Satu biji cabai tercecer saat saya menebar benih. Tanpa sepengetahuan saya, ia jatuh di sela-sela tegel yang menutup tanah di sekitar kolam ikan. Saat kawan-kawannya tumbuh subur di tempat persemaian, satu biji ini tumbuh malu-malu di celah tegel. Saya pikir, ya sudah biarkan saja. Nanti juga akan mati sendiri. Ia tumbuh di tempat yang terbatas, yang tanahnya bahkan bukan humus yang subur, melainkan tanah pasir tipis yang berada di atas tumpukan gragal.
Tetapi saya salah. Tunas itu begitu keras kepala. Ia tumbuh menjulang, tak mau kalah dengan kawan-kawannya yang tumbuh di tanah kaya mineral yang berada dalam pot plastik putih yang dibeli di toko perkakas rumah tangga. Saat kawan-kawannya menumbuhkan dedaunan, ia tak mau kalah, ia tumbuhkan tak kalah lebatnya. Saat kawan-kawannya menjulurkan batang, ia juga tak mau kalah, menjulur lebih tinggi lagi menuju matahari.
Lalu malam itu, turunlah hujan deras. Teramat lebat. Mungkin badai. Bahkan berjam-jam hingga di berbagai sudut kota terendam banjir. Dan paginya, saat langit kembali berwarna biru muda dan udara terasa suam-suam kuku, saya lihat tunas cabai yang keras kepala itu rebah. Saya pikir, akhirnya ia menyerah juga. Dan sekali lagi, saya salah.
Esoknya, cabai itu kembali menggeliat. Ia bengkokkan bagian ujung pucuk daunnya, tengadah ke arah matahari. Begitu pula esoknya, ia semakin membengkok menjulurkan puncaknya melawan gravitasi. Saya petani yang buruk, dan saya tak berani memindahkan bibit cabai itu. Beberapa tanaman yang saya pindahkan, mati dengan mengenaskan. Saya pikir, biarlah bibit cabai itu tumbuh sesuai takdirnya: di taburan pasir, di sela-sela keramik, dengan tubuh yang bengkok. Seperti halnya manusia, kadang, himpitan hidup, membuat dia menjadi kuat, bahkan lebih kuat dari manusia-manusia yang lain. Saya berharap, aksioma ini berlaku bagi bibit cabai juga. Saya beri ia julukan: bibit cabai paling keras kepala.
Saya berharap, kawan saya sekeras kepala cabai ini. Sekeras kepala saat dia berdebat dengan saya di depan ruang kuliah bertahun-tahun yang lalu. Sekeras kepala mungkin, hingga dia tak menyerah saat kini berjuang di ICU dengan paru-paru terhubung ventilator dan pembuluh darahnya terhubung dengan berbagai selang yang mengalirkan cairan ke dalam tubuhnya. Ia harus keras kepala, untuk bisa melewati saat-saat kritis ini, memaksa virus Corona yang menjajah tubuhnya menyerah kalah.
Walau bertahun-tahun lalu saya membenci kekeraskepalaannya, tapi kali ini, saya ingin dia benar-benar keras kepala, sekeras kepala bibit cabai di lantai taman, sehingga dia bisa kembali membuka mata dan tersenyum seperti sedia kala.
6 Nov 2020
*) Sasti Gotama, seorang dokter umum kelahiran Malang, Jawa Timur yang kini tinggal di Cilacap, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di media massa cetak maupun on line; Kompas, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karyanya yang segera terbit “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (Diva Press). Cerpennya menjadi salah satu pemenang lomba cerpen perihal Rasulullah digagas Edi AH Iyubenu, kemudian dibukukan Diva Press: “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya.” Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing” (Circa), dan “Narsisme” (Circa) terbit awal tahun ini. Sasti menjadi nomine Anugerah Sastra Ideide.id tahun 2020 kategori cerpen. Karyanya juga terpilih dalam ebook#ProsaDiRumahAja Indonesia Kaya berjudul “Pandemi.” Buku antologi tunggalnya; “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020), Penafsir Mimpi (2019), dan antologi bersamanya; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). https://sastra-indonesia.com/2020/11/keras-kepala/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar