Indra Intisa *
Puisi lahir dari pelbagai macam sebab, alasan dan rasa. Ada yang lahir melalui kisah si penyair: kesedihan, kesempitan, perjuangan hidup, kebahagiaan atau mungkin kesenangan. Ada pula yang lahir dari orang kedua atau ketiga.
Ketika melihat sebuah peristiwa, keadaan atau sebuah situasi tertentu, penyair bisa saja tergugah untuk menulis dan menyampaikan rasa melalui ruang lingkup puisi. Melalui bahasa puitis ini penyair merasa lebih hidup dan luas dalam menyampaikan. Walaupun si penerima kadang sulit untuk menangkap pesan yang seolah samar atau temaram. Kesamaran ini sering memunculkan ruang baru yang lebih luas dan menyebar. Keluasan ini bisa saja sebagai bentuk estetika dalam sebuah karya sastra.
Dalam pemaknaan dan pembacaannya, puisi bisa menjadi sebuah puisi diafan yang cenderung telanjang. Puisi yang lahir sebagai puisi lugas dan tepat guna ini tentu bisa menyampaikan pesan dengan sangat tepat ke sasaran. Hanya saja menjadikannya kaku dan lurus. Ia cepat habis dan musnah dalam sekali baca. Berbeda dengan puisi prismatis yang cenderung luas. Layaknya cahaya, ia bisa menyebar ke setiap sisi lubang atau ruangan yang bisa dilewati oleh angin. Masing-masing memunculkan bentuk baru, gaya baru dan kenikmatan baru. Tentu saja banyak orang ingin menulis puisi dengan gaya prismatis, walaupun sering gagal dan bahkan masuk ke ranah puisi gelap. Jika puisi gelap yang dimaksud bukan sebuah kesalahan dalam meletakkan simbol dan rambu, tentu saja tak masalah. Adakalanya penyair sengaja berlindung dari kuatnya metafor-metafor akut yang terasa aneh dan beda. Tetapi jika kesalahan penyair dalam membuat metafor dan kiasan dalam sebuah puisi, maka bisa saja puisi yang ditulis menjadi gagal dalam artian pesan amanat. Tujuannya sama sekali tidak tercapai. Sebab pembaca tidak akan pernah bisa menangkap apa yang benar-benar ingin disampaikan oleh penyair. Seperti sebuah berita hoaks atau pesan yang disampaikan beruntun, maka jadilah fitnah dan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Walaupun begitu, secara estetik puisi tersebut tetap bisa dinikmati. Sebab puisi tidak sekadar sebuah pemaknaan, tetapi juga sebuah kenikmatan layaknya musik atau lagu yang tidak pernah kita tahu makna dari liriknya. Kita tetap saja hanyut oleh alunannya. Terkait puisi diafan, prismatis dan gelap, masing-masing punya ranahnya sendiri. Silakan saja.
Di luar pada itu, masing-masing aliran dalam sebuah puisi tentu akan menghasilkan cara baca dan menikmati yang berbeda. Layaknya sebuah lagu, ada orang yang ahli dan suka dengan lagu dangdut, tetapi tidak menyukai lagu jazz. Ada pula yang suka dan paham rock, tetapi tak pandai menyanyikan lagu blues. Masing-masing punya penikmat dan cara berbeda. Seperti halnya puisi imajis tentu tidak bisa disamakan dan disetarakan dengan puisi mbeling, puisi mantra atau puisi konkret. Semuanya berbeda. Dalam sisi pembacaan saja, ada puisi yang nikmat ketika dipanggungkan dan ada pula yang nikmat dibaca diam-diam sendirian. Ini lebih dikenal sebagai puisi kamar.
Sebagai kritikus sastra, mereka harus paham cara menikmati dan membedah itu semua. Belum lagi masing-masing penyair bisa mempunyai cara dan ciri khas tersendiri. Kritikus harus mempunyai mata yang tajam dan awas. Teori hanya bisa membantu untuk mengupas jika kita sudah tahu apa yang mau dikupas. Jangan sampai salah meletakkannya. Itu seperti kita memiliki kepandaian membelah dan mengupas mangga, tentu saja tidak tepat dipakai untuk membelah durian. Kesalahapahaman ini bisa berakibat dangkalnya telaah puisi. Yang ada hanyalah sibuknya kritikus ingin membuktikan keluasan ilmu baca yang ia dapati. Orang-orang bisa saja berpikir mereka hebat dan terpelajar. Padahal mereka tanpa sadar telah menghambur-hamburkan bahasa. Mubazir, bukan?
Tetapi walau begitu, telaah puisi sah-sah saja berbeda antara satu dan lainnya. Karena puisi merupakan karya sastra yang unik dan berbeda dari drama dan prosa layaknya cerpen dan novel. Yang salah adalah ketika mengatakan cara pembacaannya adalah paling benar paling tepat paling sesuai dan paling cerdas. Padahal kulit yang dikupas tidak sama rata.
Solok, 29 Juni 2017
*) Indra Intisa, penikmat puisi yang tinggal di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Buku-bukunya: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi” (2015), Puisi Lama—Syair, Gurindam, Pantun, Seloka, Karmina, Talibun, Mantra “Nasihat Lebah” (2015), Puisi Imajis “Ketika Fajar” (2015), Putika (Puisi Tiga Kata) “Teori dan Konsep” (2015), Dialog Waktu (2016), dan sebuah Novel: “Dalam Dunia Sajak” (2016).
http://sastra-indonesia.com/2020/01/menikmati-puisi/
Puisi lahir dari pelbagai macam sebab, alasan dan rasa. Ada yang lahir melalui kisah si penyair: kesedihan, kesempitan, perjuangan hidup, kebahagiaan atau mungkin kesenangan. Ada pula yang lahir dari orang kedua atau ketiga.
Ketika melihat sebuah peristiwa, keadaan atau sebuah situasi tertentu, penyair bisa saja tergugah untuk menulis dan menyampaikan rasa melalui ruang lingkup puisi. Melalui bahasa puitis ini penyair merasa lebih hidup dan luas dalam menyampaikan. Walaupun si penerima kadang sulit untuk menangkap pesan yang seolah samar atau temaram. Kesamaran ini sering memunculkan ruang baru yang lebih luas dan menyebar. Keluasan ini bisa saja sebagai bentuk estetika dalam sebuah karya sastra.
Dalam pemaknaan dan pembacaannya, puisi bisa menjadi sebuah puisi diafan yang cenderung telanjang. Puisi yang lahir sebagai puisi lugas dan tepat guna ini tentu bisa menyampaikan pesan dengan sangat tepat ke sasaran. Hanya saja menjadikannya kaku dan lurus. Ia cepat habis dan musnah dalam sekali baca. Berbeda dengan puisi prismatis yang cenderung luas. Layaknya cahaya, ia bisa menyebar ke setiap sisi lubang atau ruangan yang bisa dilewati oleh angin. Masing-masing memunculkan bentuk baru, gaya baru dan kenikmatan baru. Tentu saja banyak orang ingin menulis puisi dengan gaya prismatis, walaupun sering gagal dan bahkan masuk ke ranah puisi gelap. Jika puisi gelap yang dimaksud bukan sebuah kesalahan dalam meletakkan simbol dan rambu, tentu saja tak masalah. Adakalanya penyair sengaja berlindung dari kuatnya metafor-metafor akut yang terasa aneh dan beda. Tetapi jika kesalahan penyair dalam membuat metafor dan kiasan dalam sebuah puisi, maka bisa saja puisi yang ditulis menjadi gagal dalam artian pesan amanat. Tujuannya sama sekali tidak tercapai. Sebab pembaca tidak akan pernah bisa menangkap apa yang benar-benar ingin disampaikan oleh penyair. Seperti sebuah berita hoaks atau pesan yang disampaikan beruntun, maka jadilah fitnah dan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Walaupun begitu, secara estetik puisi tersebut tetap bisa dinikmati. Sebab puisi tidak sekadar sebuah pemaknaan, tetapi juga sebuah kenikmatan layaknya musik atau lagu yang tidak pernah kita tahu makna dari liriknya. Kita tetap saja hanyut oleh alunannya. Terkait puisi diafan, prismatis dan gelap, masing-masing punya ranahnya sendiri. Silakan saja.
Di luar pada itu, masing-masing aliran dalam sebuah puisi tentu akan menghasilkan cara baca dan menikmati yang berbeda. Layaknya sebuah lagu, ada orang yang ahli dan suka dengan lagu dangdut, tetapi tidak menyukai lagu jazz. Ada pula yang suka dan paham rock, tetapi tak pandai menyanyikan lagu blues. Masing-masing punya penikmat dan cara berbeda. Seperti halnya puisi imajis tentu tidak bisa disamakan dan disetarakan dengan puisi mbeling, puisi mantra atau puisi konkret. Semuanya berbeda. Dalam sisi pembacaan saja, ada puisi yang nikmat ketika dipanggungkan dan ada pula yang nikmat dibaca diam-diam sendirian. Ini lebih dikenal sebagai puisi kamar.
Sebagai kritikus sastra, mereka harus paham cara menikmati dan membedah itu semua. Belum lagi masing-masing penyair bisa mempunyai cara dan ciri khas tersendiri. Kritikus harus mempunyai mata yang tajam dan awas. Teori hanya bisa membantu untuk mengupas jika kita sudah tahu apa yang mau dikupas. Jangan sampai salah meletakkannya. Itu seperti kita memiliki kepandaian membelah dan mengupas mangga, tentu saja tidak tepat dipakai untuk membelah durian. Kesalahapahaman ini bisa berakibat dangkalnya telaah puisi. Yang ada hanyalah sibuknya kritikus ingin membuktikan keluasan ilmu baca yang ia dapati. Orang-orang bisa saja berpikir mereka hebat dan terpelajar. Padahal mereka tanpa sadar telah menghambur-hamburkan bahasa. Mubazir, bukan?
Tetapi walau begitu, telaah puisi sah-sah saja berbeda antara satu dan lainnya. Karena puisi merupakan karya sastra yang unik dan berbeda dari drama dan prosa layaknya cerpen dan novel. Yang salah adalah ketika mengatakan cara pembacaannya adalah paling benar paling tepat paling sesuai dan paling cerdas. Padahal kulit yang dikupas tidak sama rata.
Solok, 29 Juni 2017
*) Indra Intisa, penikmat puisi yang tinggal di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Buku-bukunya: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi” (2015), Puisi Lama—Syair, Gurindam, Pantun, Seloka, Karmina, Talibun, Mantra “Nasihat Lebah” (2015), Puisi Imajis “Ketika Fajar” (2015), Putika (Puisi Tiga Kata) “Teori dan Konsep” (2015), Dialog Waktu (2016), dan sebuah Novel: “Dalam Dunia Sajak” (2016).
http://sastra-indonesia.com/2020/01/menikmati-puisi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar