Jumat, 17 Juli 2020

Ngarot

Kedung Darma Romansha
Koran Tempo, 20-21 Januari 2018

“LARANGAN, Larangan!” teriak kernet bus sambil bergelantungan di pintu—aku pikir ia lebih mirip monyet di kebon binatang. “Yang merasa Celeng 1, siap-siap!” Ia meludah ke jalan. “Nah, ini dia celengnya,” ujarnya kemudian ketika seorang penumpang berpindah tempat duduk di dekat sopir. “Kirik,”2 umpatnya.

Larangan tak banyak berubah, masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Penjual warung makan yang berada di dekat jalan raya juga masih orang yang sama. Orang memanggilnya Yu Darkem. Kalung emasnya yang mencolok dan serentengan gelang di tangannya tak pernah lepas dari tubuhnya. Bibirnya selalu merah oleh gincu, dan setiap kali aku turun di Larangan kulihat senyumnya terkesan dimanis-maniskan. Abang-abang lambe. Dan setiap ada penumpang turun dia berkata: “Mang, mampir-mampir di warungku.”

Lalu sopir angkot—lebih tepatnya pickup yang disulap menjadi angkot dengan menggunakan terpal biru sebagai atapnya—yang sedang tidur di jok kemudinya, seolah-olah tidak membutuhkan penumpang. Sebab angkot ini satu-satunya yang bisa ditumpangi.

Aku masuk ke dalam angkot yang panas. Di dalam angkot hanya dua orang. Aku dan seorang ibu yang sedang meneteki bayinya. Kami hanya diam. Lengang. Inilah yang paling memuakkan. Kami harus menunggu penumpang lain sampai mendapat target. Sementara kami terbengong-bengong mirip kambing yang hendak dijual. Sialnya sopir angkot masih tertidur pulas dengan suara dengkur yang keras sambil bertelanjang dada di jok kemudinya.

Setelah kira-kira satu jam menunggu, ada dua orang masuk ke dalam angkot. Dua-duanya laki-laki bertubuh tegap. Dua laki-laki itu tepat duduk di depanku. Jujur saja aku agak terkejut dengan keberadaan dua laki-laki itu. Rasanya aku pernah mengenalnya. Tapi entah di mana. Dan mata itu, mata laki-laki yang persis berada di depanku, seperti ingin menelanku.

1
Aku memang bajingan. Tapi siapa bajingan yang mau merampok di kampungnya sendiri? Itu goblok. Jadi jika aku baik dengan orang-orang kampungku, itu tak lebih untuk menjaga nama baikku saja. Setidaknya aku bisa dikatakan rampok yang baik hati di kampungku sendiri.

Rasmini memang cantik. Gadis berbokong indah ini sudah aku incar sejak usia dua belas tahun. Mana ada remaja yang tidak suka dengan perempuan berbokong indah dan cantik seperti Rasmini. Kalaupun ada, pasti laki-laki itu tidak normal.

Bunga desa satu ini memang lain dengan bunga desa-bunga desa yang pernah aku coba. Kenapa? Iya, aku memang sudah banyak mencoba gadis desa dari kampung ke kampung. Dari rambut keriting, lurus, kulit kuning langsat, sawo matang, semampai, montok, hingga kurus, semua sudah aku coba.

Satinah. Gadis ini memang luar biasa. Cantiknya benar-benar keparat. Tapi dia mempunyai kakak tentara yang galaknya benar-benar kirik. Tapi upacara Ngarot di kampung Jambak ini benar-benar berkah buatku. Malam itu, berbekal jimat dari Mang Kartijah, aku datang menemuinya. Terus terang sebelumnya kami sudah pernah bertemu. Namun kalian tahu sendiri, kakaknya itu seperti kirik penjaganya saja. Tapi malam ini memang ajaib. Sungguh ajaib, karena aku tidak melihat si kirik keparat itu.

“Waktu kecil aku sering ke sawah sendiri jika aku dimarahi orangtuaku.” Ungkapan cengeng—dan ini menjijikan sebenarnya—semacam inilah yang sering aku katakan pada perempuan-perempuanku sebelum akhirnya aku mengajak mereka ke gubuk tengah sawah. Dan kamu tahulah kenapa perempuan selalu keibuan. Selain itu, berkat jimat dari Mang Kartijah, Satinah menurut dengan apa yang kukatakan.

Malam itu aku berhasil melucuti Satinah. Dia hanya pasrah. Sudah untung aku bisa merayunya. Lebih untung lagi kakaknya tidak mengetahuinya. Menyesal? Dia tidak menyesal. Maka esok harinya dia minta lagi, dan lagi.

2
Pulung guna pulung sari, kata orangtua dulu. Sebab hari ini adalah hari terbesar dan bersejarah dalam hidupku. Aku, si gadis belia bernama Rasmini, terpilih menjadi kesinoman 3 dalam upacara Ngarot. Kesinoman berarti muda-mudi. Persis dengan usiaku yang baru saja menginjak empat belas tahun. Setiap gadis di kampungku tentu saja bangga jika terpilih menjadi kesinoman dalam upacara yang diadakan setahun sekali ini. Dalam upacara ini kami diarak seperti seorang putri raja. Orang-orang akan berduyun-duyun untuk melihat kami, melihatku, sebagai gadis pilihan yang dielu-elukan kesuciannya dan tentu kecantikannya. Sebab salah satu syarat menjadi kesinoman dalam upacara Ngarot ini mesti masih perawan. Sementara laki-laki harus masih perjaka.

Mang Sukri, pemuda yang baik hati. Meskipun beberapa orang mengatakan kalau dia bajingan. Ada yang mengatakan perampok, ada juga yang mengatakan begal. Tapi aku tidak percaya dengan gosip murahan itu. Yang jelas, sekalipun dia tidak pernah membikin ulah di kampungku. Dia laki-laki yang baik dan sopan. Juga murah senyum. Dan upacara ini benar-benar membawa berkah untukku. Rasanya keberuntungan memihakku. Tapi barangkali tidak hanya aku yang mendapatkan kebahagiaan malam ini. Banyak dari teman-temanku juga mendapat kebahagiaan yang serupa. Karena hampir semua yang terpilih di upacara Ngarot, tidak sampai seminggu sudah mendapatkan jodoh.

Kakekku pernah bercerita, kalau upacara Ngarot ini konon awalnya dilakukan oleh seorang tokoh adat yang mempunyai lahan sawah yang sangat luas. Hasil panen sawahnya berlimpah ruah. Rumahnya setiap hari banyak dikerumuni anak muda. Dia orang tua yang murah hati. Seluruh makanan dan minuman dia keluarkan cuma-cuma. Hingga suatu kali dia membuat perkumpulan yang bertujuan untuk mempersatukan anak-anak muda di desanya. Ia memanfaatkan tanah miliknya untuk diolah bersama-sama. Dan ketika menjelang musim pengolahan sawah, ia mengumpulkan anak-anak muda di rumahnya. Mereka berpesta. Lalu setelah musim pengolahan sawah tiba, mereka mengerjakannya secara bergotong-royong.

Begitulah adat ini dilakukan terus-menerus sampai sekarang. Konon katanya kalau ada kesinoman yang sudah tidak perawan lagi, bunga kenanga yang menghiasi kepalanya akan layu seketika.

Konon Desa Lelea pada masa itu masih dalam kekuasaan kerajaan Sumedang Larang, karena itu sampai sekarang bahasa penduduk Lelea di beberapa daerah masih memakai bahasa Sunda lama.

“Heh…” Mang Sukri tiba-tiba mengejutkanku dari belakang. Aku terpaku sebentar. Malam itu wajahnya lebih tampan dari biasanya. Rambutnya berminyak. Kancing baju atasnya sengaja ia buka sehingga tampaklah kalung emasnya. Celana cutbrainya berwarna merah hati. “Aku perhatikan dari tadi kamu mondar-mandir terus, cari siapa?” tanyanya kemudian. Aku masih terpaku memandang wajahnya. Bingung dan tampak tolol.

“Aku hanya jalan-jalan, cari angin,” aku basa-basi.

“Cari angin atau cari laki-laki?”

Aku tersenyum. Saritem mencubit lenganku, lalu dia menatapku dengan pandangan dan senyuman yang aneh.

“Aku duluan, ya? Aku punya janji sama temanku, dia sudah menunggu lama di Balai Desa.”

“Janjian sama Nasir, ya?”

“Mau tahu saja.”

Saritem ngeloyor begitu saja meninggalkan kami berdua.

Malam semakin larut. Pertunjukan wayang kulit sudah mulai. Balai Desa penuh. Orang-orang akan bertahan sampai pagi, sampai cerita wayang tutup lawang sigotaka. Sementara di jalan-jalan beberapa pedagang sudah mulai tutup. Termasuk penjual serabi kepunyaan Mak Sasmi. Serabi kepunyaan Mak Sasmi memang selalu laris. Tidak sampai larut malam, serabinya sudah habis terjual. Ia seorang perempuan yang perkasa. Ia selalu bercerita pada pembelinya kalau semasa gadisnya dia banyak digandrungi laki-laki dan dia sudah menikah empat puluh kali di usianya yang menginjak tujuh puluh enam tahun. Aku selalu suka dengan cerita-ceritanya. Tapi malam ini aku tak sempat mendengar ceritanya yang selalu diulang-ulang itu. Aku hanya melewatinya sambil lalu saat Mang Sukri mengajakku ke pematang sawah.

Dari gubuk tempat kami duduk, aku bisa melihat garis-garis langit yang dibatasi sawah. Angin dari barat menabrak tubuhku. Mang Sukri menangkap tubuhku. Aku kikuk dan bulu kudukku berdiri. Darahku berdesir. Tak lama kemudian ia memandang wajahku, dan entah kenapa aku selalu terpaku jika menatap matanya. Perlahan ia menciumku dan tubuhku tiba-tiba rebah. Malam pun rebah dalam gelap.

Mang Sukri masih terkulai lemas di sampingku. Aku beranjak, memakai pakaianku dan duduk di tepi gubuk. Airmataku kembali menetes untuk kali kedua pada malam itu. Entah kenapa aku menangis, padahal aku menikmati hubungan kami malam itu. Tapi yang jelas tahun depan aku tidak akan terpilih menjadi kesinomandi upacara Ngarot.

Pandanganku menjurus ke arah kampung yang berkelip-kelip lampunya. Dari jauh aku melihat dua orang mendekat ke arahku. Aku tidak tahu siapa mereka. Mereka semakin dekat ke arahku, dan berhenti persis di depanku. “Sukri?” Tanyanya kemudian. Pandangannya ia arahkan ke Mang Sukri, lalu kepadaku. Aku hanya diam memandangi dua laki-laki bertubuh tegap itu. Tak lama setelah laki-laki itu bicara, Mang Sukri terbangun dan terkesiap memandang ke arah kedua laki-laki itu. “Dor! Dor! Dor!!!” Suara tembakan bertubi-tubi mengenai tubuh Mang Sukri yang telanjang bulat. Aku hanya menangis dan takut. Aku tidak bisa berteriak. Bibirku gemetar dan lidahku kaku. “Sebaiknya kamu cepat pulang!” ujar laki-laki yang baru saja menembak Mang Sukri. Sementara laki-laki yang satunya hanya diam. Aku pulang dengan kesedihan yang mendalam. Langkahku gontai. Malam tiba-tiba jadi gelap. Gelap seluruhnya. Bulan jadi pucat. Dan angin seperti menusuk-nusuk tubuhku.

MOBIL ini terus berjalan menuju kampungku. Kampung yang sudah lama aku tinggalkan. Ya, malam itu tak lagi malam yang gemilang untukku. Aku tak lagi tuan putri yang dielu-elukan banyak orang. Aku hanyalah makhluk celaka yang bodoh. Mungkin ini yang dinamakan layangan pegot sing benange.

Tiga tahun yang lalu, aku mengandung bayi Mang Sukri. Mula-mula aku simpan sendiri, tapi lama-lama aku tidak tahan juga. Akhirnya aku katakan pada orangtuaku kalau aku mengandung bayinya Mang Sukri. Kedua orangtuaku tak habis-habisnya memarahiku. “Makanya cari laki-laki yang benar! Rampok kok disukain! Dengerin kalau orangtua ngomong!” Aku tidak mendengar lagi kalimat-kalimat berikutnya. Aku hanya sibuk dengan perasaanku sendiri.

Satu bulan kemudian ayahku mengantarku ke Jakarta. Menyusul pamanku yang waktu itu aku tidak tahu kerjanya apa. Kata ayahku, pamanku bekerja di pabrik. Mereka sudah lima tahun tinggal di Jakarta. Biasanya mereka pulang jika lebaran saja. Setiap lebaran mereka selalu membelikanku baju baru. Mereka sangat baik. Mereka pula yang sibuk mengurus kelahiran anakku. Dan sekarang anakku sudah berumur dua tahun. Orang-orang kampungku tidak ada yang tahu tentang peristiwa ini. Mereka hanya tahu aku ikut bekerja dengan pamanku di Jakarta.

Laki-laki tegap yang duduk di depanku sesekali menatap ke arahku. Kejadian tiga tahun itu terus berkelebatan dalam ingatanku. Musim karungan 4, kata orang-orang kampungku. Ada rasa takut yang menyelimuti sekujur tubuhku. Tubuhku tiba-tiba menjadi lemas. Tapi benarkah…, mobil tiba-tiba berjalan dan mengejutkanku.

Sepanjang jalan, aku melihat sawah yang kelabu dan retak. Di musim kemarau seperti ini kebanyakan dari mereka akan membuang air besar di celah-celah sawah yang retak. Sepanjang jalan aku melihat parit-parit kering, sungai-sungai kering, pohon-pohon kurus dan gersang. Pemandangan di sekitarku berwarna coklat. Coklat kering dan tandus. Seluruhnya.

Mobil berhenti tepat di depan gang menuju rumahku. Begitu aku turun, orang-orang berduyun-duyun menyambutku. Aku jadi teringat ketika aku menjadi kesinoman di upacara Ngarot. Saat orang-orang menyanjungku dengan sejuta pujian. Kini orang-orang itu mulai menyalamiku dengan ucapan yang berlebihan.

“Wah, selamat, selamat, nok ayu, katanya dapat jodoh orang Jakarta ya?” Aku hanya tersenyum tanggung. “Eh, iya, kata ayahmu, kamu sudah punya anak juga ya? Wah, begitu berangkat ke Jakarta langsung sukses. Dapat jodoh, uang banyak, dan sekarang sudah punya anak. Benar-benar berkah. Ini salah satu berkah menjadi kesinoman di upacara Ngarot. Selamat, selamat, nok ayu….”

Yogyakarta, 2012-2018

Catatan:
1 Selain nama hewan sejenis babi hutan, Celeng juga nama Desa di Indramayu.
2 Anjing
3 Pengiring
4 Petrus (penembakan misterius).

Karungan: mayat dimasukkan ke dalam karung dan dibuang di tepi jalan atau sungai.
Pulung guna pulung sari : Datangnya sinar kebahagiaan dalam hidup
Abang-abang lambe : Merah-merah di bibir
Layangan pegot sing benange : Layangan putus dari benangnya
***
Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2018/01/ngaro.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati