Puisi-Puisi Agus R. Subagyo

AKU BERTANYA *

ketika aku jalan-jalan di alun-alun kota
aku melihat seorang bocah kecil
duduk bersila tertunduk sambil komat-kamit
tak jelas suaranya

di depannya kaleng plastik kecil
berwarna biru kusam
dan di samping kanannya
ada mainan mobil-mobilan
tanpa roda dan telah rusak bodinya
aku tertegun memandangnya
hatiku terketuk melihatnya
aku rogoh saku celanaku

tapi ...
sial tak aku temukan keping-keping uang logam yang tersisa
aku berhenti di pojok alun-alun, tertegun
ramai sekali, tetapi mengapa begitu sepi
yah, uang tidak tersisa
aku tersenyum sendiri
ketika aku ingin berbuat kebaikan
selalu saja ada pembatalnya.

aku teruskan langkah kaki
menapaki panas jalan
dan panasnya hatiku kalakala
terus, terus, terus aku melangkah

menyusuri kata-kata sepi
menapaki gerah siang hari
menyelusuri renda-renda yang telah pudar
dan terus melangkah mencari di mana
tempat surga

karena di sana di alun-alun
aku tak menemukan surga lagi
surgaku telah pergi bersama datangnya
kesedihan kebekuan keputus asaan kepermukaan
dan kebaikan telah melompat kearah surga dipindahkan

aku terus melangkah
terus berjalan, terus menapak, terus mencari
di mana surga di tempatkan kembali
berjalan berjalan dan berjalan
melangkah melangkah dan melangkah
sampai senja membawa keletihan
dalam otak, jiwa dan raga
letih, tapi,

sampai kapan surga akan aku temukan
di sana sudah dipindah
di sini sudah dipindah
di situ sudah dipindah
dipindah ke mana surgaku

Nganjuk, 10-07-1987
* Dari Buku Sekumpumpulan Puisi "JANGAN MENANGIS KEKASIHKU" Karya A. Rego S. Ilalang.



RINDU YANG SUNTUK

Tengah malam kau menyapaku “ilalangkah ini”
Dingin malam mengantarmu menjumputi sepi yang mengantuk
Lewati perdebatan yang tak rela terusaikan

Hari berganti tanpa rela
Seperti lembut angin sentuh dedaun hingga rontok mengganti waktu

Terpaksa atau gugup kerinduan harus berangkat
Matahari telah siap dengan lelahnya merobek malam
Masihkah kau menyapaku “ilalangkah ini”

Nganjuk, 25 Maret 2005



KEPADA KAU YANG MENGEJA DIRI SENDIRI

Kau mengeja diri sendiri di malam-malan yang kau jejaki
Kau mencipta hening
Kau mencipta rindu. Pelan-pelan saja
Pelan-pelan saja kau mengeja
Pelan-pelan saja kau menjalani

Jalan-jalan beraspal itu mulai dingin,
seharian digantang matahari digilas roda-roda

Kau mencipta hening
Kau mencipta rindu.

Sendirian kau jelajahi malam jelajahi makna yang belum sempurna.
Pelan-pelan saja

Jangan hiraukan segerombolan badut di ujung jalan.
Mereka tak lucu lagi bisanya ketawa sendiri

Teruslah mengeja dan mampirlah sejenak meneruput kopi mengistirahatkan alas kaki.
Agar ia tak berontak lagi. Dan lanjutkan mengeja lagi
Sebelum malam lelah kau jelajahi.

Nganjuk, 25 Maret 2005



KAU YANG KUSEBUT

Aku menggigil menyebutnya
Serak berserakan tercecer dihembus nafas menyengal.
Detak nadi bersalipan terburu-buru.
Aku menggigil memahat namamu memanjang nafasku

Nganjuk, 25 Maret 2005



BIAS DIAM

Bias-bias di tembok-tembok kamar
Bias-bias tercoret-coret di dinding-dinding beku
Melantunkan tembang sendiri di gema adzan maghrib saut-sautan di kalbu
Terdiam meluruh padamu

Nganjuk, 25 Maret 2005



RAHASIA

“Ada sajadah panjang terbentang. Ada sesuatu yang belum terlaksana, kasih tuhanku”, katamu. Bukan hanya itu, ada yang belum terungkap masih merahasia dilayar-layar putih yang kau gelar di perjalananku.

Tetap rahasia. Ada tudung langit yang merasi di mega-mega dan debu masih mlekat di tubuhku.

Tetap rahasia. Kabarkan pada tuhanmu aku ingin memeluknya menyujudkan mataku.
Masihkah tetap rahasia?

Nganjuk, 25 Maret 2005



SUNYI INI MILIKKU

sunyi ini milikku sendiri, kemana iademikian tawa memeluk akulangkah-langkah mengulum aroma, jejakmeretas iasunyi ini milikku sendiri, menggelincirmenguntum berkelopak tanpa layumengutas tangkai matademikian panjang sunyi, lentik melenggang
symponi daundaun merumah aku
sunyi ini milikku sendiri
melarik hampa
sunyi ini
sendiri

Malang, 07 Juni 2005