Sabtu, 26 Desember 2020

LEDAKAN MATA

Bustan Basir Maras
Kedaulatan Rakyat, 1 Juli 2012
 
MEREKA tak pernah menduga pertemuan itu. Tiba-tiba saja dituntun tangan takdir ke sebuah taman. Tak begitu indah, namun mereka menemukan keasyikan yang paling purba. Di hadapan mereka bukit-bukit menghijau tersepuh embun. Kadang turun mendekat ke rerumputan, kabut menebal menyebabkan jarak pandang jadi terbatas. Awalnya mereka bingung. Tapi di taman itu tak seorang pun hadir kecuali mereka. Hanya berdua. Berdua di tengah shimponi perbukitan. Selebihnya, sepi.
 
“Maaf,Anda cari siapa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Kamu cari siapa?” ditanya balik.
 
“Kenalkan. Namaku Ingkar. Lelaki yang takkan pernah ingkar janji. Setidaknya itulah doa ayahku ketika menghadiahkan nama ini untukku.”
 
“Aku Mentari. Ayahku menamaiku Mentari agar kelak menjadi perempuan yang menyinari kehidupan. Asyik kan?”
 
“Oh, asyik juga namamu. Aku suka,” kata Ingkar yang baru saja mengenalkan dirinya pada Mentari yang masih gugup berdiri di hadapannya. Mereka lalu berjalan-jalan mengitari taman dan berbincang lebih intim. Lebih dalam.
 
Jalan-jalan mulai gelap ketika langkah mereka mencapai kaki bukit. Mereka masih ingin berlama-lama di taman itu, tapi waktu memaksa mereka tuk kembali. Mereka bertukar alamat sejenak, nomor telepon dan berjanji akan kembali ke taman itu. Sebelum berpisah, Mentari mendekat ke hadapan Ingkar, hingga tubuh mereka hampir tak berjarak. Mentari meletakkan kedua tangannya di pundak Ingkar. Ia menatap tajam mata Ingkar yang jalang seperti mata harimau.
 
“Ingkar, jika nanti aku tak kembali ke taman ini menemuimu, tak usah mencariku, apalagi menelponku,” kata Mentari tiba-tiba seperti akan mencopot jantung Ingkar.
 
“Sssssttttt… Jangan katakan itu!” seru Ingkar sambil meletakkan jari telunjukya vertikal di mulut Mentari yang sedang terkatup kaku.
 
Sambil melepas tangan Ingkar yang menyilang mulutnya sejak tadi, Mentari menyambung pembicaraan: “Jujur, kadang aku takut menatap matamu yang tajam menyala. Matamu seperti sedang menanti waktu untuk meledak. Matamu seperti bom dengan kontrol pengedali waktu. Aku takut matamu itu meledak sebelum waktunya. Dan mungkin hanya akulah yang bisa meledakkan sesuatu di matamu itu!”
 
Ingkar bingung. Dahinya berkerut. Ia menarik nafas panjang sambil memandang ke puncak-puncak bukit yang tinggal bayangan, tertelan malam.
 
“Pada saatnya nanti, kau kan tahu itu Ingkar. Bersabarlah !“ ujar Mentari sambil berlalu pergi.
***
 
Hari-hari yang kusam melumat perasaan dan rindu Ingkar. Ia tak sabar lagi ingin mengulang peristiwa itu. Bertemu Mentari di sebuah taman, seperti Adam dan Hawa yang saling mencari dan menggapai di antara gurun Arabia yang luas tak bertepi, lalu berjumpa setelah berpuluh-puluh tahun lamanya.
 
Untunglah alamat dan nornor telepon Mentari masih tersimpan di saku celananya yang kumal. Segera ia menyambar HP-nya yang dingin sejak tadi dan memanggil nomer telepon Mentari. Namun setelah berkali-kali ia memanggil, tak juga ada jawaban.
 
Ingkar mulai emosi. Darahnya mendidih, merasa dipermainkan. Sementara ia adalah laki-laki yang tak pernah ingkar janji, sebagaimana nama pemberian ayahnya. Ingkar segera berdiri, rneraih jaket dan berlari kencang menembus malam dan gerimis tipis, bermaksud mencari alamat Mentari. Namun nasib tak berpihak padanya. Ia berjalan dari gang ke gang, dari lorong ke lorong, menembusi lorong sepi; sesepi jiwanya yang hampa, namun tak jua ia temukan alamat Mentari itu. Ingkar mulai tak suka dengan Mentari. Ia kesal. Ia menyimpulkan Mentari hanyalah seorang wanita pembohong mempermainkan dirinya. Ia kini putus asa. Ia pulang menyusur malam dingin yang hampir membekukan hatinya. Di sudut jalan yang ia lewati, sayup-sayup dari balik kedai kopi, terdengar alunan lagu dangdut berdentum-dentum dari sebuah radio transistor.
 
Ke sana kemari membawa alamat ting-ting, namun yang kutemui bukan dirinya, sayang yang kuterima alamat palsu, begitulah bunyi syair lagu dangdut yang dinyanyikan seorang biduanita bersuara serak, seolah menyindir langkah kaki Ingkar berjalan gontai menyusur jalan.
 
Tahun-tahun perlahan telah melumat segala kenangan Ingkar. Meski Sesungguhnya sangat berat. Namun waktulah yang rnenaklukkan dan mengirim kenangan Ingkar itu ke laut lepas, tak bertepi dan tak pernah lagi kembali.
 
Ingkar pun kini telah melupakan segalanya. Ia ingin menatap masa depannya. Ia tak ingin lagi mengintip ke masa lalunya jika hanya untuk meremukkan hatinya yang rapuh. Ia ingin membangun hidupnya seperti dalam kisah dongeng-dongeng kakeknya di waktu kecil. Menikmati kesendiriannya. Memiliki rumah sederhana, sawah yang luas, di kolam ada ikan piaraan, kandang ayam, burung-burung, kelinci yang lucu-lucu, halaman yang luas, sehingga hidupnya akan lebih berarti.
 
Tetapi tangan takdir terus menuntunnya ke sana kemari. Hidupnya seperti wayang yang diatur dalang yang tak diketahuinya, kecuali dalam hakikat cinta. Suatu hari, sebuah pesan pendek merinsek masuk ke dalam HP-nya. Ia kaget dan gugup sejenak. Bandul ingatannya diseret kembali ke masa silam yang kelam. Tapi ia tak ingin rnelewatkan moment itu berlalu begitu saja. Ia segera menyimpan nomor itu. Ketika sampai di kantor, ia menelepon balik ke nomer itu.
 
Di ujung telepon itu suara perempuan menyambarnya.
 
“Ingkar ya?” tanya suara perempuan itu. Alangkah kagetnya ia.
 
“Ya, aku Ingkar, kamu siapa?”
 
“Aku Mentari,” jatungingkar hampir copot.
 
“Anda jangan main-main dengan saya. Bisa kulaporkan ke polisi nanti,” hardiknya.
 
“Ingkar, jangan marah dulu dong, ini benar, aku Mentari.”
 
“Maumu apa?” kejar Ingkar.
 
“Aku mau segera bertemu kamu di taman itu, seperti dulu ketika kita pertama kali bertemu,” Mentari menyambut Ingkar penuh harap.
 
“Setelah bertahun-tahun kau menghilang, lalu sekarang datang lagi? Ah, pergi saja. Jangan ganggu aku. Hidupku sudah jelas,” hardik Ingkar meski air mata telah berlinangan di pipinya. Lalu Mentari rnenyambutnya lebih lembut dan sabar.
 
“Ingkar, seperti janjiku dulu, pada saatnya nanti aku akan kembali untuk meledakkan sesuatu di matamu. Sudahlah, jangan melawan takdir. Kita dilahirkan untuk kisah ini. Terimalah. Sebab setelah itu kita akan menatap dunia bersama, hanya kita berdua dengan mata kita sendiri, atau dengan mata barumu setelah kuledakkan nanti.”
 
Luluh hati Ingkar mendengar suara lembut Mentari. Suara yang hilang selama bertahun-t ahun dari pendengarannya, dan kini hadir kembali. Ia tak kuasa melawan itu. Ia ikut saja tangan takdir yang menuntunnya ke taman itu, sebagaimana permintaan Mentari terakhir kalinya di ujung telepon.
***
 
Masih seperti dulu, taman itu tak begitu indah, namun mereka menemukan keasyikan yang paling purba. Di hadapan mereka bukit-bukit menghijau tersepuh embun, Kadang turun mendekat ke rerumputan, kabut menebal menyebabkan jarak pandang jadi terbatas. Awalnya mereka bingung. Tapi di taman itu tak seorang pun hadir kecuali mereka. Hanya berdua. Berdua di tengah shimponi perbukitan. Selebihnya, sepi.
 
Ingkar telah tiba lebih dulu di taman itu, sebelum akhirnya ia dikagetkan pelukan seorang perempuan dari belakang dan bergelayut di pundaknya.
 
“Mentari?” teriak Ingkar kaget lalu berbalik memeluk Mentari. Pelukan yang erat, pelukan rindu yang kusam bertahun-tahun. Mereka bergulingan di atas rerumputan basah sehabis gerimis, sebagimana dulu ketika mereka bertemu pertama kali di taman itu. Tak banyak yang berubah pada diri Mentari. Ia masih perempuan manja, menyenangkan dan mampu meluluhkan hati Ingkar, meski dendamnya pernah membara bertahun-tahun.
 
Mereka bergandengan tangan ke sebuah gubuk kecil, seperti dangau yang dikelilingi pepohonan. Mereka tak banyak berkata-kata. Mereka hanya bisa saling berpandangan, berpeluk, melepas rindu berkarat dikumur waktu bertahun-tahun. Mentari mendekat ke hadapan Ingkar, ia meletakkan kedua tangannya di pundak Ingkar sambil menatap tajam mata Ingkar yang terus menyala sebagaimana dulu, ketika mereka berjumpa pertama kali di taman ini. Mereka tak banyak bicara. Sorot mata Mentari terus menembusi mata Ingkar. Kedua mata itu saling menyorot tajam, seperti ada magnet dan aliran energi yang menembusi kedua mata mereka. Ingkar merasakan seperti sedang ditikam mata Mentari hingga ke jantung hatinya yang paling dalam. Mentari juga begitu.
 
Ingkar kehilangan keseimbangan. Tatapan matanya kabur. Semakin gelap. Gelap. Lalu ia tak tahu lagi apa yang terjadi, serasa kedua bola matanya menyembul keluar dan meledak! Duerrrr…! Ahhhkkkhhh. Ingkar bingung, ia tak dapat melihat apapun. Mentari lalu berbisik lembut ke telinganya.
 
“Sabar dan tenanglah Ingkar, ikuti saja tangan takdir menuntunmu ke mana. Aku masih punya kedua bola mata. Akan kubagi untukmu satu dan untukku satu. Dengan mata satu ini, kita akan lebih jernih menatap dunia yang penuh tipu daya. Cinta juga demikian, penuh sandiwara dan dusta. Dengan satu mata, tatapan kita akan lebih tajam dan lurus menatap kehidupan fana ini. Kau tak perlu lagi memicingkan matamu yang satu ketika ingin melihat sesuatu menjadi lurus. Sebab kita memang hanya punya satu mata. Terima dan resapkanlah hingga ke peraduan rindu-dendarn cintamu yang paling purba!”
 
Mentari lalu membersihkan kedua lubang mata Ingkar yang baru saja meledak. Penuh cinta dan haru. Ia lalu mencopot mata kanannya dan memasang di mata kanan Ingkar. Lalu saling bertatapan dengan satu mata. Indah. Selebihnya, sepi!
 
Solo-Yogya, 2012

http://sastra-indonesia.com/2020/12/ledakan-mata/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Hana N.S A. Kohar Ibrahim A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi A.S. Laksana Aa Aonillah Aan Frimadona Roza Aba Mardjani Abd Rahman Mawazi Abd. Rahman Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wahab Abdullah Alawi Abonk El ka’bah Abu Amar Fauzi Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adhimas Prasetyo Adi Marsiela Adi Prasetyo Aditya Ardi N Ady Amar Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R Sarjono Agus R. Subagyo Agus S. Riyanto Agus Sri Danardana Agus Sulton Ahda Imran Ahlul Hukmi Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad S Rumi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alfian Zainal Ali Audah Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alwi Shahab Ami Herman Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Machmud NS Anam Rahus Anang Zakaria Anett Tapai Anindita S Thayf Anis Ceha Anita Dhewy Anjrah Lelono Broto Anton Kurniawan Anwar Noeris Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Arida Fadrus Arie MP Tamba Aries Kurniawan Arif Firmansyah Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Aris Kurniawan Arman AZ Arther Panther Olii Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha Arya Winanda Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Asrul Sani (1927-2004) Awalludin GD Mualif Ayi Jufridar Ayu Purwaningsih Azalleaislin Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bagus Fallensky Balada Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brillianto Brunel University London BS Mardiatmadja Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerpen Chamim Kohari Chrisna Chanis Cara Cover Buku Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dad Murniah Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Dana Gioia Danang Harry Wibowo Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hardiana Dian Hartati Diani Savitri Yahyono Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi AH Iyubenu Edi Sarjani Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eduardus Karel Dewanto Edy A Effendi Efri Ritonga Efri Yoni Baikoen Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Endarmoko Eko Hendri Saiful Eko Triono Eko Tunas El Sahra Mahendra Elly Trisnawati Elnisya Mahendra Elzam Emha Ainun Nadjib Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Etik Widya Evan Ys Evi Idawati Fadmin Prihatin Malau Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faiz Manshur Faradina Izdhihary Faruk H.T. Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fauzi Absal Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fitri Yani Frans Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Gde Agung Lontar Gerson Poyk Gilang A Aziz Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gus TF Sakai H Witdarmono Haderi Idmukha Hadi Napster Hamdy Salad Hamid Jabbar Hardjono WS Hari B Kori’un Haris del Hakim Haris Firdaus Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hazwan Iskandar Jaya Hendra Makmur Hendri Nova Hendri R.H Hendriyo Widi Heri Latief Heri Maja Kelana Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Firyansyah Herry Lamongan Hudan Hidayat Hudan Nur Husen Arifin I Nyoman Suaka I Wayan Artika IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Q. Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indiar Manggara Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahjadi Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Norman Iskandar Saputra Ismatillah A. Nu’ad Ismi Wahid Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.J. Ras J.S. Badudu Jafar Fakhrurozi Jamal D. Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jemie Simatupang JILFest 2008 JJ Rizal Joanito De Saojoao Joko Pinurbo Jual Buku Paket Hemat Jumari HS Junaedi Juniarso Ridwan Jusuf AN Kafiyatun Hasya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Key Khudori Husnan Kiki Dian Sunarwati Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Kris Razianto Mada Krisman Purwoko Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Kuss Indarto Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto L.K. Ara L.N. Idayanie La Ode Balawa Laili Rahmawati Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayanie Lukman Asya Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Raudah Jambak M. Ady M. Arman AZ M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Makmur Dimila Mala M.S Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maqhia Nisima Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Mariana Amiruddin Marjohan Martin Aleida Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Mathori A. Elwa Media: Crayon on Paper Medy Kurniawan Mega Vristian Melani Budianta Mikael Johani Mila Novita Misbahus Surur Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohammad Cahya Mohammad Eri Irawan Mohammad Ikhwanuddin Morina Octavia Muhajir Arrosyid Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun A.S Multatuli Munawir Aziz Muntamah Cendani Murparsaulian Musa Ismail Mustafa Ismail N Mursidi Nanang Suryadi Naskah Teater Nelson Alwi Nezar Patria NH Dini Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Ni’matus Shaumi Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nisa Ayu Amalia Nisa Elvadiani Nita Zakiyah Nitis Sahpeni Noor H. Dee Noorca M Massardi Nova Christina Noval Jubbek Novelet Nur Hayati Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurul Anam Nurul Hidayati Obrolan Oyos Saroso HN Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste PDS H.B. Jassin Petak Pambelum Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Puji Santosa Purnawan Basundoro Purnimasari Puspita Rose PUstaka puJAngga Putra Effendi Putri Kemala Putri Utami Putu Wijaya R. Fadjri R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R. Toto Sugiharto R.N. Bayu Aji Rabindranath Tagore Raden Ngabehi Ranggawarsita Radhar Panca Dahana Ragdi F Daye Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Renosta Resensi Restoe Prawironegoro Restu Ashari Putra Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Ridwan Rachid Rifqi Muhammad Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Risa Umami Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rofiuddin Romi Zarman Rukmi Wisnu Wardani Rusdy Nurdiansyah S Yoga S. Jai S. Satya Dharma Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman Yoga S Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sariful Lazi Saripuddin Lubis Sartika Dian Nuraini Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Indonesia Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sides Sudyarto DS Sidik Nugroho Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slamet Widodo Sobirin Zaini Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sreismitha Wungkul Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sugeng Satya Dharma Sugiyanto Suheri Sujatmiko Sulaiman Tripa Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syarifuddin Arifin Syifa Aulia T.A. Sakti Tajudin Noor Ganie Tammalele Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tharie Rietha Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Toko Buku PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Wahono Trisna Triyanto Triwikromo TS Pinang Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Uniawati Unieq Awien Universitas Indonesia UU Hamidy Viddy AD Daery Wahyu Prasetya Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Weni Suryandari Widodo Wijaya Hardiati Wikipedia Wildan Nugraha Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wisran Hadi Wowok Hesti Prabowo WS Rendra X.J. Kennedy Y. Thendra BP Yanti Riswara Yanto Le Honzo Yanusa Nugroho Yashinta Difa Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yurnaldi Yusri Fajar Yusrizal KW Yusuf Assidiq Zahrotun Nafila Zakki Amali Zawawi Se Zuriati