Republika, 19 Jan 2018
Di era Orde Lama, di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya, Pramoedya Ananta Toer, Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), menuduh bahwa karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, adalah karya plagiator dari novel al-Majdulin, karya sastrawan Mesir, Musthafa Luthfi al-Manfaluthi. Di era zaman politik yang keras itu, Ali Audah “membela” Hamka dengan caranya sendiri, yaitu dengan menerjemahkan al-Majdulin dari buku aslinya. Dengan demikian, polemik itu berakhir, dan tuduhan Pram tidak terbukti.
Ali Audah, seorang sastrawan, kritikus sastra, penerjemah handal khususnya karya-karya Sastra Arab modern, kelahiran Bondowoso 14 Juli 1924. Dia tidak mengecap pendidikan formal secara cukup, hanya setingkat Kelas 2 Sekolah Dasar. Ali seorang otodidak sejati. Membaca buku adalah menu kesehariannya, apa saja dilahap, dibacanya.
Ali Audah dikenal juga sebagai seorang pengarang yang mempunyai kecerdasan relijius, terutama dalam karya-karya sastranya. Dengan penguasaan beberapa bahasa asing seperti Arab, Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman, dia menjadi seseorang yang mampu membuka cakrawala di Timur dan Barat.
***
Di pertengahan tahun 1985 sampai awal 90-an, saya aktif menemui beliau di Bogor. Saat bekerja ke Jakarta, maka saya menginap di Bogor. Awalnya saya tinggal di hotel, tapi lama-kelamaan beliau meminta saya menginap saja di rumahnya. Keluarga kami di Bondowoso memang akrab dengan keluarganya, bahkan terbilang masih berbau keluarga.
Rumahnya di Perumahan Bogor Baru itu tergolong cukup mewah, walau tidak berlebihan. Beliau bekerja lebih banyak di rumah, jika tidak sedang mengajar di beberapa Universitas di Bogor (Ibnu Khaldun dan IPB).
Bekerja di rumah itu pun dia berdisiplin layaknya bekerja di kantor. Di rumahnya ada “ruang kerja”, yang dikitari rak-rak buku yang tertata rapi dengan kayu pelitur mengkilap. Jam 9 pagi tepat dia sudah duduk di “ruang kerjanya”, membaca buku atau langsung membuka komputer untuk mulai menulis atau menerjemahkan buku-buku. Ruang kerja layaknya perpustakaan ini diisi oleh ribuan buku tebal tipis yang tertata rapi, dengan peletakan materi bahasan yang sudah diklasifikasikan.
Saya terbilang suka “merusak” waktu disiplin beliau. Jika saya datang maka beliau seringkali meninggalkan pekerjaannya dan bercengkerama tentang apa saja yang patut dibicarakan. Banyak hal yang saya dapat dari beliau tentang berbagai hal yang luput dari perhatian dan pengetahuan saya. Pada suatu kesempatan, beliau berkisah tentang sastrawan asal Indonesia yang menetap di Kairo, Mesir, dan menghasilkan karya-karya sastra luar biasa. Dia adalah Ali Ahmad Bakatsir.
Ali Ahmad Bakatsir adalah sastrawan kelas wahid di Mesir, yang membuat “iri” sastrawan-sastrawan asli Mesir. Bahkan kecemburuan itu pun diperlihatkan oleh sastrawan sekelas al-Manfaluthi. Berpuluh karya dihasilkannya, di antaranya Malhamat Umar (karya drama yang dibukukan). Malhamat Umar berkisah tentang Umar bin Khaththab r.a. Karya drama ini mengguncang kalangan sastrawan di Mesir, dan menjadi karya yang dipanggungkan berbulan-bulan. Mengangkat nama Ali Ahmad Bakatsir layaknya sastrawan besar Mesir lainnya.
Ali Audah beberapa kali menjumpai sastrawan besar itu di Mesir, dan berkisah bagaimana Ali Ahmad Bakatsir mampu mengelak dari semacam “boikot” sastrawan lain yang tidak menyukainya. “Ali Ahmad Bakatsir melawan dominasi sastrawan-sastrawan itu dengan karya-karya lainnya yang terus dibuatnya. Dan itu membelalakkan kalangan sastrawan dan pemerhati sastra di Mesir, yang mau tidak mau harus mengakuinya menjadi bagian dari sastrawan Mesir itu sendiri.”
***
Ali Audah adalah pribadi yang tidak suka berpolemik, dan santun mengkritisi jika ada pendapat yang dirasanya kurang tepat atau bahkan salah. Suatu ketika, seorang penyair papan atas Nusantara di tahun 1980-an, mengkritisi H.B. Jasin, menyebutnya cuma sebagai seseorang yang hanya mampu mengkliping karya-karya yang ada, lalu membukukannya secara berkelompok. Katanya, H.B. Jasin bukan seorang sastrawan apalagi budayawan.
Maka, Ali Audah mengingatkannya untuk bisa bersikap santun kepada yang lebih tua. Tidak boleh merendahkan dengan cuma melihat satu aspek. Karya besar H.B. Jasin adalah Pusat Dokumentasi yang didirikannya. Itu adalah karya abadi. Penyair tadi menerima dengan baik “nasihat” itu, lalu menulis artikel di salah satu koran nasional, yang memuji-muji dedikasi H.B. Jasin dalam percaturan karya seni di Indonesia, khususnya karya literatur seni yang terdokumentasi dengan sangat baik.
Ali Audah tidak punya “musuh” dalam percaturan sastrawan Indonesia beberapa dekade yang saling terkotak-kotak dalam kubu-kubuan. Ali Audah “berselancar” di kubu-kubu yang ada tanpa penghalang.
Pembicaraan dengan Ali Audah tidak sebatas karya sastra, tapi sedikit-sedikit saya pun menanyakan pandangan beliau tentang beberapa hal. Suatu waktu saya pernah menanyakan pandangan beliau tentang Nurcholish Madjid, lewat “Islam Yes, Partai Islam No”. Maka jawaban beliau mengagumkan, “Biarlah Nurcholish dengan pendapatnya, mungkin itu pengalamannya, sehingga muncul pendapatnya demikian. Setiap orang membawa pengalamannya sendiri, maka seharusnya setiap orang juga menghargai pendapat yang sekalipun berbeda dengan pendapatnya.”
Itulah Ali Audah, itulah kebesaran jiwanya, menekan ego, meski tidak sependapat dengan pendapat orang lain. Dia mampu me-manage hati dengan kebersihan hatinya. Sosok pendiam, tapi jika berbicara bernas dan punya kandungan bijak.
***
Sebagai penerjemah, Ali Audah menerjemahkan tidak asal “buku”, tapi hanya buku-buku pilihan. Diterjemahkan dengan sepenuh hati. Ada nasihatnya yang masih saya ingat dengan baik, “Penerjemah itu punya amanah dalam menerjemahkan. Bukan saja harus menerjemahkan sesuai dengan apa yang dikandung dari isi buku itu, tapi juga mampu mengungkap isi buku sesuai dengan gaya penulisan dari sang penulis.” Artinya, suasana yang dibangun penulis harus bisa disampaikan dengan gaya yang “nyaris” sama dari buku aslinya. Menurutnya, menerjemahkan terkadang lebih sulit dari menulis buku karya sendiri. Itu memang “karakter” Ali Audah dalam menerjemahkan karya-karya besar. Di tangannya, buku-buku yang diterjemahkan jadi berkelas.
Suatu ketika saya dikenalkan dengan Pak Ajip Rosidi, budayawan yang juga pemilik penerbit CV. Dunia Pustaka Jaya, yang banyak menerbitkan terjemahan Ali Audah. Pak Ajip berkisah, tapi lebih “terasa” mengeluh dan juga “terasa” memuji. Begini kelakarnya, “Menerjemahkan buku pakai jasa Pak Ali itu mesti sabar, karena beliau tidak bisa di-deadline. Beliau kerjakan, tapi suka-suka dia berhenti menerjemahkan hanya karena satu kata yang belum ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dan itu biasanya akan diungkapkannya dalam anotasi-anotasi yang biasa diberikannya, agar pembaca bisa memperoleh gambaran utuh. Dia mencari padanan yang tepat itu hingga berbulan. Terjemahan berhenti hanya karena ‘satu kata’ dimaksud. Jadi, kalau mau cepat menerbitkan buku, sebaiknya tidak pakai jasa Pak Ali,” ungkapnya dengan tertawa.
Penulis atau penerjemah macam Ali Audah sudah langka, dan mungkin satu-satunya yang tersisa, dan satu-satunya itu pun telah dipanggil-Nya SWT. Ali Audah meninggal di Bogor (Selasa, 20 Juni 2017) dalam usia 94 tahun, dengan meninggalkan warisan buku-buku baik karya sendiri maupun terjemahan, di antaranya 'Hidup Muhammad' (Haekal), Fiqhuz-Zakat (Yusuf al-Qardhawi), Konkordensi Alquran (Ali Audah), Muqaddimah Ibnu Khaldun (terjemahan bersama Sapardi Djoko Damono), dan masih banyak lagi warisan karyanya. Sungguh dunia sastra dan literasi Indonesia kehilangan sosok pengilham yang begitu menginspirasi siapa saja yang mengenalnya ...
Ungkapan Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang menuliskan kekagumannya dalam Resonansi di Republika Online (6 Mei 2014) layak dihadirkan ... “Bagi saya, Ali Audah adalah pengilham sejati. Amat sayang, baru mengenal riwayat hidupnya setelah saya tua renta, tetapi tetap saja memberi ilham yang meluluhkan perasaan karena bangga.”
Sungguh ungkapan yang tepat, Ali Audah [memang] Sosok Pengilham.
*) Ady Amar, Pemerhati Sosial dan Keagamaan.
https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/p2pcfg396/ali-audah-sosok-pengilham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar