Anwar Noeris
Harian Analisa, 30 Mei 2015
Perbincangan mengenai sastra koran, barangkali sudah tidak asing lagi disimak. Seakan-akan sastra koran hal yang wajib untuk diperbincangkan setiap minggu. Bahkan setiap harinya oleh penikmat sastra Indonesia, dengan upaya menanyakan karya siapa yang di muat dan tak di muat di Koran Minggu.
Istilah sastra koran sebenarnya merupakan karya sastra seperti cerpen, puisi, esai yang di muat di Koran Minggu. Walaupun ada koran yang terbit mingguan seperti koran Minggu Pagi dan Koran Madura tetap terkelompok perbincangannya pada Koran Minggu.
Budaya sastra koran di Indonesia memang suatu yang aneh bagi Katrin Bandel (selanjutnya ditulis Katrin). Hanya di Indonesia ada koran memuat karya sastra puisi, cerpen dan esai. Tentu beda dengan di Jerman; tanah kelahiran Katrin. Di Jerman tidak ada koran memuat karya sastra puisi, cerpen dan esai. Adanya hanya koran memuat tulisan artikel yang membahas karya sastra seperti kritik atas pementasan teater, tokoh sastra dan resensi-resensi buku-buku sastra.
Tak heran jika katrin dalam bukunya Sastra, Perempuan, Seks secara tidak langsung mengkritik hadis sastra koran Indonesia. Baginya sastra koran di Indonesia sulit untuk memastikan siapa/tertuju pada siapa karya tulis tersebut? Orientasi yang tak jelas bagi koran sastra itu yang menjadi titik kekaburan Katrin memahami koran sastra Indonesia. Tak heran jika kemudian, Katrin melayangkan argumen yang cukup menyentil. Penulis sastra koran Indonesia hanya “pemer pengetahuan”.
Memang sebagai masyarakat Indonesia, tiap minggunya membaca koran minggu yang ada tulisan/rubrik bagi karya sastra. Saya sedikit dan tidak sepenuhnya mengamini keresahan Katrin atas budaya koran minggu di Indonesia. Sedikit mengamini keresahan Katrin karena benar, halaman koran sastra Indonesia menyeleweng dari peran koran umumnya. Koran sastra, biasa menjadi media informasi berbagai bidang untuk masyakat luas, di Indonesia malah hanya menjadi media komunikasi sesama orang sastranya.
Artinya Koran Minggu yang memuat karya sastra hanya untuk orang sastra dan karya sastra hanya dinikmati oleh orang yang suka sastra dan seperti itu seterusnya yang akan terjadi pada koran minggu dan nasib kesusastraan Indonesia umumnya.
Nasib kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan yang berputar dengan sendirinya (Geonawan Muhammad). Sepertinya karya sastra hanya untuk orang sastra dan diskusi-diskusi sastra hanya tetap akan dihadiri orang sastra, serta pembacaan puisi akan didengar hanya oleh orang-orang sastra. Polemik ini saya tegaskan bukan dilatari oleh koran minggu atau media yang memuat karya sastra. Persoalan ini murni berangkat dari sastrawan atau mereka yang menulis karya sastra, hanya melulu persoalan cinta dan kehidupan pribadinya.
Tidak sedikit kita temukan di koran minggu tulisan sastra: cerpen dan puisi yang hanya berputar di sekeliling penulisnya, semacam catatan harian, curhat dan surat cinta untuk kekasih. Untuk siapa tulisan itu? Siapa yang rela meluangkan waktunya untuk membaca karya tulis tersebut? Seperti masyarakat luas tidak ada pekerjaan untuk disuguhi cerita-cerita alay dan curhat semata, pada akhirnya bosan membacanya. Nampak cederanya karya sastra koran ada di situ. Sepenuhnya bukan karena adanya rubrik sastra di koran minggu.
Redaktur Koran
Keseriusan karya sastra dapat ditandai oleh seorang redaktur koran dan dalam kontek ini saya mengamini sepenuhnya keresahan Katrin mengenai sastra koran tersebut. Sebagaimana judul esai Abdul Wachid B.S ‘Hidup-Matinya Sastra Indonesia di Tangan Redaktur’. Tulisan esai yang cukup miris menggambarkan nasib penulis sastra dan sastra Indonesia umumnya.
Hal ini sebenarnya kita harus bahas. Bukan koran minggunya, tapi redaktur yang berada di balik layar koran minggu. Apakah mereka (Redaktur) memang serius menggawangi kesusastraan Indonesia lewat koran minggu? Atau mereka hanya keterpaksaan menjadi redaktur untuk sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang?
Sepanjang dekade 2000 sampai sekarang, tulisan-tulisan protes seperti karya sastra puisinya Rendra dan Wiji Thukul sudah tidak lumrah lagi di tulis bahkan di publikasikan. Karya sastra semacam itu sudah bukan jamannya lagi bagi penulis sastra mutakhir (penulis sastra mutakhir terkelompok 2000 sampai sekarang. Biar lebih spesifik pembahasannya) karena zaman sudah berubah karya sastrapun ikut berubah. Apakah mesti seperti itu?
Toh, kalau pengaruh karya sastra dilatari perubahan zaman dan sosial, sekarang ini zaman - Orde Lama dan Orde Baru masih melekat di keningg para pemerintah. Feodalisme dan ketertindasan masyarakat kecil masih terhirup baunya. Sangat tidak wajar dan sinkron sekali, kiranya kalau karya sastra Indonesia di latari sepenuhnya oleh perubahan zaman, melihat fenomena karya sastra mutakhir kita kini.
Tentu dari fenomena di atas, kita akan sepakat meluruskan polemik ini. Dalam keseriusan redaktur koran menentukan hidup-matinya karya sastra Indonesia, mutu dan kualitasnya. Hingga tidak terjadi perdebatan panjag mengenai nasib koran minggu yang harus ditiadakan, karena tak memiliki andil apa-apa terhadap perubahan sosial.
Selera redaktur yang menjadi karakter penerbitan koran minggu, semestinya hati-hati dalam mengkondisikan sastra Indonesia yang hampir kacau ini. Sebab tidak dipungkiri sastra koran sudah menjadi kiblat kesusastraan mutakhir, dan perkembangan sastra Indonesia luasnya.
Apalagi masalah per-buku-an sastra, menurut Katrin lebih serius dari koran minggu. Di Indonesia buku sastra sama sekali kosong nilai. Tak ada keseriusan yang lebih dari koran minggu. Coba kita perhatikan karya sastra yang berbentuk buku di Indonesia? Tak lain dan tak bukan buku-buku sastra, hanya imajinasi kosong penulisnya yang berharap popularitas. Ingin terkenal atau buku sastra, malah menjadi buku bisnis: buku yang diterbitkan sendiri demi mendorong penghasilan hidup sang penulis.
Banyak penerbit di Indonesia orientasinya terhadap karya sastra, dan itu tidak rumit menemukan keberadaannya. Di desa bahkan di plosok-plosok penerbit sekarang ada. Jadi jika Katrin membandingkan koran minggu dan buku-buku sastra yang lebih serius terbitnya, barangkali Katrin belum sepenuhnya turun ke tanah Indonesia menyaksikan dinamika per-buku-an sastra yang sangat pesat, namun tanpa kualitas.
Penerbit-penerbit Indonesia bekerjasama dengan grup (media sosial) atau penerbit yang mewadahi untuk perayaan momen-momen dalam karya tulis sastra itu memang sangat besar kontibusinya bagi perkembangan per-buku-an Indonesia mutakhir. Masih terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan untuk mutu dan keseriusan buku sastra tersebut.
Untuk Kartrin, jika mutu/kualitas dan keseriusan karya sastra masih dipertanyakan untuk siapa? Saya kira tidak ada bedanya karya sastra koran dan buku sastra di Indonesia.
***
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/perbincangan-sastra-koran-dan-katrin/138170/2015/05/31
Harian Analisa, 30 Mei 2015
Perbincangan mengenai sastra koran, barangkali sudah tidak asing lagi disimak. Seakan-akan sastra koran hal yang wajib untuk diperbincangkan setiap minggu. Bahkan setiap harinya oleh penikmat sastra Indonesia, dengan upaya menanyakan karya siapa yang di muat dan tak di muat di Koran Minggu.
Istilah sastra koran sebenarnya merupakan karya sastra seperti cerpen, puisi, esai yang di muat di Koran Minggu. Walaupun ada koran yang terbit mingguan seperti koran Minggu Pagi dan Koran Madura tetap terkelompok perbincangannya pada Koran Minggu.
Budaya sastra koran di Indonesia memang suatu yang aneh bagi Katrin Bandel (selanjutnya ditulis Katrin). Hanya di Indonesia ada koran memuat karya sastra puisi, cerpen dan esai. Tentu beda dengan di Jerman; tanah kelahiran Katrin. Di Jerman tidak ada koran memuat karya sastra puisi, cerpen dan esai. Adanya hanya koran memuat tulisan artikel yang membahas karya sastra seperti kritik atas pementasan teater, tokoh sastra dan resensi-resensi buku-buku sastra.
Tak heran jika katrin dalam bukunya Sastra, Perempuan, Seks secara tidak langsung mengkritik hadis sastra koran Indonesia. Baginya sastra koran di Indonesia sulit untuk memastikan siapa/tertuju pada siapa karya tulis tersebut? Orientasi yang tak jelas bagi koran sastra itu yang menjadi titik kekaburan Katrin memahami koran sastra Indonesia. Tak heran jika kemudian, Katrin melayangkan argumen yang cukup menyentil. Penulis sastra koran Indonesia hanya “pemer pengetahuan”.
Memang sebagai masyarakat Indonesia, tiap minggunya membaca koran minggu yang ada tulisan/rubrik bagi karya sastra. Saya sedikit dan tidak sepenuhnya mengamini keresahan Katrin atas budaya koran minggu di Indonesia. Sedikit mengamini keresahan Katrin karena benar, halaman koran sastra Indonesia menyeleweng dari peran koran umumnya. Koran sastra, biasa menjadi media informasi berbagai bidang untuk masyakat luas, di Indonesia malah hanya menjadi media komunikasi sesama orang sastranya.
Artinya Koran Minggu yang memuat karya sastra hanya untuk orang sastra dan karya sastra hanya dinikmati oleh orang yang suka sastra dan seperti itu seterusnya yang akan terjadi pada koran minggu dan nasib kesusastraan Indonesia umumnya.
Nasib kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan yang berputar dengan sendirinya (Geonawan Muhammad). Sepertinya karya sastra hanya untuk orang sastra dan diskusi-diskusi sastra hanya tetap akan dihadiri orang sastra, serta pembacaan puisi akan didengar hanya oleh orang-orang sastra. Polemik ini saya tegaskan bukan dilatari oleh koran minggu atau media yang memuat karya sastra. Persoalan ini murni berangkat dari sastrawan atau mereka yang menulis karya sastra, hanya melulu persoalan cinta dan kehidupan pribadinya.
Tidak sedikit kita temukan di koran minggu tulisan sastra: cerpen dan puisi yang hanya berputar di sekeliling penulisnya, semacam catatan harian, curhat dan surat cinta untuk kekasih. Untuk siapa tulisan itu? Siapa yang rela meluangkan waktunya untuk membaca karya tulis tersebut? Seperti masyarakat luas tidak ada pekerjaan untuk disuguhi cerita-cerita alay dan curhat semata, pada akhirnya bosan membacanya. Nampak cederanya karya sastra koran ada di situ. Sepenuhnya bukan karena adanya rubrik sastra di koran minggu.
Redaktur Koran
Keseriusan karya sastra dapat ditandai oleh seorang redaktur koran dan dalam kontek ini saya mengamini sepenuhnya keresahan Katrin mengenai sastra koran tersebut. Sebagaimana judul esai Abdul Wachid B.S ‘Hidup-Matinya Sastra Indonesia di Tangan Redaktur’. Tulisan esai yang cukup miris menggambarkan nasib penulis sastra dan sastra Indonesia umumnya.
Hal ini sebenarnya kita harus bahas. Bukan koran minggunya, tapi redaktur yang berada di balik layar koran minggu. Apakah mereka (Redaktur) memang serius menggawangi kesusastraan Indonesia lewat koran minggu? Atau mereka hanya keterpaksaan menjadi redaktur untuk sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang?
Sepanjang dekade 2000 sampai sekarang, tulisan-tulisan protes seperti karya sastra puisinya Rendra dan Wiji Thukul sudah tidak lumrah lagi di tulis bahkan di publikasikan. Karya sastra semacam itu sudah bukan jamannya lagi bagi penulis sastra mutakhir (penulis sastra mutakhir terkelompok 2000 sampai sekarang. Biar lebih spesifik pembahasannya) karena zaman sudah berubah karya sastrapun ikut berubah. Apakah mesti seperti itu?
Toh, kalau pengaruh karya sastra dilatari perubahan zaman dan sosial, sekarang ini zaman - Orde Lama dan Orde Baru masih melekat di keningg para pemerintah. Feodalisme dan ketertindasan masyarakat kecil masih terhirup baunya. Sangat tidak wajar dan sinkron sekali, kiranya kalau karya sastra Indonesia di latari sepenuhnya oleh perubahan zaman, melihat fenomena karya sastra mutakhir kita kini.
Tentu dari fenomena di atas, kita akan sepakat meluruskan polemik ini. Dalam keseriusan redaktur koran menentukan hidup-matinya karya sastra Indonesia, mutu dan kualitasnya. Hingga tidak terjadi perdebatan panjag mengenai nasib koran minggu yang harus ditiadakan, karena tak memiliki andil apa-apa terhadap perubahan sosial.
Selera redaktur yang menjadi karakter penerbitan koran minggu, semestinya hati-hati dalam mengkondisikan sastra Indonesia yang hampir kacau ini. Sebab tidak dipungkiri sastra koran sudah menjadi kiblat kesusastraan mutakhir, dan perkembangan sastra Indonesia luasnya.
Apalagi masalah per-buku-an sastra, menurut Katrin lebih serius dari koran minggu. Di Indonesia buku sastra sama sekali kosong nilai. Tak ada keseriusan yang lebih dari koran minggu. Coba kita perhatikan karya sastra yang berbentuk buku di Indonesia? Tak lain dan tak bukan buku-buku sastra, hanya imajinasi kosong penulisnya yang berharap popularitas. Ingin terkenal atau buku sastra, malah menjadi buku bisnis: buku yang diterbitkan sendiri demi mendorong penghasilan hidup sang penulis.
Banyak penerbit di Indonesia orientasinya terhadap karya sastra, dan itu tidak rumit menemukan keberadaannya. Di desa bahkan di plosok-plosok penerbit sekarang ada. Jadi jika Katrin membandingkan koran minggu dan buku-buku sastra yang lebih serius terbitnya, barangkali Katrin belum sepenuhnya turun ke tanah Indonesia menyaksikan dinamika per-buku-an sastra yang sangat pesat, namun tanpa kualitas.
Penerbit-penerbit Indonesia bekerjasama dengan grup (media sosial) atau penerbit yang mewadahi untuk perayaan momen-momen dalam karya tulis sastra itu memang sangat besar kontibusinya bagi perkembangan per-buku-an Indonesia mutakhir. Masih terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan untuk mutu dan keseriusan buku sastra tersebut.
Untuk Kartrin, jika mutu/kualitas dan keseriusan karya sastra masih dipertanyakan untuk siapa? Saya kira tidak ada bedanya karya sastra koran dan buku sastra di Indonesia.
***
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/perbincangan-sastra-koran-dan-katrin/138170/2015/05/31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar