Maman S. Mahayana *
Sebuah pesan WhatsApp datang pagi ini, Minggu, 19 Juli 2020, 10.00: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB. Mohon doa. Al Fatihah.”
Langit tiba-tiba mendung. Tidak ada hembusan angin. Alam tampak kelam. Matahari meredup seperti turut merasakan kedukaan mendalam. Pak Sapardi … orang hebat yang baik itu, kini benar-benar pergi. Duh …. Inilah tokoh besar yang sebenar-benarnya Manusia-Seniman sejati. Reputasinya yang menjulang tinggi, tak membuatnya arogan, pongah, dan besar kepala. Sejauh yang saya kenal, ia selalu berusaha menghindar ketika saya—atau siapa pun, membicarakan karyanya. “Biarlah masyarakat sebebasnya memperlakukan karya itu. Saya malu kalau membicarakan karya sendiri,” begitu ujarnya.
Tak pernah sekali pun ia membusungkan dada memamerkan karya atau reputasinya. Di mana pun, dalam forum apa pun, ia tetap menempatkan diri sebagai Manusia rendah hati. Sapardi Djoko Damono adalah cermin hidup, bagaimana puja-puji dan sanjungan yang menghujaninya, tidak membuatnya lupa daratan.
***
Sapardi Djoko Damono (SDD) bagi saya adalah kisah tentang humanisme. Ia lahir dari keluarga bangsawan Solo, tapi tak pernah memakai gelar kebangsawanannya. Terbuka, egaliter, well come, asyik, dan selalu santuy!
Suatu hari, awal tahun 1980-an, ketika saya perlu surat keterangan yang harus ditandatangani Pak Sapardi sebagai Wakil Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, saya datang terlambat ke ruang kerjanya. Ia sudah pergi diantar sopirnya. Padahal, surat itu harus dikirim pada hari itu juga. Saya sudah hopeless. Memang salah saya juga. Saya datang agak sore. Dengan perasaan lunglai, saya berniat pulang.
Ketika saya berjalan menuju halte bus kota, melewati kantor pos di kompleks FSUI, saya melihat mobil Pak Sapardi hendak keluar kampus. Segera saya berlari, berdiri di tengah jalan menghentikan mobilnya. Si sopir seketika terpaksa berhenti. Saya mendekati mobilnya, dan Pak Sapardi membuka kaca mobilnya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Maaf Pak, saya perlu tanda tangan Bapak,” ujar saya.
“Ah, kamu. Mengagetkan saja. Kalau kau ketabrak, saya yang repot!”
Saya minta maaf sambil menyerahkan surat itu. Pak Sapardi menerimanya, membaca sekilas, lalu katanya, “Sini pulpennya!”
Saya gelagapan, karena saya tak bawa pulpen. Untung si sopir buru-buru menyerahkan pulpennya pada Pak Sapardi. Sret … selesailah surat itu ditandatangan Pak Sapardi.
Saya berterima kasih, dan si sopir pun menjalankan lagi mobilnya.
Oh, Pak Sapardi. Tidak ada wajah kesal sedikit pun ketika saya menghentikan mobilnya. Tidak ada wajah kesal sedikit pun ketika dia tahu, saya tak membawa pulpen. Dan enteng saja ia menandatangani surat itu, lalu menyerahkannya pada saya.
Oh, Pak Sapardi … Terlalu banyak kenangan humanisme yang saya pelajari. Cermin hidup guru sejati. Cermin hidup seniman sejati. Cermin hidup manusia rendah hati.
Terima kasih Pak Sapardi ….
***
Ketika Pak Sapardi sakit, kami menjenguknya di Rumah Sakit Cipto. Seperti lazimnya orang membezoek, kami bertanya itu ini. Pada saat itu, datang dua orang suster. Salah seorang tampak memperhatikan nama yang tertera di ujung tempat tidur. Ia lalu bertanya kepada SDD, “Dok, Dokter praktik di mana?” Teman saya tampak menahan tawa. Pak SDD menjawabnya dengan baik. Katanya, “Saya bukan dokter. Saya penyair. Dosen di Fakultas Sastra.” Suster itu tampak malu-malu.
Selepas kedua suster itu keluar, teman saya meledak tawa. Saya tak ikut tertawa, masih terpesona oleh jawaban SDD tadi. Sama sekali, tidak ada kesan merendahkan. Tidak ada! Caranya memberi keterangan seperti ia menjelaskan sesuatu kepada mahasiswanya.
Dalam kesempatan yang lain, ketika kami—saya, SDD, dan Budi Darma—menjadi juri sayembara novel –DKJ dan Yayasan Buku Utama—SDD kadang menjadi pendengar yang baik dan kompromistis. Selalu, hasilnya adalah kesepakatan bersama. Tidak ada kesan pilihannya mesti jadi juara. Kami betul-betul saling bertukar pendapat. Saya sungguh-sungguh belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati. Kerendahhatian SDD itu pula yang mengingatkan saya pada satu peristiwa bersamanya. Waktu itu ada kegiatan berkaitan dengan Seminar HISKI. Kami berdua di sekretariat panitia. Ketika masuk waktu magrib dan kami bermaksud sembahyang berjamaah, SDD mempersilakan saya menjadi imam. Tentu saja saya menolak. Tetapi apa yang dikatakannya: “Silakan Pak Maman jadi imam. Anda kan lebih Islam dari saya!” Kami kemudian sembahyang berjamaah. Saya imam, SDD makmum. Dan ketika sujud, saya menangis. Luar biasa orang ini! Orang hebat yang rendah hati!
Sampai sekarang, saya masih harus terus belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati!
Terima kasih Pak Sapardi … Selamat jalan … Alfatihah ….
***
http://sastra-indonesia.com/2020/07/manusia-rendah-hati-sapardi-djoko-damono/
Sebuah pesan WhatsApp datang pagi ini, Minggu, 19 Juli 2020, 10.00: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB. Mohon doa. Al Fatihah.”
Langit tiba-tiba mendung. Tidak ada hembusan angin. Alam tampak kelam. Matahari meredup seperti turut merasakan kedukaan mendalam. Pak Sapardi … orang hebat yang baik itu, kini benar-benar pergi. Duh …. Inilah tokoh besar yang sebenar-benarnya Manusia-Seniman sejati. Reputasinya yang menjulang tinggi, tak membuatnya arogan, pongah, dan besar kepala. Sejauh yang saya kenal, ia selalu berusaha menghindar ketika saya—atau siapa pun, membicarakan karyanya. “Biarlah masyarakat sebebasnya memperlakukan karya itu. Saya malu kalau membicarakan karya sendiri,” begitu ujarnya.
Tak pernah sekali pun ia membusungkan dada memamerkan karya atau reputasinya. Di mana pun, dalam forum apa pun, ia tetap menempatkan diri sebagai Manusia rendah hati. Sapardi Djoko Damono adalah cermin hidup, bagaimana puja-puji dan sanjungan yang menghujaninya, tidak membuatnya lupa daratan.
***
Sapardi Djoko Damono (SDD) bagi saya adalah kisah tentang humanisme. Ia lahir dari keluarga bangsawan Solo, tapi tak pernah memakai gelar kebangsawanannya. Terbuka, egaliter, well come, asyik, dan selalu santuy!
Suatu hari, awal tahun 1980-an, ketika saya perlu surat keterangan yang harus ditandatangani Pak Sapardi sebagai Wakil Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, saya datang terlambat ke ruang kerjanya. Ia sudah pergi diantar sopirnya. Padahal, surat itu harus dikirim pada hari itu juga. Saya sudah hopeless. Memang salah saya juga. Saya datang agak sore. Dengan perasaan lunglai, saya berniat pulang.
Ketika saya berjalan menuju halte bus kota, melewati kantor pos di kompleks FSUI, saya melihat mobil Pak Sapardi hendak keluar kampus. Segera saya berlari, berdiri di tengah jalan menghentikan mobilnya. Si sopir seketika terpaksa berhenti. Saya mendekati mobilnya, dan Pak Sapardi membuka kaca mobilnya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Maaf Pak, saya perlu tanda tangan Bapak,” ujar saya.
“Ah, kamu. Mengagetkan saja. Kalau kau ketabrak, saya yang repot!”
Saya minta maaf sambil menyerahkan surat itu. Pak Sapardi menerimanya, membaca sekilas, lalu katanya, “Sini pulpennya!”
Saya gelagapan, karena saya tak bawa pulpen. Untung si sopir buru-buru menyerahkan pulpennya pada Pak Sapardi. Sret … selesailah surat itu ditandatangan Pak Sapardi.
Saya berterima kasih, dan si sopir pun menjalankan lagi mobilnya.
Oh, Pak Sapardi. Tidak ada wajah kesal sedikit pun ketika saya menghentikan mobilnya. Tidak ada wajah kesal sedikit pun ketika dia tahu, saya tak membawa pulpen. Dan enteng saja ia menandatangani surat itu, lalu menyerahkannya pada saya.
Oh, Pak Sapardi … Terlalu banyak kenangan humanisme yang saya pelajari. Cermin hidup guru sejati. Cermin hidup seniman sejati. Cermin hidup manusia rendah hati.
Terima kasih Pak Sapardi ….
***
Ketika Pak Sapardi sakit, kami menjenguknya di Rumah Sakit Cipto. Seperti lazimnya orang membezoek, kami bertanya itu ini. Pada saat itu, datang dua orang suster. Salah seorang tampak memperhatikan nama yang tertera di ujung tempat tidur. Ia lalu bertanya kepada SDD, “Dok, Dokter praktik di mana?” Teman saya tampak menahan tawa. Pak SDD menjawabnya dengan baik. Katanya, “Saya bukan dokter. Saya penyair. Dosen di Fakultas Sastra.” Suster itu tampak malu-malu.
Selepas kedua suster itu keluar, teman saya meledak tawa. Saya tak ikut tertawa, masih terpesona oleh jawaban SDD tadi. Sama sekali, tidak ada kesan merendahkan. Tidak ada! Caranya memberi keterangan seperti ia menjelaskan sesuatu kepada mahasiswanya.
Dalam kesempatan yang lain, ketika kami—saya, SDD, dan Budi Darma—menjadi juri sayembara novel –DKJ dan Yayasan Buku Utama—SDD kadang menjadi pendengar yang baik dan kompromistis. Selalu, hasilnya adalah kesepakatan bersama. Tidak ada kesan pilihannya mesti jadi juara. Kami betul-betul saling bertukar pendapat. Saya sungguh-sungguh belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati. Kerendahhatian SDD itu pula yang mengingatkan saya pada satu peristiwa bersamanya. Waktu itu ada kegiatan berkaitan dengan Seminar HISKI. Kami berdua di sekretariat panitia. Ketika masuk waktu magrib dan kami bermaksud sembahyang berjamaah, SDD mempersilakan saya menjadi imam. Tentu saja saya menolak. Tetapi apa yang dikatakannya: “Silakan Pak Maman jadi imam. Anda kan lebih Islam dari saya!” Kami kemudian sembahyang berjamaah. Saya imam, SDD makmum. Dan ketika sujud, saya menangis. Luar biasa orang ini! Orang hebat yang rendah hati!
Sampai sekarang, saya masih harus terus belajar, bagaimana jadi manusia rendah hati!
Terima kasih Pak Sapardi … Selamat jalan … Alfatihah ….
***
http://sastra-indonesia.com/2020/07/manusia-rendah-hati-sapardi-djoko-damono/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar