Seperti firman, dia membuat bahtera di puncak bukit. Dan
memasukkan bekal serta memilih setiap yang berpasangan dengan
tenang. Sambil diajar menghitung. Dan cara menghadapi laut.
Laut yang akan menenggelamkan bukit tanpa ampun.
“Tapi, apa benar laut bisa menenggelamkan bukit?”
Dia cuma ketawa. Dia tahu, jika pengetahuannya tak bisa
diungkap semua. Harus ada yang tetap rahasia. Dan tetap
dibiarkan seperti teka-teki sapi betina yang kuning. Yang
membuat kaum pendebat terus menerus berputaran. Berpusaran.
“Tuan bisa ketawa. Sebab, Tuhan-tuan mungkin juga ketawa,”
Dia kembali ketawa. Dan segulung kulit kambing dibentang.
Dia pun menunjuki dua atau tiga noktah. Tapi tetap saja
tak memberi keterangan. Dibiarkannya yang ada terbekap.
Dan dibiarkannya yang ada bersungut-sungut: wah, wah..
Dan sepekan ke depan, sebelum laut tiba dan menengelamkan,
dia turun ke seputar bukit. “Akh, betapa indahnya bukit ini,”
Dan dia pun memungut sejumput pasir. Lewat pasir itu, dia
berdoa dengan panjang. Panjang yang disergap senyap.
Dia sadar: memang ada yang mengakuinya. Dan ada juga
yang mengujinya. Mungkin yang tak disadari, mengapa
ada si ketiga yang selalu berkilah: “Pergi sendiri juga sebuah
pilihan bukan?” Si ketiga yang selalu mengunci mulut.
Si ketiga yang memang tak bisa dia ungkap. Kecuali
membuatnya mesti berkebat. Sebelum segalanya terlambat.
Bukit tenggelam. Dan laut yang tiba, menyingkap rahasianya.
Seperti rahasia dia dan Tuhan-nya yang mungkin juga ketawa itu.
(Gresik, 2007)
BATU APUNG
Batu apung yang cemburu pada sang utusan sebelum terbang ke langit, menghitam di matamu yang makin hitam itu. Dan duniamu yang hitam memang penuh bentangan yang terkibar. Seperti kain raksasa. Yang tak akan bisa dicari panjang dan lebarnya: “Aku ingin membikin anak-anak berlarian dengan merdeka!”
Tapi teriakanmu itu, teriakan yang juga hitam, cuma mengapung di panggung. Seperti seekor mamalia pilihan yang dilelang. Lalu kau ringkus dengan dedaunan dan biji-biji ulat. Seperti sesaji harian yang mesti kau lepas. Ketika semua orang sibuk memasangkan sayap di kedua tangan dan kakimu yang ingin naik.
“Silakan, jika Tuan mau terbang menemui sang utusan!” Ahai, apa kau siap untuk terbang? Di seputarmu, tubuh-tubuh yang kepalanya telah kau sunduk pun saling menggigil. Dan anak-anak yang berlariannya akan kau merdekakan itu cuma berdiri di pinggiran. Sambil menyembab: “Beri kami recehan, entar Tuan, kami beri doa yang makbul, oke?”
Kau pun cuma mendengus. Dan batu apung yang menghitam di matamu yang makin hitam itu pun mendadak memelar. Menutup semuanya. Termasuk meja, gorden, kursi, taplak dan pendingin di jantungmu. Yang kemarin siang telah kau jagakan pada si melata. Si melata yang di hari-hari tertentu, memasukkan si makelar yang menawarkan kenyamanan.
Kenyamanan untuk terbang. Kenyamanan untuk menemui sang utusan. Dan kenyamanan untuk balik lagi sambil berlagak: “Di langit aku telah bertemu sang utusan. Dan sang utusan berkata, mengapa matamu begitu hitam. Dan begitu seperti tak ada lubang untuk bianglala. Seperti mata milik si pasukan gajah yang telengas dulu?”
Lalu kembali kau pun mendengus. Dan kembali pula kau mengganti si melata penjaga jantungmu dengan seekor gajah yang besar. Dengan belalai, kuping, kaki, perut dan kerahasiaan yang juga besar. Kerahasiaan yang menegak Kerahasiaan. yang seluruh keutuhanya kau beri otot besi. Dan kau tindik dengan pesan: “Ya, ya, percayalah, segala taruhan itu memang bermula di ini!”
(Gresik, 2007)
*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN,” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.
MARDI LUHUNG: Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media, seperti: Kalam, Surabaya Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT, Karya Darma dan Jurnal Selarong. Sedangkan buku yang memuat puisinya adalah: Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2003), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002), Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995), TUK volume II Bertandang dalam Proses (TUK, 1999), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Birahi Hujan (DKJ-AKAR-Logung, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005). Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pernah memenangkan lomba penulisan esai tingkat nasional pada Sayembara Mengarang tentang Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diadakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006. http://sastra-indonesia.com/2010/08/puisi-puisi-mardi-luhung-5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar