(Ahmad Yulden Erwin, foro-tulisan dari buruan.co)
Adhimas Prasetyo
“Puisi itu sains…” ujar Ahmad Yulden Erwin, sambil menghisap rokok kretek ditemani kopi tubruk. Kamis (13/9/2018) sore itu, sebelum acara peluncuran tiga buku puisinya, tim Buruan berkesempatan untuk berbincang dengan Ahmad Yulden Erwin di KaKa CafĂ©, Jl. Sultan Tirtayasa No. 49, Citarum, Kota Bandung.
Ahmad Yulden Erwin adalah penulis asal Lampung yang karya-karyanya telah tersebar dalam berbagai media cetak maupun daring, baik nasional maupun internasional. Selain menulis puisi, ia kerap menuliskan pandangannya tentang teknik penulisan karya hingga politik sastra lewat akun Facebooknya.
Yulden dikenal sebagai pegiat sastra yang keras saat menyampaikan pendapatnya, terutama persoalan sastra. Bahkan beberapa orang menganggapnya sombong, namun ia justru menantang orang untuk membuktikan kekeliruannya. “Memang faktanya begitu, kok.” Jelasnya kemudian.
Tahun ini Yulden menerbitkan tiga buku puisinya yaitu; Perawi Rempah, Hara Semua Kata, dan Perawi Tanpa Rumah. Buku puisi Perawi Rempah berhasil masuk daftar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa ke-18 tahun 2018.
Berikut ini petikan percakapan tim Buruan dengan Ahmad Yulden Erwin.
Sejak kapan menulis puisi?
Awal nulis itu waktu SMP tahun 1987. Waktu itu dimuat dan jadi buku antologi bersama. Karena dulu saya kirim ke (acara) radio Suara Bhakti di Lampung, pengasuhnya itu Ari S. Muchtar. Dia yang ‘menemukan’ saya pertama kali waktu masih SMP. Asal muasal saya suka puisi karena perpustakaan ayah saya. Ayah saya punya banyak buku-buku, salah satunya buku sastra. Nah, buku sastra itu buku sastra lama semua. Ejaannya itu kalo “C” masih “TJ”. Saya ambil, ada buku tipis, buku tipis itu bukunya Chairil Anwar. judulnya Deru Campur Debu, itu asli buku lama banget.
Berarti buku Deru Campur Debu yang pertama mengenalkan Anda tentang puisi?
Ya. Saya pikir, ah mudah buat puisi begini. Saya tiru, saya tulis kok bisa. Setelah nekat, saya pergi ke (tempat) kawan, saya pinjam mesin tik. Saya dengar radio ada (saluran) Suara Bhakti ini. Rupanya di situ sering menayangkan puisi penyair-penyair Lampung top waktu itu, misal Isbedy Setiawan ZS dan lain-lain ada semua. Akhirnya saya kirim dan dimuat. Dibuat buku antologi bersama. Buku itu sekarang di Belanda. Dikirim ke kedutaan-kedutaan misal Inggris dan Australia. Saya cari di internet ada semua. Jadi kalo ada yang tanya nulis dari kapan, saya ada buktinya.
Puisi di Suara Bhakti itu puisi pertama yang ditulis?
Itu bukan puisi pertama. Karena dulu saya nulis banyak banget. Saya nulis setiap hari. Saya baca-baca, kok jelek amat, akhirnya saya bakar. Saya mulai lagi, nah, saya nulis kalau sekarang judulnya “Cermin Metafora”. Nanti tahun depan mungkin saya terbitkan. Itu saya anggap puisi pertama saya. Dan orang bilang, semua penyair Lampung waktu itu bilang (puisi) itu bagus. Saya tidak mengerti kenapa saya bisa nulis (puisi) itu. Asli. Itu dulu tulis sekali saja, terus jadi.
Bagaimana proses menulis puisi hingga sekarang?
Pernah saya menulis puisi yang transparan. Tidak banyak gaya bahasa, metafora, jadi langsung saja, Sebagian besar puisi-puisi itu saya share di situs Panorama Indonesia di Prancis. Itu punya Almarhum Sobron Aidit. Puisi itu sering dibawain buat aksi. Jadi gaya bahasanya biasa saja. Karena waktu itu, saya ingin menulis puisi yang terang benderang, sebagai antitesis dari (puisi) Afrizal Malna yang gelap. Belum sempat saya bukukan. Saya kumpulkan dan dibagikan ke aktivis-aktivis yang ada di NTB, NTT, Sulawesi, dan lainnya.
Jadi bisa saya bilang, 31 tahun lebih, dari tahun 1987 sampai sekarang. Itu semua sudah pernah saya tulis. Gaya apapun saya bisa, mau surealis, imajis, romantis, pamflet itu sudah pernah saya tulis semua. Saya paham semua aliran dan bentuk-bentuk puisi, karena itu sudah pernah saya coba.
Dari semua pengalaman itu, bagaimana seharusnya bentuk sebuah puisi?
Tahun 2012 saya studi betul sastra dunia. Saya baca di internet, sampai saya menemukan kesimpulan bahwa puisi itu harus memenuhi lima unsur komposisi puitik, yaitu kedalaman tema, ketepatan linguistik, ketepatan lukisan puitik/gaya bahasa, ketepatan gita puitik/irama, dan inovasi. Lima unsur ini harus ada dalam puisi. Itu temuan saya. Jadi puisi Octavio Paz, Derek Walcott, pokoknya seluruh penyair dunia. Karena saya kagum, saya terjemahkan. Terjemahan itu yang sering saya bagi di akun Facebook.
Saya sudah terjemahkan 500 puisi dunia. Ketika saya terjemahkan, saya susah untuk menemukan maksudnya, akhirnya saya pelajari betul. Sampai saya temukan lima unsur komposisi puitik itu, saya pakai untuk menerjemahkan. Sampai misalnya saya tahu ars poetica, surealis itu apa, imajisme itu apa, objektivisme itu apa, puisi linguistik itu apa, tahu semua karena sebenarnya itu ada di internet. Persoalannya tidak pernah dibaca, karena orang-orang tidak tahu.
Beberapa hari lalu, buku puisi Perawi Rempah masuk dalam nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa, bagaimana tanggapannya?
Biasa saja, karena itu tujuannya adalah sebagai bentuk protes terhadap lomba-lomba puisi yang ada selama ini. Hal yang saya protes itu adalah ketidakmampuan juri untuk memahami puisi terkini. Karena banyak juri di lomba-lomba sebelumnya tidak paham komposisi puitik. Nulis kalimat nggak bener, kalau kalimat salah dianggap pembaruan kayak Afrizal Malna. Penyair yang bagus di luar negeri itu selalu tepat linguistik. Tidak ada yang nulis ngawur dan menganggap itu pembaruan. Ini berdasarkan riset saya. Saya cek penyair-penyair dunia sampai saya cari bahasa aslinya, misalnya Wislawa Szymborska, Pablo Neruda, Octavio Paz, tidak ada yang ngawur linguistiknya. Ini saya tekankan untuk juri-juri lomba (serupa) sebelumnya. Saya tidak pasang target apa-apa. Tapi saya bilang kalau mereka tidak meloloskan ini berarti mereka tak paham puisi itu yang bagaimana.
Di buku puisi Perawi Rempah, ada beberapa puisi yang pernah masuk ke antologi sebelumnya, misal dalam buku Sabda Ruang.
Kalau yang di Sabda Ruang, buat saya itu tetap baru. Karena itu hasil edit, itulah edisi terakhir.
Bagaimana proses kreatif dalam menulis puisi saat ini?
Proses kreatif saya sederhana. Puisi saya itu naratif, jarang yang bercerita tentang diri saya. Ada lirik naratif, ada naratif. Selalu di luar diri saya, misal puisi “Aidit Kita”, “Hamlet Kita”. Nah, ini saya tahu, tidak banyak penyair Indonesia yang nulis kayak begitu, karena mereka tidak riset. Penyair Indonesia kebanyakan ngambil lirik, dengan nulis begitu, dia bisa langsung mengekspresikan pengalamannya. Itu cara tergampang nulis puisi lirik. Saya tidak mau yang gampangan. Saya sudah puas nulis puisi lirik, saya tahu teknik dan dasarnya.
Langkah saya pertama kali, saya harus nulis sesuatu yang tidak pernah ditulis orang. Itu inovasi. Saya tak mau sekadar ngulang. Siapa yang pernah menulis (dalam puisi) bahwa kolonialisme itu disebabkan oleh rempah? Tidak ada! Maka saya buat “Perawi Rempah”. Saya melakukan riset sampai tiga bulan. Kalau puisi Aidit itu (riset) dua bulan. Intinya saya riset dulu, sama seperti puisi keramik yang akan saya terbitkan tahun depan. Ada sekitar sembilan puluh puisi, itu saya riset dari tahun 2012.
Jadi inovasi itu untuk tataran tema yang diangkat. Bagaimana jika puisi yang struktur sintaksisnya tidak lengkap, apakah itu inovasi dan bisa disebut licentia poetica?
Bukan, itu namanya bukan licentia poetica. Licentia poetica itu misalnya tidak pake huruf besar semua, tapi kamu bisa mengerti kalimatnya. Subjeknya lengkap, predikatnya ada, tapi kamu tidak taat aturan saja. Makna kalimat tidak kabur dan tidak dihilangkan tapi aturan kaku yang diterabas, tak pakai huruf besar, tak pakai titik, tapi maknanya masih ada, masih ada struktur sintaksis.
Kayak haiku Kobayashi Issa, Matsuo Basho, itu tidak menjelaskan aku lirik. Aku itu tak ada, tapi kelengkapan kalimatnya tetap ada. Puisi pada intinya tetap komunikasi melalui bahasa. Kalau tak jelas, tidak ada komunikasi. Kamu hilangkan subjek misalnya, tak ada komunikasi.
Meski struktur sintaksisnya lengkap, tapi gaya dan tema dalam puisi Anda jarang diangkat penyair lain. Apa tidak ada perhatian untuk pemahaman pembaca?
Saya tidak peduli orang suka atau tidak, tapi saya menulis dengan prinsip penulisan puisi dunia. Kamu harus belajar dulu. Saya tidak mau mengikuti masyarakat yang terbiasa dengan puisi Chairil, Sapardi. Kalau tidak paham kamu harus belajar.
Sekarang ini, media publikasi karya sastra semakin masif, banyak media yang menayangkan rubrik sastra, selain itu penerbit indie juga semakin banyak. Apakah ini hal yang baik bagi perkembangan sastra Indonesia?
Bukan, itu cuma memajukan industri percetakan aja. Dia tidak memajukan sastra. Di Jepang, Eropa, Amerika, orang nulis puisi belajar dulu. Belajar pada orang yang paham, misal ikut workshop. Kursus satu tahun, dia bayar. Itu yang belum kita punya dalam tradisi kita. Banyak penulis kita hanya menulis aja, masih meniru Afrizal Malna, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, tapi dia tidak paham, bagaimana nulis sintaksisnya. Sama kayak kamu tidak bisa main musik, asal genjrang–genjreng, terus kamu minta rekaman.
Jadi menulis puisi itu sains. Disamping seni, ada ilmunya. Intinya adalah kursus yang benar, bukan sembarangan. Ini akan meningkatkan pemahaman si penulis, yang bantu dia berkarya. Saya tidak merekomendasikan menulis dengan (pikiran) bawah sadar. Saya dari dulu sudah pernah membuat teori menulis secara sadar. Tidak ada bedanya. Pernah saya coba ke seratus orang, dan semuanya bisa. Metode itu tidak ada urusan seberapa lama kamu nulis. Kalau metodenya benar, kamu bisa. Itu yang saya bantah dari surealisme, saya bisa nulis puisi surealis tapi secara sadar.
Harapan Anda dari ketiga buku puisi Anda.
Harapan saya, buku ini mendorong para penulis sastra untuk belajar dan paham tentang sastra. puisi itu apa, bagaimana cara menulis puisi. Kalau soal menang atau tidak menang lomba, ya, saya berharap saya menang, karena itu saya ikut lomba. Nah, kalau nanti tidak menang, ya tidak masalah, itu berarti juri menemukan yang lebih bagus, persoalannya nanti juri harus bisa membuktikan (pertanggungjawabannya).
15 September 2018
http://www.buruan.co/ahmad-yulden-erwin-puisi-itu-sains/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar