsi tentang kajian novel dengan menggunakan pendekatan teori sastra Marxis. Ternyata usulan saya ditolak dengan alasan yang kurang ilmiah, di mana jurusan belum siap untuk melegitmasi kajia-kajian “kiri’ seperti kritik sastra Marxis. Saya heran, kok di jaman yang sudah demokratis masih ada yang ketakutan untuk belajar. Sebuah alasan yang tak masuk akal.
Ternyata di beberapa kampus lain pun masih alergi terhadap kajian sastra kritis. Fakta tersebut kontan membuat saya pesimistis dengan perkembangan sastra di Indonesia. Apalagi pembelajaran kajian sastra kita hanya mengandalkan kampus.
Kondisi lebih parah ditemukan di kampus-kampus pencetak guru dan eks IKIP, di mana dalam kegiatan pembelajaranya, substansi keilmuannya sendiri kurang diperhatikan. Kampus seakan tidak serius membekali mahasiswanya. Kuliah di jurusan bahasa dan sastra indonsia tidak lebih dari sekedar belajar menjadi guru tapa harus dibebani untuk mendialektiskan teori-teori bahasa dan sastra yag sudah ada. Akibatnya guru-guru bahasa dan sastra yang dihasilkan bukanlah guru-guru yang kritis dan berwawasan tinggi tentang bahasa dan sastra, melainkan guru-guru yang hanya akan meneruskan tradisi mengajar textbook dan tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk menggauli dan memfilsafatkan ilmu-ilmu bahasa dan sastra.
Di luar akademis, kondisinya tak jauh beda. Sedikit sekali para kritikus sastra kritis yang tampil di koran atau buku. Hal itu juga disebabkan oleh minimnya karya-karya yang kritis atau ideolois. Setelah era pramoedyaananta toer, kita tidak banyak menjumpai sastrawan ideologis. Dari sekian nama sastrawan serta kritikus mapan seperti Sapardi Djoko Damono (UI), Maman S Mahayana (UI), Faruk HT (UGM), Suminto A Sayuti (UNY), Abdul Wachid BS (Unsoed) serta Rachmat Djoko Pradopo (UGM), adakah yang punya pandangan-pandangan ideologis?
Pascakemenangan kelompok Manikebu, perkembangan sastra kritis mengalami hambatan yang besar. Sastra berideologis seakan barang haram untuk dibaca dan diikuti. Seperti disebutkan oleh Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, bahwa berbagai pengertian mengenai sastra bertujuan seperti di atas, khususnya sastra ideologis dan sastra propagandis, lebih banyak dikaitkan dengan pengertian negatif (2005:379). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sifat negatif itu dikarenakan sastra ideologis lebih banyak meninjau fungsi dan manfaat karya dengan sudut pandang tujuan, sehingga mengorbankan hakikat karya sebagai rekaan,baik sebagai kualitas estetis maupun studi cultural. Lebih ekstrim lagi sastra ideologis dikaitkan degan ideologi marxis.
Pendapat NKR tersebut seolah melakukan pembenaran. Pertanyaannya, apakah salah teori Marxis? Lantas bagaimana dengan teori lainnya yang hari ini digunakan? Apa bedanya?
Selain itu untuk kasus Indonesia, tidaklakunya sastra ideologis lebih disebabkan faktor eksternal sastra, yakni sistem politik Negara yang melarang ajaran komunis-marxis. Selama orde baru ideologi kiri itu dimatikan denga berbagai cara, termasuk di dunia sastra. Sampai hari ini pun aturan tentang larangan itu masih berlaku.
Cap politik masa lampau ternyata berbekas di benak ilmuwan kita. Ideologi Marx terutama telah dianggap gagal dan malah menjadi sumbermalapetaka bagi Indonesia. Padahal tentang ideologi itu sendiri, beberapa pemikir terdahulu telah merumuskan definisi yang jelas. Misalnya, Dani Cavallaro berpendapat bahwa ideologi dapat di definisikan secara netral ataupun kritis. Secara netral, ideologi adalah seperangkat ide tanpa konotasi-konotasi politis yang jelas/terang-terangan. Sedang secara kritis, ideologi diartikan sebagai seperangkat ide melalui mana orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosio-historis yang spesifik, dan melalui mana kemakmuran kelompok-kelompok tertentu dikedepankan. Hemat saya, dua-duanya tidak berisiko. Ketakutan-ketakutan para ilmuwan terhadap politik atau daya pikir dan sikap kritis hanyalah sebuah ketakutan semu yang dan tidak merdeka. Seolah-olah Indonesia adalah manigestasi ideologi Marxis yang gagal selayaknya Soviet. Pada kesimpulannya, mereka melegitimasi paham liberal yang mendukung Imperialisme.
Jauh dari politik praktis, dalam hal ini saya bersepakat dengan Manneke Budiman, yang dalam kata pengantarnya di buku Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern, mengatakan bahwa kajian sastra perlu diposisikan sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya berdimensi tekstual tetapi juga sosial, serta bercita-cita melakukan transformasi melalui diseminasi wawasan atau kesadaran kritis. (2006:xii). Sayangnya, kajian semacam itu hanya dilakukan di kelompok-kelompok praksis seperti di lingkungan aktivis. Padahal peran dan posisi kaum intelektual hari ini sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Berangkat dari persoalan tersebut, penting kiranya wacana ini kembali diperluas dan ditindaklanjuti oleh lembaga akademis dengan memperbaharui kurikulum sastra yang lebih luas dan multidispliner. Termasuk di dalamnya kajian-kajia idologis.
Namun lagi-lagi, hal ini akan memancing kontroversi. Sebab memaksakan ideologi dalam dunia sastra, sama halnya dengan meabuh genderang perang. Tapi dalam kondisi bagsa yang penuh krisis ini, ideologi mutlak diperlukan. Di sini masing-masing ideologi mesti menawarkan jawaban, bukan saling meyerang demi kepentingan kepuasan berfikir, apalagi kepentingan kekuasaan. Mari kita mulai! (2009)
***
kawanmalaka.wordpress.com
Membaca tulisan saudara dosen Aprinus Salam (AS) yang berjudul Sastra dan Penafsiran Ideologis di Jawa Post, Minggu (09/11), di mana di mata AS, kajian-kajian sastra kini seakan menjauhkan diri dari kacamata ideologis. Hal itu dianggap kontraproduktif dengan realitas sosial Indonesia yang dilanda berbagai krisis. Dari sana saya membayangkan bahwa para ilmuwan sastra kita masih berpersoalan dalam cara berfikirnya. Apalagi di era kebebasan seperti sekarang, setelah kebebasan berideologi kita direnggut orde baru, kinilah saatnya kaum intelektual merayakan kebebasan berideologi demi terciptanya diskursus konstruktif bagi bangsa.
Kita semua resah dengan kondisi bangsa kita dewasa ini, terlebih dunia intelektualitas kita yang asyik masyuk dengan dunianya sendiri, bahkan diperbudak oleh arus besar kapitalisme. Hemat saya, apa yang disampaikan oleh AS tentang minimya kritik sastra ideologis cukup beralasan. Sayangnya AS kurang menyertakan data-data untuk mendukung pemikirannya. Namun wacana tersebut kiraya menarik untuk diperdebatkan. Sebagai seorang akademisi, AS mungkin menjumpai secara empirik apa yang terjadi di lapangan akademis. Kita tahu, bahwa sedikit jurusan sastra yang sudah memperbaharui materi kurikulumnya. Kurikulum yang dimaksud adalah teori dan kajian sastra mutakhir seperti teori pos-strukturalisme, cultural studies, dan sebagainya.
Kajian sastra selama ini masih berkutat dari wacana positivisme, kaku, dan sempit. Bahkan menghindarkan dari konteks sosial yang semakin genting dan absurd. Ilmu pengetahuan dipelajari hanya untuk kepuasan berfikir serta keuntungan individu semata. Di Indonesia banyak sekali ilmuwan seperti itu. Termasuk di dunia sastra. Banyak ilmuwan sastra kita yang mencari “selamat”. Alih-alih bersikap netral, mereka malah ikut arus dunia yang menyengsarakan bangsa. Apa yang disebut netralitas keilmuan adalah sebuah jalan aman yang menyesatkan. Padahal idealnya sebatas itu ilmiah, sastra sebagai ilmu seharusnya mesti liar dan menjelajah seluruh sendi kehidupan. Bukankah begitu yang dilakukan para penemu peradaban dahulu. Bagaimana Alfa Edison dicap gila sebelum menemukan listrik, Galileo yag dihukum mati lantaran bilang bumi itu berputar mengelilingi matahari. Pramoedya AT dibui karena banyak mengkritik pemerintah dalam karya-karyanya. Keliaran itu yang justru melahirkan peradaban baru yang berguna untuk alam semesta.
Dunia akademis kita seperti alergi terhadap dunia ideologi. Sebagai contoh, pengalaman di jurusan saya. Waktu saya mengajukan usulan penelitian skripsi tentang kajian novel dengan menggunakan pendekatan teori sastra Marxis. Ternyata usulan saya ditolak dengan alasan yang kurang ilmiah, di mana jurusan belum siap untuk melegitmasi kajia-kajian “kiri’ seperti kritik sastra Marxis. Saya heran, kok di jaman yang sudah demokratis masih ada yang ketakutan untuk belajar. Sebuah alasan yang tak masuk akal.
Ternyata di beberapa kampus lain pun masih alergi terhadap kajian sastra kritis. Fakta tersebut kontan membuat saya pesimistis dengan perkembangan sastra di Indonesia. Apalagi pembelajaran kajian sastra kita hanya mengandalkan kampus.
Kondisi lebih parah ditemukan di kampus-kampus pencetak guru dan eks IKIP, di mana dalam kegiatan pembelajaranya, substansi keilmuannya sendiri kurang diperhatikan. Kampus seakan tidak serius membekali mahasiswanya. Kuliah di jurusan bahasa dan sastra indonsia tidak lebih dari sekedar belajar menjadi guru tapa harus dibebani untuk mendialektiskan teori-teori bahasa dan sastra yag sudah ada. Akibatnya guru-guru bahasa dan sastra yang dihasilkan bukanlah guru-guru yang kritis dan berwawasan tinggi tentang bahasa dan sastra, melainkan guru-guru yang hanya akan meneruskan tradisi mengajar textbook dan tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk menggauli dan memfilsafatkan ilmu-ilmu bahasa dan sastra.
Di luar akademis, kondisinya tak jauh beda. Sedikit sekali para kritikus sastra kritis yang tampil di koran atau buku. Hal itu juga disebabkan oleh minimnya karya-karya yang kritis atau ideolois. Setelah era pramoedyaananta toer, kita tidak banyak menjumpai sastrawan ideologis. Dari sekian nama sastrawan serta kritikus mapan seperti Sapardi Djoko Damono (UI), Maman S Mahayana (UI), Faruk HT (UGM), Suminto A Sayuti (UNY), Abdul Wachid BS (Unsoed) serta Rachmat Djoko Pradopo (UGM), adakah yang punya pandangan-pandangan ideologis?
Pascakemenangan kelompok Manikebu, perkembangan sastra kritis mengalami hambatan yang besar. Sastra berideologis seakan barang haram untuk dibaca dan diikuti. Seperti disebutkan oleh Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, bahwa berbagai pengertian mengenai sastra bertujuan seperti di atas, khususnya sastra ideologis dan sastra propagandis, lebih banyak dikaitkan dengan pengertian negatif (2005:379). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sifat negatif itu dikarenakan sastra ideologis lebih banyak meninjau fungsi dan manfaat karya dengan sudut pandang tujuan, sehingga mengorbankan hakikat karya sebagai rekaan,baik sebagai kualitas estetis maupun studi cultural. Lebih ekstrim lagi sastra ideologis dikaitkan degan ideologi marxis.
Pendapat NKR tersebut seolah melakukan pembenaran. Pertanyaannya, apakah salah teori Marxis? Lantas bagaimana dengan teori lainnya yang hari ini digunakan? Apa bedanya?
Selain itu untuk kasus Indonesia, tidaklakunya sastra ideologis lebih disebabkan faktor eksternal sastra, yakni sistem politik Negara yang melarang ajaran komunis-marxis. Selama orde baru ideologi kiri itu dimatikan denga berbagai cara, termasuk di dunia sastra. Sampai hari ini pun aturan tentang larangan itu masih berlaku.
Cap politik masa lampau ternyata berbekas di benak ilmuwan kita. Ideologi Marx terutama telah dianggap gagal dan malah menjadi sumbermalapetaka bagi Indonesia. Padahal tentang ideologi itu sendiri, beberapa pemikir terdahulu telah merumuskan definisi yang jelas. Misalnya, Dani Cavallaro berpendapat bahwa ideologi dapat di definisikan secara netral ataupun kritis. Secara netral, ideologi adalah seperangkat ide tanpa konotasi-konotasi politis yang jelas/terang-terangan. Sedang secara kritis, ideologi diartikan sebagai seperangkat ide melalui mana orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosio-historis yang spesifik, dan melalui mana kemakmuran kelompok-kelompok tertentu dikedepankan. Hemat saya, dua-duanya tidak berisiko. Ketakutan-ketakutan para ilmuwan terhadap politik atau daya pikir dan sikap kritis hanyalah sebuah ketakutan semu yang dan tidak merdeka. Seolah-olah Indonesia adalah manigestasi ideologi Marxis yang gagal selayaknya Soviet. Pada kesimpulannya, mereka melegitimasi paham liberal yang mendukung Imperialisme.
Jauh dari politik praktis, dalam hal ini saya bersepakat dengan Manneke Budiman, yang dalam kata pengantarnya di buku Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern, mengatakan bahwa kajian sastra perlu diposisikan sebagai bagian dari praksis, yang tak hanya berdimensi tekstual tetapi juga sosial, serta bercita-cita melakukan transformasi melalui diseminasi wawasan atau kesadaran kritis. (2006:xii). Sayangnya, kajian semacam itu hanya dilakukan di kelompok-kelompok praksis seperti di lingkungan aktivis. Padahal peran dan posisi kaum intelektual hari ini sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Berangkat dari persoalan tersebut, penting kiranya wacana ini kembali diperluas dan ditindaklanjuti oleh lembaga akademis dengan memperbaharui kurikulum sastra yang lebih luas dan multidispliner. Termasuk di dalamnya kajian-kajia idologis.
Namun lagi-lagi, hal ini akan memancing kontroversi. Sebab memaksakan ideologi dalam dunia sastra, sama halnya dengan meabuh genderang perang. Tapi dalam kondisi bagsa yang penuh krisis ini, ideologi mutlak diperlukan. Di sini masing-masing ideologi mesti menawarkan jawaban, bukan saling meyerang demi kepentingan kepuasan berfikir, apalagi kepentingan kekuasaan. Mari kita mulai! (2009)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar