Sabtu, 04 Juli 2020

Kritikus Adinan Budi Darma Rasa Kafka

Sigit Susanto

Budi Darma menulis kumpulan cerita berjudul Kritikus Adinan. Seperti pada karya lain Orang-Orang Bloomington, tokoh-tokohnya selalu berwatak aneh dan konyol seperti orang sakit jiwa.

Kritikus Adinan sejak dari awal diceritakan kedatangan seorang tamu. Ditekankan oleh Budi Darma, pengarangnya bahwa yang `menarik` kedatangan tamu itu pada cara tamu itu masuk pekarangan dengan membunyikan bel sepeda berkali-kali.

Dari narasi `membunyikan bel` ini orang bisa jadi teringat pada novel Proses karya Franz Kafka, tokoh Josef K di saat bangun tidur, karena lapar menunggu sarapan paginya, maka ia `membunyikan bel.` Bedanya saat bel berbunyi itu Kafka tidak menuliskan deskripsi sebagai sesuatu yang menarik. Sebaliknya Budi Darma menekankan dalam deskripsinya, bahwa kedatangan tamu itu tak ada yang menarik dari ujung rambut sampai sandalnya. Yang dianggap `menarik` yakni cara tamu itu memasuki pekarangan dengan membunyikan bel sepeda berkali-kali bahkan tak mau turun.

Kafka menuliskan deskripsi rekonstruksi kamar Felice Bauer yang diacak-acak petugas pengadilan. Ketika Josef K hendak menjelaskan secara kronologis, Felice menolak dengan mengatakan, “Aku tak memerlukan pengantar.“

Kalau aku amati teks-teks Kafka terutama pembuka prosanya, kebanyakan langsung menohok ke tengah kejadian. Misal, pada Metamorfosis: “Suatu pagi Gregor Samsa bangun dari mimpi buruknya, dan ia dapati tubuhnya sudah berubah menjadi kecoak raksasa,“ atau pada novel Proses, “Seseorang pasti telah memfitnah Josef K, sebab pada suatu pagi ia ditangkap tanpa melakukan kejahatan.“

Kafka sepertinya sengaja tak akan memberitahu pembaca dengan narasi. Mungkin dimaksudkan, biarlah pembaca merasakan sendiri sensasi atau getaran kejadian dan menyimpulkan dalam narasinya sendiri. Menurutku, kisah-kisah pada karya Kafka cenderung seperti adegan-adegan drama yang dinamis. Budi Darma sebaliknya, ia memakai `pengantar`…tidak ada yang menarik pada tamu itu-…`kecuali ` caranya bertamu….

Tentu saja itu pilihan bebas sang pengarang. Aku hanya akan membandingkan dengan budaya Indonesia yang mungkin lebih suka memberi pengantar dalam sebuah percakapan baru. Tradisi ini menjalar ke dalam penulisan fiksi.

Tamu itu menunjukkan keanehan lagi, yakni tak mau turun dari atas sepeda, sambil mengeluarkan surat perintah dari pengadilan dari belakang baju dadanya. Semakin tampak sudah, aroma Kafka muncul, karena Josef K juga didatangi oleh pegawai pengadilan di apartemennya.

Kritikus Adinan tak percaya, kalau surat perintah dari pengadilan itu asli. Terjadilah dialog alot saling mengklaim keaslian surat tugas itu. Budi Darma lihai menangkap gesture sang pembawa surat yang lama dipandangi oleh Kritikus Adinan. Sebab pada novel Proses-nya Kafka, setiap tokoh hampir dipastikan sedang bermain drama. Deskripsi Kafka tentang Josef K tidak dijelaskan dalam narasi, namun dalam tingkah laku dan gesture langsung.

Budi Darma menemukan simbol pengadilan. Pada Proses, simbol pengadilan juga muncul pada lukisan seorang hakim agung memakai emblem di seragamnya. Lukisan itu menggantung di dapur pengacara bernama Huld. Josef K sambil bercengkerama dengan Leni si pembantu advokat juga mengamati lukisan itu dengan detil.

Jika pada Proses, petugas pengadilan mempersilakan Josef K `bekerja`, sebaliknya pada cerpen ini, Kritikus Adinan yang berkehendak sendiri akan berangkat `kerja.` Yang jelas niat  bekerja itu tetap ada, walau dalam proses penangkapan.

Nuansa pengadilan yang digambarkan oleh Kritikus Adinan sangat menyerupai tempat Josef K disidangkan. Jika Budi Darma menyebut, Kritikus Adinan sudah sampai di depan rumah. Rumah itu tampak `kuno, besar dan gelap.` Pada Proses, rumah itu terletak di pinggiran kota yang belum pernah K datangi. Alamatnya di Jalan Julius.  Rumah-rumah `tinggi berwarna abu-abu`,…`semua jendela penuh orang`. Budi Darma sebut, yang kadang-kadang disela-sela oleh `jendela-jendela tertutup.`

Kritikus Adinan berhenti menempelkan kupingnya bergantian kiri dan kanan di daun pintu gedung pengadilan. Pada Proses, Josef K tidak menguping di ruang sidang, tetapi di kamar Fraulein Büsrner, karena ketika mereka melakuan peragaan di malam hari, keponakan induk semang apartemen mengetuk dinding kamar, karena terganggu. Tapi Josef K dan Fraulein Bürstner hanya kaget, tak sampai menempelkan kuping mereka ke dinding.

Kritikus Adinan sebut, sebentar untuk melihat `petunjuk` yang tertera di atas tembok. Kafka sebut, K akan mengenali rumah yang akan dipakai untuk tempat sidang, karena ada `petunjuknya`.

Kritikus Adinan `duduk di atas kursi rotan, satu-satunya kursi yang tersedia di situ. Kursi itu agak miring dan bertambah miring ketika ia duduk di atasnya.` Pada Proses berbeda. Josef berada di podium tidak duduk. Tetapi ada deskripsi saat Josef membuka buku di ruang sidang yang kosong itu, ….`seorang laki-laki dan perempuan duduk telanjang di sebuah kursi panjang.`

Budi Darma menggambarkan Kritikus Adinan sering teringat ibunya, juga wejangan kesabaran dari ibunya. Juga punggung Kritikus Adinan terasa ada yang mengilik-ilik dengan lidi dari dalam kamar. Kedua mengingat ibu dan dikilik-kilik lidi itu tidak terdapat sama sekali pada novel Proses.

Tentang Kritikus Adinan yang merasa lapar kemudian ia ke `warung makan.` Nah, sampai di sini ada kisah Josef K yang saat dalam tahanan dibelikan makanan oleh penjaga dari `warung seberang jalan,` karena jatah makan Josef K dihabiskan si penjaga.

Cuma Budi Darma lebih mengembangkan dengan nuansa menu makanan yang amat jorok. Digambarkan bahwa nasinya sudah kedaluwarsa yang hampir busuk dan dagingnya dari bangkai dan bau nanah.

Fantasi Budi Darma memang out of the box, istilah zaman now, ia menggambarkan makanan yang serba busuk dari bangkai. Günter Grass pernah punya deskripsi keluarga Oscar Matzerath makan belut yang ditangkap dari lubang telinga kepala binatang yang membusuk di laut. Mohon penggemar sastra wangi, minggir dulu. Sejatinya apa yang digambarkan Budi Darma memang tidak mewakili kehidupan yang riil, melainkan penuh simbol.

Tapi Kafka yang dikenal suka membelok di tikungan cerita dengan amat surealis, ia tak pernah mendeskripsikan sajian yang menjijikkan. Samsa yang sudah menjadi kecoak saja, paling jauh disebut, bahwa ia lebih suka keju yang basi, susu yang tidak segar, karena naluri binatangnya lebih kuat.

Kesamaan lain Kritikus Adinan dan Josef K sama-sama `terlambat datang` di ruang sidang. Bedanya Josef K berargumen, meskipun terlambat toh akhirnya sudah tiba. Sedang Kritikus Adinan menjawab, sebenarnya sudah datang satu jam sebelumnya, cuma belum masuk ruangan karena perutnya berbunyi.

Suasana di sidang yang dibangun Budi Darma juga mirip dengan Kafka, yaitu ada orang-orang aneh yang berkelompok serta hadirnya pembantu pengadilan yang membantu Kritikus Adinan maupun Josef K.

Sidang harus ditunda, karena saksi belum datang, untuk itu Kritikus Adinan disuruh pulang dan 2 jam lagi harus datang. Sidang Josef K ditunda, bukan karena tak ada saksi, tapi plaidoyer Josef K sendiri yang ketus dan berani, ia tinggalkan sendiri sidang yang aneh itu.

Satu kebiasaan yang disebut berulang-ulang untuk sosok Kritikus Adinan ini adalah bahwa ia sebagai orang yang tidak mau berbuat ramai-ramai. Ia sangat taat wejangan almarhum ibunya. Pada Josef K memang mirip sosok Kafka sendiri yang melankolis, namun dalam berbagai interaksinya Josef K seorang yang sangat pemberani dan ketus.

Barangkali Budi Darma memotret Kritikus Adinan dari sosok Kafka yang sesungguhnya. Sebab Gustav Janouch, sahabat Kafka menuliskan dalam bukunya Percakapan dengan Kafka (Gespräch mit Kafka), memang Kafka lebih digambarkan sebagai orang yang mengalah, tidak mau ramai-ramai dan tidak seberani sosok Josef K.

Ada lagi pernyataan pemilik warung yang identik dengan Proses. Pemilik warung bilang, orang-orang yang dipanggil ke pengadilan adalah orang-orang yang jujur. Pada Proses disebutkan, bahwa biasanya para terdakwa itu sangat perasa dan mudah tersinggung.

Latar yang dibangun Budi Darma sepertinya berada di Indonesia, karena digambarkan di bawah terik matahari dan suara cecak sering diceritakan sebagai mitos. Sebab Kafka sering menggambarkan lanskap alam di musim dingin yang mencekam atau kabut tebal. Juga cecak sangat jarang atau bahkan tak ada di rumah-rumah orang Eropa.

Ketika Kritikus Adinan makan di warung, pembantu pengadilan datang tak lupa membunyikan bel sepeda lagi, guna mengantar surat panggilan untuk sidang yang sempat tertunda.

Pada sidang terjadi dialog konyol mempermasalahkan status Adinan yang dijuluki orang sebagai kritikus. Adinan sendiri tak tahu, tapi ia pastikan bahwa ia sering menulis kritik, sebab itu baik orang yang pernah baca kritiknya maupun yang belum baca memberi julukan Kritikus Adinan. Perguncingan nalar status `kritik` ini memang cukup kritis.

Sidang dinyatakan ditunda sampai lusa. Di sini peran pembantu tampak dominan dalam sidang. Pada Proses, peran istri pembantu yang lebih menyolok dan lebih personal.

Di saat Kritikus Adinan keluar dari ruang sidang itu, pembantu menggebrakkan daun pintu dengan kasar. Sebaliknya pada Proses, justru Josef K sendiri yang mengumpat ke hakim pemerika, kalian gombal. 

Ketika Kritikus Adinan keluar dari ruang sidang, ia melangkah masuk ke arah kanan dan menemukan seorang perempuan bernama Rohani. Perempuan itu merasa kesepian sehingga, ia meminta Kritikus Adinan duduk di sampingnya. Nyaris, suasananya mirip pada Proses, ketika Josef K masuk ruang sidang yang pertama, ternyata kosong dan bertemu dengan istri pembantu pengadilan. Pembantu pengadilan itu membeberkan cerita penting, bahwa hakim pemeriksa sering lembur menulis berita acara. Sering kali hakim pemeriksa meminjam lampu dari tempat tidur pembantu pengadilan. Dan pembantu pengadilan itu kemudian meminta Josef untuk duduk di sebelahnya.

Yang membedakan, bahwa ruang sidang ala Budi Darma adalah satu bangunan loteng yang ditempati warga, termasuk perempuan bernama Rohani ini, sedang pada Proses, bahwa ruang tamu pembantu pengadilan itulah yang dipakai ruang sidang, hanya memindahkan perabotnya. Jika tak ada sidang, perabot dikembalikan layaknya ruang tamu keluarga.

Lagi-lagi Budi Darma memakai estetika jorok dalam menggambarkan sosok perempuan bernama Rohani ini. Ia yang kulitnya hitam, `tubuhnya berpunuk,` mirip leher sapi, giginya besar-besar dan kuning dan masih ditambah bau mulutnya seperti bau bangkai tikus.

Khusus `tubuh perempuan berpunuk` ini ada tokoh yang mirip dalam Proses, yakni salah satu murid yang suka melukis dari pelukis nyentrik Titorelli. Memang `gadis berpunuk` itu sering mengganggu Josef K.

Sampai di sini peristiwa yang nuansanya mirip dengan Proses berakhir. Selanjutnya fantasi liar Budi Darma sendiri yang tak ada kaitan dengan Proses.

Tokoh Kritikus Adinan mulai mendengarkan wangsit dari langit, supaya dirinya pulang. Sesampai di rumah ia kembali melanjutkan menulis. Digambarkan bahwa sosok Kritikus Adinan tak pernah keluar rumah setelah matahari terbenam. Ia anak yang taat perintah ibunya.

Di rumah ia membaca setumpuk surat dan ada 3 surat penting. Pertama, ia mendapat tawaran pergi ke luar negeri, untuk pengobatan bisulnya yang sudah akut. Kedua, ada tawaran dari orang lain untuk menggantikan posisinya, jika dirinya harus mendekam di penjara. Ketiga, tawaran dari penerbit untuk menerbitkan naskahnya.

Di tengah kantuknya ia sembarangan saja mengambil sebuah buku dari belakang bantalnya. Ia buka sesukanya saja, terbuka di halaman terjemahan puisi karya Coleridge. Disebutkan pada halaman itu, Kubla Khan memerintahkan rakyatnya untuk membuat istana dengan atap bulat. Istana itu harus di pinggir kali yang mengalir ke laut. Istana itu harus megah dan dibentengi tembok melingkar pada sebuah tanah tinggi yang subur.

Usai membaca itu seolah Ibunya hadir di benaknya menyanyikan lagu Bukit Abora. Ia berangan akan membangunkan istana beratap bulat di langit sana seperti dalam puisi terjemahan itu.

Kegiatan Kritikus Adinan sekarang menulis cerita. Ia menghadirkan tokoh bernama Pinto dan orang tua. Dialog-dialognya seperti di hutan tempat Zarathustra Nietzsche. Pinto kesasar di tengah hutan dan minta petunjuk orang tua untuk berjalan ke kiri atau ke kanan. Orang tua itu menyarankan mengambil jalan ke kanan. Di tengah hutan, justru semakin jauh untuk keluar. Ada bisikan dari atas pohon dan Pinto disuruh kembali lagi dan ambil arah kiri.

Cerita berganti, seolah ibunya datang menari dengan rebab tentang Bukit Abora. Terjadi percakapan antara Kritikus Adinan dan ibunya. Tentang harapan sang anak ingin membangun istana beratap bulat di langit lewat nyanyian ibunya. Kemudian tentang anak kecil yang sengsara dan tiba-tiba menjadi raja.

Cerpen berjudul Kritikus Adinan ini ditutup dengan datangnya seorang pemilik penerbitan, seorang laki-laki berpakaian necis. Orang dari penerbit itu mengajak Kritikus Adinan sambil menyambar naskahnya yang buruk untuk menengok kantor penerbit yang menjulang megah.

Zug, Switzerland: 28 September 2018

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati