Ribut
Wijoto
beritajatim.com
Kami bersepakat membuat sebuah forum di mana setiap orang
dilarang bertanya. Kecuali moderator. Setiap orang yang datang hanya boleh
mengemukakan pandangan, meluruskan pendapat orang lain, menambahi data-data
pendukung, membantah, dan dilarang bertanya.
Kami
namai forum itu Majelis Sastra Urban. Penamaan forum ini memakan waktu cukup
lama. Jauh lebih lama dibandingkan ketika kami merumuskan visi dan menentukan
tema-tema. Perdebatan yang berlarat-larat. Mengapa? Karena kami semua sadar,
masalah nama adalah hal ihwal yang sepele. Sehingga setiap nama yang diusulkan
selalu tanpa argumentasi mendalam. Dan sebagian dari kami dengan mudahnya
mementahkan usulan sekaligus menimpali dengan usulan lain. Akhirnya nama
Majelis Sastra Urban dipilih setelah semua dari kami bosan berdebat.
Sebelumnya,
kami dengan segera bersepakat, bahwa, dalam forum yang bakal kami gelar sebulan
sekali (tiap Jumat malam pada minggu terakhir), ada ditegakkan aturan ‘dilarang
bertanya’. Kami tentu saja menyadari tentang pemahaman beberapa orang, asal
mula pemikiran berasal dari pertanyaan. Namun, kami memilih untuk mengambil
risiko.
Pertimbangannya sederhana, kami kasihan dengan
narasumber.
Kami membayangkan suatu kali mendatangkan narasumber
seorang cerpenis handal. Pintar mengolah plot, penokohannya kuat, pilihan
katanya bernas, dan kisah yang dia bikin mampu merangsang pembaca untuk
berpikir jauh. Namun itu dalam tulisan. Dalam berbicara di depan publik, sang
cerpenis handal ternyata gagap. Juga introvert.
Kami membayangkan, secara terbata-bata, sang cerpenis
handal memberi pengantar diskusi berupa pemaparan tentang proses kreatif.
Mungkin dia hanya tahan berbicara antara 10 sampai 15 menit. Selanjutnya,
disambung moderator dengan kalimat: “Kita lanjutkan sesi dialog. Dibuka tiga
pertanyaan”. Tiga pertanyaan dilontarkan audien dan secara terbata-bata dijawab
oleh sang cerpenis handal, moderator lalu membuka tiga pertanyaan lagi.
Demikian seterusnya selama hampir dua jam.
Sungguh,
kami sulit membayangkan situasi itu terjadi dalam forum kami. Maka, kami
memilih memuliakan narasumber dengan aturan ‘dilarang bertanya’.
Kami
menginginkan audien lebih banyak memberikan pandangan perihal karya sang
cerpenis handal. Tafsir. Kami ingin menciptakan ruang di mana tafsir dirayakan
seluas-luasnya. Tafsir pembaca. Perbedaan tafsir yang bisa jadi disebabkan oleh
pengalaman pengetahuan yang berbeda, latar belakang pembaca yang berbeda, dan
kepentingan yang berbeda. Agar sang cerpenis handal mungkin saja tidak
menyangka jika karyanya memiliki beragam makna. Keberagaman makna hasil dari
otak pembaca yang berbeda-beda.
Kami
telah mengantisipasi bahwa menciptakan keluasan ruang tafsir sangat sulit.
Terlebih kita hidup di tengah-tengah kultur diskusi yang dijejali
pertanyaan-pertanyaan terhadap narasumber. Untuk itu, kami sendiri juga bakal
menjadi audien.
Walau
sama-sama mencintai sastra, kami berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Ada dari kami yang berstatus mahasiswa antropologi, ada mahasiswa sastra
Indonesia, mahasiswa teknik, lulusan psikologi, dan lulusan akuntansi. Ada dari
kami yang berprofesi guru les musik, ada yang sehari-hari bekerja mengayuh
becak, sopir, ada pula wartawan. Sebagai bagian dari audien, kami akan
memandang karya melalui latar belakang kami masing-masing.
Selain
untuk memuliakan narasumber yang cerpenis handal namun gagap bicara, metode
ini, sekaligus sebagai usaha kami menjawab salah satu problem yang kerap kami
dengar di ranah kesusastraan Surabaya (baca: Jawa Timur), yaitu kritik sastra.
Beberapa
kali kami mendapat keluhan, kemunculan para sastrawan muda Jawa Timur dinilai
tidak dibarengi dengan kemunculan kritik sastra yang memadai. Imbasnya,
sastrawan seperti iseng sendiri. Jembatan antara tafsir karya dengan publik
menjadi terputus. Pembaruan dan jelajah estetik pun tidak dapat teridentifikasi
secara terperinci dan teoritis.
Adanya
beberapa kritikus seperti Shoim Anwar, Tjahyono kembar, Mashuri Alhamdulillah,
Heru Susanto, Suryadi Kusniawan, dan beberapa lainnya belum sanggup memenuhi
kebutuhan kritik yang proporsional. Sedangkan para akademisi dan sarjana sastra
kurang membikin penelitian dengan berpijak pada kondisi kekaryaan sastra yang
lebih konkret.
Kami mencoba menjawab keluhan itu melalui Majelis Sastra
Urban. Satu per satu kami akan membedah karya sastrawan Surabaya (baca: Jawa
Timur). Setahap demi setahap kami akan menafsirkan setiap gejala kesusastraan.
Dan
atas usaha ini, kami memilih menjadi bagian dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS).
Pertimbangannya dua hal. Satu, mayoritas dari kami adalah anggota dari
komunitas sastra atau komunitas seni. Kami menjadikan institusi DKS sebagai
wadah aspiratif dan aplikatif dari kami. Apalagi, dalam takdirnya, dewan
kesenian memang mengemban tanggung jawab pengembangan kesusastraan di
wilayahnya.
Dua, DKS memiliki Galeri Surabaya. Posisi Galeri Surabaya
yang berada di kompleks Balai Pemuda mudah diakses dari segala penjuru, karena
memang tempatnya tepat di tengah kota. Terlebih, Balai Pemuda merupakan salah
satu ikon kesenian di kota Surabaya. Dalam riwayatnya, tidak sedikit sastrawan
yang pernah berproses kreatif di Balai Pemuda.
Maka, sekarang dan ke depan, kami ingin mewarnai ikon
kesenian kota Surabaya itu dengan aktivitas tafsir sastra. Dengan satu aturan,
dilarang bertanya. [but]
________
Nama-nama
kami adalah Aris Rahman Putra, Alfian, Rizki Amir, Satrio, Nanda A Rahmah,
Uyung, Mahrus Hadi, Mahdi Betjak, Mahamuni Paksi, Saifuddin Ayyami, Lubet Arga
Tengah, Dadang Ari Murtono, Yusril Ihza, Hembing, Ribut Wijoto, Arul Lamandau,
Hanif Nashrullah, Maya Amelia Zahra, dan lain sebagainya. http://beritajatim.com/sorotan/343815/majelis_sastra_urban_dan_aturan_dilarang_bertanya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar