Selasa, 14 Januari 2020

Ahmad Yulden Erwin: Puisi itu Sains

(Ahmad Yulden Erwin, foro-tulisan dari buruan.co)

Adhimas Prasetyo

“Puisi itu sains…” ujar Ahmad Yulden Erwin, sambil menghisap rokok kretek ditemani kopi tubruk. Kamis (13/9/2018) sore itu, sebelum acara peluncuran tiga buku puisinya, tim Buruan berkesempatan untuk berbincang dengan Ahmad Yulden Erwin di KaKa CafĂ©, Jl. Sultan Tirtayasa No. 49, Citarum, Kota Bandung.

Ahmad Yulden Erwin adalah penulis asal Lampung yang karya-karyanya telah tersebar dalam berbagai media cetak maupun daring, baik nasional maupun internasional. Selain menulis puisi, ia kerap menuliskan pandangannya tentang teknik penulisan karya hingga politik sastra lewat akun Facebooknya.

Yulden dikenal sebagai pegiat sastra yang keras saat menyampaikan pendapatnya, terutama persoalan sastra. Bahkan beberapa orang menganggapnya sombong, namun ia justru menantang orang untuk membuktikan kekeliruannya. “Memang faktanya begitu, kok.” Jelasnya kemudian.

Tahun ini Yulden menerbitkan tiga buku puisinya yaitu; Perawi Rempah, Hara Semua Kata, dan Perawi Tanpa Rumah. Buku puisi Perawi Rempah berhasil masuk daftar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa ke-18 tahun 2018.

Berikut ini petikan percakapan tim Buruan dengan Ahmad Yulden Erwin.

Sejak kapan menulis puisi?

Awal nulis itu waktu SMP tahun 1987. Waktu itu dimuat dan jadi buku antologi bersama. Karena dulu saya kirim ke (acara) radio Suara Bhakti di Lampung, pengasuhnya itu Ari S. Muchtar. Dia yang ‘menemukan’ saya pertama kali waktu masih SMP. Asal muasal saya suka puisi karena perpustakaan ayah saya. Ayah saya punya banyak buku-buku, salah satunya buku sastra. Nah, buku sastra itu buku sastra lama semua. Ejaannya itu kalo “C” masih “TJ”. Saya ambil, ada buku tipis, buku tipis itu bukunya Chairil Anwar. judulnya Deru Campur Debu, itu asli buku lama banget.

Berarti buku Deru Campur Debu yang pertama mengenalkan Anda tentang puisi?

Ya. Saya pikir, ah mudah buat puisi begini. Saya tiru, saya tulis kok bisa. Setelah nekat, saya pergi ke (tempat) kawan, saya pinjam mesin tik. Saya dengar radio ada (saluran) Suara Bhakti ini. Rupanya di situ sering menayangkan puisi penyair-penyair Lampung top waktu itu, misal Isbedy Setiawan ZS dan lain-lain ada semua. Akhirnya saya kirim dan dimuat. Dibuat buku antologi bersama. Buku itu sekarang di Belanda. Dikirim ke kedutaan-kedutaan misal Inggris dan Australia. Saya cari di internet ada semua. Jadi kalo ada yang tanya nulis dari kapan, saya ada buktinya.

Puisi di Suara Bhakti itu puisi pertama yang ditulis?

Itu bukan puisi pertama. Karena dulu saya nulis banyak banget. Saya nulis setiap hari. Saya baca-baca, kok jelek amat, akhirnya saya bakar. Saya mulai lagi, nah, saya nulis kalau sekarang judulnya “Cermin Metafora”. Nanti tahun depan mungkin saya terbitkan. Itu saya anggap puisi pertama saya. Dan orang bilang, semua penyair Lampung waktu itu bilang (puisi) itu bagus. Saya tidak mengerti kenapa saya bisa nulis (puisi) itu. Asli. Itu dulu tulis sekali saja, terus jadi.

Bagaimana proses menulis puisi hingga sekarang?

Pernah saya menulis puisi yang transparan. Tidak banyak gaya bahasa, metafora, jadi langsung saja, Sebagian besar puisi-puisi itu saya share di situs Panorama Indonesia di Prancis. Itu punya Almarhum Sobron Aidit. Puisi itu sering dibawain buat aksi. Jadi gaya bahasanya biasa saja. Karena waktu itu, saya ingin menulis puisi yang terang benderang, sebagai antitesis dari (puisi) Afrizal Malna yang gelap. Belum sempat saya bukukan. Saya kumpulkan dan dibagikan ke aktivis-aktivis yang ada di NTB, NTT, Sulawesi, dan lainnya.

Jadi bisa saya bilang, 31 tahun lebih, dari tahun 1987 sampai sekarang. Itu semua sudah pernah saya tulis. Gaya apapun saya bisa, mau surealis, imajis, romantis, pamflet itu sudah pernah saya tulis semua. Saya paham semua aliran dan bentuk-bentuk puisi, karena itu sudah pernah saya coba.

Dari semua pengalaman itu, bagaimana seharusnya bentuk sebuah puisi?

Tahun 2012 saya studi betul sastra dunia. Saya baca di internet, sampai saya menemukan kesimpulan bahwa puisi itu harus memenuhi lima unsur komposisi puitik, yaitu kedalaman tema, ketepatan linguistik, ketepatan lukisan puitik/gaya bahasa, ketepatan gita puitik/irama, dan inovasi. Lima unsur ini harus ada dalam puisi. Itu temuan saya. Jadi puisi Octavio Paz, Derek Walcott, pokoknya seluruh penyair dunia. Karena saya kagum, saya terjemahkan. Terjemahan itu yang sering saya bagi di akun Facebook.

Saya sudah terjemahkan 500 puisi dunia. Ketika saya terjemahkan, saya susah untuk menemukan maksudnya, akhirnya saya pelajari betul. Sampai saya temukan lima unsur komposisi puitik itu, saya pakai untuk menerjemahkan. Sampai misalnya saya tahu ars poetica, surealis itu apa, imajisme itu apa, objektivisme itu apa, puisi linguistik itu apa, tahu semua karena sebenarnya itu ada di internet. Persoalannya tidak pernah dibaca, karena orang-orang tidak tahu.

Beberapa hari lalu, buku puisi Perawi Rempah masuk dalam nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa, bagaimana tanggapannya?

Biasa saja, karena itu tujuannya adalah sebagai bentuk protes terhadap lomba-lomba puisi yang ada selama ini. Hal yang saya protes itu adalah ketidakmampuan juri untuk memahami puisi terkini. Karena banyak juri di lomba-lomba sebelumnya tidak paham komposisi puitik. Nulis kalimat nggak bener, kalau kalimat salah dianggap pembaruan kayak Afrizal Malna. Penyair yang bagus di luar negeri itu selalu tepat linguistik. Tidak ada yang nulis ngawur dan menganggap itu pembaruan. Ini berdasarkan riset saya. Saya cek penyair-penyair dunia sampai saya cari bahasa aslinya, misalnya Wislawa Szymborska, Pablo Neruda, Octavio Paz, tidak ada yang ngawur linguistiknya. Ini saya tekankan untuk juri-juri lomba (serupa) sebelumnya. Saya tidak pasang target apa-apa. Tapi saya bilang kalau mereka tidak meloloskan ini berarti mereka tak paham puisi itu yang bagaimana.

Di buku puisi Perawi Rempah, ada beberapa puisi yang pernah masuk ke antologi sebelumnya, misal dalam buku Sabda Ruang.

Kalau yang di Sabda Ruang, buat saya itu tetap baru. Karena itu hasil edit, itulah edisi terakhir.

Bagaimana proses kreatif dalam menulis puisi saat ini?

Proses kreatif saya sederhana. Puisi saya itu naratif, jarang yang bercerita tentang diri saya. Ada lirik naratif, ada naratif. Selalu di luar diri saya, misal puisi “Aidit Kita”, “Hamlet Kita”. Nah, ini saya tahu, tidak banyak penyair Indonesia yang nulis kayak begitu, karena mereka tidak riset. Penyair Indonesia kebanyakan ngambil lirik, dengan nulis begitu, dia bisa langsung mengekspresikan pengalamannya. Itu cara tergampang nulis puisi lirik. Saya tidak mau yang gampangan. Saya sudah puas nulis puisi lirik, saya tahu teknik dan dasarnya.

Langkah saya pertama kali, saya harus nulis sesuatu yang tidak pernah ditulis orang. Itu inovasi. Saya tak mau sekadar ngulang. Siapa yang pernah menulis (dalam puisi) bahwa kolonialisme itu disebabkan oleh rempah? Tidak ada! Maka saya buat “Perawi Rempah”. Saya melakukan riset sampai tiga bulan. Kalau puisi Aidit itu (riset) dua bulan. Intinya saya riset dulu, sama seperti puisi keramik yang akan saya terbitkan tahun depan. Ada sekitar sembilan puluh puisi, itu saya riset dari tahun 2012.

Jadi inovasi itu untuk tataran tema yang diangkat. Bagaimana jika puisi yang struktur sintaksisnya tidak lengkap, apakah itu inovasi dan bisa disebut licentia poetica?

Bukan, itu namanya bukan licentia poetica. Licentia poetica itu misalnya tidak pake huruf besar semua, tapi kamu bisa mengerti kalimatnya. Subjeknya lengkap, predikatnya ada, tapi kamu tidak taat aturan saja. Makna kalimat tidak kabur dan tidak dihilangkan tapi aturan kaku yang diterabas, tak pakai huruf besar, tak pakai titik, tapi maknanya masih ada, masih ada struktur sintaksis.

Kayak haiku Kobayashi Issa, Matsuo Basho, itu tidak menjelaskan aku lirik. Aku itu tak ada, tapi kelengkapan kalimatnya tetap ada. Puisi pada intinya tetap komunikasi melalui bahasa. Kalau tak jelas, tidak ada komunikasi. Kamu hilangkan subjek misalnya, tak ada komunikasi.

Meski struktur sintaksisnya lengkap, tapi gaya dan tema dalam puisi Anda jarang diangkat penyair lain. Apa tidak ada perhatian untuk pemahaman pembaca?

Saya tidak peduli orang suka atau tidak, tapi saya menulis dengan prinsip penulisan puisi dunia. Kamu harus belajar dulu. Saya tidak mau mengikuti masyarakat yang terbiasa dengan puisi Chairil, Sapardi. Kalau tidak paham kamu harus belajar.

Sekarang ini, media publikasi karya sastra semakin masif, banyak media yang menayangkan rubrik sastra, selain itu penerbit indie juga semakin banyak. Apakah ini hal yang baik bagi perkembangan sastra Indonesia?

Bukan, itu cuma memajukan industri percetakan aja. Dia tidak memajukan sastra. Di Jepang, Eropa, Amerika, orang nulis puisi belajar dulu. Belajar pada orang yang paham, misal ikut workshop. Kursus satu tahun, dia bayar. Itu yang belum kita punya dalam tradisi kita. Banyak penulis kita hanya menulis aja, masih meniru Afrizal Malna, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, tapi dia tidak paham, bagaimana nulis sintaksisnya. Sama kayak kamu tidak bisa main musik, asal genjrang–genjreng, terus kamu minta rekaman.

Jadi menulis puisi itu sains. Disamping seni, ada ilmunya. Intinya adalah kursus yang benar, bukan sembarangan. Ini akan meningkatkan pemahaman si penulis, yang bantu dia berkarya. Saya tidak merekomendasikan menulis dengan (pikiran) bawah sadar. Saya dari dulu sudah pernah membuat teori menulis secara sadar. Tidak ada bedanya. Pernah saya coba ke seratus orang, dan semuanya bisa. Metode itu tidak ada urusan seberapa lama kamu nulis. Kalau metodenya benar, kamu bisa. Itu yang saya bantah dari surealisme, saya bisa nulis puisi surealis tapi secara sadar.

Harapan Anda dari ketiga buku puisi Anda.

Harapan saya, buku ini mendorong para penulis sastra untuk belajar dan paham tentang sastra. puisi itu apa, bagaimana cara menulis puisi. Kalau soal menang atau tidak menang lomba, ya, saya berharap saya menang, karena itu saya ikut lomba. Nah, kalau nanti tidak menang, ya tidak masalah, itu berarti juri menemukan yang lebih bagus, persoalannya nanti juri harus bisa membuktikan (pertanggungjawabannya).

15 September 2018
http://www.buruan.co/ahmad-yulden-erwin-puisi-itu-sains/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati