Kedaulatan Rakyat, 1 Juli 2012
MEREKA tak pernah menduga pertemuan itu. Tiba-tiba saja dituntun tangan takdir ke sebuah taman. Tak begitu indah, namun mereka menemukan keasyikan yang paling purba. Di hadapan mereka bukit-bukit menghijau tersepuh embun. Kadang turun mendekat ke rerumputan, kabut menebal menyebabkan jarak pandang jadi terbatas. Awalnya mereka bingung. Tapi di taman itu tak seorang pun hadir kecuali mereka. Hanya berdua. Berdua di tengah shimponi perbukitan. Selebihnya, sepi.
“Maaf,Anda cari siapa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Kamu cari siapa?” ditanya balik.
“Kenalkan. Namaku Ingkar. Lelaki yang takkan pernah ingkar janji. Setidaknya itulah doa ayahku ketika menghadiahkan nama ini untukku.”
“Aku Mentari. Ayahku menamaiku Mentari agar kelak menjadi perempuan yang menyinari kehidupan. Asyik kan?”
“Oh, asyik juga namamu. Aku suka,” kata Ingkar yang baru saja mengenalkan dirinya pada Mentari yang masih gugup berdiri di hadapannya. Mereka lalu berjalan-jalan mengitari taman dan berbincang lebih intim. Lebih dalam.
Jalan-jalan mulai gelap ketika langkah mereka mencapai kaki bukit. Mereka masih ingin berlama-lama di taman itu, tapi waktu memaksa mereka tuk kembali. Mereka bertukar alamat sejenak, nomor telepon dan berjanji akan kembali ke taman itu. Sebelum berpisah, Mentari mendekat ke hadapan Ingkar, hingga tubuh mereka hampir tak berjarak. Mentari meletakkan kedua tangannya di pundak Ingkar. Ia menatap tajam mata Ingkar yang jalang seperti mata harimau.
“Ingkar, jika nanti aku tak kembali ke taman ini menemuimu, tak usah mencariku, apalagi menelponku,” kata Mentari tiba-tiba seperti akan mencopot jantung Ingkar.
“Sssssttttt… Jangan katakan itu!” seru Ingkar sambil meletakkan jari telunjukya vertikal di mulut Mentari yang sedang terkatup kaku.
Sambil melepas tangan Ingkar yang menyilang mulutnya sejak tadi, Mentari menyambung pembicaraan: “Jujur, kadang aku takut menatap matamu yang tajam menyala. Matamu seperti sedang menanti waktu untuk meledak. Matamu seperti bom dengan kontrol pengedali waktu. Aku takut matamu itu meledak sebelum waktunya. Dan mungkin hanya akulah yang bisa meledakkan sesuatu di matamu itu!”
Ingkar bingung. Dahinya berkerut. Ia menarik nafas panjang sambil memandang ke puncak-puncak bukit yang tinggal bayangan, tertelan malam.
“Pada saatnya nanti, kau kan tahu itu Ingkar. Bersabarlah !“ ujar Mentari sambil berlalu pergi.
***
Hari-hari yang kusam melumat perasaan dan rindu Ingkar. Ia tak sabar lagi ingin mengulang peristiwa itu. Bertemu Mentari di sebuah taman, seperti Adam dan Hawa yang saling mencari dan menggapai di antara gurun Arabia yang luas tak bertepi, lalu berjumpa setelah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Untunglah alamat dan nornor telepon Mentari masih tersimpan di saku celananya yang kumal. Segera ia menyambar HP-nya yang dingin sejak tadi dan memanggil nomer telepon Mentari. Namun setelah berkali-kali ia memanggil, tak juga ada jawaban.
Ingkar mulai emosi. Darahnya mendidih, merasa dipermainkan. Sementara ia adalah laki-laki yang tak pernah ingkar janji, sebagaimana nama pemberian ayahnya. Ingkar segera berdiri, rneraih jaket dan berlari kencang menembus malam dan gerimis tipis, bermaksud mencari alamat Mentari. Namun nasib tak berpihak padanya. Ia berjalan dari gang ke gang, dari lorong ke lorong, menembusi lorong sepi; sesepi jiwanya yang hampa, namun tak jua ia temukan alamat Mentari itu. Ingkar mulai tak suka dengan Mentari. Ia kesal. Ia menyimpulkan Mentari hanyalah seorang wanita pembohong mempermainkan dirinya. Ia kini putus asa. Ia pulang menyusur malam dingin yang hampir membekukan hatinya. Di sudut jalan yang ia lewati, sayup-sayup dari balik kedai kopi, terdengar alunan lagu dangdut berdentum-dentum dari sebuah radio transistor.
Ke sana kemari membawa alamat ting-ting, namun yang kutemui bukan dirinya, sayang yang kuterima alamat palsu, begitulah bunyi syair lagu dangdut yang dinyanyikan seorang biduanita bersuara serak, seolah menyindir langkah kaki Ingkar berjalan gontai menyusur jalan.
Tahun-tahun perlahan telah melumat segala kenangan Ingkar. Meski Sesungguhnya sangat berat. Namun waktulah yang rnenaklukkan dan mengirim kenangan Ingkar itu ke laut lepas, tak bertepi dan tak pernah lagi kembali.
Ingkar pun kini telah melupakan segalanya. Ia ingin menatap masa depannya. Ia tak ingin lagi mengintip ke masa lalunya jika hanya untuk meremukkan hatinya yang rapuh. Ia ingin membangun hidupnya seperti dalam kisah dongeng-dongeng kakeknya di waktu kecil. Menikmati kesendiriannya. Memiliki rumah sederhana, sawah yang luas, di kolam ada ikan piaraan, kandang ayam, burung-burung, kelinci yang lucu-lucu, halaman yang luas, sehingga hidupnya akan lebih berarti.
Tetapi tangan takdir terus menuntunnya ke sana kemari. Hidupnya seperti wayang yang diatur dalang yang tak diketahuinya, kecuali dalam hakikat cinta. Suatu hari, sebuah pesan pendek merinsek masuk ke dalam HP-nya. Ia kaget dan gugup sejenak. Bandul ingatannya diseret kembali ke masa silam yang kelam. Tapi ia tak ingin rnelewatkan moment itu berlalu begitu saja. Ia segera menyimpan nomor itu. Ketika sampai di kantor, ia menelepon balik ke nomer itu.
Di ujung telepon itu suara perempuan menyambarnya.
“Ingkar ya?” tanya suara perempuan itu. Alangkah kagetnya ia.
“Ya, aku Ingkar, kamu siapa?”
“Aku Mentari,” jatungingkar hampir copot.
“Anda jangan main-main dengan saya. Bisa kulaporkan ke polisi nanti,” hardiknya.
“Ingkar, jangan marah dulu dong, ini benar, aku Mentari.”
“Maumu apa?” kejar Ingkar.
“Aku mau segera bertemu kamu di taman itu, seperti dulu ketika kita pertama kali bertemu,” Mentari menyambut Ingkar penuh harap.
“Setelah bertahun-tahun kau menghilang, lalu sekarang datang lagi? Ah, pergi saja. Jangan ganggu aku. Hidupku sudah jelas,” hardik Ingkar meski air mata telah berlinangan di pipinya. Lalu Mentari rnenyambutnya lebih lembut dan sabar.
“Ingkar, seperti janjiku dulu, pada saatnya nanti aku akan kembali untuk meledakkan sesuatu di matamu. Sudahlah, jangan melawan takdir. Kita dilahirkan untuk kisah ini. Terimalah. Sebab setelah itu kita akan menatap dunia bersama, hanya kita berdua dengan mata kita sendiri, atau dengan mata barumu setelah kuledakkan nanti.”
Luluh hati Ingkar mendengar suara lembut Mentari. Suara yang hilang selama bertahun-t ahun dari pendengarannya, dan kini hadir kembali. Ia tak kuasa melawan itu. Ia ikut saja tangan takdir yang menuntunnya ke taman itu, sebagaimana permintaan Mentari terakhir kalinya di ujung telepon.
***
Masih seperti dulu, taman itu tak begitu indah, namun mereka menemukan keasyikan yang paling purba. Di hadapan mereka bukit-bukit menghijau tersepuh embun, Kadang turun mendekat ke rerumputan, kabut menebal menyebabkan jarak pandang jadi terbatas. Awalnya mereka bingung. Tapi di taman itu tak seorang pun hadir kecuali mereka. Hanya berdua. Berdua di tengah shimponi perbukitan. Selebihnya, sepi.
Ingkar telah tiba lebih dulu di taman itu, sebelum akhirnya ia dikagetkan pelukan seorang perempuan dari belakang dan bergelayut di pundaknya.
“Mentari?” teriak Ingkar kaget lalu berbalik memeluk Mentari. Pelukan yang erat, pelukan rindu yang kusam bertahun-tahun. Mereka bergulingan di atas rerumputan basah sehabis gerimis, sebagimana dulu ketika mereka bertemu pertama kali di taman itu. Tak banyak yang berubah pada diri Mentari. Ia masih perempuan manja, menyenangkan dan mampu meluluhkan hati Ingkar, meski dendamnya pernah membara bertahun-tahun.
Mereka bergandengan tangan ke sebuah gubuk kecil, seperti dangau yang dikelilingi pepohonan. Mereka tak banyak berkata-kata. Mereka hanya bisa saling berpandangan, berpeluk, melepas rindu berkarat dikumur waktu bertahun-tahun. Mentari mendekat ke hadapan Ingkar, ia meletakkan kedua tangannya di pundak Ingkar sambil menatap tajam mata Ingkar yang terus menyala sebagaimana dulu, ketika mereka berjumpa pertama kali di taman ini. Mereka tak banyak bicara. Sorot mata Mentari terus menembusi mata Ingkar. Kedua mata itu saling menyorot tajam, seperti ada magnet dan aliran energi yang menembusi kedua mata mereka. Ingkar merasakan seperti sedang ditikam mata Mentari hingga ke jantung hatinya yang paling dalam. Mentari juga begitu.
Ingkar kehilangan keseimbangan. Tatapan matanya kabur. Semakin gelap. Gelap. Lalu ia tak tahu lagi apa yang terjadi, serasa kedua bola matanya menyembul keluar dan meledak! Duerrrr…! Ahhhkkkhhh. Ingkar bingung, ia tak dapat melihat apapun. Mentari lalu berbisik lembut ke telinganya.
“Sabar dan tenanglah Ingkar, ikuti saja tangan takdir menuntunmu ke mana. Aku masih punya kedua bola mata. Akan kubagi untukmu satu dan untukku satu. Dengan mata satu ini, kita akan lebih jernih menatap dunia yang penuh tipu daya. Cinta juga demikian, penuh sandiwara dan dusta. Dengan satu mata, tatapan kita akan lebih tajam dan lurus menatap kehidupan fana ini. Kau tak perlu lagi memicingkan matamu yang satu ketika ingin melihat sesuatu menjadi lurus. Sebab kita memang hanya punya satu mata. Terima dan resapkanlah hingga ke peraduan rindu-dendarn cintamu yang paling purba!”
Mentari lalu membersihkan kedua lubang mata Ingkar yang baru saja meledak. Penuh cinta dan haru. Ia lalu mencopot mata kanannya dan memasang di mata kanan Ingkar. Lalu saling bertatapan dengan satu mata. Indah. Selebihnya, sepi!
Solo-Yogya, 2012
http://sastra-indonesia.com/2020/12/ledakan-mata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar