Senin, 27 April 2020

MENELUSURI PEREMPUAN PENULIS DI JAWA TIMUR, SEBUAH JELAJAH AWAL

Mashuri *

Di ranah penulisan di Jawa Timur, tinta kencana pernah tertoreh dengan indah terkait perempuan penulis. Kini, memang agak sulit mencari perempuan generasi kiwari yang benar-benar kuat dan liat dalam menempuh jalan kepenulisan. Meski demikian, pada perkembangan mutakhir, tercatat satu-dua nama perempuan penulis Jawa Timur yang berkarakter.

Dengan pertimbangan untuk menelusuri kiprah perempuan penulis Jawa Timur, saya melakukan serangkaian penelusuran agar generasi kiwari dapat menghirup aura positif nan inspiratif dari para pendahulu yang berkarya dengan keihlasan tiada tara. Mumpung Ramadan, Coy!

Tonggak penelusuran pertama saya lakukan pada kiprah Ratna Indraswari Ibrahim. Prosais perempuan yang wafat sembilan tahun lalu dan dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Sama’an Malang tersebut adalah sosok istimewa yang semangat berkaryanya hingga kini masih terasa dan tak lekang oleh masa, terutama bagi penggerak seni dan budaya di Malang Raya.

Selanjutnya, penelusuran saya pun sampai ke beberapa penulis perempuan yang pernah berkiprah dan berkibar di Jawa Timur, yaitu pada sosok raksasa dalam sastra Jawa St. Iesmaniasita dari Mojokerto, lalu ke beberapa daerah lainnya, baik itu yang menggurat karya dalam penulisan karya sastra berbahasa Indonesia maupun karya sastra berbahasa daerah.

KACA BENGGALA

Semasa hidup, Ratna Indraswari Ibrahim yang sering disapa Mbak Ratna adalah sosok langka. Secara fisik, perempuan penulis yang lahir pada 24 April 1949 dan wafat 28 Maret 2011 tersebut dikaruniai keterbatasan. Namun, daya kreatifnya jauh melampaui fisiknya. Ia adalah prigi inspirasi yang tak habis-habisnya bagi siapa saja. Ia tidak hanya menjadi simbol kaum difabel yang berdaya, tetapi ia juga menjadi kaca benggala dari para kaum sehat sentausa untuk bercermin dan melakukan introspeksi diri.

Bahkan, para penulis dari kaumnya sendiri juga berkaca pada mendiang, sebagaimana yang diakui Helvy Tiana Rosa, pendiri Komunitas Lingkar Pena, dalam sebuah tulisan “Tempat Bercermin: Ratna Indraswari Ibrahim” yang dimuat dalam buku Saya dan Mbak Ratna. Buku setebal setebal 68 halaman tersebut diluncurkan untuk peringatan 40 hari kematian Mbak Ratna, pada Sabtu, 7 Mei 2011 di jalan Diponegoro 3 Malang.

Tidak hanya dari penulis kaum hawa. Malah, berdasar pengakuan beberapa penulis pria di Jawa Timur, Mbak Ratna juga seringkali menjadi tempat berkaca, media pembanding dan penyemangat diri, manakala semangat menulis tiba-tiba redup dalam kehidupan kreatif.

“Bila gairah menulis dan bersastra saya menurun, saya selalu menyempatkan diri ke Malang. Bersilaturrahmi pada Mbak Ratna. Di depannya saya malu karena orang yang dikaruniai fisik yang terbatas dapat terus menghasilkan karya yang seakan tanpa batas. Adapun, saya yang berfisik utuh kok mau-maunya tidak berkarya,” tutur Aming Aminoedhin, salah satu penyair terkemuka Jawa Timur, yang tinggal di Mokokerto.

Memang, meski dalam kondisi fisik yang serba terbatas, Mbak Ratna terus ‘istiqamah’ berkarya hinga akhir hayat. Bahkan, ada sebuah novelnya yang berkisah tentang gerakan mahasiswa memperjuangkan reformasi tahun 1998 diterbitkan secara anumerta oleh Gramedia, yaitu 1998 karena Mbak Ratna berpulang lebih dulu ke alam keabadian. Kiprah Mbak Ratna dalam dunia penulisan sangat brilian. Cerpennya berkali-kali masuk dalam cerpen unggulan Kompas. Karyanya pun sangat melimpah.

Sekadar menyebutkan adalah sebagai berikut. Cerpen-cerpennya yang masuk dalam buku antologi pilihan Kompas, di antaranya Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), dan Waktu Nayla (2003). Karya-karya tunggalnya di antaranya adalah Aminah di Suatu Hari, Menjelang Pati (1994), Namanya Massa (2000), Lakon Di Kota Senja (2002), Sumi dan Gambarnya (2003), Bukan Pinang Dibelah Dua (2003), Lemah Tanjung (2003), Pecinan di Kota Malang (2007), Lipstik di Tas Doni (2007), dan lainnya. Bahkan, sebuah sumber menyebut bahwa Mbak Ratna juga pernah menulis puisi. Cerpen-cerpennya ratusan, bahkan mendekati jumlah seribu.

Keluasan spektrum ide dan gagasan dalam karya-karya dan pemikiran Mbak Ratna begitu luas, menjadikannya mendapat banyak sekali gelar, mulai dari perempuan pembela lingkungan, pembela perempuan, pembela kemiskinan, dan lainnya. Ia pun dikenal peduli dengan kaumnya. Banyak penulis cerpen muda perempuan dari Malang yang mengaku berguru pada Mbak Ratna. Memang Mbak Ratna tidak pernah secara legal formal memiliki murid, tetapi dari beberapa nama yang pernah menjadi ‘juru ketiknya’, telah menjadi perempuan penulis andal, di antaranya Elwieq Pr, Titik Komariyah, Zizi Hefni, dan masih banyak lagi.

Ihwal kepedulian Mbak Ratna pada kaumnya, saya sempat merekam dalam sebuah pembicaraan, ketika saya bertandang ke rumahnya, sekitar 2009, sebelum dia jatuh sakit. Dia usul agar dibuatkan sebuah acara pelatihan atau sayembara yang melibatkan kaum perempuan untuk suka dan menekuni dunia tulis-menulis, terutama untuk peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu, sehingga tidak terkesan peringatan itu diisi dengan peragaan busana kebaya dan tidak mengesankan perempuan hanya berada pada wilayah domestik semata.

“Coba diadakan sayembara penulisan pada saat peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu. Tujuannya, agar perempuan dan ibu-ibu itu mau membaca dan menulis dan tidak hanya urusan seputar dapur, sumur, dan kasur saja,” tegasnya.

Selain itu, ada pula usul Mbak Ratna yang cukup menggelitik yang menarik untuk dilakukan. Di antaranya adalah sosialisasi buku bacaan pada ibu-ibu yang sedang menyusui atau yang punya anak sedang duduk di bangku PAUD dan TK, sehingga ibu-ibu dapat menularkan hasil bacaannya pada anak-anaknya. “Menyusui sambil membaca buku itu kan bagus. Begitu pula, memberi bacaan bermutu pada ibu-ibu PAUD dan TK, sehingga mereka dapat memberi asupan gizi batin pada anak-anak yang sedang membutuhkannya,” tuturnya.

Ide atau usulan tersebut dapat dikatakan melampaui masanya, karena ide itu diungkapkan jauh sebelum gerakan literasi membahana di mana-mana dan menjadi program nasional. Sejak dulu, Mbak Ratna memang bergulat dalam dunia penulisan dan pemberdayaan masyarakat. Ia menjadikan rumahnya sebagai sebuah ruang perjumpaan dari berbagai elemen masyarakat untuk berdiskusi dan melek kondisi sosial budaya, serta tradisi tulis-menulis, dengan nama Komunitas Pelangi. Di rumahnya, juga dibuka tobucil, alias toko buku kecil yang dikelola oleh orang-orang yang dekat dengannya dan membantunya dalam aktivitas keseharian.

Sebagai manusia biasa, ia pun pernah mencurahkan keluhan hatinya terkait dengan perhatian pemangku kebijakan di Indonesia pada dunia tulis-menulis, terutama bagi nasib penulis di tanah air. Ia pernah mengatakan, jika selama ini, banyak orang tidak melihat penulis sebagai pengukir jiwa bangsa yang selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari pemegang kebijakan tentang pendidikan di Indonesia.

“Penulis dan sastrawan itu adalah penyusun elemen halus dan batin masyarakatnya. Mereka pengukir jiwa bangsa. Tetapi, yang terjadi seringkali ironi, karena nasib mereka seringkali tidak diperhatikan,” tutur Mbak Ratna.

Meski demikian, ia tidak pernah patah arang untuk berbakti secara nyata kepada masyarakat lewat karya-karyanya. Yang menggembirakan, meski kini Mbak Ratna sudah berpulang, tetapi nyala Komunitas Pelangi yang pernah digagasnya, hingga kini masih benderang dan menjadi penopang api literasi di Malang. Namanya kini menjadi Pelangi Sastra Malang. Kini komunitas warisan Mbak Ratna tersebut menjadi kawah candradimuka, tempat menempa dan berproses kawan-kawan sastra di Malang.

“Pelangi Sastra Malang memang kelanjutan dari Komunitas Pelangi yang digagas Mbak Ratna,” tutur Deny Mizhar, ketua Pelangi Sastra Malang.

PEMBAHARU SASTRA JAWA

Bila menyebut hubungan sastra Jawa di Jawa Timur dan peran penulis perempuan, ingatan akan langsung menukik ke nama. St Iesmaniasita. Bagaimanapun, St. Iesmaniasita layak disebut sebagai pionir, pendobrak, dan sebuah mercu, tidak hanya dalam lokal Mojokerto, lingkup Jawa Timur, tetapi secara nasional. Beberapa pengamat dan kritikus sastra melabeli St Iesmaniasita dengan berbagai label yang mengguncang dunia persilatan sastra Jawa. Ia tidak hanya berkiprah dalam penulisan cerpen saja, tetapi juga puisi. Keduanya mendapat apresiasi luar biasa.

Sri Widati, kritikus Sastra Jawa dari Yogyakarta, menobatkan St. Iesmaniasita sebagai pembaharu puisi Jawa modern. Hal itu termaktub dalam judul buku yang ditulisnya “St. Iesmaniasita: Pembaharu Puisi Jawa Modern” yang diterbitkan oleh Gama Media Yogyakarta, 2004. Buku tersebut berisi biografi St. Iesmaniasita yang mencakupi latar belakang pribadi pengarang, kondisi keagamaan, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan sosialnya, serta kiprahnya dalam dunia penulisan sebagai pembaharu.

Widati menegaskan, kepeloporan St. Iesmaniasita terkait penulisan puisi Jawa modern, baik dalam bentuk bebas dalam larik, jumlah silabus, irama yang ringan, dan persajakan yang dinamis, maupun dalam tema dan masalah yang digarap. Widati juga mengatakan bahwa St. Iesmaniasita telah mengawali model penulisan perempuan yang berbeda dengan laki-laki.

Hal yang sama juga berlaku dalam cerpen. Sri Widati menjelaskan, sejarah sastra Jawa di Indonesia pernah mengalami dekadensi dengan langkanya penulis perempuan untuk mengguratkan karya. Untuk menyikapi hal itu, beberapa penulis laki-laki menggunakan nama samara perempuan. Namun, sejak kemunculan Iesmaniasita, gejala itu tidak lagi ada.

“Sejak tahun 1950—an, muncul penulis cerpen wanita yang andal, yaitu St. Iesmanisita, guru SD dari Mojokerto, Jawa Timur. Berbeda dengan gaya penyaraman sebagai wanita dalam karya pengarang cerpen pria yang dirintis Any Asmara, gaya Iesmaniasita menonjolkan dirinya dengan gaya filosofis, meski tetap feminine. Ia banyak berbicara tentang pendidikan, cinta kasih, hubungan antar keluarga, dan masalah wanita. Masalah-masalah tersebut digarap dengan gaya diskriptif didaktis. Sejak akhir tahun 1960—an, penulisannya bergeser ke arah gaya realisme,” demikian tulis Sri Widati.

Sementara itu, Suripan Sadi Hutomo menegaskan, cerpen St Iesmaniasita memberi tawaran pada gaya penulisan sastra yang dikuasai oleh kaum pria. Dengan demikian, kehadirannya dalam dunia prosa berbahasa Jawa adalah sebagai pionir dan menawarkan kekhasannya dengan gaya baru. “Sejak kemerdekaan, muncul tiga jalur atau gaya penulisan sastra yang memimpin arah perkembangan gaya cerpen Jawa, yaitu jalur Any Asmara, jalur Iesmaniasita, dan jalur Poerwadhie Atmodihardjo,” tulis kritikus sastra yang digelari HB Yasin sastra Jawa tersebut.

Rekam jejak perempuan yang lahir di desa Terusan, Mojokerto, 18 Maret 1933 dan wafat 8 April 2000 tersebut memang luar biasa. Semasa hidup, perempuan yang bernama asli Sulistyo Utami Djojowisastro ini dikenal sebagai penulis serba bisa dan sangat produktif. Karyanya berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, drama, dan puisi. Jumlah karyanya membuat siapapun ternganga.Puisinya lebih dari 500 judul, cerpennya lebih dari 100 judul, dan cerita bersambungnya lebih dari 10 judul.

Ia mulai menulis pada tahun 1950, sejak kelas III SMP. Tulisan pertamanya berupa cerpen. Akan tetapi, dia baru dikenal luas pada tahun 1954 ketika puisinya yang berjudul ”Kowe Wis Lega?” (”Sudah Puaskah Engkau?”) terbit di majalah Panjebar Semangat No. 8 Tahun XIII, tanggal 2 Februari. Selanjutnya, ”Kowe Wis Lega?” masuk dalam buku Kalimput ing Pedut: Kumpulan Crita Cekak Lan Guritan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1976. Puisi itu amat terkenal dan dinilai bersifat avant garde. Dia adalah pengarang perempuan pertama dalam sastra Jawa dan dianggap sebagai pengarang pertama yang berani tampil dengan bahasa Jawa yang tidak baku. Bahasa Jawa ragam ngoko yang digunakannya mengundang kontroversi.

Kemampuannya berolah sastra memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi membaca. Kesenangan membaca yang dimiliki St Iesmaniasita berasal dari tradisi keluarganya yang senang membaca. Keluarganya yang tergolong berkecukupan pada zamannya berlangganan media berbahasa Jawa dan Indonesia. Ia juga memiliki hobi mendengarkan musik klasik dan membaca karya-karya Alexander Pushkin (sastrawan Rusia).

Dalam mempublikasikan karya, St Iesmaniasita juga mempunyai nama samaran. Biasanya dengan nama Lies Djojowisastro atau Umi Gultoum. Karyanya yang berupa kumpulan cerpen dan sudah diterbitkan adalah Kidung Wengi ing Gunung Gamping (1958) dan Kringet Saka Tangan Prakosa (1974). Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah Kalimput ing Pedhut (1976) yang di dalamnya ada 3 buah cerpen dan 20 puisi dan Mawar-Mawar Ketiga (1996). Antologi puisi bersama yang memuat karya Iesmaniasita adalah Geguritan: Antologi Sajak-Sajak Jawa (1978), Seroja Mekar (1985), Kalung Barleyan: Antologi Guritan Penyair Wanita, Kabar Saka Bendulmrisi:Kumpulan Guritan (2001), Lintang-Lintang Ambyor (1983) dan Guritan:Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.

Terkait dengan kiprah St Iesmaniasita, Suripan Sadi Hutomo pernah mengatakan bahwa St Iesmaniasita adalah pengarang wanita yang meretas jalan bagi kaumnya dalam mengembangkan sastra Jawa modern karena sebelum St Iesmaniasita muncul, belum ditemukan hasil karya perempuan pengarang sastra Jawa. Meski kini, tak banyak orang yang tahu tentang sosok St Iesmaniasita, tetapi kiprahnya dalam jagat sastra Jawa akan selalu dicatat sebagai tilas emas. Setelah itu, generasi perempuan penulis sastra Jawa lanjutannya bermunculan dan terus berkiprah, seperti Yunani, Sri Setya Rahayu, Mbah Brintik, Titah Rahayu, Trinil, Ary Nurdiana, dan lain-lainnya.

MEMBUHUL HARAPAN

Dalam ranah sejarah Sastra Indonesia, Jawa Timur memang memiliki beberapa penulis perempuan generasi mapan. Umumnya mereka menulis prosa. Di antaranya adalah Totilawati Tjitrawasita, Ratna Indraswari, Lan Fang, Sirikit Syah, Yati Setiawan, Wina Bojonegoro, Zoya Herawati, dan lain-lainnya. Beberapa di antaranya terbilang ‘raksasa’ dalam dunia penulisan terkait dengan karya-karya yang dihasilkannya. Misalnya, cerpen “Jakarta” karya Totilawati Tjitrawasita dianggap sebagai standar cerpen pada masanya.

Yulitin Sungkowati, peneliti Balai Bahasa Jawa Timur, dalam jurnal Atavisme volume 16, No 1 (2013), meneliti beberapa penulis perempuan Jawa Timur tersebut dengan judul “Perempuan?Perempuan Pengarang Jawa Timur (Kajian Feminis)”. Menurutnya, perempuan pengarang Jawa Timur yang cukup produktif adalah Totilawati Tjitrawasita, Ratna Indraswari Ibrahim, Yati Setiawan, Sirikit Syah, Lan Fang, Zoya Herawati, dan Wina Bojonegoro. “Karya­-karya Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, Wina Bojonegoro, Lan Fang, dan Yati Setiawan berada pada garis yang sama meskipun dalam spektrum yang berbeda dalam menghadirkan atau mencitrakan perempuan, yakni menampilkan perempuan yang berada di bawah bayang­?bayang laki­?laki. Citra perempuan yang tidak tergantung pada laki­?laki tampak pada karya­?karya Totilawati Tjitrawasita dan Zoya Herawati,” tegasnya dalam tulisannya.

Ibarat ombak, dinamika perempuan penulis di Jawa Timur memang pasang surut. Pada masa setelah reformasi, awal tahun 2000-an, terdapat beberapa nama yang menghiasi dunia penulisan di Jawa Timur. Dari beberapa terbitan buku, terdapat beberapa nama penyair perempuan, seperti Luska Vitri, Denny Tri Aryanti, Puput Amiranti, Jeni Indri, Juwairiyah Mawardi, Benazir Nafilah, dan lain-lainnya. Setelah satu dasawarsa, ada yang tetap, ada yang berubah. Pascatahun 2010, muncul penulis perempuan lainnya, terutama prosa, yaitu Vika Wisnu, Dwi Ratih Ramadany, Muna Masyari, Intan Andaru, dan lain-lainnya.

Sungguh, kita perlu membuhul sebentuk harapan bahwa dari Jawa Timur muncul para penulis yang andal, kuat, dan bermarwah, dari kalangan perempuan.

On Sidokepung, 2020.
[Tulisan ini merupakan penyuntingan ulang edisi yang pernah dimuat di sebuah majalah, tahun 2016]

_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
[Jepretan kawan Ragil Sukriwul, 2005]
http://sastra-indonesia.com/2020/04/menelusuri-perempuan-penulis-di-jawa-timur-sebuah-jelajah-awal/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati