Edeng
Syamsul Ma’arif *
Kompas,
27 Des 2008
Sastra,
sepanjang sejarah sastra di Cirebon, tidak dilahirkan dari dunia kampus.
Fakultas sastra, meski sebenarnya hanya ada satu kampus berisi fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan dengan jurusan pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia serta pendidikan bahasa dan sastra Inggris, menjadi pangkal
persoalan. Fakultas ini tidak mampu melahirkan mahasiswa yang memiliki gagasan
cemerlang dan serius untuk mengurusi persoalan kebudayaan di tingkat lokal
sekalipun.
Tanpa
bermaksud melakukan simplifikasi terhadap persoalan yang mendera sastra kampus
di Cirebon, ada beberapa soal yang dapat dikemukakan sebagai identifikasi dan
menjadi perbincangan bersama.
Pertama, dunia sastra oleh
mahasiswa, pengajar sastra, dan peminat sastra dalam kampus belum dipahami dan
diyakini sebagai kebutuhan penting masing-masing pribadi. Tidak ada kesadaran
bahwa sastra adalah aktivitas individual yang harus diimplementasikan di
hadapan publik. Sastra masih dipahami sebatas teori dan tidak berupaya membuka
ruang gerak sosialisasi lebih lebar. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya
kelompok dan pertemuan sastra secara simultan yang tumbuh dari kampus.
Aktivitas
sastra baru ditunjukkan oleh momen kepanitiaan tertentu, semacam lomba baca
puisi, cerita pendek, monolog, atau sarasehan sastra. Adapun aktivitas yang
lebih intensif, seperti diskusi berkala untuk menggagas, memperbincangkan karya
tertentu, atau melahirkan ide-ide, tidak pernah terjadi. Karena itu, upaya
sosialisasi sastra dipahami sebatas perayaan yang bersifat seremonial dan tidak
menyentuh persoalan paling mendasar, yaitu penguatan individu dan pembelajaran
terhadap publik.
Sastra,
seperti dikatakan Budi Darma, telanjur dianggap sepotong dunia yang tidak
berintegrasi dengan realitas. Sastra adalah sastra, teori sastra adalah teori
sastra, sejarah sastra adalah sejarah sastra, dan sastra perbandingan adalah
sastra perbandingan. Kita sering lupa bahwa dari segi apa pun kita melihatnya,
tidak lain sastra adalah abstraksi kehidupan (Harmonium, 1995:146).
Melahirkan
karya sastra adalah kreativitas mentransformasikan kehidupan. Maka,
profesionalisme kepengarangan bersifat terbuka. Prasyarat untuk menjadi
pengarang adalah kemampuan untuk menghayati realitas. Dengan demikian, siapa
pun, tanpa terikat pangkat, jabatan, dan pendidikan, dapat menjadi pengarang,
penyair, dan dramawan. Bohemian Chairil Anwar, dokter hewan Taufik Ismail, dan
doktor sastra Sapardi Djoko Damono dapat menjadi penyair. Arsitek merangkap
pastor YB Mangunwijaya dan sarjana hukum Putu Wijaya juga sama-sama dapat
menjadi pengarang. Dramawan juga demikian. Peran media massa
Kedua,
kapabilitas pengajar sastra di kampus di Cirebon sangat pantas dipertanyakan.
Seberapa jauh kemampuan dosen menguasai teori sastra? Bagaimana konstruksi
pikirnya tentang sastra? Empiriknya? Apakah mereka hanya menyampaikan setumpuk
teori untuk dibaca dan dicerna para mahasiswa? Setelah itu, mereka merasa tugasnya
selesai ketika keluar dari ruang mengajar tanpa memiliki beban melahirkan
ide-ide untuk mengaplikasikan teori itu?
Apakah setumpuk teori tersebut menjadi materi yang tepat dan
benar-benar dibutuhkan mahasiswa dan realitas sosialnya? Jika demikian adanya,
bukankah teori-teori tersebut dapat dengan mudah digantikan oleh kaset berisi
monolog tentang teori sastra untuk diperdengarkan di depan kelas?
Sastra
tidak cukup diajarkan, lebih-lebih dengan memutar kaset berisi setumpuk teori
di ruang kelas. Ia juga harus dilakukan dan digerakkan, baik secara pribadi,
kelompok, maupun melibatkan masyarakat luas. Jika pengajar sastra berpikir
bahwa dirinya hanya bertugas menyampaikan teori, sebenarnya ia sedang melakukan
pembunuhan karakter terhadap sastra.
Ketiga,
media massa di Cirebon sesungguhnya cukup akomodatif terhadap aktivitas sastra.
Hal itu dibuktikan dengan disediakannya lembar khusus untuk tema kebudayaan
(puisi, cerpen, dan esai). Namun, tidak dapat dimungkiri, ruang yang disediakan
sampai hari ini belum digarap serius oleh pengelolanya. Ditambah, lembaga media
massa itu tidak memberikan penghargaan yang cukup layak bagi para penulis. Apa
yang hendak kita bayangkan jika sebuah tulisan yang dimuat di media massa
Cirebon, baik esai, puisi, maupun cerpen, paling tinggi dihargai Rp 50.000?
Tanpa
bermaksud mengedepankan kalkulasi untung rugi, besaran penghargaan tersebut
sangat memprihatinkan, bahkan tidak masuk akal. Dengan kata lain, media massa
di Cirebon tidak dapat menghargai intelektualitas secara proporsional. Padahal,
jika melihat kemajuan manajemen yang begitu pesat, sesungguhnya media massa di
Cirebon sangat mampu memberikan penghargaan yang layak. Akibatnya,
tulisan-tulisan yang dimuat pun -mungkin karena rendahnya penghargaan atau
kapabilitas penulisnya yang tidak berkelas- tidak menunjukkan kualitas baik.
Koleksi buku sastra
Hal
lain yang cukup mengerikan, kampus-kampus di Cirebon hampir tidak memiliki
koleksi buku sebagai pembanding perpustakaan internal untuk memperkaya khazanah
keilmuan, terutama koleksi buku-buku sastra. Padahal, kemungkinan untuk
menjalin kerja sama dengan penerbit sangat terbuka. Persentase kelulusan pada
akhirnya tidak berbanding lurus dengan bobot keilmuan yang didapat.
Keempat,
harus ada kesadaran masyarakat kampus yang ditumbuhkan secara tegas untuk
membuka ruang lain sebagai bentuk akomodasi sastra secara serius.
Kantong-kantong kebudayaan dalam berbagai bentuk, semacam klub diskusi dan
komunitas sastra, menjadi kebutuhan mendesak untuk ditumbuhkan. Meski hampir
setiap kampus di Cirebon memiliki komunitas seni, seperti teater, tari, ataupun
musik, mereka tidak tergerak untuk mengarahkan niatnya menggeluti sastra.
Sastra
masih menjadi sesuatu yang eksklusif, bahkan dijauhi oleh masyarakatnya
sendiri. Komunitas teater di Cirebon, misalnya, tidak pernah membuka ruang
secara sungguh-sungguh bagi sastra untuk berkembang. Ini dibuktikan dengan
tidak adanya divisi sastra di setiap kelompok teater di Cirebon. Tak seorang
penulis pun, ternyata, dilahirkan dari komunitas-komunitas itu. Aktivitas
sastra yang berlangsung saat ini masih bersifat sempalan individu yang merasa
gagasannya tentang sastra tidak diakomodasi kelompoknya. Atau, lebih parah,
para penggagas atau pendiri kelompok itu tidak pernah mengagendakan sastra
sebagai bagian dari aktivitas mereka.
Pada
akhirnya semua itu harus dikembalikan pada motivasi masyarakat kampus yang
bersangkutan. Apakah mereka dapat mengambil contoh aktivitas sastra yang
berlangsung pada masyarakat kampus lain di luar Cirebon atau hendak memimpikan
sastra tumbuh dan berkembang oleh desakan mukjizat dari langit?
*) Cerpenis, Anggota Peneliti pada Center for Empowering Society and Cultural Studies Cirebon.
https://komunitassastra.wordpress.com/2010/03/04/gerakan-sastra-kampus-di-cirebon/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar