Sabtu, 21 September 2019

Kritikus, Tekhnologi Produksi, Khalayak

Dwi Pranoto *

Boleh jadi kritik memberi pemahaman atas karya seni. Tapi yang tak boleh dilupakan, kritik selalu mengandaikan pandangan ideal tertentu bagaimana seharusnya karya seni diproduksi. Oleh karenanya kritikus memiliki keterlibatan mendalam dalam proses produksi seni. Dalam hal ini kritikus tak belaka menjadi juru terang, tapi juga mengarahkan cahayanya pada ruas jalan terpilih yang seharusnya ditempuh oleh karya seni sebagai produk artistik yang beroperasi terhadap ideologi.

Kritikus berwenang dalam penilaian, namun silang sengkarut polemik krisis kritikus belakangan ini absen meletakan otoritas penilaian dalam suatu jaringan produksi seni (sastra) sebagai ideologi tertentu yang menopang bangunan kesusastraan modern. Kritikus hanya diperlakukan sebagai orang berkeahlian spesifik tertentu yang memisahkannya dirinya dari awam. Bukan sebagai lembaga fungsional yang memiliki wewenang guna menentukan seni bukan seni atau baik-buruk karya yang dengan itu suatu nilai seni tertentu dikukuhkan dan dilestarikan (direproduksi). Seolah-olah otoritas atau wewenang yang digenggam oleh kritikus diperoleh begitu saja melalui keahlian menimbang karya seni yang dikuasainya. Padahal wewenang yang memungkinkan kritikus melaksanakan fungsinya secara efektif justru kala ia merepresentasikan diri sebagai suatu institusi dalam jaringan (praktik) produksi seni. Dalam sistem jaringan produksi sastra yang mencakup dari produsen ke distributor hingga pasar, peran kritikus adalah memastikan suatu nilai seni tertentu, oleh Walter Benjamin disebut sebagai kekuatan produksi artistik, terus direproduksi guna menjamin terpenuhinya syarat-syarat produksi. Bagi Benjamin, yang mengembangkan teori Marx mengenai produksi dan syarat-syarat produksi yang lantas diterapkan dalam seni, relasi sosial dalam seni adalah hubungan antara produsen artistik dan khalayaknya atau pengarang dengan pembacanya. Hubungan antara seniman dan khlayaknya ini secara mendalam dipengaruhi oleh tekhnik produksi atau media produksi. Dalam esainya yang terkenal The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936) Benjamin menyatakan surat kabar telah mengubah hubungan antara penulis dan pembaca; perbedaan antara penulis dan pembaca telah kehilangan watak dasarnya sebab pembaca selalu bersedia untuk menjadi penulis. Jadi, lebih tujuh puluh tahun lalu sesungguhnya demokratisasi sastra telah dinyatakan. Tentu saja, pada tujuh puluh tahun lalu itu, surat kabar dengan rubrik-rubrik yang disediakan bagi para pembaca untuk menulis merupakan suatu terobosan penting untuk mencairkan pemisahan antara yang ahli (elit) dan awam. Namun, sekarang kita tahu, kebebasan yang diberkahkan oleh demokrasi surat kabar itu bukan tak memiliki batas-batas. Para kritikus yang bekerja sebagai editor pada surat kabar, misalnya, tidak seperti penjaga langsir yang belaka bertugas mengarahkan lokomotif-lokomotif yang datang untuk meluncur pada jalur yang seharusnya. Namun para editor harus menyeleksi naskah-naskah yang datang ke mejanya berdasar suatu penilaian tertentu untuk menentukan layak tidaknya suatu naskah diterbitkan. 

Pencapaian tekhnologi yang mengubah secara bermakna alat-alat (re)produksi seni mengosongkan nilai kekeramatan (aura) seni. Mesin reproduksi yang mampu menggandakan produksi karya seni berlipat-lipat ganda menggerogoti basis kuasi-spiritualitasnya dan membentuk ulang hubungan sosial dalam seni. Jika Adorno menganggap mesin reproduksi (industrialisasi) karya seni telah membuka jalan bagi perendahan karya seni oleh komersialisasi dan menjawab tantangan tersebut dengan menganjurkan eksperimentasi-eksperimentasi bentuk seni yang rumit. Benjamin justru dengan sadar mencebur dalam kondisi reproduktif tersebut dan masuk mengganggu relasi antara seniman (karya seni) dengan khalayak yang sudah mapan dengan suatu komitmen politik yang dinyatakan dengan kekuatan artistik revolusioner yang dibentuk melalui kolaborasi seniman dan khalayaknya. Teater epik Bertold Brecht yang mengubah relasi fungsional antara panggung dan khalayaknya  merupakan pelaksanaan dari gagasan Benjamin ini. Efek keterasingan dari tetaer epik Brecht mengganggu ilusi kenyataan yang tersaji pada panggung teater naturalis borjuis.

Saat ini tekhnologi mencapai kemutakhiran yang belum pernah dicapai pada masa sebelumnya. Mesin cetak yang dulu hanya dikuasai oleh segelintir pemilik dengan prosedur kerja rumit yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya kini telah berkembang menjadi sangat sangat sederhana. Pasangan perangkat komputer dan mesin cetak meja yang kepemilikannya menyebar ke banyak orang telah membuka jalan bagi demokratisasi sastra berikutnya. Peran kritikus dalam jaringan produksi di masa jaya mesin cetak besar mengalami gugatan hebat pada praktik produksi yang kini makin praktis. Disamping itu, peran kritikus yang dianggap merepresentasi golongan elit yang menguasai jaringan produksi dan lembaga-lembaga seni dipandang menindas. Wacana ide sekarang sedang memihak dan bersimpati pada yang serba massa dan serba dipingirkan serta membuka pintu balas dendam bagi yang rendah dan jelata.

Hadirnya dunia maya dengan ruang-ruang komunitasnya yang diberkahkan oleh pencapaian tekhnologi informasi semakin memberikan pukulan hebat pada posisi kritikus yang menjadi semacam “penyaring” dalam ruang yang terbentuk dari bentang jarak antara pengarang dan pembaca. Bila dibanding dengan keterbatasan jumlah halaman yang mungkin bisa dibukukan, ruang dunia maya yang “tanpa batas” dengan akses terhadapnya yang sangat terbuka telah mengubah model produksi (media) sastra dan membuahkan jarak berbeda dalam relasi pengarang – pembaca. Disamping itu perubahan model produksi ini juga mengubah prosedur produksi sastra. Jika di masa jaya tekhnik cetak relasi antara pengarang dan pembaca diantarai oleh prosedur seleksi (dilakukan oleh editor atau kritikus), penyuntingan, penjilidan, pendistribusian hingga tertata  di rak toko-toko buku, kini pada produksi elektronis relasi antara pengarang dan pembaca hanya diantarai oleh monitor dan keyboard. Pencapaian tekhnologi informasi membuka kemungkinan siapapun dapat memampang atau mengumumkan karyanya pada blog-blog pribadi. Demikianlah, watak elitis sastra kini terguncang, seolah-olah tulisan apapun dapat disebut sastra, atau sebaliknya sastra bisa disebut tulisan biasa. Sebab wewenang lama yang dimiliki kritikus tak lagi mampu beroperasi secara efektif dan berwibawa dalam jaringan produksi yang menjadi cair, longgar dan praktis karena persebaran alat-alat produksi, baik produk cetak maupun elektronis, telah menjangkau kalangan biasa. Ugeng T. Moetidjo dalam esei panjang yang berbentuk tanya jawab imajiner, Suatu Hari Kita Hanya Akan Mengenang Seluloid (www. Jurnalfootage.net, 12 Agustus 2008) melukiskan perubahan persepsi filemis dari elitisme seluloid ke kemasalan video seperti ini; Tindak perenungan, yang dulu pernah mengintensikan perasaan mendalam tak terkatakan yang luar biasa, pecah oleh gemuruh dan riuh jalanan. Siapa saja kini dengan gampang boleh melayangkan pandangan dengan kamera di tangan menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa dengan kadangkala menemukan kejutan pada kejadian yang terlalu biasa.

Pembatas yang memisahkan seni tinggi dan seni rendah kini mengalami erosi hebat. Kedua kategori seni yang sebelumnya terbedakan secara hirarkis itu kini tak cuma terbaurkan seibarat program-program acara televisi atau monitor komputer yang menerima kiriman pesan “tanpa batas” dari seluruh penjuru bumi. Labih dari itu, karya seni sebagai produk artistik telah menjadi produk komoditas biasa. Bentuk-bentuk seni paling mengganggu semisal punk rock kini diterima secara luas dan memperoleh keberhasilan komersial. Begitu juga dangdut yang dulu dianggap jelata kini menjadi bahan kajian akademis dan didendangkan dari lokalisasi-lokalisasi remang pinggir kali sampai panggung-panggung gemerlap hotel berbintang. Sementara itu kritikus sebagai lembaga yang berfungsi menjaga elitisme sastra tinggi sedang menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam produksi artistik yang didesakan oleh pencapaian tekhnologi produksi.

Kematian Pengarang

Benarlah, kematian pengarang yang dimaklumatkan Barthes telah menghapus mistifikasi pengarang. Meruntuhkan pandangan tradisional yang mengganggap pengarang sebagai asal-usul teks, sumber arti, satu-satunya otoritas penafsiran. Pengarang direduksi sebagai sebuah lokasi tempat bersimpangnya kutipan-kutipan, pantulan gema, dan lautan rujukan dari kerajaan bahasa. Oleh karenanya pembaca boleh menafsir tanpa mengikuti maksud pengarang. Namun kebebasan pembaca dalam menafsir bukan tanpa kendali. Kebebasan menafsir adalah kebebasan menghubungkan teks dengan sistem arti yang menuntun pemaknaan pada rujukan pengetahuan yang dimiliki pembaca. Dengan cara seperti ini penafsiran menjadi tak teramalkan dan tak tunggal. Barthes tak menggeser pusat penafsiran dari pengarang ke pembaca. Baik sebagai subyek yang nyata maupun sebagai kerajaan bahasa. Melainkan memindahkan pusat kepada teks. Laku penafsiran yang merupakan proses keterhubungan teks (bahan bacaan) dengan kerajaan bahasa yang bersemayam dalam diri pembaca ditentukan oleh tipe teks. Tiap teks memiliki perbedaan yang dihasilkan oleh keadaan teks yang berbeda-beda dalam merujuk kembali ke lautan karya lain yang melimpah. Sejumlah teks ditulis secara tertutup dengan arti terbatas (readerly). Sejumlah lain mendorong pembaca menghasilkan arti dengan mengijinkan persinggungan antara apa yang sedang dibaca dengan apa-apa yang telah dibaca (writerly). Teks, dengan demikian, tidak menghasilkan makna namun merupakan pesan pemakanaan; tidak merujuk ke realitas melainkan terhisap kembali ke dalam lubang hitam bahasa. Tidak ada yang terpisah di tempat Kebenaran.                         

Kematian pengarang tidak serta merta diikuti oleh kematian kritikus yang lantas membuka kekhalayakan kritik sebagai kebebasan tanpa batas. Barthes hanya memberikan pukulan terakhir terhadap watak humanis yang tersisa pada strukturalisme naratologis dengan membongkar tapal pembacaan yang “tunggal” dan mendorongnya ke wilayah “plural”. Maksudnya, menyarankan teks jamak sebagai suatu standar baru estetika. Jenis teks terbuka yang menyuguhkan tamasya luas penanda yang memiliki titik-titik persinggungan sembarang dengan teks-teks lain di sekujur tubuhnya. Yakni teks yang mampu memberikan kenikmatan (“pleasure”) yang melampaui arti transparan yang tunggal dan kebahagiaan (“bliss”) yang mengguncang asumsi-asumsi budaya, sejarah, dan psikologis pembaca. Jelaslah sudah, kenikmatan dan kebahagiaan yang dimaksud tak bakal didapatkan dari karya-karya pasaran. Jadi “pembunuhan” pengarang merupakan upaya untuk menghindar lebih jauh dari tangkapan kekhalayakan, bukan sebaliknya.

Apa yang ikut “mati” dalam kematian pengarang adalah realitas. Sekali pengarang “dimatikan” oleh karyanya (kata) bersama itu tautan teks kepada realitas diputus. Teks terhisap dalam lubang hitam bahasa dan hanya membuka dirinya untuk referen-referen yang bersifat literal: kata di dalam kata di dalam kata . . .. Realitas menghilang dan bersama itu obsesi terhadap kata-kata sebagai materialitas menguat. Fredric Jameson menyebutnya hal ini sebagai bahasa scizofrenik. Suatu pengelanturan bahasa yang merujuk pada ujaran individual pengidap scizofrenia dimana “. . . terputusnya kontinyuitas waktu temporal membuat pengalaman waktu kini menjadi lebih kuat, bergejolak dan “material”: . . . Tapi apa yang bagi kita nampak sebagai suatu pengalaman yang dihasrati – menguatnya persepsi kita, intensifikasi libidinal atau hallucinogenic atas lingkungan kita yang biasanya monoton dan akrab – di sini dirasakan sebagai kehilangan, sebagai “ketaknyataan””. (Fredric Jameson, 1985).

Bagaimanapun, bentuk estetika mutakhir ini, walaupun nampak menghapus realitas namun tetap saja akarnya menghujam dalam dan kuat pada tanah realitas; mengekspresikan realitas. Ketertutupan orbital bahasa, terisolasinya signifier, amnesia sejarah, membuka pintu ke dalam imaji-imaji. Bagi kita di Indonesia hal ini cocok dengan apa yang disebut sebagai politik pencitraan. Politik yang belaka bersandar pada janji-janji politis tanpa melahirkan perbuatan-perbuatan nyata. Suatu tindakan politis yang memanfaatkan kondisi masyarakat hari ini yang terbentuk oleh pencapaian tekhnologi informasi dimana keluasan penyebaran, kemelimpahan dan kelesatan informasi membekukan sekuens waktu menjadi serial masa kini abadi.

*) Dwi Pranoto adalah penggiat sastra dan pemerhati budaya yang concern dengan pemikiran-pemikiran kritis.
http://lepasparagraf1.blogspot.com/2011/03/kritikus-tekhnologi-produksi-khalayak.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati