Sartika Sari *
Harian Analisa, 6 Agustus 2017
HILIR mudik perbincangan tentang kesusastraan Sumatera Utara, senantiasa diwarnai kenangan kejayaan tahun 1920-an. Kemudian tahun 1945 melalui sepak terjang Chairil Anwar. Setelah itu, apa yang hendak dikenang-kenang lagi?
Setidaknya hal tersebut pula yang menjadi bagian penting dalam dialog sastra di Balai Bahasa Sumatera Utara. Tema yang diusung adalah “Peran Sastrawan Sumatera Utara dalam Perkembangan Sastra Indonesia”.
Pembicaraan mengenai sastrawan dan kesusastraan Indonesia berkembang dalam beberapa arah. Kendati demikian, bak nyiur dihempas angin pantai, dialog itu sepintas menghanyutkan. Keakraban dan canda tawa dalam tiap obrolan antarsastrawan yang diundang hanya menyiratkan kehangatan dan ketenangan. Nyatanya, semakin diresapi, “terik” juga tidak bisa dianggap remeh. Terik itu berpotensi menjadi api dalam sekam.
Pasalnya, pasca Chairil, tidak banyak nama besar sastrawan Sumatera Utara yang dinilai berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia. Salah satu nama yang kerap tercantum dalam berbagai pembahasan oleh kritikus atau pengamat sastra adalah Bokor Hutasuhut. Dengan kondisi yang demikian, apakah sastrawan Sumatera Utara masih dianggap berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia?
Pertanyaan tersebut divokalisasi menjadi pertanyaan publik (untuk menyebut sastrawan secara keseluruhan) atau pertanyaan individual. Pertanyaan lanjutan yang berkorelasi erat; apa yang sudah dilakukan oleh sastrawan untuk kemajuan sastra di Sumatera Utara? Agar kehadirannya diakui kembali oleh pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya? Bagaimana peran sastrawan Sumatera Utara dalam perkembangan sastra Indonesia?
Pada pertanyaan pertama, Indonesia yang dimaksud adalah pembagian wilayah yang seolah-olah berada di luar Sumatera. Indonesia yang dituju adalah wilayah keseluruhan yang dalam sebagian besar diskusi sastra seringkali ditunggangi oleh pulau Jawa.
Pada perspektif ini, Dr. Rosliani, S.S., M.Hum., memaparkan kiprah sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara dalam kesusastraan Indonesia. Sejumlah nama yang disebut misalnya Merari Siregar dan Bokor Hutasuhut. Sumbangsih yang diberikan oleh kedua sastrawan Sumatera Utara tersebut ditinjau dari bagaimana keterlibatan keduanya dalam perkembangan sastra Indonesia. Terutama yang dibuktikan dengan pengakuan dari ahli sastra yang berasal dari pulau lain.
Pada pertanyaan kedua, Indonesia yang dituju adalah identitas kesusastraan. Yakni yang menggunakan bahasa Indonesia atau memiliki pertalian dengan keindonesiaan. Sastra Indonesia sebagai sebuah entitas melalui tiap genrenya, menurut Dr. Rosliani, S.S., M.Hum., sudah dikatakan berkontribusi jika bermuatan positif bagi pembacanya. Karya sastra adalah representasi dari kehidupan sosial pada suatu masyarakat. Dengan demikian, sastra yang mengusung nilai-nilai sosial tentu dapat berpengaruh pada keberlangsungan sistem norma dalam masyarakat.
Atas pemikiran tersebut, sastrawan berperan dengan cara masing-masing untuk mempertahankan kesusastraan Indonesia melalui karya-karyanya. Terutama dalam memupuk pembentukan budi pekerti melalui tulisan-tulisan yang merepresentasikan nilai dan norma sosial masyarakat Sumatera Utara.
Paparan tersebut mengundang beberapa tanggapan yang menjurus pada persoalan eksistensi sastrawan Sumatera Utara masa kini. Setidaknya ada tiga hal penting yang membutuhkan perhatian bersama.
Pertama, pernyataan dari Yono mengenai situasi sastrawan muda dan sastrawan senior yang kini cenderung memiliki ruang gerak berbeda. Sastrawan muda dianggap lebih dominan berkiprah di laman, sehingga mengurangi intensitas kiprah di zaman. Meski pada kedua ranah tersebut, kontekstualisasi masa dan perkembangan iptek tetap memiliki “zaman” masing-masing. Argumentasi yang dipaparkan Yono dilatarbelakangi oleh fenomena munculnya jarak yang terlampau jauh dari sastrawan muda dan sastrawan senior. Jarak yang dimaksud dilihat dari kualitas komunikasi yang semakin menurun dan minimnya kegiatan kolaborasi yang berhasil dibentuk.
Dari sisi lain, YS Rat menyampaikan kritik atas melemahnya kiprah kritikus sastra dari Sumatera Utara. Kondisi ini terlihat dari minimnya jumlah penulis kritik sastra yang menulis kritik atas karya sastra sastrawan Sumatera Utara di media. Alhasil, perhatian terhadap karya sastra dari Sumatera Utara juga sangat kecil. Dengan situasi tersebut, siapa yang akan mengenal sastrawan Sumatera Utara?
M. Raudah Jambak, dari sisi berbeda, menyampaikan bagaimana sumbangsih sastrawan Sumatera Utara ditinjau dari bidang pendidikan. Pada bidang ini, sastra tidak hanya dijadikan subjek mata pelajaran tetapi juga dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dengan meningkatkan daya baca para siswa terhadap karya sastra. Berbekal pemahaman yang baik itu, membaca karya sastra yang bernuansa kearifan lokal dapat mempertajam kepekaan siswa terhadap lingkungan sekitar.
Pembicaraan dilanjutkan dengan paparan dari Syahril, S.S., mengenai upaya pengembangan sastra Indonesia melalui penelitian interdisiplin. Pada ranah ini, gagasan-gagasan untuk melakukan penelitian tentang lokalitas dalam sastra Indonesia dengan keilmuan lain yang relevan adalah inovasi. Hal tersebut agar sastra Indonesia tidak seperti berada di ujung tanduk.
Di samping itu, upaya ini sekaligus menjadi bentuk respon atas perkembangan zaman. Terutama yang menuntut pengembangan keilmuan secara inter- dan intra. Secara tidak langsung, strategi ini juga bertujuan untuk meminimalisir anggapan publik bahwa sastra hanyalah milik kalangan terbatas.
Dialog Sastra yang diagendakan berlangsung sejak pukul 09.00 WIB itu dihadiri oleh sejumlah sastrawan Sumatera Utara. Yaitu Mihar Harahap, YS Rat, Hidayat Banjar, M. Raudah Jambak, Idris Siregar dan Syafrizal Sahrun. Turut melibatkan perwakilan beberapa komunitas. Yaitu, Kespera, Fokus, Anak Medan Cinta Sastra, serta para pemenang Lomba Menulis Cerita Anak BHSU 2017 dan beberapa penulis Sumatera Utara lainnya.
Dengan pengalaman masing-masing yang berbeda itulah, perbincangan tentang “pengaruh” sastrawan menjadi sangat pelik. Terutama jika dikaitkan dengan kenangan kejayaan sastra di Sumatera Utara. Kendati demikian, pada akhirnya karya adalah bukti nyata yang dapat menetralisir kegelisahan atas nasib sastra Sumatera Utara.
Tunggu dulu, apakah Sastrawan Sumatera Utara memang belum menjadi bagian dari Sastrawan Indonesia? Lantas siapakah Sastrawan Indonesia itu? Mengapa banyak yang menginginkan?
Agaknya apa yang ditegaskan Mihar Harahap dapat menjadi argumentasi yang menyegarkan. Sastrawan Sumatera Utara adalah Sastrawan Indonesia yang ada di Sumatera Utara. Penyebutan di kemudian hari harus diubah. Mungkin dengan demikian, Sumatera Utara akan kembali berjaya.
*) Penulis penyuka esai dan puisi, alumnus Ilmu Sastra Universitas Padjadjaran.
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/sastra-sumatera-utara-dalam-dialog/391812/2017/08/06
Harian Analisa, 6 Agustus 2017
HILIR mudik perbincangan tentang kesusastraan Sumatera Utara, senantiasa diwarnai kenangan kejayaan tahun 1920-an. Kemudian tahun 1945 melalui sepak terjang Chairil Anwar. Setelah itu, apa yang hendak dikenang-kenang lagi?
Setidaknya hal tersebut pula yang menjadi bagian penting dalam dialog sastra di Balai Bahasa Sumatera Utara. Tema yang diusung adalah “Peran Sastrawan Sumatera Utara dalam Perkembangan Sastra Indonesia”.
Pembicaraan mengenai sastrawan dan kesusastraan Indonesia berkembang dalam beberapa arah. Kendati demikian, bak nyiur dihempas angin pantai, dialog itu sepintas menghanyutkan. Keakraban dan canda tawa dalam tiap obrolan antarsastrawan yang diundang hanya menyiratkan kehangatan dan ketenangan. Nyatanya, semakin diresapi, “terik” juga tidak bisa dianggap remeh. Terik itu berpotensi menjadi api dalam sekam.
Pasalnya, pasca Chairil, tidak banyak nama besar sastrawan Sumatera Utara yang dinilai berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia. Salah satu nama yang kerap tercantum dalam berbagai pembahasan oleh kritikus atau pengamat sastra adalah Bokor Hutasuhut. Dengan kondisi yang demikian, apakah sastrawan Sumatera Utara masih dianggap berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia?
Pertanyaan tersebut divokalisasi menjadi pertanyaan publik (untuk menyebut sastrawan secara keseluruhan) atau pertanyaan individual. Pertanyaan lanjutan yang berkorelasi erat; apa yang sudah dilakukan oleh sastrawan untuk kemajuan sastra di Sumatera Utara? Agar kehadirannya diakui kembali oleh pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya? Bagaimana peran sastrawan Sumatera Utara dalam perkembangan sastra Indonesia?
Pada pertanyaan pertama, Indonesia yang dimaksud adalah pembagian wilayah yang seolah-olah berada di luar Sumatera. Indonesia yang dituju adalah wilayah keseluruhan yang dalam sebagian besar diskusi sastra seringkali ditunggangi oleh pulau Jawa.
Pada perspektif ini, Dr. Rosliani, S.S., M.Hum., memaparkan kiprah sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara dalam kesusastraan Indonesia. Sejumlah nama yang disebut misalnya Merari Siregar dan Bokor Hutasuhut. Sumbangsih yang diberikan oleh kedua sastrawan Sumatera Utara tersebut ditinjau dari bagaimana keterlibatan keduanya dalam perkembangan sastra Indonesia. Terutama yang dibuktikan dengan pengakuan dari ahli sastra yang berasal dari pulau lain.
Pada pertanyaan kedua, Indonesia yang dituju adalah identitas kesusastraan. Yakni yang menggunakan bahasa Indonesia atau memiliki pertalian dengan keindonesiaan. Sastra Indonesia sebagai sebuah entitas melalui tiap genrenya, menurut Dr. Rosliani, S.S., M.Hum., sudah dikatakan berkontribusi jika bermuatan positif bagi pembacanya. Karya sastra adalah representasi dari kehidupan sosial pada suatu masyarakat. Dengan demikian, sastra yang mengusung nilai-nilai sosial tentu dapat berpengaruh pada keberlangsungan sistem norma dalam masyarakat.
Atas pemikiran tersebut, sastrawan berperan dengan cara masing-masing untuk mempertahankan kesusastraan Indonesia melalui karya-karyanya. Terutama dalam memupuk pembentukan budi pekerti melalui tulisan-tulisan yang merepresentasikan nilai dan norma sosial masyarakat Sumatera Utara.
Paparan tersebut mengundang beberapa tanggapan yang menjurus pada persoalan eksistensi sastrawan Sumatera Utara masa kini. Setidaknya ada tiga hal penting yang membutuhkan perhatian bersama.
Pertama, pernyataan dari Yono mengenai situasi sastrawan muda dan sastrawan senior yang kini cenderung memiliki ruang gerak berbeda. Sastrawan muda dianggap lebih dominan berkiprah di laman, sehingga mengurangi intensitas kiprah di zaman. Meski pada kedua ranah tersebut, kontekstualisasi masa dan perkembangan iptek tetap memiliki “zaman” masing-masing. Argumentasi yang dipaparkan Yono dilatarbelakangi oleh fenomena munculnya jarak yang terlampau jauh dari sastrawan muda dan sastrawan senior. Jarak yang dimaksud dilihat dari kualitas komunikasi yang semakin menurun dan minimnya kegiatan kolaborasi yang berhasil dibentuk.
Dari sisi lain, YS Rat menyampaikan kritik atas melemahnya kiprah kritikus sastra dari Sumatera Utara. Kondisi ini terlihat dari minimnya jumlah penulis kritik sastra yang menulis kritik atas karya sastra sastrawan Sumatera Utara di media. Alhasil, perhatian terhadap karya sastra dari Sumatera Utara juga sangat kecil. Dengan situasi tersebut, siapa yang akan mengenal sastrawan Sumatera Utara?
M. Raudah Jambak, dari sisi berbeda, menyampaikan bagaimana sumbangsih sastrawan Sumatera Utara ditinjau dari bidang pendidikan. Pada bidang ini, sastra tidak hanya dijadikan subjek mata pelajaran tetapi juga dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama dengan meningkatkan daya baca para siswa terhadap karya sastra. Berbekal pemahaman yang baik itu, membaca karya sastra yang bernuansa kearifan lokal dapat mempertajam kepekaan siswa terhadap lingkungan sekitar.
Pembicaraan dilanjutkan dengan paparan dari Syahril, S.S., mengenai upaya pengembangan sastra Indonesia melalui penelitian interdisiplin. Pada ranah ini, gagasan-gagasan untuk melakukan penelitian tentang lokalitas dalam sastra Indonesia dengan keilmuan lain yang relevan adalah inovasi. Hal tersebut agar sastra Indonesia tidak seperti berada di ujung tanduk.
Di samping itu, upaya ini sekaligus menjadi bentuk respon atas perkembangan zaman. Terutama yang menuntut pengembangan keilmuan secara inter- dan intra. Secara tidak langsung, strategi ini juga bertujuan untuk meminimalisir anggapan publik bahwa sastra hanyalah milik kalangan terbatas.
Dialog Sastra yang diagendakan berlangsung sejak pukul 09.00 WIB itu dihadiri oleh sejumlah sastrawan Sumatera Utara. Yaitu Mihar Harahap, YS Rat, Hidayat Banjar, M. Raudah Jambak, Idris Siregar dan Syafrizal Sahrun. Turut melibatkan perwakilan beberapa komunitas. Yaitu, Kespera, Fokus, Anak Medan Cinta Sastra, serta para pemenang Lomba Menulis Cerita Anak BHSU 2017 dan beberapa penulis Sumatera Utara lainnya.
Dengan pengalaman masing-masing yang berbeda itulah, perbincangan tentang “pengaruh” sastrawan menjadi sangat pelik. Terutama jika dikaitkan dengan kenangan kejayaan sastra di Sumatera Utara. Kendati demikian, pada akhirnya karya adalah bukti nyata yang dapat menetralisir kegelisahan atas nasib sastra Sumatera Utara.
Tunggu dulu, apakah Sastrawan Sumatera Utara memang belum menjadi bagian dari Sastrawan Indonesia? Lantas siapakah Sastrawan Indonesia itu? Mengapa banyak yang menginginkan?
Agaknya apa yang ditegaskan Mihar Harahap dapat menjadi argumentasi yang menyegarkan. Sastrawan Sumatera Utara adalah Sastrawan Indonesia yang ada di Sumatera Utara. Penyebutan di kemudian hari harus diubah. Mungkin dengan demikian, Sumatera Utara akan kembali berjaya.
*) Penulis penyuka esai dan puisi, alumnus Ilmu Sastra Universitas Padjadjaran.
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/sastra-sumatera-utara-dalam-dialog/391812/2017/08/06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar