Sajak Seribu Tahun
Seribu tahun lagi, aku mungkin
datang kembali tidak dengan raga ini
tapi puisi-puisi. Sukmaku menjelma
makna-makna yang mengental
dalam pemahamanmu
Jangan lagi kau sebut-sebut namaku
kalau pesan puitikku tak kau mengerti
mungkin debu-debu lelah mengeja hidupmu
berhamburan kemewahan yang semu
tapi puisi-puisiku tidak akan alpa menyentuh
hatimu yang telah berurat batu itu
Seribu tahun lagi, ya, seribu tahun
diriku mungkin sudah remuk
tapi bersama puisi-puisi
aku akan tetap abadi
Memetik Sekuntum Melati
: untuk Hj. Sumarti, emakku
Terasa setiap detik aku memetik melati
yang bermekaran sepanjang penghayatan sejati
hingga tetap ada kehidupan berkembang
memperbarui wangi yang telah kita seberangi
Dipetiknya sekuntum melati, seperti tanyamu selama ini
tentang pematang kasih sayang, betapa butuh sungguh
bagi bakti anakmu akan lanjutkan keturunan
maka terimalah seperangkat jawab yang tulus
betapa kucurahkan pengaduan di pangkuanmu, Mak
Akhirnya tiba saatnya, aku kini bawakan kekasih
yang melati, hingga sampai dipetiknya nanti
bagai dirimu, Emak, mampu mempertahankan keharuman
Kasidah Kelahiran
: untuk Fahri Puitisandi Arsyi, anakku
Telah terbit matahari di hatiku
Hingga terang-benderanglah semesta alam
Hangatkan kebahagiaan
Tampak kaki anakku menjejak-jejak ke atas
Seperti dapat menemukan jalan pintas
Menuju dunia yang lebih sejuk. Ayo, anakku!
Jejak bumi tujuh kali. Aku bapakmu akan selalu
Mengiringi langkahmu. Tampak tangan anakku
Menggapai-gapai ke berbagai arah
Seperti sedang mengurai kacaunya keadaan zaman
Kedamaian dunia yang tak pernah selesai diperjuangkan
Ayo anakku! Jangkaulah dunia sepenuh jiwa
Aku bapakku akan selalu mendukungmu
Ketika tetabuhan rebana membahana
Anakku terpejam dari segala dunia keramaian
Mawar-melati disiratkan, doa-dzikir dipanjatkan
Anakku baru mau membuka matanya pada waktu
Keadaan gelap gulita dan dari sinar matanya
Aku baru mengerti ada terang yang lain
Sebuah benderang menerangi batin
Karangjati, Kramat, Tegal, 30 April 2008
Sajak Akhir Perjalanan
In memoriam Udin
Inikah akhir perjalananmu yang paling pilu
menempuh kesibukan seharian penuh, namun
sepatumu terantuk di batu-batu, betapa dirimu
ingin terus melangkah maju
Inikah akhir perjalananmu yang paling rindu
melewati impian dan harapan anak-istri
yang bersemi, senyummu meliuk-liuk lampaui
segala bahagia yang pecah duka melegenda
Inikah akhir perjalananmu yang paling mulus
menemukan kedamaian abadi pada dunia lain
ghaiblah anganmu menulis kesaksian, betapa
dunia yang kautinggalkan maya belaka
Kasidah Kota Tua
: Catatan bersama Nur Ikhsan Suryakusumah
Bersamamu menyusuri sebuah kota
Tua, betapa kita merasa semakin tua saja
Sepanjang jalan adalah usia yang berlepasan
Dari detik demi detik mengalir tiada henti
Satu demi satu mengelupas seperti rasa cemas
Menguakkan kesadaran yang telah lama karam
Ada yang terasa hilang saat kita tergelak
Tawa, kebahagiaan yang sulit diterjemahkan
Menjelajah malam penuh gemerlapan, tapi miris hati
Tercabik lirikan genit perempuan malam pinggir jalan
Senyumnya kaku betapa hampa membekukan suasana
Tak ada percakapan tentang baik-buruk, cantik-jelek,
Atau alim-pelacur, tapi ia akan tetap berhak menyandang
Sebutan ibu, keagungan sebuah martabat paling hakekat
Meski telah menelantarkan kesemua anak-anaknya
Terlunta-lunta di kolong kota tanpa ayah dan kasih sayang
Roda kehidupan yang semakin bergulir menuju jaman akhir
Dan kita pasrah, tak bisa menolak ataupun mungkir
Kota, apakah masih mampu menanggung beban zaman
Tak bisa mengulang kembali menjadi lautan api
Sekarang sudah terlalu uzur untuk kembali bertempur
Gedung-gedung telah menutup pintu-jendela
Juga orang-orang telah lelap dalam mimpi gemerlapnya
Tapi kita masih setia menjaga tanya
Hanya kata-kata yang bisa dijadikan teman
Lihatlah, ada bocah selalu gelisah tak mampu merubah
Nasibnya yang telah terjepit di antara kenyataan pahit
Tapi semangatnya tetap berapi-api menuangkan energi kreatif
Rangkaian kata-kata yang ditulisnya dijadikan senjata
Bandung, 24 Maret 2008
Kasidah Malam
Malam terpendam dalam lumpur kesunyian
seonggok diriku mendongak, mempertahankan
beban kehidupan yang disangga doa-doa
sembahyang di sela-sela lembur kesibukan
yang lebur dengan angan-angan kemewahan
terhadap penempuhan segenap hasrat
seketika dapat turunkan bulan, sinari semangat
karena kita sengsara bukan oleh derita dan lapar
juga bukan oleh pemberontakan yang liar
sejuta impian menawarkan bunga
harumnya mampu menggetarkan jiwa
Aku Kini Matahari
Aku kini matahari yang menggaris
bumi, tertatih-tatih menaiki tangga langit
seiring hari-hari menempuh kerinduan abadi
Bangkit dini hari mengejar sang fajar
terkupasnya senyum pagi sisa impian semalam
yang cepat berganti tertindih kesibukan
bergerak bersama wangi keringat kering
tangan-tangan yang memegang peranan
melaju penuh debu yang akrab pergulatan
perjuangan demi kehidupan harus diperjuangkan
Aku kini matahari yang menggaris
bumi, tertatih-tatih menaiki tangga langit
sampai hari-hari menuju ke haribaan ilahi
Sajak Tiap Hari
Tiap hari, aku harus bersentuhan dengan
nuraniku sendiri, laku batin tiada henti
mengasah rasa yang terkikis kecemasan
Tiap hari, aku harus merangkaki
dinding kesunyian hati, bagai cicak yang papa
melata derita yang terbata-bata
Tiap hari, aku harus berjalan di atas bara
semangat jiwa yang terus menyala-nyala
menemani batin yang terhimpit kenyataan pahit
Tiap hari, ya, tiap hari
aku memandang dalam perasaan transparan
mencari dirimu, wahai jiwa yang damai
Tamsil Dunia Air
Apakah kita sampai dalam dasar kolam, gelisah
berkaca permukaan tak karuan, letih menyelami
tanpa harapan hingga makin buyarkan pandang
didepak sinar terjerembab kegelapan mendasar
Terhadap riak-riak gelombang, kita mengalir
menepi sampai ke tepi dari keramaian dunia air
ternyata banyak pilihan yang membingungkan
tak sempat untuk dapat menata diri kembali
betapa kita butuh bernafas lebih bebas lagi
Berkaca lebih bersih di atas permukaan kolam
pasrah karunia atau bencana yang akan tumpah
kita tetap menajamkan pandangan kehidupan
Pulang
: catatan untuk Abdul Aziz, kakakku
Aku akan pulang membawa kegelisahan
dalam rindu yang mencemaskan, adakah
kau simpan luka lama dengan merampungkan
kenangan kelam, dari masa telah terlewati
pada perantauan asing di segenap hati
Rumah telah tertutup pada mimpi buruk
rontoklah hari demi hari dari dongeng ngeri
cerita tentang kemurungan negeri terbaca
selalu meramu mitos-mitos pemikiran semu
mengurung niat yang terlintas hanya kejemuan
Aku akan tetap pulang, segera menghabiskan
semua huruf dalam kamus kehidupanmu, hingga
bakal mengerti, bahwa ternyata selama ini
aku tak jauh dari bacaanmu, pada setiap ucapmu
selalu mengandung kerinduan untuk kepulanganku.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/04/puisi-puisi-akhmad-sekhu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar