Maman S. Mahayana
Dibandingkan teman-teman dari Pekanbaru, Tanjungpinang, Batam, dan Padang; juga teman-teman dari Malaysia dan Brunei Darussalam, saya terlambat mengenalnya: novelis Singapura yang prolifik dan humanis. Namanya Rohani Din. Sekitar 20-an novel sudah dihasilkannya. Novel-novelnya tebal. Satu di antaranya, berjudul Diari Bonda (Kuala Lumpur: Creative Enterprise Sdn. Bhd., 2004, 738 halaman) yang dalam setahun penerbitannya telah mengalami cetak ulang.
Sebagian besar novelnya terbit di Kuala Lumpur, sebagiannya lagi terbit di Singapura dan Jakarta. Rupanya, dunia Melayu dan nostalgia masa kanak-kanak yang menjadikan novel-novelnya banyak diminati pembaca. Penggemarnya cukup ramai yang berkirim surat, sms, e-mail atau pesan melalui facebook. Maka penjualan bukunya sering dilakukan sendiri melalui pemesanan langsung.
Beberapa kali saya bertemu dengan Rohani Din di Kuala Lumpur, Jakarta, Jambi, Pekanbaru atau di mana-mana tempat. Ketika Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VIII diselenggarakan di Prince of Songkla University, Pattani, Thailand Selatan, 21—24 November 2015, kembali, saya jumpa Rohani Din. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, tidak ada yang istimewa. Kami berbincang sekadarnya, becanda ringan, dan ketawa-ketiwi. Meski begitu, kesukaannya mentraktir teman-teman dari Indonesia untuk sekadar makan, minum kopi atau belanja pernak-pernik cenderamata, cukup menarik perhatian. Tampaknya dia nothing to lose, nyantei saja melakukannya.
***
Pada awal April 2018 saya mendapat undangan mengajar Kritik Sastra untuk semester pendek di National Institute of Education (NIE), Nanyang Technological University (NTU), Singapore, 4—14 Juni 2018. Saya tahu, tanggal itu merupakan sepuluh hari terakhir Ramadan. Jadi, sambil berharap mendapat malam lailatul qadar, saya bersuka cita menerima tawaran itu. Rencana saya mengajar di NIE itu rupanya sudah dipersiapkan segala sesuatunya oleh rekan pengajar di sana, terutama Prof. Dr. Sa'eda Buang, Prof Dr Madya Roksana, dan Prof Dr Hadijah Rahmat.
Untuk tinggal selama di Singapura, pihak NIE sudah menyediakan sebuah kamar yang nyaman di Nanyang Executive Centre (NEC), Guest House untuk dosen atau mahasiswa asing. Wisma Tamu itu terletak di kompleks kampus NIE yang cukup luas. Pihak wisma menyediakan sarapan dan makan siang. Tetapi, karena bulan Ramadan, saya terpaksa mencari makan untuk buka puasa dan sahur di kedai atau di restoran di kawasan mal atau pusat perbelanjaan yang mesti ditempuh dengan naik bus. Oh, repotnya.
Untuk pergi mengajar dan kembali ke wisma, seorang mahasiswa Singapore, menjemput-antar saya pakai mobil pribadinya, Roll Royce. Namanya, Awaluddin, mantan tentara perdamaian internasional Singapore yang pensiun dini dan kemudian beralih profesi sebagai guru Melayu. Kini ia menempuh S-2 di NIE. Jika ada waktu luang, ia membawa saya jalan-jalan berkeliling Singapura.
Hari pertama, Prof. Dr. Sa'eda Buang memberi saya makanan untuk berbuka dan untuk sahur. Hari kedua, giliran Prof Roksana. Hari ketiga Awaluddin mengajak saya buka bersama di Masjid Raya. Begitulah untuk makanan berbuka puasa hari berikutnya giliran mahasiswa yang membawa saya di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari Sabtu dan Minggu, tidak ada kuliah. Saya harus ke pusat kota untuk berbuka puasa dan menyiapkan bekal sahur. Pada saat itulah, Tuhan seperti mengirim malaikat.
Siang itu, resepsionis memberi tahu, ada tamu yang ingin jumpa saya. Siapakah gerangan dia? Tadinya saya ingin ke tempat sastrawan senior Singapura, Suratman Markasan. Tetapi, kabarnya dia sudah pindah ke Johor. Sastrawan Singapura lainnya, tidak punya kontak, juga belum saya kenal. Jadi, siapakah tamu itu?
Saya turun ke lobi. Seorang perempuan setengah baya rupanya sudah menunggu: Bunda Anie Din! Sebuah kejutan.
Setelah bertegur-sapa dan berbincang sebentar, Bunda mengajak saya ke apartemennya di Toa Payoh, Lorong 8, Singapura. Cukup jauh perjalanannya. Naik bus, ganti kereta MRT, kemudian naik bus lagi. Bunda sengaja tidak naik taksi, biar saya bisa jalan-jalan sendiri. Ia membelikan saya kartu yang bisa digunakan untuk naik bus dan kereta. Sebelum sampai ke Lorong 8, kami mampir di supermarket dan membeli sejumlah bahan makanan untuk berbuka puasa.
***
Apartemen itu berada di lantai 6. Dihuni tiga orang: Bunda, suaminya, Jumadi Safar, dan seorang putrinya (maaf lupa namanya). Meski sekali pernah bertemu dengan suami Bunda di Jakarta, saat itulah saya tahu kondisinya. Abah, begitu kami memanggilnya, duduk di kursi. Salah satu kakinya nyaris tak dapat digerakkan. Dan Bunda merawatnya dengan sepenuh cinta.
Sementara Bunda Anie Din menyiapkan santapan untuk berbuka puasa, saya dan Abah berbincang tentang banyak hal. Rupanya, Abah sudah cukup lama menderita stroke. Pengobatan dengan berbagai cara sudah dilakukan. Dan Bunda, setia menemani dan melayani berbagai keperluannya. Di luar itu, Abah pun ternyata suami yang memahami profesi istrinya. Maka, dibiarkanlah Bunda melakukan berbagai aktivitas sastra di dalam atau di luar Singapura.
Menjelang berbuka puasa, beberapa sastrawan Singapura datang. Juga TKI yang bekerja di Singapura. Rupanya, Bunda sudah mengundang teman-teman lain buka bersama di apartemennya. Lebih dari sepuluh orang, kami berbuka puasa bersama berbincang tentang sastra, puisi, dan apa saja. Malam itu, kamar Bunda Anie Din penuh tawa. Abah menikmati suasana kehebohan itu sambil sekali-sekala ikut dalam perbincangan.
Sekitar jam 21.00 waktu Singapura, saya pamit. Kembali ke NEC di kompleks kampus NIE. Dodi Henris, dramawan dan penyair Singapura, mengantar saya. Dalam perjalanan, perbincangan dengan Dodi Henris lebih banyak menyentuh masalah dunia laki-laki. Meski begitu, di antara itu, sosok Bunda Anie Din, mulai terkuak. Rupanya, Bunda sejak lama berperan sebagai bunda bagi sastrawan-sastrawan muda Singapura.
***
Hari Minggu, sengaja saya bangun siang. Tak ada kegiatan, kecuali menyiapkan bahan kuliah untuk esok. Rupanya, Bunda meminta penyair Singapura yang—puisi-puisinya agak berlainan dengan puisi penyair Singapura seangkatannya, Cikgu Karmin, untuk membawa saya berbuka puasa bersama Bunda Anie Din. Tentu saya tak dapat menolak. Karena dengan begitu, perkara berbuka sudah dapat diselesaikan.
Dengan mobilnya, Cikgu Karmin membawa saya berputar-putar mencari janur untuk ketupat lebaran. Betapa sulitnya orang Melayu mencari janur di Singapura. Di tengah kota, tidak ada lagi pohon kelapa. Kalaupun ada, konon, pohon itu sudah milik pemerintah. Orang tak boleh sembarangan mengambil daunnya.
Sekitar jam 16.00 kami tiba di apartemen Bunda di Toa Payoh, Lorong 8. Dan menjelang magrib, kami berempat: saya, Cikgu Karmin, Bunda, dan Abah, pergi ke kawasan Geylang (atau kawasan apa, saya lupa). Wow! Pasar kuliner. Berderet-deret anak-anak muda antre membeli makanan selera milineal. Setiap gerai makanan, penuh pengunjung yang didominasi anak-anak muda.
Ketika kami melewati sebuah masjid, Abah mengajak kami berhenti sebentar untuk solat magrib. Bergantian orang-orang keluar-masuk masjid. Ada juga sejumlah orang duduk berderet, entah sedang menunggui apa. Belakangan, saya diberi tahu, jika mereka yang duduk berderet itu adalah para mualaf.
Kami keluar masjid—yang ternyata masjid Ahmadiyah. Cikgu Karmin membawa kami ke sebuah restoran Melayu. Bunda bertindak sebagai pemandu untuk pemesanan makanan. Buka puasa dengan menu masakan Melayu, di pusat kota Singapura, di tengah hiruk-pikuk orang-orang beragam suku bangsa, bagi saya, adalah pengalaman yang eksotik, khas, yang belum tentu dapat saya ulangi lagi.
Selepas makan, sambil minum dan menikmati semacam martabak Melayu, kami berbincang macam-macam. Cikgu Karmin tiba-tiba menarik tangan saya, membawa saya ke kios-kios busana. Dan malam itu, Cikgu Karmin menghadiahi saya celana sarung, yaitu sarung yang didesain seperti celana.
Menjelang malam, Cikgu Karmin mengantar Bunda dan Abah ke apartemennya. Selepas itu, mengantar saya kembali ke Nanyang Executive Centre.
Begitulah, sepuluh hari terakhir Ramadan di Singapura mencipta kenangan yang tak gampang lekang. Tanggal 13 Juni 2018, sehari sebelum Iedul Fitri, petugas Nanyang Executive Centre mengantar saya ke Bandara Changi. Begitu memasuki bandara, Bunda Anie Din ternyata sudah menunggu di sana. Ia membawa pokok bunga yang tumbuh di depan kamar apartemennya. Tentu saja saya senang menerimanya. Kini pokok bunga dari Singapura itu tumbuh subur di halaman beberapa rumah di Bojonggede. Bunganya merah-indah, daun mudanya, saya telan sebagai lalaban.
Memasuki pemeriksaan imigrasi bandara, kami berpisah.
***
Sebuah penelitian tentang “Syair Kampung Gelam Terbakar” karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, membawa kami kembali ke Singapura, 25—27 Juni 2018. Saya, Bastian Zulyeno, Ade Solihat, dan Suranta, sebagai tim peneliti UI, bermaksud melacak bagaimana kebakaran yang terjadi di Kampung Gelam, 12 Februari 1847, sebagaimana yang dikisahkan Abdullah Munsyi dalam sebuah syairnya. Apakah jejaknya masih dapat ditelusuri sekarang? Tentu saja penelitian itu tidak hendak mencari puing-puing bangunan yang terbakar, melainkan semangat toleransi dan tolong-menolong masyarakat Kampung Gelam yang heterogen.
Sebelum ke Singapura, kami menghubungi Bunda Anie Din. Maka, begitu kami sampai di Bandara Changi, kami langsung ke apartemennya di Toa Payoh, Lorong 8.
Bunda dan Abah menyambut kami dengan riang gembira. Ia setengah memaksa mempersilakan kami tinggal di apartemennya. Jadi, selama penelitian itu, kami berempat tinggal di apartemen Bunda.
Penelitian kami berjalan lancar, sebab Bunda berperan sebagai pemandu.
Selama tiga hari itu, kami berbincang banyak hal dengan Abah. Luar biasa orang ini! Supersabar menerima kondisi fisiknya yang tak dapat bergerak bebas; selalu well come menerima tetamu siapa pun dan dari mana pun datangnya. Belakangan saya tahu, sejumlah besar sastrawan dari Riau, Jakarta, Jambi, Batam, dan seterusnya yang kenal Bunda, jika ke Singapura, menginap di apartemen Bunda. Toa Payoh, Lorong 8 sering kali juga disebut Wisma Sastrawan Indonesia.
***
Ketika ada kabar, Bunda jatuh sakit di Malaysia, dan dirawat di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, saya membayangkan, betapa repotnya Abah menemani sang istri tercinta. Tetapi, sejauh saya mengenalnya, Abah manusia supertabah. Jadi, pastilah tak ada keluh kesah. Ia begitu tenang menghadapi hidupnya yang harus menanggung beban kakinya yang tidak dapat bergerak bebas. Tentu ia akan memperlihatkan ketenangan yang sama dalam menghadapi sang istri yang terbaring sakit.
Begitulah, Bunda Anie Din dan Abah Jumadi Safar, suami—istri, dua makhluk Tuhan yang rupanya sudah ditakdirkan untuk merawat kesabaran, ketabahan, dan keterbukaan menerima siapa pun di apartemennya. Keduanya bagai sepasang lilin yang rela meleleh, hanya untuk memberi penerangan pada alam, pada sesama. Kini, Abah telah pergi, tetapi Bunda selalu tidak sendiri, karena “anak-anak asuhnya” bertebaran di wilayah Nusantara ini. Bersabarlah Bunda, sebagaimana Abah telah mengajari, bagaimana merawat kesabaran dan ketabahan.
Terima kasih Bunda, terima kasih Abah. Saya berkesempatan melihat sepasang lilin bercahaya di rumah malaikat!
***
http://sastra-indonesia.com/2020/02/sepasang-lilin-di-rumah-malaikat/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Hana N.S
A. Kohar Ibrahim
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Laksana
Aa Aonillah
Aan Frimadona Roza
Aba Mardjani
Abd Rahman Mawazi
Abd. Rahman
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wahab
Abdullah Alawi
Abonk El ka’bah
Abu Amar Fauzi
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adhimas Prasetyo
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Aditya Ardi N
Ady Amar
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus S. Riyanto
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Ahda Imran
Ahlul Hukmi
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad S Rumi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alfian Zainal
Ali Audah
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alwi Shahab
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Machmud NS
Anam Rahus
Anang Zakaria
Anett Tapai
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anita Dhewy
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurniawan
Anwar Noeris
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Arida Fadrus
Arie MP Tamba
Aries Kurniawan
Arif Firmansyah
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Aris Kurniawan
Arman AZ
Arther Panther Olii
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
Arya Winanda
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Asrul Sani (1927-2004)
Awalludin GD Mualif
Ayi Jufridar
Ayu Purwaningsih
Azalleaislin
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bagus Fallensky
Balada
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brillianto
Brunel University London
BS Mardiatmadja
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerpen
Chamim Kohari
Chrisna Chanis Cara
Cover Buku
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Dana Gioia
Danang Harry Wibowo
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hardiana
Dian Hartati
Diani Savitri Yahyono
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi AH Iyubenu
Edi Sarjani
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eduardus Karel Dewanto
Edy A Effendi
Efri Ritonga
Efri Yoni Baikoen
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Endarmoko
Eko Hendri Saiful
Eko Triono
Eko Tunas
El Sahra Mahendra
Elly Trisnawati
Elnisya Mahendra
Elzam
Emha Ainun Nadjib
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Etik Widya
Evan Ys
Evi Idawati
Fadmin Prihatin Malau
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faiz Manshur
Faradina Izdhihary
Faruk H.T.
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fitri Yani
Frans
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Gde Agung Lontar
Gerson Poyk
Gilang A Aziz
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gus TF Sakai
H Witdarmono
Haderi Idmukha
Hadi Napster
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hardjono WS
Hari B Kori’un
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hazwan Iskandar Jaya
Hendra Makmur
Hendri Nova
Hendri R.H
Hendriyo Widi
Heri Latief
Heri Maja Kelana
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Firyansyah
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husen Arifin
I Nyoman Suaka
I Wayan Artika
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahjadi
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Norman
Iskandar Saputra
Ismatillah A. Nu’ad
Ismi Wahid
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.J. Ras
J.S. Badudu
Jafar Fakhrurozi
Jamal D. Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jemie Simatupang
JILFest 2008
JJ Rizal
Joanito De Saojoao
Joko Pinurbo
Jual Buku Paket Hemat
Jumari HS
Junaedi
Juniarso Ridwan
Jusuf AN
Kafiyatun Hasya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Key
Khudori Husnan
Kiki Dian Sunarwati
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Kris Razianto Mada
Krisman Purwoko
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Kuss Indarto
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
L.K. Ara
L.N. Idayanie
La Ode Balawa
Laili Rahmawati
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayanie
Lukman Asya
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Raudah Jambak
M. Ady
M. Arman AZ
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Makmur Dimila
Mala M.S
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Mariana Amiruddin
Marjohan
Martin Aleida
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Mathori A. Elwa
Media: Crayon on Paper
Medy Kurniawan
Mega Vristian
Melani Budianta
Mikael Johani
Mila Novita
Misbahus Surur
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohammad Cahya
Mohammad Eri Irawan
Mohammad Ikhwanuddin
Morina Octavia
Muhajir Arrosyid
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Multatuli
Munawir Aziz
Muntamah Cendani
Murparsaulian
Musa Ismail
Mustafa Ismail
N Mursidi
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nelson Alwi
Nezar Patria
NH Dini
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Ni’matus Shaumi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nisa Ayu Amalia
Nisa Elvadiani
Nita Zakiyah
Nitis Sahpeni
Noor H. Dee
Noorca M Massardi
Nova Christina
Noval Jubbek
Novelet
Nur Hayati
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurul Anam
Nurul Hidayati
Obrolan
Oyos Saroso HN
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
PDS H.B. Jassin
Petak Pambelum
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puji Santosa
Purnawan Basundoro
Purnimasari
Puspita Rose
PUstaka puJAngga
Putra Effendi
Putri Kemala
Putri Utami
Putu Wijaya
R. Fadjri
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R. Toto Sugiharto
R.N. Bayu Aji
Rabindranath Tagore
Raden Ngabehi Ranggawarsita
Radhar Panca Dahana
Ragdi F Daye
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Renosta
Resensi
Restoe Prawironegoro
Restu Ashari Putra
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Ridwan Rachid
Rifqi Muhammad
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Risa Umami
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rofiuddin
Romi Zarman
Rukmi Wisnu Wardani
Rusdy Nurdiansyah
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman Yoga S
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sariful Lazi
Saripuddin Lubis
Sartika Dian Nuraini
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Indonesia
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sides Sudyarto DS
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Wrekso Wikromo
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slamet Widodo
Sobirin Zaini
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sreismitha Wungkul
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sugeng Satya Dharma
Sugiyanto
Suheri
Sujatmiko
Sulaiman Tripa
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syarifuddin Arifin
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajudin Noor Ganie
Tammalele
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tharie Rietha
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tjahjono Widarmanto
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Wahono
Trisna
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Wahyu Prasetya
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Weni Suryandari
Widodo
Wijaya Hardiati
Wikipedia
Wildan Nugraha
Willem B Berybe
Winarta Adisubrata
Wisran Hadi
Wowok Hesti Prabowo
WS Rendra
X.J. Kennedy
Y. Thendra BP
Yanti Riswara
Yanto Le Honzo
Yanusa Nugroho
Yashinta Difa
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yusuf Assidiq
Zahrotun Nafila
Zakki Amali
Zawawi Se
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar