Dwi Pranoto *
Boleh jadi kritik memberi pemahaman atas karya seni. Tapi yang tak boleh dilupakan, kritik selalu mengandaikan pandangan ideal tertentu bagaimana seharusnya karya seni diproduksi. Oleh karenanya kritikus memiliki keterlibatan mendalam dalam proses produksi seni. Dalam hal ini kritikus tak belaka menjadi juru terang, tapi juga mengarahkan cahayanya pada ruas jalan terpilih yang seharusnya ditempuh oleh karya seni sebagai produk artistik yang beroperasi terhadap ideologi.
Kritikus berwenang dalam penilaian, namun silang sengkarut polemik krisis kritikus belakangan ini absen meletakan otoritas penilaian dalam suatu jaringan produksi seni (sastra) sebagai ideologi tertentu yang menopang bangunan kesusastraan modern. Kritikus hanya diperlakukan sebagai orang berkeahlian spesifik tertentu yang memisahkannya dirinya dari awam. Bukan sebagai lembaga fungsional yang memiliki wewenang guna menentukan seni bukan seni atau baik-buruk karya yang dengan itu suatu nilai seni tertentu dikukuhkan dan dilestarikan (direproduksi). Seolah-olah otoritas atau wewenang yang digenggam oleh kritikus diperoleh begitu saja melalui keahlian menimbang karya seni yang dikuasainya. Padahal wewenang yang memungkinkan kritikus melaksanakan fungsinya secara efektif justru kala ia merepresentasikan diri sebagai suatu institusi dalam jaringan (praktik) produksi seni. Dalam sistem jaringan produksi sastra yang mencakup dari produsen ke distributor hingga pasar, peran kritikus adalah memastikan suatu nilai seni tertentu, oleh Walter Benjamin disebut sebagai kekuatan produksi artistik, terus direproduksi guna menjamin terpenuhinya syarat-syarat produksi. Bagi Benjamin, yang mengembangkan teori Marx mengenai produksi dan syarat-syarat produksi yang lantas diterapkan dalam seni, relasi sosial dalam seni adalah hubungan antara produsen artistik dan khalayaknya atau pengarang dengan pembacanya. Hubungan antara seniman dan khlayaknya ini secara mendalam dipengaruhi oleh tekhnik produksi atau media produksi. Dalam esainya yang terkenal The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936) Benjamin menyatakan surat kabar telah mengubah hubungan antara penulis dan pembaca; perbedaan antara penulis dan pembaca telah kehilangan watak dasarnya sebab pembaca selalu bersedia untuk menjadi penulis. Jadi, lebih tujuh puluh tahun lalu sesungguhnya demokratisasi sastra telah dinyatakan. Tentu saja, pada tujuh puluh tahun lalu itu, surat kabar dengan rubrik-rubrik yang disediakan bagi para pembaca untuk menulis merupakan suatu terobosan penting untuk mencairkan pemisahan antara yang ahli (elit) dan awam. Namun, sekarang kita tahu, kebebasan yang diberkahkan oleh demokrasi surat kabar itu bukan tak memiliki batas-batas. Para kritikus yang bekerja sebagai editor pada surat kabar, misalnya, tidak seperti penjaga langsir yang belaka bertugas mengarahkan lokomotif-lokomotif yang datang untuk meluncur pada jalur yang seharusnya. Namun para editor harus menyeleksi naskah-naskah yang datang ke mejanya berdasar suatu penilaian tertentu untuk menentukan layak tidaknya suatu naskah diterbitkan.
Pencapaian tekhnologi yang mengubah secara bermakna alat-alat (re)produksi seni mengosongkan nilai kekeramatan (aura) seni. Mesin reproduksi yang mampu menggandakan produksi karya seni berlipat-lipat ganda menggerogoti basis kuasi-spiritualitasnya dan membentuk ulang hubungan sosial dalam seni. Jika Adorno menganggap mesin reproduksi (industrialisasi) karya seni telah membuka jalan bagi perendahan karya seni oleh komersialisasi dan menjawab tantangan tersebut dengan menganjurkan eksperimentasi-eksperimentasi bentuk seni yang rumit. Benjamin justru dengan sadar mencebur dalam kondisi reproduktif tersebut dan masuk mengganggu relasi antara seniman (karya seni) dengan khalayak yang sudah mapan dengan suatu komitmen politik yang dinyatakan dengan kekuatan artistik revolusioner yang dibentuk melalui kolaborasi seniman dan khalayaknya. Teater epik Bertold Brecht yang mengubah relasi fungsional antara panggung dan khalayaknya merupakan pelaksanaan dari gagasan Benjamin ini. Efek keterasingan dari tetaer epik Brecht mengganggu ilusi kenyataan yang tersaji pada panggung teater naturalis borjuis.
Saat ini tekhnologi mencapai kemutakhiran yang belum pernah dicapai pada masa sebelumnya. Mesin cetak yang dulu hanya dikuasai oleh segelintir pemilik dengan prosedur kerja rumit yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya kini telah berkembang menjadi sangat sangat sederhana. Pasangan perangkat komputer dan mesin cetak meja yang kepemilikannya menyebar ke banyak orang telah membuka jalan bagi demokratisasi sastra berikutnya. Peran kritikus dalam jaringan produksi di masa jaya mesin cetak besar mengalami gugatan hebat pada praktik produksi yang kini makin praktis. Disamping itu, peran kritikus yang dianggap merepresentasi golongan elit yang menguasai jaringan produksi dan lembaga-lembaga seni dipandang menindas. Wacana ide sekarang sedang memihak dan bersimpati pada yang serba massa dan serba dipingirkan serta membuka pintu balas dendam bagi yang rendah dan jelata.
Hadirnya dunia maya dengan ruang-ruang komunitasnya yang diberkahkan oleh pencapaian tekhnologi informasi semakin memberikan pukulan hebat pada posisi kritikus yang menjadi semacam “penyaring” dalam ruang yang terbentuk dari bentang jarak antara pengarang dan pembaca. Bila dibanding dengan keterbatasan jumlah halaman yang mungkin bisa dibukukan, ruang dunia maya yang “tanpa batas” dengan akses terhadapnya yang sangat terbuka telah mengubah model produksi (media) sastra dan membuahkan jarak berbeda dalam relasi pengarang – pembaca. Disamping itu perubahan model produksi ini juga mengubah prosedur produksi sastra. Jika di masa jaya tekhnik cetak relasi antara pengarang dan pembaca diantarai oleh prosedur seleksi (dilakukan oleh editor atau kritikus), penyuntingan, penjilidan, pendistribusian hingga tertata di rak toko-toko buku, kini pada produksi elektronis relasi antara pengarang dan pembaca hanya diantarai oleh monitor dan keyboard. Pencapaian tekhnologi informasi membuka kemungkinan siapapun dapat memampang atau mengumumkan karyanya pada blog-blog pribadi. Demikianlah, watak elitis sastra kini terguncang, seolah-olah tulisan apapun dapat disebut sastra, atau sebaliknya sastra bisa disebut tulisan biasa. Sebab wewenang lama yang dimiliki kritikus tak lagi mampu beroperasi secara efektif dan berwibawa dalam jaringan produksi yang menjadi cair, longgar dan praktis karena persebaran alat-alat produksi, baik produk cetak maupun elektronis, telah menjangkau kalangan biasa. Ugeng T. Moetidjo dalam esei panjang yang berbentuk tanya jawab imajiner, Suatu Hari Kita Hanya Akan Mengenang Seluloid (www. Jurnalfootage.net, 12 Agustus 2008) melukiskan perubahan persepsi filemis dari elitisme seluloid ke kemasalan video seperti ini; Tindak perenungan, yang dulu pernah mengintensikan perasaan mendalam tak terkatakan yang luar biasa, pecah oleh gemuruh dan riuh jalanan. Siapa saja kini dengan gampang boleh melayangkan pandangan dengan kamera di tangan menyusuri serbaneka pelosok-pelosok peristiwa dengan kadangkala menemukan kejutan pada kejadian yang terlalu biasa.
Pembatas yang memisahkan seni tinggi dan seni rendah kini mengalami erosi hebat. Kedua kategori seni yang sebelumnya terbedakan secara hirarkis itu kini tak cuma terbaurkan seibarat program-program acara televisi atau monitor komputer yang menerima kiriman pesan “tanpa batas” dari seluruh penjuru bumi. Labih dari itu, karya seni sebagai produk artistik telah menjadi produk komoditas biasa. Bentuk-bentuk seni paling mengganggu semisal punk rock kini diterima secara luas dan memperoleh keberhasilan komersial. Begitu juga dangdut yang dulu dianggap jelata kini menjadi bahan kajian akademis dan didendangkan dari lokalisasi-lokalisasi remang pinggir kali sampai panggung-panggung gemerlap hotel berbintang. Sementara itu kritikus sebagai lembaga yang berfungsi menjaga elitisme sastra tinggi sedang menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam produksi artistik yang didesakan oleh pencapaian tekhnologi produksi.
Kematian Pengarang
Benarlah, kematian pengarang yang dimaklumatkan Barthes telah menghapus mistifikasi pengarang. Meruntuhkan pandangan tradisional yang mengganggap pengarang sebagai asal-usul teks, sumber arti, satu-satunya otoritas penafsiran. Pengarang direduksi sebagai sebuah lokasi tempat bersimpangnya kutipan-kutipan, pantulan gema, dan lautan rujukan dari kerajaan bahasa. Oleh karenanya pembaca boleh menafsir tanpa mengikuti maksud pengarang. Namun kebebasan pembaca dalam menafsir bukan tanpa kendali. Kebebasan menafsir adalah kebebasan menghubungkan teks dengan sistem arti yang menuntun pemaknaan pada rujukan pengetahuan yang dimiliki pembaca. Dengan cara seperti ini penafsiran menjadi tak teramalkan dan tak tunggal. Barthes tak menggeser pusat penafsiran dari pengarang ke pembaca. Baik sebagai subyek yang nyata maupun sebagai kerajaan bahasa. Melainkan memindahkan pusat kepada teks. Laku penafsiran yang merupakan proses keterhubungan teks (bahan bacaan) dengan kerajaan bahasa yang bersemayam dalam diri pembaca ditentukan oleh tipe teks. Tiap teks memiliki perbedaan yang dihasilkan oleh keadaan teks yang berbeda-beda dalam merujuk kembali ke lautan karya lain yang melimpah. Sejumlah teks ditulis secara tertutup dengan arti terbatas (readerly). Sejumlah lain mendorong pembaca menghasilkan arti dengan mengijinkan persinggungan antara apa yang sedang dibaca dengan apa-apa yang telah dibaca (writerly). Teks, dengan demikian, tidak menghasilkan makna namun merupakan pesan pemakanaan; tidak merujuk ke realitas melainkan terhisap kembali ke dalam lubang hitam bahasa. Tidak ada yang terpisah di tempat Kebenaran.
Kematian pengarang tidak serta merta diikuti oleh kematian kritikus yang lantas membuka kekhalayakan kritik sebagai kebebasan tanpa batas. Barthes hanya memberikan pukulan terakhir terhadap watak humanis yang tersisa pada strukturalisme naratologis dengan membongkar tapal pembacaan yang “tunggal” dan mendorongnya ke wilayah “plural”. Maksudnya, menyarankan teks jamak sebagai suatu standar baru estetika. Jenis teks terbuka yang menyuguhkan tamasya luas penanda yang memiliki titik-titik persinggungan sembarang dengan teks-teks lain di sekujur tubuhnya. Yakni teks yang mampu memberikan kenikmatan (“pleasure”) yang melampaui arti transparan yang tunggal dan kebahagiaan (“bliss”) yang mengguncang asumsi-asumsi budaya, sejarah, dan psikologis pembaca. Jelaslah sudah, kenikmatan dan kebahagiaan yang dimaksud tak bakal didapatkan dari karya-karya pasaran. Jadi “pembunuhan” pengarang merupakan upaya untuk menghindar lebih jauh dari tangkapan kekhalayakan, bukan sebaliknya.
Apa yang ikut “mati” dalam kematian pengarang adalah realitas. Sekali pengarang “dimatikan” oleh karyanya (kata) bersama itu tautan teks kepada realitas diputus. Teks terhisap dalam lubang hitam bahasa dan hanya membuka dirinya untuk referen-referen yang bersifat literal: kata di dalam kata di dalam kata . . .. Realitas menghilang dan bersama itu obsesi terhadap kata-kata sebagai materialitas menguat. Fredric Jameson menyebutnya hal ini sebagai bahasa scizofrenik. Suatu pengelanturan bahasa yang merujuk pada ujaran individual pengidap scizofrenia dimana “. . . terputusnya kontinyuitas waktu temporal membuat pengalaman waktu kini menjadi lebih kuat, bergejolak dan “material”: . . . Tapi apa yang bagi kita nampak sebagai suatu pengalaman yang dihasrati – menguatnya persepsi kita, intensifikasi libidinal atau hallucinogenic atas lingkungan kita yang biasanya monoton dan akrab – di sini dirasakan sebagai kehilangan, sebagai “ketaknyataan””. (Fredric Jameson, 1985).
Bagaimanapun, bentuk estetika mutakhir ini, walaupun nampak menghapus realitas namun tetap saja akarnya menghujam dalam dan kuat pada tanah realitas; mengekspresikan realitas. Ketertutupan orbital bahasa, terisolasinya signifier, amnesia sejarah, membuka pintu ke dalam imaji-imaji. Bagi kita di Indonesia hal ini cocok dengan apa yang disebut sebagai politik pencitraan. Politik yang belaka bersandar pada janji-janji politis tanpa melahirkan perbuatan-perbuatan nyata. Suatu tindakan politis yang memanfaatkan kondisi masyarakat hari ini yang terbentuk oleh pencapaian tekhnologi informasi dimana keluasan penyebaran, kemelimpahan dan kelesatan informasi membekukan sekuens waktu menjadi serial masa kini abadi.
*) Dwi Pranoto adalah penggiat sastra dan pemerhati budaya yang concern dengan pemikiran-pemikiran kritis.
http://lepasparagraf1.blogspot.com/2011/03/kritikus-tekhnologi-produksi-khalayak.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar