Doddi Ahmad Fauji *
Pada dekade 80-an, banyak yang memprediksi negara Uni Soviet yang menganut paham komunisme, akan berakhir. Paham komunisme yang diadopsi dari ajaran Marxisme – Leninisme, menurut mereka, sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika peradaban umat manusia. Emmanuel Todd misalnya, penulis asal Perancis, memprediksi dalam beberapa dekade Uni Soviet akan bubar. Andrei Amalrik, cendekia asal Rusia sendiri, menulis buku yang meramalkan Uni Soviet akan bubar dalam 50 tahun ke depan. Yang mencengangkan, justru Uni Soviet bubar dalam delapan tahun setelah Andrei Amarlik meluncurkan bukunya. Tidak sampai 50 tahun kehancuran itu tiba.
Bahkan bubarnya Uni Soviet hanya terjadi tiga tahun setelah Imam Khomeini mengingatkannya kepada Gorbachev. Pada 3 Januari 1988, Pemimpin Revolusi Islam Iran itu menulis surat kepada Michael Gorbachev, Presiden Uni Soviet yang terakhir. Dengan pelbagai argumentasi yang bernas, Khomeini mengingatkan Gorbachev bahwa sistem sosialis yang diterapkan Uni Soviet dan Negara komunis lainnya, mengandung kesalahan yang fatal dan tidak bisa mensejahterakan rakyat.
Imam menulis, “Kebenaran akan terungkap, dan bahwa masalah utama negara Anda bukan terletak pada masalah kepemilikan, ekonomi, dan kebebasan, melainkan pada ketiadaan keyakinan terhadap Tuhan sebagaimana juga dialami oleh negara-negara Barat. Ketidakyakinan Barat terhadap Tuhan inilah yang membawa mereka ke jalan buntu. Masalah utama Anda adalah pertempuran yang panjang dan tanpa arti, dengan Tuhan dan Pencipta Segala Wujud.”
Bila Uni Soviet saja yang begitu adidaya bisa bubar, kemudian banyak pihak yang menakutkan pada suatu hari Indonesia bisa saja bubar seperti Uni Sovet atau Yugoslavia. Melalui lukisan yang dipamerkan di Taman Ismail Marzuki pada Juli 2011, seniman dan budayawan Hardi misalnya, mengingatkan, bila tidak ada perubahan perangai para elite politik, maka bisa saja terjadi perubahan yang mencengangkan menimpa Indonesia pada 2015 nanti.
Dalam lukisan itu, Hardi memvisualkan beberapa tokoh Indonesia pada 2015 mengenakan pakaian yang identik dengan Islam. Tokoh-tokoh yang diberi baju muslim antara lain Frans Magnis Seseno, Goenawan Mohammad, Sri Sultan Hamengkubuwono, dll.
“Bila keadaan begini terus, Indonesia akan pecah dan lahir negara-negara Islam,” kata Hardi dalam diskusi yang diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-60.
Pada diskusi itu juga hadir Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, sebagai pembicara. Ia mengaitkan “ketakutan” Hardi melalui lukisannya dengan kejadian bubarnya Uni Soviet.
Politikus Fadli Zon yang cum budayawan itu, yang juga dikenal sebagai pengamat Uni Soviet (Rusia), menguraikan kronologi bubarnya Uni Soviet. Menurut Fadli, Uni Soviet berdiri karena dipersatukan oleh partai politik dan militer. Kedua elemen tersebut meskipun dimiliki oleh Rusia dengan begitu kuatnya, ternyata tidak cukup untuk menopang pertahanan sebuah negara. Keresahan etno-nasionalis (suku bangsa) yang tidak terakomodir oleh pusat, menjadi titik awal pecahnya Uni Soviet.
Negara-negara bagian Uni Soviet di kawasan Baltik, merasa diperlakukan tidak adil, dan muncullah semangat etno-nasionalisme (kebangsaan kedaerahan) itu. Lalu mereka meminta desentralisasi melalui otonomi daerah seperti sekarang terjadi di Indonesia. Kemudian beberapa daerah, seperti Gerogia, Lituania, Latvia, meminta otonomi daerah secara khusus dan mendirikan pemerintahan sendiri seperti dimiliki oleh Pemerintah Aceh sekarang ini. Setelah otonomi khusus, ternyata Georgia tidak puas. Mereka akhirnya meminta referendum, dan Georgia pun merdeka. Referendum Georgia bisa mengingatkan siapapun pada kasus Timor Timur yang juga meminta referendum kepada pemerintah Indonesia. Kemerdekaan Georgia segera diikuti oleh Latvia dan Lithuania yang segera mendeklarasikan kemerdekaannya. Di Indonesia, kasus lepasnya Timor Timur tidak diikuti oleh daerah lain.
Pada bulan Juni 1991, Presiden Uni Soviet Michael Gorbachev, karena tidak mampu lagi mengatasi masalah internal Uni Soviet, malah menyatakan Rusia memisahkan diri dari Uni Soviet. Maka dengan memisahkan dirinya Rusia dari Uni Soviet, padahal Rusia adalah pendiri dan penopang utama Uni Soviet, maka negera Tirai Besi itu pun bubar. Di akhir 1991, Uni Soviet tinggal puing, dan terpecah-pecah menjadi 16 negara. Kala itu, sebenarnya tidak ada yang kurang dari pertahanan Uni Soviet. Tentara melimpah. Persenjataan militer dan industri berat, sangat adidaya dan hanya Amerika Serikat yang mampu menyainginya. Sistem politik juga juga sangat stabil, karena dikendalikan oleh satu partai. Tapi Soviet toh runtuh juga.
Kejadian di Uni Soviet pada dekade 90-an itu, kini sedang dialami oleh negara dan bangsa Indonesia, dengan kata lain, nasionalisme Indonesia sedang menghadapi ujian yang cukup berat. Apakah kita akan lulus ujian?
Bila perekat nasionalisme hanya ditopang oleh partai politik dan militer, tentu tidak cukup. Munculnya etno-nasionalisme seperti di Uni Soviet, bibit-bibitnya sudah terjadi di negara kita yang multi-etnis ini. Tapi banyak yang berargumentasi, sistem komunisme yang kolot dan feodal itulah yang menggerogoti pertahanan Uni Soviet dari dalam. Komunisme yang kolot dan feodal, hanya membuat para pemimpinnya yang sejahtera, sementara rakyat di mana-mana sama menderitanya.
Argumentasi ini bisa saja dibenarkan, toh seluruh negara komunis di Eropa Timur juga mengalami kesenjangan kesejahteraan antara penguasa dan rakyat. Lalu satu-persatu negara-negara itu meninggalkan komunisme. Tahun 1990, Jerman Timur melebur ke dalam Jerman Barat, dan Tembok Berlin diruntuhkan. Yugoslavia juga bubar, dan terbagi ke dalam enam negara.
Bila krisis ekonomi yang menjadi pelecut bubarnya sebuah negara, mungkin Indonesia sudah bubar sedari dulu, setidaknya pada krisis multidimensional yang terjadi pada 1998. Tapi Indonesia, Alhamdulillah masih berdiri dengan tegak sekalipun berulang-ulang diterjang krisis ekonomi. Berarti, yang menjadi sumber perpecahan bukan hanya persoalan ekonomi.
“Itu karena perekat nasionalisme kita bukan partai dan militer. Perekat nasionalisme kita adalah faktor sejarah dan budaya. Bangsa kita masih mengenal gotong-royong dan tolong menolong, dan sikap itulah yang bisa menyelamatkan bangsa kita. Tetapi lama-kelamaan, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, bisa menjadi musibah bagi bangsa kita,” tambah Fadli.
Kesenjangan ekonomi akibat ketidakadilan dan korupsi yang dilakukan para pejabat (swasta maupun pemerintah), menurut Fadli adalah ancaman paling nyata bagi kelangsungan persatuan Indonesia. Solusi yang harus dijalankan adalah, memang sulit, mencari pemimpin yang memiliki leadership sangat kuat dan tegas. Pemimpin bukan dalam artian hanya seorang Presiden, tapi kepemimpinan di seluruh lini.
Fadli menyebutkan, banyak hal yang memang harus dibenahi dalam sistem ketatanegaraan kita, termasuk otonomi daerah yang sekarang ini. Dengan adanya otonomi daerah dan aturan yang tidak lentur, banyak anggaran yang tidak terserap ke dalam kegiatan. Anggaran tidak terserap artinya sama dengan menunda proses mensejahterakan rakyat. Otonomi daerah harus dikoreksi, terutama supaya terjadi kepemimpinan dan koordinasi secara nasional. Malah bila otonomi daerah tidak terkendali, ini bisa jadi bibit separatisme.
Selain membenahi ketatanegaraan dan birokrasi, seluruh elemen bangsa ini harus terus-menerus memperjuangkan cita-cita berdirinya negara Indonesia seperti yang termaktub dalam preambule UUD 1945. Hingga saat ini, cita-cita itu belum terwujud. Inilah yang sebenarnya jadi titik lemah dari perekat nasionalisme dan pertahanan Indonesia.
Saat ini, harus diakui, perekat nasionalisme bangsa Indonesia yang paling pragmatis ternyata bahasa Indonesia yang diadopsi dari bahasa Melayu Riau. Orang Papua dari Jayapura misalnya, tidak akan bisa berkomunikasi dengan orang Papua dari Manokwari atau dari Merauke bila mereka berkomunikasi dengan bahasa daerahnya masing-masing. Mereka jadi bisa berkomunikasi dengan orang Papua dari daerah lain karena sama-sama menggunakan bahasa Indonesia. Begitu pun Orang Indonesia dari dareah lain, merasa menjadi sebagai orang Indonesia karena menggunakan bahasa Indonesia. Karena itu, kita bukan saja harus memelihara bahasa Indonesia, tapi harus mengembangkannya.
Bahasa adalah salah satu unsur kebudayaan. Unsur kebudayaan tentu bukan hanya bahasa. Secara filosofis, kebudayaan bangsa Indonesia terangkum dalam pancasila. Namun di tataran pragmatis, banyak unsur-unsur kebudayaan yang menjadi perakat nasionalisme mulai meluntur, misalnya semangat gotong-royong, tolong-menolong, saling menghormati dan menghargai. Untuk membangkitkan kembali semangat-semangat itu, salah satunya adalah melalui aksi seni-budaya. Aksi seni budaya, mengajarkan berbagai nilai yang positif, seperti semangat mengapresiasi (menghargai), kerjasama, dan kreativitas.
Dalam soal menghidupkan seni budaya, kita perlu menengok masyarakat Pulau Bintan, khususnya di Kota Tanjungpinang yang menjadi pusat pemerintahan Provinsi Riau Kepulauan. Di sinilah seni tradisi pantun dan gurindam dirayakan sekaligus digebyarkan. Pemerintah dan masyrakat sepakat memberi nama Kota Tanjungpinang sebagai Kota Gurindam dan Negeri Pantun.
Di kota ini, pidato yang disampaikan oleh pajabat pemerintah maupun yang disampaikan oleh tetua adat, harus dibuka dengan berpantun terlebih dalu. Pantuan dipraktikan dalam keseharian, dan dilombakan di tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Pemilihan kepala daerah salah satunya diseleksi dengan kepandaian berpantun. Gerakan berpantuan telah mempersatukan rasa kebangsaan masyarakat Melayu di Tanjungpinang. Bahkan, dengan berpantuan itu, mereka mengikat rasa ke-Melayu-an mereka dengan memperluasnya ke Brunai, Malaysia, dan Singapura. Secara periodik, mereka menyelenggarakan lomba berbalas pantun antar negeri serumpun (Melayu) yang tidak dibatasi oleh Negara.
Lalu Gurindam (syair), terutama Gurindam XII Gubahan Raja Ali Haji yang isinya merupakan perintah menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan, menjadi filosofi masyarakat di Tanjungpinang. Gerakan menghidupkan dan mengkreasi seni tradisi sesuai dengan semangat zaman seperti yang dilakukan di Tanjungpinang, adalah upaya untuk mempertahankan jati diri bangsa, dan tentu akan berimbas pada semangat nasionalisme. Bagaimanapun, nasionalisme menjadi hampa tanpa semangat kebangsaan, dan salah satu suluh dari semangat kebangsaan terdapat pada jati diri dan tradisi.
Pertahanan seni-budaya seperti di Tanjungpinang, sungguh perlu digencarkan sebagai salah satu jalan mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa. Kecuali di jaman revolusi kemerdekaan dulu, negara Indonesia sebenarnya tidak pernah melakukan peperangan dalam mempertahankan negara dan bangsa. Bukan berarti senjata dan benteng-benteng pertahanan tidak dibutuhkan, tetapi tantangan di era sekarang ini, dalam mempertahankan kenegaraan dan kebangsaan, lebih urgensif dengan mempertahankan sektor budaya, apalagi di tengah gempuran kebudayaan asing yang semakin gencar.
Pantun di Tanjungpinang, telah menjadi benteng pertahanan kebangsaan yang kongkrit dan kokoh. Bila tanpa pantun dan gurindam, Pulau Bintan sangat rentan terserang separatisme, apalagi Pulau itu letaknya tidak berjauhan dengan Singapura dan Malaysia. Bisa saja banyak masyarakat yang berkhianat. Tetapi Riau memiliki pertahanan kebangsaan yang kuat, yaitu Bahasa Indonesia, sebab dari sanalah Bahasa Indonesia bermula. Seperti digambarkan di atas, perakat nasionalisme Indonesia yang paling pragmatis saat ini adalah Bahasa Indonesia. Tanpa Bahasa Indonesia, sangat mungkin daerah-daerah di Indonesia sudah berpencar-pencar mendirikan negara sendiri-sendiri.
Tetapi sekali lagi, apalah artinya mempertahankan negara bila tanpa rasa kebangsaan, dan rasa kebangsaan itu terkandung dalam kebudayaannya, dan unsur kebudayaan yang paling prafmatis dan fungsional adalah bahasa.
***
*) Doddi Ahmad Fauji, penulis buku Menghidupkan Ruh Puisi, Sastrawan Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan, dan mantan redaktur sastra Koran Media Indonesia (1999 – 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar