Jumat, 14 Februari 2020

SEPASANG LILIN DI RUMAH MALAIKAT

Maman S. Mahayana

Dibandingkan teman-teman dari Pekanbaru, Tanjungpinang, Batam, dan Padang; juga teman-teman dari Malaysia dan Brunei Darussalam, saya terlambat mengenalnya: novelis Singapura yang prolifik dan humanis. Namanya Rohani Din. Sekitar 20-an novel sudah dihasilkannya. Novel-novelnya tebal. Satu di antaranya, berjudul Diari Bonda (Kuala Lumpur: Creative Enterprise Sdn. Bhd., 2004, 738 halaman) yang dalam setahun penerbitannya telah mengalami cetak ulang.

Sebagian besar novelnya terbit di Kuala Lumpur, sebagiannya lagi terbit di Singapura dan Jakarta. Rupanya, dunia Melayu dan nostalgia masa kanak-kanak yang menjadikan novel-novelnya banyak diminati pembaca. Penggemarnya cukup ramai yang berkirim surat, sms, e-mail atau pesan melalui facebook. Maka penjualan bukunya sering dilakukan sendiri melalui pemesanan langsung.

Beberapa kali saya bertemu dengan Rohani Din di Kuala Lumpur, Jakarta, Jambi, Pekanbaru atau di mana-mana tempat. Ketika Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VIII diselenggarakan di Prince of Songkla University, Pattani, Thailand Selatan, 21—24 November 2015, kembali, saya jumpa Rohani Din. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, tidak ada yang istimewa. Kami berbincang sekadarnya, becanda ringan, dan ketawa-ketiwi. Meski begitu, kesukaannya mentraktir teman-teman dari Indonesia untuk sekadar makan, minum kopi atau belanja pernak-pernik cenderamata, cukup menarik perhatian. Tampaknya dia nothing to lose, nyantei saja melakukannya.
***

Pada awal April 2018 saya mendapat undangan mengajar Kritik Sastra untuk semester pendek di National Institute of Education (NIE), Nanyang Technological University (NTU), Singapore, 4—14 Juni 2018. Saya tahu, tanggal itu merupakan sepuluh hari terakhir Ramadan. Jadi, sambil berharap mendapat malam lailatul qadar, saya bersuka cita menerima tawaran itu. Rencana saya mengajar di NIE itu rupanya sudah dipersiapkan segala sesuatunya oleh rekan pengajar di sana, terutama Prof. Dr. Sa'eda Buang, Prof Dr Madya Roksana, dan Prof Dr Hadijah Rahmat.

Untuk tinggal selama di Singapura, pihak NIE sudah menyediakan sebuah kamar yang nyaman di Nanyang Executive Centre (NEC), Guest House untuk dosen atau mahasiswa asing. Wisma Tamu itu terletak di kompleks kampus NIE yang cukup luas. Pihak wisma menyediakan sarapan dan makan siang. Tetapi, karena bulan Ramadan, saya terpaksa mencari makan untuk buka puasa dan sahur di kedai atau di restoran di kawasan mal atau pusat perbelanjaan yang mesti ditempuh dengan naik bus. Oh, repotnya.

Untuk pergi mengajar dan kembali ke wisma, seorang mahasiswa Singapore, menjemput-antar saya pakai mobil pribadinya, Roll Royce. Namanya, Awaluddin, mantan tentara perdamaian internasional Singapore yang pensiun dini dan kemudian beralih profesi sebagai guru Melayu. Kini ia menempuh S-2 di NIE. Jika ada waktu luang, ia membawa saya jalan-jalan berkeliling Singapura.

Hari pertama, Prof. Dr. Sa'eda Buang memberi saya makanan untuk berbuka dan untuk sahur. Hari kedua, giliran Prof Roksana. Hari ketiga Awaluddin mengajak saya buka bersama di Masjid Raya. Begitulah untuk makanan berbuka puasa hari berikutnya giliran mahasiswa yang membawa saya di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari Sabtu dan Minggu, tidak ada kuliah. Saya harus ke pusat kota untuk berbuka puasa dan menyiapkan bekal sahur. Pada saat itulah, Tuhan seperti mengirim malaikat.

Siang itu, resepsionis memberi tahu, ada tamu yang ingin jumpa saya. Siapakah gerangan dia? Tadinya saya ingin ke tempat sastrawan senior Singapura, Suratman Markasan. Tetapi, kabarnya dia sudah pindah ke Johor. Sastrawan Singapura lainnya, tidak punya kontak, juga belum saya kenal. Jadi, siapakah tamu itu?

Saya turun ke lobi. Seorang perempuan setengah baya rupanya sudah menunggu: Bunda Anie Din! Sebuah kejutan.

Setelah bertegur-sapa dan berbincang sebentar, Bunda mengajak saya ke apartemennya di Toa Payoh, Lorong 8, Singapura. Cukup jauh perjalanannya. Naik bus, ganti kereta MRT, kemudian naik bus lagi. Bunda sengaja tidak naik taksi, biar saya bisa jalan-jalan sendiri. Ia membelikan saya kartu yang bisa digunakan untuk naik bus dan kereta. Sebelum sampai ke Lorong 8, kami mampir di supermarket dan membeli sejumlah bahan makanan untuk berbuka puasa.
***

Apartemen itu berada di lantai 6. Dihuni tiga orang: Bunda, suaminya, Jumadi Safar, dan seorang putrinya (maaf lupa namanya). Meski sekali pernah bertemu dengan suami Bunda di Jakarta, saat itulah saya tahu kondisinya. Abah, begitu kami memanggilnya, duduk di kursi. Salah satu kakinya nyaris tak dapat digerakkan. Dan Bunda merawatnya dengan sepenuh cinta.

Sementara Bunda Anie Din menyiapkan santapan untuk berbuka puasa, saya dan Abah berbincang tentang banyak hal. Rupanya, Abah sudah cukup lama menderita stroke. Pengobatan dengan berbagai cara sudah dilakukan. Dan Bunda, setia menemani dan melayani berbagai keperluannya. Di luar itu, Abah pun ternyata suami yang memahami profesi istrinya. Maka, dibiarkanlah Bunda melakukan berbagai aktivitas sastra di dalam atau di luar Singapura.

Menjelang berbuka puasa, beberapa sastrawan Singapura datang. Juga TKI yang bekerja di Singapura. Rupanya, Bunda sudah mengundang teman-teman lain buka bersama di apartemennya. Lebih dari sepuluh orang, kami berbuka puasa bersama berbincang tentang sastra, puisi, dan apa saja. Malam itu, kamar Bunda Anie Din penuh tawa. Abah menikmati suasana kehebohan itu sambil sekali-sekala ikut dalam perbincangan.

Sekitar jam 21.00 waktu Singapura, saya pamit. Kembali ke NEC di kompleks kampus NIE. Dodi Henris, dramawan dan penyair Singapura, mengantar saya. Dalam perjalanan, perbincangan dengan Dodi Henris lebih banyak menyentuh masalah dunia laki-laki. Meski begitu, di antara itu, sosok Bunda Anie Din, mulai terkuak. Rupanya, Bunda sejak lama berperan sebagai bunda bagi sastrawan-sastrawan muda Singapura.
***

Hari Minggu, sengaja saya bangun siang. Tak ada kegiatan, kecuali menyiapkan bahan kuliah untuk esok. Rupanya, Bunda meminta penyair Singapura yang—puisi-puisinya agak berlainan dengan puisi penyair Singapura seangkatannya, Cikgu Karmin, untuk membawa saya berbuka puasa bersama Bunda Anie Din. Tentu saya tak dapat menolak. Karena dengan begitu, perkara berbuka sudah dapat diselesaikan.

Dengan mobilnya, Cikgu Karmin membawa saya berputar-putar mencari janur untuk ketupat lebaran. Betapa sulitnya orang Melayu mencari janur di Singapura. Di tengah kota, tidak ada lagi pohon kelapa. Kalaupun ada, konon, pohon itu sudah milik pemerintah. Orang tak boleh sembarangan mengambil daunnya.

Sekitar jam 16.00 kami tiba di apartemen Bunda di Toa Payoh, Lorong 8. Dan menjelang magrib, kami berempat: saya, Cikgu Karmin, Bunda, dan Abah, pergi ke kawasan Geylang (atau kawasan apa, saya lupa). Wow! Pasar kuliner. Berderet-deret anak-anak muda antre membeli makanan selera milineal. Setiap gerai makanan, penuh pengunjung yang didominasi anak-anak muda.

Ketika kami melewati sebuah masjid, Abah mengajak kami berhenti sebentar untuk solat magrib. Bergantian orang-orang keluar-masuk masjid. Ada juga sejumlah orang duduk berderet, entah sedang menunggui apa. Belakangan, saya diberi tahu, jika mereka yang duduk berderet itu adalah para mualaf.

Kami keluar masjid—yang ternyata masjid Ahmadiyah. Cikgu Karmin membawa kami ke sebuah restoran Melayu. Bunda bertindak sebagai pemandu untuk pemesanan makanan. Buka puasa dengan menu masakan Melayu, di pusat kota Singapura, di tengah hiruk-pikuk orang-orang beragam suku bangsa, bagi saya, adalah pengalaman yang eksotik, khas, yang belum tentu dapat saya ulangi lagi.

Selepas makan, sambil minum dan menikmati semacam martabak Melayu, kami berbincang macam-macam. Cikgu Karmin tiba-tiba menarik tangan saya, membawa saya ke kios-kios busana. Dan malam itu, Cikgu Karmin menghadiahi saya celana sarung, yaitu sarung yang didesain seperti celana.

Menjelang malam, Cikgu Karmin mengantar Bunda dan Abah ke apartemennya. Selepas itu, mengantar saya kembali ke Nanyang Executive Centre.

Begitulah, sepuluh hari terakhir Ramadan di Singapura mencipta kenangan yang tak gampang lekang. Tanggal 13 Juni 2018, sehari sebelum Iedul Fitri, petugas Nanyang Executive Centre mengantar saya ke Bandara Changi. Begitu memasuki bandara, Bunda Anie Din ternyata sudah menunggu di sana. Ia membawa pokok bunga yang tumbuh di depan kamar apartemennya. Tentu saja saya senang menerimanya. Kini pokok bunga dari Singapura itu tumbuh subur di halaman beberapa rumah di Bojonggede. Bunganya merah-indah, daun mudanya, saya telan sebagai lalaban.
Memasuki pemeriksaan imigrasi bandara, kami berpisah.
***

Sebuah penelitian tentang “Syair Kampung Gelam Terbakar” karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, membawa kami kembali ke Singapura, 25—27 Juni 2018. Saya, Bastian Zulyeno, Ade Solihat, dan Suranta, sebagai tim peneliti UI, bermaksud melacak bagaimana kebakaran yang terjadi di Kampung Gelam, 12 Februari 1847, sebagaimana yang dikisahkan Abdullah Munsyi dalam sebuah syairnya. Apakah jejaknya masih dapat ditelusuri sekarang? Tentu saja penelitian itu tidak hendak mencari puing-puing bangunan yang terbakar, melainkan semangat toleransi dan tolong-menolong masyarakat Kampung Gelam yang heterogen.

Sebelum ke Singapura, kami menghubungi Bunda Anie Din. Maka, begitu kami sampai di Bandara Changi, kami langsung ke apartemennya di Toa Payoh, Lorong 8.

Bunda dan Abah menyambut kami dengan riang gembira. Ia setengah memaksa mempersilakan kami tinggal di apartemennya. Jadi, selama penelitian itu, kami berempat tinggal di apartemen Bunda.

Penelitian kami berjalan lancar, sebab Bunda berperan sebagai pemandu.
Selama tiga hari itu, kami berbincang banyak hal dengan Abah. Luar biasa orang ini! Supersabar menerima kondisi fisiknya yang tak dapat bergerak bebas; selalu well come menerima tetamu siapa pun dan dari mana pun datangnya. Belakangan saya tahu, sejumlah besar sastrawan dari Riau, Jakarta, Jambi, Batam, dan seterusnya yang kenal Bunda, jika ke Singapura, menginap di apartemen Bunda. Toa Payoh, Lorong 8 sering kali juga disebut Wisma Sastrawan Indonesia.
***

Ketika ada kabar, Bunda jatuh sakit di Malaysia, dan dirawat di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, saya membayangkan, betapa repotnya Abah menemani sang istri tercinta. Tetapi, sejauh saya mengenalnya, Abah manusia supertabah. Jadi, pastilah tak ada keluh kesah. Ia begitu tenang menghadapi hidupnya yang harus menanggung beban kakinya yang tidak dapat bergerak bebas. Tentu ia akan memperlihatkan ketenangan yang sama dalam menghadapi sang istri yang terbaring sakit.

Begitulah, Bunda Anie Din dan Abah Jumadi Safar, suami—istri, dua makhluk Tuhan yang rupanya sudah ditakdirkan untuk merawat kesabaran, ketabahan, dan keterbukaan menerima siapa pun di apartemennya. Keduanya bagai sepasang lilin yang rela meleleh, hanya untuk memberi penerangan pada alam, pada sesama. Kini, Abah telah pergi, tetapi Bunda selalu tidak sendiri, karena “anak-anak asuhnya” bertebaran di wilayah Nusantara ini. Bersabarlah Bunda, sebagaimana Abah telah mengajari, bagaimana merawat kesabaran dan ketabahan.

Terima kasih Bunda, terima kasih Abah. Saya berkesempatan melihat sepasang lilin bercahaya di rumah malaikat!
***

http://sastra-indonesia.com/2020/02/sepasang-lilin-di-rumah-malaikat/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati