Malang Post, 5 Sep 2010
Gadis, sudahlah. Jangan menangis. Tak ada gunanya. Lelaki yang kau cintai telah melukaimu. Apa pantas kau mengiba dan meratapinya, bahkan mengharapnya kembali? Mari, buka mata hatimu. Lalu tenggelamkan diri dengan do’a-do’a kepada Tuhan. Aku yakin. Segalanya akan baik-baik saja. Hidup itu sementara, jangan dibuat bersusah-susah. Mari, memaknai segala peristiwa pasti akan lebih indah. Mari, berfikir hal yang penting agar diri berguna buat sesama.
***
Gadis berhari-hari mengunci dirinya dalam kamarnya. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukannya. Hanya pesan pendek, sering aku terima itupun kadang tak tuntas mengirimnya, putus di tengah percakapan.
Seorang temannya menemuiku, menanyakan perihal masalah yang menimpahnya. Hingga kenapa harus mengunci diri dalam kamarnya. Aku sendiri tak tahu. Maka kujawab sekenanya
“Ia sedang patah hati yang dalam dan ingin tenangkan diri. Supaya jadi baik-baik saja, ketika keluar kamar dan tak ada yang mengira ia sedang patah hati”
Temannya malah mendebatku
“Bahwa siapa yang tidak tahu! akan sakit hatinya, semua sudah tahu”.
Aku pun berlagak tidak tahu, permasalahan yang sedang dialami oleh Gadis dengan detail. “Memangnya kau tahu apa yang sedang terjadi pada Gadis?”
Temannya menjawab
“Kekasihnya telah menduakannya. Gadis sangat terpukul atas kejadian tersebut”.
Aku pun tersenyum dan menggerakkan kepala ke bawah agar terlihat mengamini apa yang dikatakannya, seakan-akan baru tahu permasalahan Gadis secara detail.
Temannya melangkahkan kaki menjauh dariku yang terus berfikir. Apa yang bisa aku perbuat untukknya sedang aku bukan apa-apanya. Hanya, baru saja kenal dan aku tertarik padanya. Ah, dasar naluri lelakiku muncul tiba-tiba saat bertemu dengannya pertama kali. Padahal sudah lama rasa cinta menghilang dari peredaran orbit hati.
Pada suatu malam ketika bulan purnama. Seorang lelaki datang padaku yang mengaku kekasih Gadis. Bercerita tentang perihal hubungannya sama Gadis. Bahwa ia sangat mencintainya. Tapi sayang, Gadis tak mampu memberikan apa yang diharapkan. Lalu ia bertemu dengan perempuan semasa SMA-nya yang pernah dicintainya. Sebab jarak yang jauh lalu ia meninggalkannya.
Kini, jaraknya sudah dekat maka ia pun kembali lagi pada perempuan yang semasa SMA dicintainya. Tetapi sebenarnya ia masih cinta pada Gadis. Berhubung Gadis tak dapat memenuhi apa yang diharapkannya, ia harus meninggalkan Gadis. Sesekali ia mengoda Gadis. Agar mau berubah dan ia pun akan kembali pada Gadis. Perubahan yang diharapkan pada Gadis adalah agar Gadis dapat masak, agar Gadis berjilbab, agar Gadis meninggalkan teman-teman mainnya, agar Gadis tak seperti anak kecil, agar Gadis Dewasa. Agar Gadis…
Sehabis ia bercerita panjang lebar kali tinggi, tentang hubungannya sama Gadis. Ia berpamitan pulang. Dan mengatakan padaku
“Tolong Mas, disampaikan pada Gadis, tentang apa yang aku ceritakan padamu!”.
Sungguh, lelaki macam apa itu? Memaksa kehendaknya untuk orang lain berubah. Padahal perubahan harusnya melewati kesadaran dari pelakunya. Bukan pemaksaan. Aku mengingat pemikir-pemikir positivisme, bahwa hubungan relasi antara diri dan diluar diri adalah subyek dan obyek. Sehingga apapun yang diluar dirinya adalah obyek yang dapat dirubah semaunya. Dengan adanya unsur paksaan dan ekploitasi. Ah, robotlah jadinya. Sudah sebegitu parahkan pemikiran positivisme masuk dalam alur logika kita?
Tiba-tiba poselku berbunyi.
“Kak telpon aku”.
Rupanya Gadis mengharap aku menelponnya. Sebagai manusia aku tak bisa membiarkan orang lain meminta tolong dan butuh bantuanku, aku biarkan begitu saja. Lalu aku pencet call Gadis. Masih terdengar nada terisak-isak. Habis menangis seharian, katanya. Lalu mengisahkan lelaki yang baru saja datang padaku. Bahwa ia mempermainkan hatinya. Aku pun bilang
“Kenapa kau mau dipermainkan?”
Gadis mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai lelaki tersebut, hingga terkadang buta dirasakannya. Tak peduli berkali-kali disakiti, tetap saja mengharapkannya. Tetapi gadis kali ini sadar, bahwa ia harus memutuskan untuk melupakan. Akan tetapi, Gadis tidak bisa. Katanya.
Dengan sadar diri, aku bukanlah Gadis. Aku tak mengerti perihal perasaannya. Aku hanya membantu memecahkan kebuntuan-kebuntuan fikirannya yang gelap. Akibat perasaan cinta butanya. Aku katakanya padanya
“Gadis yang dilakukan kekasihmu itu bukanlah cinta tetapi penguasaan terhadap dirimu. Relakan saja ia pergi dan terimalah kenyataan yang terjadi. Bahwa ia telah mencintai orang lain. Bukan lagi dirimu”
Tiba-tiba telpon terputus.
Aku sebenarnya takut untuk memberikan solusi-solusi padanya. Apakah aku dengan tanpa tendensi atau punya tendensi untuk membantunya. Sebab aku mencintainya. Dan yang aku tahu. Bahwa, aku tak ingin serupa yang aku diskripsikan pada lelaki yang dicintai Gadis. Ada unsur penguasaan atas cinta, tetapi bukanlah cinta yang membebaskan yang mencari jalan kebenaran bagi dirinya sendiri.
Teringat buku yang aku baca tentang kekuasaan cinta dan keadilan karya Paul Tillich. Aku membelinya bersama Gadis ketika awal kita kenal. Gadis bertanya padaku perihal buku tersebut. Setelah aku buka dan baca, memang agak berat. Mungkin juga bagi Gadis yang tak pernah baca buku akan mengalami kesulitan. Lalu aku katakan
“Ini persoalan ontologis cinta kekuasaan dan keadilan”.
Gadis tidak paham apa itu ontologis. Aku pun bilang
“Kau tau filsafat. Nah, ontologis itu bagian pembahasan dalam filsafat. membahas tentang objek apa yang di telaah ilmu. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut. Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia”.
Gadis malah bingung. Aku pun diam. Lalu gadis mengajak pulang. Aku mengantarkan gadis kerumahnya. Kenangan yang indah walau sesaat. Ketika itu, sehari sebelum puasa Ramadhan tiba.
***
Gadis, sudahlah. Jangan menangis. Tak ada gunanya. Lelaki yang kau cintai telah melukaimu. Apa pantas kau mengiba dan meratapinya, bahkan mengharapnya kembali? Mari, buka mata hatimu. Lalu tenggelamkan diri dengan do’a-do’a kepada Tuhan. Aku yakin. Segalanya akan baik-baik saja. Hidup itu sementara, jangan dibuat bersusah-susah. Mari, memaknai segala peristiwa pasti akan lebih indah. Mari, berfikir hal yang penting agar diri berguna buat sesama.
Aku kirimkan lagi pesan singkat pada Gadis, yang mulai bisa melupakan kekasihnya. Dengan seringnya kita berkomunikasi lewat telpon. Aku pun sedikit membuka kesadarannya. Bahwa hidup itu tak harus tengelam dalam permasalahn yang dangkal. Aku sering mengibaratkan cinta Tuhan pada manusia. Tak pernah pupus walau manusia selalu menjauhinya, ketika hendak mendekat tetap saja Tuhan menerima. Sebab Tuhan Maha Pema’af. Begitupun manusia yang di dalam dirinya ada pancaran roh Tuhan. Maka, paling tidak mendekati “serupa” Tuhan. Itulah kenyakinan terhadap kebertuhananku dan pemahamanan atas keberagamaanku.
Gadis sudah mulai tak menangis lagi, tapi masih teringat kekasihnya. Aku pun terus menghiburnya. Aku tak dapat mengatakan cinta padanya, sebab pernah ketika awal-awal bertemu aku mengatakan cinta padanya dan mengharap sebagai kekasihnya. Gadis hanya memberi jawaban, bahwa aku di anggapnya saudara. Tapi tak apalah. Aku yakin hati manusia bisa berubah, karena yang ada di dunia ini semuanya relatif kebenarannya kecuali kebenaran Tuhan.
Temannya masih sering bertanya padaku, ketika berpapasan betemu di gang sebelah rumahku. Lelaki itu, kekasih Gadis sudah jarang menghubunginya. Walau kadang-kadang masih mengirimkan pesan pendek pada Gadis. Tapi Gadis tidak menghiraukannya. Cerita gadis padaku.
Gadis pun pergi ke luar kota untuk mencari susana yang baru. Gadis berharap dapat melupakan dengan purnah jalinan cinta kasih yang pernah dilaluinya.
“Kak, Gadis pergi dulu. Tidak lama kok” pesan singkat masuk di ponselku.
***
Aku masih tetap berdo’a pada Tuhan. Agar Gadis membuka hati untukku. Malam-malam pada bulan Ramadhan aku lewati dengan khusuk beribadah pada Tuhan. Membaca Al-Qu’an. Membaca buku-buku agama. Ketika, tepat aku membaca surat Ar-Rahman, aku teringat Gadis. Surat ini adalah paling disuka, karena Gadis sering mendengar ketika menjelang subuh. Gadis pernah bercerita padaku tentang itu.
Suara ponselku berbunyi, tanda ada pesan singkat masuk. Aku menghentikan membaca sesampai perhentian ayat yang tak mengurangi arti utuhnya. Aku membuka ponselku, Gadis mengirimkan pesan singkat.
“Kak, besok bareng terawih ya?”
Dengan cepat aku membalasnya “Iya”.
Ah, Tuhan pertanda apakah ini. Tadi aku mengingatnya, lalu Gadis mengirimkan pesan padaku. Besok mengajakku berangkat terawih bareng.
Aku pun melewati waktu dengan sewajarnya, aku pasrahkan pada Tuhan apa yang terjadi nanti. Aku percaya, yang membolak-balikkan hati manusia adalah Dia.
***
Kita bareng berangkat terawih dengan jalan kaki. Rumah kita tidak jauh. Aku yang mendatanginya dan menjemputnya. Aku berusaha bersikap biasa tanpa tendensi apapun. Dalam kantong celanaku sudah aku persiapkan sebatang coklat dan Al-Qur’an kecil yang aku bungkus dengan kertas kado. Sehabis sholat terawih aku memberikan padanya. Gadis tersenyum dengan manis. Tak biasanya Gadis tersenyum dengan manis sejak betermu awal denganku. Gadis menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Dalam berjalanan pulang, kita saling bercanda. Aku pun sesekali bercerita tentang masalah bangsa yang tak kunjung sirna. Gadis menikmatinya. Malahan bertanya-tanya masalah-masalah bangsa yang belum tuntas-tuntas untuk diselesaikan. Dari persoalan Lumpur Lapindo, masih banyaknya angka kemiskinan, politik yang kacau. Gadis semakin penasaran, mungkin saja Gadis jarang membincal hal-hal yang saban hari aku geluti meski masih dalam wacana belum banyak aksi. Persoalan yang baru saja terjadi dan masih hangat-hangatnya pun menjadi perbincangan kita. Yakni masalah, sikap bangsa atas Malaysia. Aku melihat wajah Gadis berseri-seri penuh arti.
Sesampai di rumahnya, gadis mempersilahkan aku duduk dulu. Gadis masuk ke dalam rumah dengan keluar kembali membawa secangkir kopi. Kopi belum aku minum, gadis mengagetkan aku. Bahwa gadis mengatakan cinta padaku.
“Kak, di bulan Ramadhan ini. Aku menemukan banyak arti setelah mengenal Kakak. Aku tak lagi berdiam diri dalam kamar, meratapi malasah-masalah cinta pada kekasihku yang menyakitiku. Kak, Gadis cinta Kakak.”
Dengan hati yang berseri, aku pulang sehabis menghabiskan secangkir kopi cinta di malam bulan Ramadhan. Yang ku harapkan dapat terwujud.
Gadis mulai berbenah diri, sering mengaji, sering membaca buku, sesekali mengajakku membagi makanan buat anak-anak jalanan dari sisa uang yang Gadis punya. Tanpa, aku memaksa tanpa aku menyuruh. Malahan kadang Gadis mengingatkan padaku, agar jangan sampai daya kritis yang kumiliki hilang. Gadis pun menjelma martil yang mengerakkan kesadaranku untuk terus menanjak. Pada keutuhan kemanusiaanku. Aku pun berdo’a atas segala kesadaran diri padaNya “Di hening malam Ramadhan, aku berserah diri padaMu”.
Malang, 21 Ramadhan 1431 H http://sastra-indonesia.com/2010/09/cinta-di-bulan-ramadhan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar